Halo, semuanya, maaf kemarin sempat libur posting. Masuk bab akhir, beta reader saya sedikit rewel. Jadi harus beberapa kali ada perombakan sampai merasa 'klik'. Maaf, ya. Tapi sekarang semuanya aman dan sesuai jadwal. Selamat membaca. ^^
Garis warna senja terlihat samar menghiasi langit. Lengkung oranyenya menjadi perhelatan tempat yang nyaman bagi jiwa yang lelah setelah berlari mengejar hari. Lama, Sheila menikmati pemandangan itu dari jendela rumah sakit yang terbuka lebar. Embusan angin yang menyelinap menerbangkan ujung helai rambut pendeknya. Rasanya, seperti ketika ia memandang senja di padang rumput dalam mimpinya, tapi kini jauh lebih bising oleh luka. Sheila ingin mengulurkan tangannya, mencoba menyentuh semburat warna jingga itu, tapi kedua tangannya terkunci di dalam genggaman Bianca. “Shei.” Belaian lembut di punggung tangannya membuat Sheila mengerjap. Lamunan akan senja di padang rumputnya memudar perlahan. Sheila menoleh, menatap wajah cantik Bianca yang terlihat begitu lelah. Sudut bibirnya sedikit tertarik, mengukir sebuah senyum tipis yang membuat siapa pun mengalihkan pandangan. Senyum itu sarat akan luka yang tak bersua. “Aku ingat, Kak,” bisik Sheila pelan, menjawab pertanyaan Kakaknya untuk k
Malam bergerak perlahan. Atas permintaan Sheila, semua lampu di ruangan itu dipadamkan. Satu-satunya cahaya yang tersisa adalah kemilau rembulan yang perlahan naik ke puncak langit. Warnanya sejernih kristal di antara kelamnya langit malam.Dan di bawah cahaya rembulan, Sheila duduk sendiri menatap malam dari jendela rumah sakit. Ia membiarkan angin menerpa wajahnya, menikmati suara binatang malam yang terdengar samar.Anggara menutup pintu di belakang punggungnya dengan sangat perlahan. Dadanya, langsung dipenuhi sesak ketika ia melihat sosok rapuh Sheila.Apakah wajah cantiknya selalu sepucat itu?Apa tubuhnya selalu seringkih itu?Apakah pergelangan tangannya selalu sekurus itu?Pertanyaan demi pertanyaan seakan menampar Anggara di setiap langkahnya. Jarak di antara mereka perlahan terpangkas, hingga Anggara bisa berdiri begitu dekat dengan gadis itu.Lekat Anggara menatap wajah cantiknya. Mengapa baru sekarang ia tersadar, betapa ia sangat merindukan senyum indah di wajah itu?Sed
“Shei? Sheila?” Leslie menggoncang perlahan lengan sahabatnya, menghancurkan lamunan singkat Sheila.“Ya?” Sheila mengerjap, kembali menapaki kenyataan di hadapannya.“Kamu yakin nggak apa-apa?” tanya Dinda cemas sambil menoleh ke kursi belakang mobil. Hari ini, setelah seminggu Sheila diperbolehkan keluar dari rumah sakit, mereka datang ke kediaman Anggara untuk mengambil barang-barang Sheila.“Apa sih yang kamu tinggalin di sana? Baju? Perhiasan? Kamu bisa beli semua itu lagi nanti! Yang lebih bagus, yang lebih mahal! Kamu nggak perlu bawa apa pun dari rumah itu!” gerutu Leslie sebal. Ia melipat tangannya di dada sambil memalingkan wajah. Bisa-bisanya mereka mendatangi tempat yang menjadi neraka bagi Sheila. “Kamu nggak perlu bawa apa pun yang cuma bikin kamu ingat lagi soal semua ini! Kita bisa mulai semuanya dari awal lagi, Shei!”“Leslie benar, Shei. Apalagi kalau sampai
Ini masih menjadi sebuah keajaiban bagi saya.” Erudian berjalan dengan cangkir kopi di tangannya. Ia membaca berkas kondisi Sheila dengan seksama. “Sangat jarang sekali seseorang bisa sembuh dari kondisi traumatis seperti yang dialami Nona Sheila secepat ini.” Ia duduk di hadapan Indra dan Bianca di kantornya.Bianca menatap gelisah dokter itu. “Apa dokter pikir Sheila masih belum sembuh sepenuhnya?”“Luka psikologis itu berbeda dengan luka fisik, Bu Bianca. Setiap orang, memiliki reaksi dan ketahanan diri yang berbeda. Untuk menentukan itu, saya rasa dibutuhkan pemantauan lebih dalam lagi. Sejauh ini, respon Nona Sheila sangat positif. Tapi di dalam beberapa kasus, itu juga bisa menjadi suatu gejala depresi yang lain. Dibanding menghadapi apa yang terjadi, beberapa orang justru berusaha menutupinya, dan berusaha hidup seakan kejadian traumatis itu tidak pernah terjadi. Pada akhirnya, itu hanya akan menjadi bom waktu yang bisa meleda
