Halo, saya Zia. Maaf senin kemarin belum bisa posting karena ada kegiatan urgent yang buat saya libur menulis. Miane... Happy reading. Zia
Aku?Apa yang pria itu sembunyikan? Apa yang tidak boleh kuketahui?Aku tau pernikahan kami hanya di atas kertas, dan hanya akan berlangsung selama satu tahun. Sejujurnya, ia tidak perlu menyembunyikan apa pun dariku. Karena, selain tentang Peruka, tidak ada yang ingin kuketahui lagi tentangnya. Namun, cara pria itu menyembunyikan sesuatu itu membuat rasa ingin tahu di benakku semakin besar.Seperti gadis kecil yang dilarang melompat, saat itu, justru aku akan melompat tinggi.Di dalam kamar yang gelap, yang hanya disinari sedikit biasan cahaya rembulan, aku membuka mata. Butuh waktu beberapa saat sampai mataku terbiasa dengan kegelapan, hingga akhirnya, aku bisa melihat lekuk wajah yang terlelap di sampingku.Tidak ada suara lain kecuali detak jam dan embusan napasnya yang teratur. Lekat kutatap wajah itu. Ia tampan, saat terlelap. Kerut di kening, alis yang selalu bertaut, tatapan tajamnya, menghilang begitu saja. Ia seperti malaikat ketika terpejam, tapi ketika matanya terbuka, kau
Ini gila.Setelah membuka semua amplop itu, rasanya aku seperti menemukan sosok Kak Indra yang lain. Kusandarkan punggungku ke sisi meja, duduk bersimpuh di lantai, di antara foto-foto yang terserak.Amarah yang tadinya menumpuk, kini mulai mencair menjadi lelehan air mata.Mengapa? Mengapa harus Kak Indra? Mengapa ia harus mengkhianati Kakak?Setelah semua yang terjadi, setelah semua yang kami lewati bersama, mengapa Kak Indra berubah?Aku tau. Kak Indra mengkhianati Kakak, bukan diriku, tapi ternyata sakitnya jauh lebih dalam. Seperti ketika aku menemukan kenyataan bahwa ibuku berselingkuh dengan kakak iparnya sendiri. Kau akan marah, bukan hanya kepada mereka, tapi juga kepada dirimu sendiri, karena kau tau, kau bahkan tidak bisa melakukan apa pun untuk memperbaiki hal yang salah.Apa semua orang akan seperti itu? Apa pria tidak pernah cukup dengan satu wanita? Apakah ia baru bisa merasa puas setelah memiliki lusinan selir di sisinya?‘Karma itu nyata.’Aku meremas kertas itu, menc
“Shei, apa kita harus sampai begini?” tanya Leslie panik. “Aku nggak minta kamu buat ikut,” kataku, dingin. Leslie menghela napas putus asa di kursi belakang. “Alamatnya di sini.” Dinda, yang langsung datang di hari yang sama setelah aku meneleponnya, berbicara sambil menatap peta di ponsel. Ternyata tidak terlalu sulit mencari tau sosok wanita itu. Aku hanya perlu menyerahkan fotonya ketika bersama sang anak kepada pria yang mengaku sebagai detektif swasta, berserta sejumlah uang yang tak seberapa, lalu secara ajaib kami mendapatkan alamatnya. Aku sudah mempersiapkan segala yang mungkin kubutuhkan. Jika sebuah ancaman saja takkan membuatnya mundur, aku bahkan siap melakukan apa pun untuk Kakak dan putrinya. Aku akan membuat dunia yang aman untuk mereka, meski itu artinya merelakan kebebasanku sendiri. Dinda menunjuk sebuah gang yang ada di hadapan kami. “Masuk ke sini,” katanya. Leslie terlihat semakin gelisah, tapi aku tidak peduli. Aku sudah siap menghadapi apa pun yang akan
