“Nona Sheila, bagaimana kabar Nona hari ini?”Pertanyaan itu, sama seperti jutaan pertanyaan yang lain, yang terlontar, tapi tak pernah mendapat jawaban.Bagai raga tak berjiwa. Sosok Sheila hanya bergeming menatap dinding dengan pandangan kosong. Sejak kembali siuman, tak ada sepatah kata pun yang terlontar, tak ada erang kesakitan, atau senyumnya yang ceria. Ia seakan membeku di sebuah titik yang memejarakan jiwanya.Dan setiap melihat pemandangan itu, Leslie akan memalingkan wajahnya yang basah. Melihat betapa kosongnya raga Sheila, membuat hatinya terpilin perih. Ia merindukan keceriaan sahabatnya. Ia merindukan gelak tawa Sheila. Ia bahkan merindukan tangisan gadis itu.“Bagaimana, Dok?” Dinda bertanya penuh harap.Hermawan, dokter saraf yang bertanggung jawab atas Sheila, menghela napas berat. Wajah penuh keriputnya ikut terlihat sendu. Ia sudah melakukan pemeriksaan menyeluruh atas apa yang terjadi kepada Sheila. Namun, tidak menemukan kejanggalan sedikit pun.“Secara fisik, No
“Kamu sudah lihat film ini ribuan kali, Shei, masa kamu masih nangis?!” tanya Bianca ketika menemukan adiknya menangis sesenggukan di depan laptop sambil memeluk erat bantalnya yang basah. “Tapi ini film sedih banget, Kak! Kakak harus lihat!” Bianca memutar bola matanya. Ia sudah menonton film itu sekali, dan itu sudah lebih dari cukup. Kisah berjudul Penyihir dan Pangeran itu benar-benar membuatnya frustasi, bagaimana mungkin ada seorang penyihir cantik yang begitu hebat, yang bisa menaklukkan semua pria yang diinginkannya, tapi justru terjebak dalam sebuah cinta tragis kepada seorang pangeran? “Nope. Aku nggak mau lihat penyihir bodoh itu lagi!” “Kakak!” teriak Sheila kesal. “Shei.” Bianca duduk di sisi ranjang adiknya, menunjuk sosok penyihir cantik yang tertunduk di dalam layar laptop. “Dia cantik. Dia nggak akan menua. Dia bisa memikat semua laki-laki yang dia mau di dunia ini dengan sihirnya. Tapi, dia malah jatuh cinta sama satu pangeran bodoh, yang akhirnya mati? Dan k
Deg. Hampir saja jantung Bianca berhenti berdetak saat terbangun dari lelapnya. Ia terduduk waspada ketika menyadari seseorang menyelinap masuk diam-diam ke dalam ruang perawatan Sheila. Bianca mengerjap beberapa kali sambil mengatur napas. Jantungnya masih berderak kencang, ketakutannya sama sekali tidak mereda, bahkan meski ia sudah menyadari siapa yang tengah berada di hadapannya. Tangannya masih terus meremas belati yang tersembunyi di balik saku dengan waspada. “Bi, sst… maaf, Tante ganggu tidur kamu, ya?” tanya Patricia sepelan mungkin. Dari jarak yang cukup dekat, Bianca bisa melihat betapa sembabnya mata wanita itu. Wajah cantik yang selalu dirawatnya kini terlihat jauh lebih tua. Tak ada riasan mewah seperti biasanya, tak ada senyum elegan yang selalu terukir tidak peduli apa pun yang terjadi, tak ada suara karismatik yang selalu Bianca lihat seperti sebelumnya. Bianca mulai mengendurkan cengkraman belatinya, wanita itu datang dalam balutan seorang ibu yang begitu rapuh.