Sehari sebelumnya.Sudah berapa lama waktu berlalu? Apakah sekarang tengah malam? Atau hari yang lain? Mengapa tidak ada bedanya? Mengapa tidak ada hal lain kecuali kegelapan di matanya?Di tengah ranjangnya yang luas, Anggara duduk dengan pandangan nyalang. Ia menenggak anggur di tangannya, lalu ketika tak menemukan tetes yang lain, ia melemparkan botol itu hingga pecah berantakan, lalu membuka botol lain, menenggaknya hingga tandas, lalu membantingnya lagi.Siklus yang sudah terjadi entah berapa lama.Kamar itu gelap, berantakan, dan hening. Anehnya, di setiap sudut ruangan itu, Anggara bisa melihat bayangan istrinya. Ketika ia berbaring di ranjang, ketika ia berjalan mengitari walk in closet, atau ketika ia berdiri menatap rembulan.Semakin lama, kenangan itu terasa semakin nyata. Setiap bayangannya mulai memudar, Anggara kembali menenggak minumannya, memaksa pikirannya untuk menghadirkan kembali sosok Sheila, meski
“Ugh. B*ngsat!” Anggara mencengkram kepalanya yang nyeri. Mabuk selalu menyisakan jejak yang mengerikan di kepalanya. “Anda baik-baik saja, Pak? Apa kita harus ke rumah sakit sebelum pulang?” tanya Davin, yang ditelepon Anggara saat terbangun pagi ini untuk menjemputnya di rumah Arianto. Anggara menggeleng sambil terus memejamkan mata di kursi penumpang. Berharap nyeri di kepalanya segera enyah. “Berapa lama saya di rumah Ari?" tanya Anggara sambil menahan sakit. “Argh! Br*ngsek!” Anggara meminum air yang disediakan Davin di dalam mobil. “Sejak kemarin malam, Pak,” jawab Davin hati-hati. “Saya minta maaf karena sudah lancang menghubungi Pak Ari. Tapi kondisi Anda kemarin sangat…” Davin tidak mampu menemukan kata yang bisa menggambarkan keadaan atasannya kemarin. Ia sendiri sudah mempersiapkan diri kalau-kalau Anggara melampiaskan seluruh amarahnya karena keputusan lancangnya. “Terima kasih.” “Ya?” Davin ternganga tak percaya. Apakah pria itu b
Apakah ini surga?Ataukah neraka?Apakah ia sudah mati?Apakah akhirnya takdir sedikit berbaik hati dengan menghadirkan sosok itu di saat-saat terakhirnya?Apakah semuanya sudah selesai sekarang?Pertanyaan-pertanyaan itu menemani Sheila melayang di udara. Apakah ini sebuah mimpi? Apakah ia berhalusinasi? Jika iya, mengapa rasanya sangat nyata? Mengapa tatapan pria itu seakan menunjukkan keputus asaan yang sama dengannya? Mengapa ia ikut melompat? Mengapa ia mendekap erat seakan melindunginya?Bukankah kematiannya akan menjadi kabar yang indah untuk pria itu?BRUK!Sebuah benturan kencang menghantam tubuh Sheila. Seketika, rasa sakit memenuhi tubuhnya, seiring suara patahan tulang dan rembesan anyir darah.Sheila terhenyak, tubuhnya terhempas di atas bebaPak halaman rumah pria itu. Dengung mengisi telinganya, membuat suara lain tak terdengar satu pun. Pandangannya seakan berputar, ia bahkan tidak yakin bagian mana dari tubuhnya yang paling merasa sakit saat ini.“NONA SHEILA!”“SHEIL
“Bolehkah saya bertemu dengan Nona Sheila?”PLAK!Seperti sebuah opera sabun dengan kisah klise, wanita miskin itu ditampar oleh orang tua kekasihnya yang kaya raya. Dihujani makian, direndahkan bagai sampah, dicaci seperti pel*cur, bahkan tertuduh sebagai dalang kematian orang yang bahkan tidak dikenalinya secara langsung.“BUAT APA KAMU DATANG KE SINI?! APA KAMU MASIH BELUM PUAS MERUSAK KELUARGA SAYA?! DASAR PEREMPUAN SAMPAH!”Namun, meski mendapat penghiaan sekeras itu, ia tetap bergeming. Teguh pada pendiriannya yang salah di mata orang lain. Dan itu membuat Patricia semakin murka.Hatinya dipenuhi amarah. Bagaimana mungkin wanita yang menjadi akar dari seluruh masalah itu muncul begitu saja di hadapannya?!“PERGI! JANGAN PERNAH DATANG LAGI KE RUMAH INI! PERGI!”“Saya datang untuk menemui Nona Sheila.”PLAK!Tamparan lain melayang tanpa peringatan. “BERANI-BERANINYA KAMU SEBUT NAMA ITU DENGAN MULUT KOTORMU! PERGI! JANGAN PERNAH BERHARAP KAMU BISA TEMUI DIA! SAYA NGGAK AKAN MEMBIAR