“Pak Indra, kami sudah pulang.”“Apa? Kalian?”“Ya, tadi tiba-tiba Sheila pusing. Kayaknya karena panic attact.”“Lalu kondisi Sheila sekarang?”“Sudah lebih baik. Aku dan Dinda diperjalanan antar Sheila ke rumah.”“Astaga. Syukurlah. Tolong pantau dia, Les. Saya akan ke sana secepat yang saya bisa.”“Mm… mungkin lebih baik nanti aja, Pak. Sheila baru aja tenang. Kami juga akan temani Sheila di sini.”“Oke. Kabari saya kalau ada apa pun, Les. Terima kasih karena sudah jaga Sheila.”“Iya, Pak.”“Tapi, Leslie, apa kalian sempat temui Miranda?”Leslie melirik ke arahku, meminta jawaban, saat yang bisa kulakukan hanya mematung tak bergerak.“Nggak.” Akhirnya, Leslie kembali berbicara. “Kami nggak sempat ketemu perempuan itu.”“Syukurlah. Terima kasih, Leslie.”Setelah menganggukkan kepala, Leslie menutup sambungan telepon itu.Di dalam mobil, keheningan kembali tercipta. Aku sudah meminta Dinda memundurkan mobil sejauh mungkin, hingga kami bisa melihat apa yang terjadi, tanpa dicurigai.T
Tok tok.Ketukan itu memecah lapisan beku di antara kami. Kak Indra masih menatapku, meminta sebuah jawaban, ketika yang kulakukan adalah berjalan ke pintu, membiarkan Leslie dan Dinda masuk, dan mengintrupsi perbincangan yang tak ingin kulanjutkan.“Shei! Akhirnya kamu masuk kant— what the f*ck!” Suara Leslie membeku dalam keterkejutan.Kopi yang dibawa Dinda bahkan jatuh begitu saja, membuat genangan hitam di bawah kakinya. Seketika ruangan Kakak dipenuhi nyengat aroma kopi.“Astaga! Ka… kamu… sudah gila?” Leslie terbata. Manik matanya bergetar menatap wajahku.Tangan Dinda terulur dramatis, menyentuh ujung rambutku yang terpotong.“Model baru, cocok kan? Aku sudah lama mau potong model bob begini.”Bukannya menjawab, Leslie justru menutup mulutnya, lalu tetesan air mata mulai jatuh tanpa tertahan. Bahkan Dinda ikut menatap sedih.Demi Tuhan, ini hanya sebuah potongan rambut. Apakah mereka harus sedramatis itu? Aku masih hidup, bernapas dengan baik, apakah di mata mereka aku tak lag
‘Jika kau berada di sebuah kapal yang akan tenggelam, dan hanya bisa menyelamatkan satu orang di antara ibu atau kekasihmu, siapa yang akan kau selamatkan terlebih dulu?’Kau pernah mendengar pertanyaan itu?Atau kau pernah melontarkan pertanyaan itu?Bagiku, itu adalah pertanyaan yang paling menyeramkan. Takkan kulontarkan pertanyaan itu kepada siapa pun, dengan aku menjadi salah satu pilihannya. Karena selama ini aku selalu menjadi sosok yang dibiarkan mati tenggelam.Bahkan meski hanya dalam sebuah pengandaian yang belum tentu terjadi.“Ini?” Leslie ikut menghentikan langkahnya saat aku berhenti.“Ini mobilnya?” Dinda melanjutkan pertanyaan Leslie.Lekat kutatap mobil di hadapanku. Beberapa kali aku duduk sebagai penumpang di dalam mobil itu. Beberapa kali juga aku merasa betapa amannya berada di sampingnya, hingga kupikir, akhirnya nasib buruk itu berhenti datang. Akhirnya aku menemukan
PLAK!Kedua mataku terbelalak lebar. Suara tamparan itu menyentak tubuhku. Refleks, tanganku menyentuh pipi, tapi tidak ada sengatan rasa sakit di sana.Aku berdiri, menatap bingung tempat familiar yang juga terasa asing itu.Di mana aku sekarang?PLAK!Suara tamparan kedua membuatku menoleh.“Dasar perempuan nggak berguna! Harusnya kamu m*ti!”Betapa terkejutnya aku saat melihat sosok Dandy. Di hadapannya, Kakak tampak berlutut tengadah saat Dandy menarik rambutnya dengan keras. “Kamu harusnya m*ti, Bianca!”“Lepas, Mas!” Kakak berusaha keras melepaskan tangan Dandy yang mencengkram rambutnya. Namun, semakin kencang usaha Kakak, semakin keras cengkraman Dandy. Ia mengangkat kembali tangannya, lalu melayangkan sebuah tamparan keras yang lain. Hingga aku bisa melihat tubuh Kakak terpelanting dengan noda darah di sudut bibirnya.‘Kakak!’ teriakku, tapi