Garis warna senja terlihat samar menghiasi langit. Lengkung oranyenya menjadi perhelatan tempat yang nyaman bagi jiwa yang lelah setelah berlari mengejar hari. Lama, Sheila menikmati pemandangan itu dari jendela rumah sakit yang terbuka lebar. Embusan angin yang menyelinap menerbangkan ujung helai rambut pendeknya. Rasanya, seperti ketika ia memandang senja di padang rumput dalam mimpinya, tapi kini jauh lebih bising oleh luka. Sheila ingin mengulurkan tangannya, mencoba menyentuh semburat warna jingga itu, tapi kedua tangannya terkunci di dalam genggaman Bianca. “Shei.” Belaian lembut di punggung tangannya membuat Sheila mengerjap. Lamunan akan senja di padang rumputnya memudar perlahan. Sheila menoleh, menatap wajah cantik Bianca yang terlihat begitu lelah. Sudut bibirnya sedikit tertarik, mengukir sebuah senyum tipis yang membuat siapa pun mengalihkan pandangan. Senyum itu sarat akan luka yang tak bersua. “Aku ingat, Kak,” bisik Sheila pelan, menjawab pertanyaan Kakaknya untuk k
Malam bergerak perlahan. Atas permintaan Sheila, semua lampu di ruangan itu dipadamkan. Satu-satunya cahaya yang tersisa adalah kemilau rembulan yang perlahan naik ke puncak langit. Warnanya sejernih kristal di antara kelamnya langit malam.Dan di bawah cahaya rembulan, Sheila duduk sendiri menatap malam dari jendela rumah sakit. Ia membiarkan angin menerpa wajahnya, menikmati suara binatang malam yang terdengar samar.Anggara menutup pintu di belakang punggungnya dengan sangat perlahan. Dadanya, langsung dipenuhi sesak ketika ia melihat sosok rapuh Sheila.Apakah wajah cantiknya selalu sepucat itu?Apa tubuhnya selalu seringkih itu?Apakah pergelangan tangannya selalu sekurus itu?Pertanyaan demi pertanyaan seakan menampar Anggara di setiap langkahnya. Jarak di antara mereka perlahan terpangkas, hingga Anggara bisa berdiri begitu dekat dengan gadis itu.Lekat Anggara menatap wajah cantiknya. Mengapa baru sekarang ia tersadar, betapa ia sangat merindukan senyum indah di wajah itu?Sed
“Shei? Sheila?” Leslie menggoncang perlahan lengan sahabatnya, menghancurkan lamunan singkat Sheila.“Ya?” Sheila mengerjap, kembali menapaki kenyataan di hadapannya.“Kamu yakin nggak apa-apa?” tanya Dinda cemas sambil menoleh ke kursi belakang mobil. Hari ini, setelah seminggu Sheila diperbolehkan keluar dari rumah sakit, mereka datang ke kediaman Anggara untuk mengambil barang-barang Sheila.“Apa sih yang kamu tinggalin di sana? Baju? Perhiasan? Kamu bisa beli semua itu lagi nanti! Yang lebih bagus, yang lebih mahal! Kamu nggak perlu bawa apa pun dari rumah itu!” gerutu Leslie sebal. Ia melipat tangannya di dada sambil memalingkan wajah. Bisa-bisanya mereka mendatangi tempat yang menjadi neraka bagi Sheila. “Kamu nggak perlu bawa apa pun yang cuma bikin kamu ingat lagi soal semua ini! Kita bisa mulai semuanya dari awal lagi, Shei!”“Leslie benar, Shei. Apalagi kalau sampai
Ini masih menjadi sebuah keajaiban bagi saya.” Erudian berjalan dengan cangkir kopi di tangannya. Ia membaca berkas kondisi Sheila dengan seksama. “Sangat jarang sekali seseorang bisa sembuh dari kondisi traumatis seperti yang dialami Nona Sheila secepat ini.” Ia duduk di hadapan Indra dan Bianca di kantornya.Bianca menatap gelisah dokter itu. “Apa dokter pikir Sheila masih belum sembuh sepenuhnya?”“Luka psikologis itu berbeda dengan luka fisik, Bu Bianca. Setiap orang, memiliki reaksi dan ketahanan diri yang berbeda. Untuk menentukan itu, saya rasa dibutuhkan pemantauan lebih dalam lagi. Sejauh ini, respon Nona Sheila sangat positif. Tapi di dalam beberapa kasus, itu juga bisa menjadi suatu gejala depresi yang lain. Dibanding menghadapi apa yang terjadi, beberapa orang justru berusaha menutupinya, dan berusaha hidup seakan kejadian traumatis itu tidak pernah terjadi. Pada akhirnya, itu hanya akan menjadi bom waktu yang bisa meleda
