‘Jika kau berada di sebuah kapal yang akan tenggelam, dan hanya bisa menyelamatkan satu orang di antara ibu atau kekasihmu, siapa yang akan kau selamatkan terlebih dulu?’
Kau pernah mendengar pertanyaan itu?
Atau kau pernah melontarkan pertanyaan itu?
Bagiku, itu adalah pertanyaan yang paling menyeramkan. Takkan kulontarkan pertanyaan itu kepada siapa pun, dengan aku menjadi salah satu pilihannya. Karena selama ini aku selalu menjadi sosok yang dibiarkan mati tenggelam.
Bahkan meski hanya dalam sebuah pengandaian yang belum tentu terjadi.
“Ini?” Leslie ikut menghentikan langkahnya saat aku berhenti.
“Ini mobilnya?” Dinda melanjutkan pertanyaan Leslie.
Lekat kutatap mobil di hadapanku. Beberapa kali aku duduk sebagai penumpang di dalam mobil itu. Beberapa kali juga aku merasa betapa amannya berada di sampingnya, hingga kupikir, akhirnya nasib buruk itu berhenti datang. Akhirnya aku menemukan
PLAK!Kedua mataku terbelalak lebar. Suara tamparan itu menyentak tubuhku. Refleks, tanganku menyentuh pipi, tapi tidak ada sengatan rasa sakit di sana.Aku berdiri, menatap bingung tempat familiar yang juga terasa asing itu.Di mana aku sekarang?PLAK!Suara tamparan kedua membuatku menoleh.“Dasar perempuan nggak berguna! Harusnya kamu m*ti!”Betapa terkejutnya aku saat melihat sosok Dandy. Di hadapannya, Kakak tampak berlutut tengadah saat Dandy menarik rambutnya dengan keras. “Kamu harusnya m*ti, Bianca!”“Lepas, Mas!” Kakak berusaha keras melepaskan tangan Dandy yang mencengkram rambutnya. Namun, semakin kencang usaha Kakak, semakin keras cengkraman Dandy. Ia mengangkat kembali tangannya, lalu melayangkan sebuah tamparan keras yang lain. Hingga aku bisa melihat tubuh Kakak terpelanting dengan noda darah di sudut bibirnya.‘Kakak!’ teriakku, tapi
Setelah memastikan wajahku tak menyisakan jejak air mata atau kesedihan yang tercipta dari mimpi buruk itu, aku turun ke ruang makan. Tempat ia menungguku.Sengatan air dingin yang mengguyurku saat mandi, membuat pikiranku sedikit lebih jernih. Kuharap, itu membuatku siap menemuinya. Rumah dua lantai yang kami tempati semenjak menikah terasa sangat lenggang. Semua seakan terdiam melihat kedatanganku. Bahkan para pelayan hanya bergerak ketika diperintahkan, seperti tubuh tak berjiwa.Mereka menunduk saat aku tiba di ruang makan. Samar aku bisa melihat rona merah di salah satu pipi Aria. Apakah itu hukuman darinya karena lalai mengabari keberadaanku pagi tadi?Aku menarik napas panjang sebelum kembali melanjutkan langkah.Pria itu sudah duduk di depan meja makan, dengan sajian makanan mewah seperti biasa. Dua hari yang lalu, aku bahkan tidak sanggup memakan apa pun. Ketidak beradaannya membuat seluruh nafsu makanku lenyap.Siapa sangka
“Nona Sheila, sudah waktunya.” Suara Aria muncul dari balik pintu yang terkunci. “Acaranya akan dimulai jam 8 malam.”Aku tetap bergeming tanpa jawaban. Kutatap pantulan wajahku yang terrias sempurna di cermin. Ia seperti seorang putri yang siap menghadapi dunia dengan kecantikannya. Ia seperti gadis belia yang mampu mengalihkan pandangan semua orang karena keanggunannya.Namun, bagiku, sosok itu hanyalah sebuah cangkang tak bernyawa. Perasaan hampa membuat waktu di sekelilingku terasa melambat.“Nona Sheila.”Saat suara Aria kembali terdengar, kulirik ponsel yang masih gelap di atas nakas. Tidak ada tanda-tanda ia akan membalas pesan yang kukirimkan ke ponselnya. Tidak ada telepon, atau kabar apa pun, seperti biasa.Malam ini, aku harus menghadiri sebuah undangan peresmian hotel sebagai Nyonya Anggara Miles. Pemilik hotel itu adalah rekan bisnis Miles Group. Tentu saja nama kami tertera sebagai tamu VIP seperti seluruh keluarga Miles yang lainnya. Aku bisa membayangkan berapa banyak
Sentuhannya membakar jiwa dan tubuhku. Belaiannya yang penuh tekanan membuat jiwaku yang sempat redup karena merindu, kini kembali hidup. Ciumannya seakan membawa ragaku melayang di atas ratusan lilin yang menyala. Semakin dalam ia menyentuhku, justru semakin deras air mataku mengalir. Rindu yang menyatu dengan rasa sakit melalap hidupku sedikit demi sedikit. Lenganku secara otomatis melingkari lehernya saat ia merengkuh tubuhku lebih rapat. Bibirku membalas ciuman panasnya, seakan tubuhku khawatir ini akan menjadi kali terakhir bagi kami. Ia adalah racun untukku. Namun kau tau, aku bahkan akan dengan senang hati untuk meminum secawan racun demi bisa bersamanya sedikit lebih lama. Meski itu artinya akan mengikis jiwaku. Aku tidak peduli jika ia memiliki wanita lain yang dicintainya. Aku tidak peduli jika ia datang hanya karena membutuhkan tubuhku. Aku tidak peduli jika ia hanya menunjukkan sisi tajam kepadaku, selama aku bisa melihatnya, itu sudah lebih dari cukup. Sebesar itu a