Setelah memastikan wajahku tak menyisakan jejak air mata atau kesedihan yang tercipta dari mimpi buruk itu, aku turun ke ruang makan. Tempat ia menungguku.Sengatan air dingin yang mengguyurku saat mandi, membuat pikiranku sedikit lebih jernih. Kuharap, itu membuatku siap menemuinya. Rumah dua lantai yang kami tempati semenjak menikah terasa sangat lenggang. Semua seakan terdiam melihat kedatanganku. Bahkan para pelayan hanya bergerak ketika diperintahkan, seperti tubuh tak berjiwa.Mereka menunduk saat aku tiba di ruang makan. Samar aku bisa melihat rona merah di salah satu pipi Aria. Apakah itu hukuman darinya karena lalai mengabari keberadaanku pagi tadi?Aku menarik napas panjang sebelum kembali melanjutkan langkah.Pria itu sudah duduk di depan meja makan, dengan sajian makanan mewah seperti biasa. Dua hari yang lalu, aku bahkan tidak sanggup memakan apa pun. Ketidak beradaannya membuat seluruh nafsu makanku lenyap.Siapa sangka
“Apa harus sampai begitu?” tanya Sheila sebal kepada pria yang dengan santai berjalan di sampingnya.“Apa?” tanya pria itu tak acuh.Sheila bersidekap kesal, bahkan sampai saat ini sikapnya tidak pernah berubah. “Kalau begini, Anda bisa ke kamar sendiri. Saya mau tetap di sini,” ancam Sheila sungguh-sungguh, dan seketika wajah pria itu berubah tidak suka.Ia menghentikan langkahnya, menoleh sambil berkacak pinggang. Namun, Sheila sama sekali tidak berniat mundur. Ia bersidekap, wajahnya terangkat tinggi penuh ancaman.“Shei....”“Saya nggak sendiri di sini. Ada Amara dan teman-temannya, bahkan keluarga kita di hotel ini. Dan… semua pengawal Anda ada di sini.” Sheila melirik beberapa pria berpakaian hitam yang berdiri bagai patung di koridor hotel. Dan ia yakin bukan hanya di sini, tapi di setiap sudut hotel, pria itu sudah menempatkan orang-orangnya. Rasanya sekarang lebih tepat dikatakan sebagai ajang pertemuan mafia dibanding malam sebelum pernikahan kedua mempelai.Pria itu menarik
“Oh my God! Selamat, Amara!”Plop.Seseorang baru saja menembakkan confetti popper ke udara. Serpih warna warni potongan kertasnya menghujani sang calon pengantin dengan dramatis. Di dalam kamar hotel yang sudah dihias sedemikian rupa dengan taburan mawar dan balon berwarna merah muda, gema tawa gadis-gadis terdengar begitu renyah.“YEAAAYYYYYYY, FINALLY, AMARA!!!” Seorang gadis berambut pirang sebahu memasangkan sebuah tiara ke kepala gadis cantik itu. “Selamaat! Akhirnya kamu bisa meluluhkan dinding es Simmons.”“Dia bukan dinding es lagi, Cik, tapi dinding batu! Hahahaha.”“Iya, hahahaha!”Amara, yang hari itu menjadi pemeran utama, hanya mampu tersenyum bangga sambil mengangkat gelas sampanyenya.“Kalau aku jadi kamu, aku sih sudah mundur dari dulu. Males banget deh lihat muka datarnya Simmons!” komentar salah satu sahabat Amara yang lain, yang juga memiliki rambut sebahu tapi berwarna biru.“Heh, Simmons itu sadar diri, dia paham betul siapa Amara ini!” gadis lain yang menggunaka