Sehari sebelumnya.Sudah berapa lama waktu berlalu? Apakah sekarang tengah malam? Atau hari yang lain? Mengapa tidak ada bedanya? Mengapa tidak ada hal lain kecuali kegelapan di matanya?Di tengah ranjangnya yang luas, Anggara duduk dengan pandangan nyalang. Ia menenggak anggur di tangannya, lalu ketika tak menemukan tetes yang lain, ia melemparkan botol itu hingga pecah berantakan, lalu membuka botol lain, menenggaknya hingga tandas, lalu membantingnya lagi.Siklus yang sudah terjadi entah berapa lama.Kamar itu gelap, berantakan, dan hening. Anehnya, di setiap sudut ruangan itu, Anggara bisa melihat bayangan istrinya. Ketika ia berbaring di ranjang, ketika ia berjalan mengitari walk in closet, atau ketika ia berdiri menatap rembulan.Semakin lama, kenangan itu terasa semakin nyata. Setiap bayangannya mulai memudar, Anggara kembali menenggak minumannya, memaksa pikirannya untuk menghadirkan kembali sosok Sheila, meski
“Apa harus sampai begitu?” tanya Sheila sebal kepada pria yang dengan santai berjalan di sampingnya.“Apa?” tanya pria itu tak acuh.Sheila bersidekap kesal, bahkan sampai saat ini sikapnya tidak pernah berubah. “Kalau begini, Anda bisa ke kamar sendiri. Saya mau tetap di sini,” ancam Sheila sungguh-sungguh, dan seketika wajah pria itu berubah tidak suka.Ia menghentikan langkahnya, menoleh sambil berkacak pinggang. Namun, Sheila sama sekali tidak berniat mundur. Ia bersidekap, wajahnya terangkat tinggi penuh ancaman.“Shei....”“Saya nggak sendiri di sini. Ada Amara dan teman-temannya, bahkan keluarga kita di hotel ini. Dan… semua pengawal Anda ada di sini.” Sheila melirik beberapa pria berpakaian hitam yang berdiri bagai patung di koridor hotel. Dan ia yakin bukan hanya di sini, tapi di setiap sudut hotel, pria itu sudah menempatkan orang-orangnya. Rasanya sekarang lebih tepat dikatakan sebagai ajang pertemuan mafia dibanding malam sebelum pernikahan kedua mempelai.Pria itu menarik
“Oh my God! Selamat, Amara!”Plop.Seseorang baru saja menembakkan confetti popper ke udara. Serpih warna warni potongan kertasnya menghujani sang calon pengantin dengan dramatis. Di dalam kamar hotel yang sudah dihias sedemikian rupa dengan taburan mawar dan balon berwarna merah muda, gema tawa gadis-gadis terdengar begitu renyah.“YEAAAYYYYYYY, FINALLY, AMARA!!!” Seorang gadis berambut pirang sebahu memasangkan sebuah tiara ke kepala gadis cantik itu. “Selamaat! Akhirnya kamu bisa meluluhkan dinding es Simmons.”“Dia bukan dinding es lagi, Cik, tapi dinding batu! Hahahaha.”“Iya, hahahaha!”Amara, yang hari itu menjadi pemeran utama, hanya mampu tersenyum bangga sambil mengangkat gelas sampanyenya.“Kalau aku jadi kamu, aku sih sudah mundur dari dulu. Males banget deh lihat muka datarnya Simmons!” komentar salah satu sahabat Amara yang lain, yang juga memiliki rambut sebahu tapi berwarna biru.“Heh, Simmons itu sadar diri, dia paham betul siapa Amara ini!” gadis lain yang menggunaka