Apa kau pernah jatuh cinta pada tokoh dalam sebuah kisah? Itu menyakitkan bukan? karena tidak peduli sebanyak apa harapanmu untuk bersamanya, ia hanyalah sebuah tokoh yang takkan menjadi nyata. Dan, itu lah Xei Anggara Miles untukku. Bagaimana mungkin aku tetap mencintai sosok yang kutau bukan diciptakan untukku? “I… ini tentang Bu Miranda.” Aku yakin, pria yang belakangan kuketahui bernama Davin itu tidak berniat menyakitiku. Ia berkali-kali melirik ke arahku saat menyebutkan namanya. Aku bisa merasakan ketegangan merayap naik di antara kami. Semua orang terdiam. Yang tidak mengerti hanya mampu melirik penuh tanya, sedang yang mengetahui siapa Miranda, kini saling melempar pandang gelisah. Apa mungkin mereka khawatir aku akan meledak dalam amarah? Tangan suamiku terkepal, ia melirikku sekilas. “Jelaskan itu nanti. Saya harus pergi sekarang.” Aku menoleh tak percaya kepadanya. Kelegaan merayap naik ke wajahku. Tanpa sadar sejak tadi aku menahan napas karena terlalu gugup. Kup
“BOD*H! KAMU BENAR-BENAR ANAK YANG NGGAK BERGUNA!!” Brak! “Cukup, Sayang!” “B*NGSAT! INI GARA-GARA KAMU TERLALU LEMAH! LIHAT ANAK INI, DIA BAHKAN NGGAK BECUS MENGGODA ANGGARA! HARUSNYA KITA PILIH ANAK LAIN DI PANTI ASUHAN HARI ITU!” “Sayang! Ini semua bukan karena Riana. Perempuan itu datang lagi, dan ditambah ada anak ini…” “CIH! KALIAN PIKIR INI BISA JADI ALASAN?! KALAU KAMU CUKUP PINTAR MENGGUNAKAN TUBUHMU ITU, HARUSNYA KAMU SUDAH MENDAPATKAN PERHATIAN ANGGARA SEKARANG! HARUSNYA KALIAN MENIKAH DAN MEMILIKI ANAK UNTUK MENDAPATKAN WARISAN. BUKANNYA BERMAIN-MAIN SEPERTI INI! PERCUMA SAYA MENGINVESTASIKAN UANG SEBANYAK ITU UNTUK MENGURUS LINTAH NGGAK BERGUNA SEPERTI KAMU!” “Sayang! Tapi Riana juga sudah punya rencana yang lain. Kali ini pasti berhasil.” “RENCANA?! B*NGSAT! MULAI SEKARANG SAYA AKAN GUNAKAN CARA SAYA SENDIRI. SAYA AKAN B*NUH ANGGARA!” “Papa! Tolong jangan b*nuh Kak Anggara! Aku janji, aku akan perbaiki semuanya sekarang. Aku akan menikah dengan Kak Anggara! Aku
“BR*NGSEK! APA KALIAN NGGAK BISA BEKERJA DENGAN BAIK SEKALI AJA?!” Riana memaki sambil mendorong kursinya hingga jatuh. Ia menampar pria pembawa pesan itu, lalu dengan langkah gusar, ia berjalan ke luar ruangan. “KALIAN!” katanya, menunjuk beberapa pria itu. “IKUT AKU!” lalu masih dengan wajah penuh amarah, ekor matanya melirik ke arahku. “Sisanya, jaga di depan, pastikan tikus ini nggak bergerak sedikit pun.” Suara itu berupa desisan penuh kebencian. Sedetik kemudian, lenggang menghampiri ketika mereka semua pergi. Kini hanya ada aku dan Aria yang entah masih hidup atau tidak. Aku tertunduk menatap lantai penuh darah. Seluruh emosi mulai berkecamuk di dalam dada. Aku tidak pernah menyangka namanya bisa membawa kelegaan yang luar biasa, sekaligus jutaan rasa takut yang bersamaan. Akankah ia menolong kami? “No… nona Shei…” Aku menoleh cepat ketika mendengar suara Aria yang berupa rintihan lemah. Salah satu matanya terbuka perlahan, sedang yang lain tertutup luka lebam yang memben
“Bianca? Bi? Bianca!” Deg. Panggilan itu membuat Bianca tersentak dari lamunannya. Wajah cantiknya menoleh perlahan. “Ada apa?” tanya Indra seraya berjalan mendekat. Ia membuka jubah tidur yang digunakannya, lalu memasangkan ke bahu Bianca. “Kamu mimpi buruk?” Indra melirik cangkir teh yang masih mengepulkan uap panas di tangan Bianca. Bianca tidak menjawab, ia hanya menyandarkan kepalanya di dada pria itu sambil terus menatap rembulan yang bersinar tanpa bintang. Malam itu sangat tenang. Namun, entah mengapa Bianca justru merasa resah. Apakah selama ini ia sudah terlalu lama hidup dalam kekacauan, hingga ketenangan kini terasa sedikit asing? Bruk. “Saya harus menemui Pak Indrawan dan Bu Bianca sekarang juga!” “Tapi beliau sedang beristirahat. Tolong jangan buat keributan!” “Ini penting!” Bianca dan Indra saling bersitatap ketika mendengar keributan di luar pintu kamar mereka. Bianca melirik box bayi sekilas, khawatir keributan itu akan membangunkan putri kecilnya. “Tunggu