Halo, semuanya…. Saya Zia. ^^ Terima kasih karena sudah membaca kisah ini sampai akhir. Huhuhuhuhuhuhuhu. Terharu, karena akhirnya saya bisa menamatkan cerita ini. T___T Dan kalau kalian tanya kenapa cerita ini lama sekali sampai bab tamat, karena sejujurnya… saya masih mencari celah untuk memperbaiki hubungan Sheila dan Anggara! Setiap bab di kisah mereka, saya tulis sambil berderai air mata. (Lebay banget ya, hahahhaha). Tapi memang begitulah. Saya mau menggambarkan betapa besarnya cinta mereka, tapi di saat yang sama, mereka juga putus asa, kecewa dengan apa yang terjadi, dan menemui jalan buntu. Sejujurnya, saya pribadi nggak setuju dengan akhir dari cerita ini. Tapi saat menulis kadang saya nggak bisa mengontrol karakter itu sepenuhnya. Walaupun saya sudah membuat plot dari awal, tapi kadang karakter tsb berkembang menjadi sosok yang tidak direncanakan, pun dengan pilihan yang diambil karakter tsb. (Ini mungkin kedengaran aneh, tapi mereka benar-benar hidup di dalam benak s
10 tahun kemudian. “Jadi? Akhirnya pangeran itu m*ti, Tante?” tanya seorang gadis 11 tahun. Suara deburan ombak mengalun merdu bersama hembusan angin beraroma garam. Mendung di luar sana mengubur cahaya rembulan dan bintang sepenuhnya. Kini yang terlihat hanyalah hamparan gelap dan suara ombak yang saling bersahut-sahutan. “Tante?” Salah satu gadis mungil mengguncangkan tangan wanita yang tengah melamun itu, memintanya melanjutkan akhir dari kisah yang dibacakannya. Mata indahnya mengedip lucu penuh penantian. “Ah, ya?” Akhirnya, wanita itu kembali. “Jadi gimana akhirnya? Pangeran itu benar-benar m*ti?” desak gadis yang 3 tahun lebih tua dari adiknya. Wanita itu menghela napas panjang, lalu menatap lembar buku di pangkuannya. “Ya, dan… nggak,” jawab wanita itu lembut. “Lho, gimana deh? Aku nggak ngerti!” “Aku juga!” “Sudah, sekarang kalian harus tidur.” “Ahhh! Selesain dulu ceritanya, Tante!” “Hm…” Wanita itu tersenyum tipis. Ia mengecup kening kedua keponakannya, lalu memp
Sheila?Seluruh indra Anggara tersentak sadar ketika ia mendengar suara Sheila. Rasanya seperti baru saja ditarik keluar dari dalamnya lautan. Ia tergagap mencari udara dalam kepanikan, tapi semua ketakutan itu enyah seketika saat mendengar suara yang paling dirindukannya.Dia hidup, dia baik-baik saja, batin Anggara. Kelegaan melebur di dalam jiwanya.Anggara ingin segera membuka mata, ia ingin memastikan keadaan Sheila dengan kedua matanya sendiri. Ia ingin melihat binar mata indah itu, ia ingin menggenggam jemarinya, ia ingin meneriaki seluruh ketakutannya saat ia pikir akan kehilangan gadis itu selamanya.Ia ingin meminta maaf karena sudah menyakitinya sedemikian dalam. Ia ingin mengatakan betapa ia sangat mencintai gadis itu, lebih… lebih dari pada yang pernah ia bayangkan.“Dia datang.”Namun, nada dingin di suara Sheila membekukan seluruh indranya kembali. Kebahagiaan yang sebelumnya merekah hangat, kini meredup sedikit demi sedikit.“Haruskah saya membiarkan dia masuk? Anda mu
“Bolehkah saya bertemu dengan Nona Sheila?”PLAK!Seperti sebuah opera sabun dengan kisah klise, wanita miskin itu ditampar oleh orang tua kekasihnya yang kaya raya. Dihujani makian, direndahkan bagai sampah, dicaci seperti pel*cur, bahkan tertuduh sebagai dalang kematian orang yang bahkan tidak dikenalinya secara langsung.“BUAT APA KAMU DATANG KE SINI?! APA KAMU MASIH BELUM PUAS MERUSAK KELUARGA SAYA?! DASAR PEREMPUAN SAMPAH!”Namun, meski mendapat penghiaan sekeras itu, ia tetap bergeming. Teguh pada pendiriannya yang salah di mata orang lain. Dan itu membuat Patricia semakin murka.Hatinya dipenuhi amarah. Bagaimana mungkin wanita yang menjadi akar dari seluruh masalah itu muncul begitu saja di hadapannya?!“PERGI! JANGAN PERNAH DATANG LAGI KE RUMAH INI! PERGI!”“Saya datang untuk menemui Nona Sheila.”PLAK!Tamparan lain melayang tanpa peringatan. “BERANI-BERANINYA KAMU SEBUT NAMA ITU DENGAN MULUT KOTORMU! PERGI! JANGAN PERNAH BERHARAP KAMU BISA TEMUI DIA! SAYA NGGAK AKAN MEMBIAR