Halo, semuanya…. Saya Zia. ^^ Terima kasih karena sudah membaca kisah ini sampai akhir. Huhuhuhuhuhuhuhu. Terharu, karena akhirnya saya bisa menamatkan cerita ini. T___T Dan kalau kalian tanya kenapa cerita ini lama sekali sampai bab tamat, karena sejujurnya… saya masih mencari celah untuk memperbaiki hubungan Sheila dan Anggara! Setiap bab di kisah mereka, saya tulis sambil berderai air mata. (Lebay banget ya, hahahhaha). Tapi memang begitulah. Saya mau menggambarkan betapa besarnya cinta mereka, tapi di saat yang sama, mereka juga putus asa, kecewa dengan apa yang terjadi, dan menemui jalan buntu. Sejujurnya, saya pribadi nggak setuju dengan akhir dari cerita ini. Tapi saat menulis kadang saya nggak bisa mengontrol karakter itu sepenuhnya. Walaupun saya sudah membuat plot dari awal, tapi kadang karakter tsb berkembang menjadi sosok yang tidak direncanakan, pun dengan pilihan yang diambil karakter tsb. (Ini mungkin kedengaran aneh, tapi mereka benar-benar hidup di dalam benak s
10 tahun kemudian. “Jadi? Akhirnya pangeran itu m*ti, Tante?” tanya seorang gadis 11 tahun. Suara deburan ombak mengalun merdu bersama hembusan angin beraroma garam. Mendung di luar sana mengubur cahaya rembulan dan bintang sepenuhnya. Kini yang terlihat hanyalah hamparan gelap dan suara ombak yang saling bersahut-sahutan. “Tante?” Salah satu gadis mungil mengguncangkan tangan wanita yang tengah melamun itu, memintanya melanjutkan akhir dari kisah yang dibacakannya. Mata indahnya mengedip lucu penuh penantian. “Ah, ya?” Akhirnya, wanita itu kembali. “Jadi gimana akhirnya? Pangeran itu benar-benar m*ti?” desak gadis yang 3 tahun lebih tua dari adiknya. Wanita itu menghela napas panjang, lalu menatap lembar buku di pangkuannya. “Ya, dan… nggak,” jawab wanita itu lembut. “Lho, gimana deh? Aku nggak ngerti!” “Aku juga!” “Sudah, sekarang kalian harus tidur.” “Ahhh! Selesain dulu ceritanya, Tante!” “Hm…” Wanita itu tersenyum tipis. Ia mengecup kening kedua keponakannya, lalu memp
Sheila?Seluruh indra Anggara tersentak sadar ketika ia mendengar suara Sheila. Rasanya seperti baru saja ditarik keluar dari dalamnya lautan. Ia tergagap mencari udara dalam kepanikan, tapi semua ketakutan itu enyah seketika saat mendengar suara yang paling dirindukannya.Dia hidup, dia baik-baik saja, batin Anggara. Kelegaan melebur di dalam jiwanya.Anggara ingin segera membuka mata, ia ingin memastikan keadaan Sheila dengan kedua matanya sendiri. Ia ingin melihat binar mata indah itu, ia ingin menggenggam jemarinya, ia ingin meneriaki seluruh ketakutannya saat ia pikir akan kehilangan gadis itu selamanya.Ia ingin meminta maaf karena sudah menyakitinya sedemikian dalam. Ia ingin mengatakan betapa ia sangat mencintai gadis itu, lebih… lebih dari pada yang pernah ia bayangkan.“Dia datang.”Namun, nada dingin di suara Sheila membekukan seluruh indranya kembali. Kebahagiaan yang sebelumnya merekah hangat, kini meredup sedikit demi sedikit.“Haruskah saya membiarkan dia masuk? Anda mu
