Halo semuanya, saya Zia. ^^ Maaf beberapa waktu kemarin saya menghilang tanpa kabar. Jadi, saya punya kista ganglion di pergelangan tangan. Walaupun nggak sakit, tapi Pak Suami sedikit khawatir, jadi minta saya rehaaaaaaat penuh sementara dari dunia komputer pokoknya. :D Tapi sekarang saya sudah kembali kok. ^^ Selamat membaca. :) BTW cerita ini akan tamat sebentar lagi. :) Menurut kalian, bagusnya sad atau happy atau open ending untuk cerita Sheila? Salam hangat, Zia.
Apa kau pernah jatuh cinta pada tokoh dalam sebuah kisah? Itu menyakitkan bukan? karena tidak peduli sebanyak apa harapanmu untuk bersamanya, ia hanyalah sebuah tokoh yang takkan menjadi nyata. Dan, itu lah Xei Anggara Miles untukku. Bagaimana mungkin aku tetap mencintai sosok yang kutau bukan diciptakan untukku? “I… ini tentang Bu Miranda.” Aku yakin, pria yang belakangan kuketahui bernama Davin itu tidak berniat menyakitiku. Ia berkali-kali melirik ke arahku saat menyebutkan namanya. Aku bisa merasakan ketegangan merayap naik di antara kami. Semua orang terdiam. Yang tidak mengerti hanya mampu melirik penuh tanya, sedang yang mengetahui siapa Miranda, kini saling melempar pandang gelisah. Apa mungkin mereka khawatir aku akan meledak dalam amarah? Tangan suamiku terkepal, ia melirikku sekilas. “Jelaskan itu nanti. Saya harus pergi sekarang.” Aku menoleh tak percaya kepadanya. Kelegaan merayap naik ke wajahku. Tanpa sadar sejak tadi aku menahan napas karena terlalu gugup. Kup
“BOD*H! KAMU BENAR-BENAR ANAK YANG NGGAK BERGUNA!!” Brak! “Cukup, Sayang!” “B*NGSAT! INI GARA-GARA KAMU TERLALU LEMAH! LIHAT ANAK INI, DIA BAHKAN NGGAK BECUS MENGGODA ANGGARA! HARUSNYA KITA PILIH ANAK LAIN DI PANTI ASUHAN HARI ITU!” “Sayang! Ini semua bukan karena Riana. Perempuan itu datang lagi, dan ditambah ada anak ini…” “CIH! KALIAN PIKIR INI BISA JADI ALASAN?! KALAU KAMU CUKUP PINTAR MENGGUNAKAN TUBUHMU ITU, HARUSNYA KAMU SUDAH MENDAPATKAN PERHATIAN ANGGARA SEKARANG! HARUSNYA KALIAN MENIKAH DAN MEMILIKI ANAK UNTUK MENDAPATKAN WARISAN. BUKANNYA BERMAIN-MAIN SEPERTI INI! PERCUMA SAYA MENGINVESTASIKAN UANG SEBANYAK ITU UNTUK MENGURUS LINTAH NGGAK BERGUNA SEPERTI KAMU!” “Sayang! Tapi Riana juga sudah punya rencana yang lain. Kali ini pasti berhasil.” “RENCANA?! B*NGSAT! MULAI SEKARANG SAYA AKAN GUNAKAN CARA SAYA SENDIRI. SAYA AKAN B*NUH ANGGARA!” “Papa! Tolong jangan b*nuh Kak Anggara! Aku janji, aku akan perbaiki semuanya sekarang. Aku akan menikah dengan Kak Anggara! Aku
“BR*NGSEK! APA KALIAN NGGAK BISA BEKERJA DENGAN BAIK SEKALI AJA?!” Riana memaki sambil mendorong kursinya hingga jatuh. Ia menampar pria pembawa pesan itu, lalu dengan langkah gusar, ia berjalan ke luar ruangan. “KALIAN!” katanya, menunjuk beberapa pria itu. “IKUT AKU!” lalu masih dengan wajah penuh amarah, ekor matanya melirik ke arahku. “Sisanya, jaga di depan, pastikan tikus ini nggak bergerak sedikit pun.” Suara itu berupa desisan penuh kebencian. Sedetik kemudian, lenggang menghampiri ketika mereka semua pergi. Kini hanya ada aku dan Aria yang entah masih hidup atau tidak. Aku tertunduk menatap lantai penuh darah. Seluruh emosi mulai berkecamuk di dalam dada. Aku tidak pernah menyangka namanya bisa membawa kelegaan yang luar biasa, sekaligus jutaan rasa takut yang bersamaan. Akankah ia menolong kami? “No… nona Shei…” Aku menoleh cepat ketika mendengar suara Aria yang berupa rintihan lemah. Salah satu matanya terbuka perlahan, sedang yang lain tertutup luka lebam yang memben
“Bianca? Bi? Bianca!” Deg. Panggilan itu membuat Bianca tersentak dari lamunannya. Wajah cantiknya menoleh perlahan. “Ada apa?” tanya Indra seraya berjalan mendekat. Ia membuka jubah tidur yang digunakannya, lalu memasangkan ke bahu Bianca. “Kamu mimpi buruk?” Indra melirik cangkir teh yang masih mengepulkan uap panas di tangan Bianca. Bianca tidak menjawab, ia hanya menyandarkan kepalanya di dada pria itu sambil terus menatap rembulan yang bersinar tanpa bintang. Malam itu sangat tenang. Namun, entah mengapa Bianca justru merasa resah. Apakah selama ini ia sudah terlalu lama hidup dalam kekacauan, hingga ketenangan kini terasa sedikit asing? Bruk. “Saya harus menemui Pak Indrawan dan Bu Bianca sekarang juga!” “Tapi beliau sedang beristirahat. Tolong jangan buat keributan!” “Ini penting!” Bianca dan Indra saling bersitatap ketika mendengar keributan di luar pintu kamar mereka. Bianca melirik box bayi sekilas, khawatir keributan itu akan membangunkan putri kecilnya. “Tunggu