Apakah ini surga?Ataukah neraka?Apakah ia sudah mati?Apakah akhirnya takdir sedikit berbaik hati dengan menghadirkan sosok itu di saat-saat terakhirnya?Apakah semuanya sudah selesai sekarang?Pertanyaan-pertanyaan itu menemani Sheila melayang di udara. Apakah ini sebuah mimpi? Apakah ia berhalusinasi? Jika iya, mengapa rasanya sangat nyata? Mengapa tatapan pria itu seakan menunjukkan keputus asaan yang sama dengannya? Mengapa ia ikut melompat? Mengapa ia mendekap erat seakan melindunginya?Bukankah kematiannya akan menjadi kabar yang indah untuk pria itu?BRUK!Sebuah benturan kencang menghantam tubuh Sheila. Seketika, rasa sakit memenuhi tubuhnya, seiring suara patahan tulang dan rembesan anyir darah.Sheila terhenyak, tubuhnya terhempas di atas bebaPak halaman rumah pria itu. Dengung mengisi telinganya, membuat suara lain tak terdengar satu pun. Pandangannya seakan berputar, ia bahkan tidak yakin bagian mana dari tubuhnya yang paling merasa sakit saat ini.“NONA SHEILA!”“SHEIL
“Ugh. B*ngsat!” Anggara mencengkram kepalanya yang nyeri. Mabuk selalu menyisakan jejak yang mengerikan di kepalanya. “Anda baik-baik saja, Pak? Apa kita harus ke rumah sakit sebelum pulang?” tanya Davin, yang ditelepon Anggara saat terbangun pagi ini untuk menjemputnya di rumah Arianto. Anggara menggeleng sambil terus memejamkan mata di kursi penumpang. Berharap nyeri di kepalanya segera enyah. “Berapa lama saya di rumah Ari?" tanya Anggara sambil menahan sakit. “Argh! Br*ngsek!” Anggara meminum air yang disediakan Davin di dalam mobil. “Sejak kemarin malam, Pak,” jawab Davin hati-hati. “Saya minta maaf karena sudah lancang menghubungi Pak Ari. Tapi kondisi Anda kemarin sangat…” Davin tidak mampu menemukan kata yang bisa menggambarkan keadaan atasannya kemarin. Ia sendiri sudah mempersiapkan diri kalau-kalau Anggara melampiaskan seluruh amarahnya karena keputusan lancangnya. “Terima kasih.” “Ya?” Davin ternganga tak percaya. Apakah pria itu b
Sehari sebelumnya.Sudah berapa lama waktu berlalu? Apakah sekarang tengah malam? Atau hari yang lain? Mengapa tidak ada bedanya? Mengapa tidak ada hal lain kecuali kegelapan di matanya?Di tengah ranjangnya yang luas, Anggara duduk dengan pandangan nyalang. Ia menenggak anggur di tangannya, lalu ketika tak menemukan tetes yang lain, ia melemparkan botol itu hingga pecah berantakan, lalu membuka botol lain, menenggaknya hingga tandas, lalu membantingnya lagi.Siklus yang sudah terjadi entah berapa lama.Kamar itu gelap, berantakan, dan hening. Anehnya, di setiap sudut ruangan itu, Anggara bisa melihat bayangan istrinya. Ketika ia berbaring di ranjang, ketika ia berjalan mengitari walk in closet, atau ketika ia berdiri menatap rembulan.Semakin lama, kenangan itu terasa semakin nyata. Setiap bayangannya mulai memudar, Anggara kembali menenggak minumannya, memaksa pikirannya untuk menghadirkan kembali sosok Sheila, meski