“Bolehkah saya bertemu dengan Nona Sheila?”PLAK!Seperti sebuah opera sabun dengan kisah klise, wanita miskin itu ditampar oleh orang tua kekasihnya yang kaya raya. Dihujani makian, direndahkan bagai sampah, dicaci seperti pel*cur, bahkan tertuduh sebagai dalang kematian orang yang bahkan tidak dikenalinya secara langsung.“BUAT APA KAMU DATANG KE SINI?! APA KAMU MASIH BELUM PUAS MERUSAK KELUARGA SAYA?! DASAR PEREMPUAN SAMPAH!”Namun, meski mendapat penghiaan sekeras itu, ia tetap bergeming. Teguh pada pendiriannya yang salah di mata orang lain. Dan itu membuat Patricia semakin murka.Hatinya dipenuhi amarah. Bagaimana mungkin wanita yang menjadi akar dari seluruh masalah itu muncul begitu saja di hadapannya?!“PERGI! JANGAN PERNAH DATANG LAGI KE RUMAH INI! PERGI!”“Saya datang untuk menemui Nona Sheila.”PLAK!Tamparan lain melayang tanpa peringatan. “BERANI-BERANINYA KAMU SEBUT NAMA ITU DENGAN MULUT KOTORMU! PERGI! JANGAN PERNAH BERHARAP KAMU BISA TEMUI DIA! SAYA NGGAK AKAN MEMBIAR
Apakah ini surga?Ataukah neraka?Apakah ia sudah mati?Apakah akhirnya takdir sedikit berbaik hati dengan menghadirkan sosok itu di saat-saat terakhirnya?Apakah semuanya sudah selesai sekarang?Pertanyaan-pertanyaan itu menemani Sheila melayang di udara. Apakah ini sebuah mimpi? Apakah ia berhalusinasi? Jika iya, mengapa rasanya sangat nyata? Mengapa tatapan pria itu seakan menunjukkan keputus asaan yang sama dengannya? Mengapa ia ikut melompat? Mengapa ia mendekap erat seakan melindunginya?Bukankah kematiannya akan menjadi kabar yang indah untuk pria itu?BRUK!Sebuah benturan kencang menghantam tubuh Sheila. Seketika, rasa sakit memenuhi tubuhnya, seiring suara patahan tulang dan rembesan anyir darah.Sheila terhenyak, tubuhnya terhempas di atas bebaPak halaman rumah pria itu. Dengung mengisi telinganya, membuat suara lain tak terdengar satu pun. Pandangannya seakan berputar, ia bahkan tidak yakin bagian mana dari tubuhnya yang paling merasa sakit saat ini.“NONA SHEILA!”“SHEIL
“Ugh. B*ngsat!” Anggara mencengkram kepalanya yang nyeri. Mabuk selalu menyisakan jejak yang mengerikan di kepalanya. “Anda baik-baik saja, Pak? Apa kita harus ke rumah sakit sebelum pulang?” tanya Davin, yang ditelepon Anggara saat terbangun pagi ini untuk menjemputnya di rumah Arianto. Anggara menggeleng sambil terus memejamkan mata di kursi penumpang. Berharap nyeri di kepalanya segera enyah. “Berapa lama saya di rumah Ari?" tanya Anggara sambil menahan sakit. “Argh! Br*ngsek!” Anggara meminum air yang disediakan Davin di dalam mobil. “Sejak kemarin malam, Pak,” jawab Davin hati-hati. “Saya minta maaf karena sudah lancang menghubungi Pak Ari. Tapi kondisi Anda kemarin sangat…” Davin tidak mampu menemukan kata yang bisa menggambarkan keadaan atasannya kemarin. Ia sendiri sudah mempersiapkan diri kalau-kalau Anggara melampiaskan seluruh amarahnya karena keputusan lancangnya. “Terima kasih.” “Ya?” Davin ternganga tak percaya. Apakah pria itu b
Sehari sebelumnya.Sudah berapa lama waktu berlalu? Apakah sekarang tengah malam? Atau hari yang lain? Mengapa tidak ada bedanya? Mengapa tidak ada hal lain kecuali kegelapan di matanya?Di tengah ranjangnya yang luas, Anggara duduk dengan pandangan nyalang. Ia menenggak anggur di tangannya, lalu ketika tak menemukan tetes yang lain, ia melemparkan botol itu hingga pecah berantakan, lalu membuka botol lain, menenggaknya hingga tandas, lalu membantingnya lagi.Siklus yang sudah terjadi entah berapa lama.Kamar itu gelap, berantakan, dan hening. Anehnya, di setiap sudut ruangan itu, Anggara bisa melihat bayangan istrinya. Ketika ia berbaring di ranjang, ketika ia berjalan mengitari walk in closet, atau ketika ia berdiri menatap rembulan.Semakin lama, kenangan itu terasa semakin nyata. Setiap bayangannya mulai memudar, Anggara kembali menenggak minumannya, memaksa pikirannya untuk menghadirkan kembali sosok Sheila, meski