Lagi-lagi Sheila berdiri di sebuah padang rumput yang sama. Namun, alih-alih merasakan ketenangan, kini justru yang tertinggal adalah sebuah perasaan hampa. Sheila menatap jauh padang rumput itu. Tempat yang indah, tempat yang menangkan, tapi ternyata –juga— menjadi tempat yang begitu sunyi. Sheila berjalan perlahan, memetik kuntum bunga mawar yang belum terbuka. Sudah berapa lama ia di sana? Mengapa tidak ada satu bunga pun yang bermekaran? “Sheila.” Deg. Ia menoleh. Tanpa sadar, tangkai mawar di tangannya terjatuh begitu saja. Sheila ternganga tak percaya. Ia menatap sosok wanita yang kini berdiri di hadapannya. Apakah ini sebuah mimpi? Wajah cantik itu tersenyum, matanya menyuarakan rasa rindu yang sama. Meski bibirnya terus mengukir lengkung yang indah, tapi matanya perlahan basah. Perlahan, kedua tangannya terbuka, seakan menyambut Sheila ke dalam pelukannya. “Kemari, Sayang…” Tangis Sheila tak lagi terbendung. Ia berlari menyongsong pelukan itu. Namun entah me
“Nona Sheila, bagaimana kabar Nona hari ini?”Pertanyaan itu, sama seperti jutaan pertanyaan yang lain, yang terlontar, tapi tak pernah mendapat jawaban.Bagai raga tak berjiwa. Sosok Sheila hanya bergeming menatap dinding dengan pandangan kosong. Sejak kembali siuman, tak ada sepatah kata pun yang terlontar, tak ada erang kesakitan, atau senyumnya yang ceria. Ia seakan membeku di sebuah titik yang memejarakan jiwanya.Dan setiap melihat pemandangan itu, Leslie akan memalingkan wajahnya yang basah. Melihat betapa kosongnya raga Sheila, membuat hatinya terpilin perih. Ia merindukan keceriaan sahabatnya. Ia merindukan gelak tawa Sheila. Ia bahkan merindukan tangisan gadis itu.“Bagaimana, Dok?” Dinda bertanya penuh harap.Hermawan, dokter saraf yang bertanggung jawab atas Sheila, menghela napas berat. Wajah penuh keriputnya ikut terlihat sendu. Ia sudah melakukan pemeriksaan menyeluruh atas apa yang terjadi kepada Sheila. Namun, tidak menemukan kejanggalan sedikit pun.“Secara fisik, No
“Kamu sudah lihat film ini ribuan kali, Shei, masa kamu masih nangis?!” tanya Bianca ketika menemukan adiknya menangis sesenggukan di depan laptop sambil memeluk erat bantalnya yang basah. “Tapi ini film sedih banget, Kak! Kakak harus lihat!” Bianca memutar bola matanya. Ia sudah menonton film itu sekali, dan itu sudah lebih dari cukup. Kisah berjudul Penyihir dan Pangeran itu benar-benar membuatnya frustasi, bagaimana mungkin ada seorang penyihir cantik yang begitu hebat, yang bisa menaklukkan semua pria yang diinginkannya, tapi justru terjebak dalam sebuah cinta tragis kepada seorang pangeran? “Nope. Aku nggak mau lihat penyihir bodoh itu lagi!” “Kakak!” teriak Sheila kesal. “Shei.” Bianca duduk di sisi ranjang adiknya, menunjuk sosok penyihir cantik yang tertunduk di dalam layar laptop. “Dia cantik. Dia nggak akan menua. Dia bisa memikat semua laki-laki yang dia mau di dunia ini dengan sihirnya. Tapi, dia malah jatuh cinta sama satu pangeran bodoh, yang akhirnya mati? Dan k
Deg. Hampir saja jantung Bianca berhenti berdetak saat terbangun dari lelapnya. Ia terduduk waspada ketika menyadari seseorang menyelinap masuk diam-diam ke dalam ruang perawatan Sheila. Bianca mengerjap beberapa kali sambil mengatur napas. Jantungnya masih berderak kencang, ketakutannya sama sekali tidak mereda, bahkan meski ia sudah menyadari siapa yang tengah berada di hadapannya. Tangannya masih terus meremas belati yang tersembunyi di balik saku dengan waspada. “Bi, sst… maaf, Tante ganggu tidur kamu, ya?” tanya Patricia sepelan mungkin. Dari jarak yang cukup dekat, Bianca bisa melihat betapa sembabnya mata wanita itu. Wajah cantik yang selalu dirawatnya kini terlihat jauh lebih tua. Tak ada riasan mewah seperti biasanya, tak ada senyum elegan yang selalu terukir tidak peduli apa pun yang terjadi, tak ada suara karismatik yang selalu Bianca lihat seperti sebelumnya. Bianca mulai mengendurkan cengkraman belatinya, wanita itu datang dalam balutan seorang ibu yang begitu rapuh.