Ini gila.Setelah membuka semua amplop itu, rasanya aku seperti menemukan sosok Kak Indra yang lain. Kusandarkan punggungku ke sisi meja, duduk bersimpuh di lantai, di antara foto-foto yang terserak.Amarah yang tadinya menumpuk, kini mulai mencair menjadi lelehan air mata.Mengapa? Mengapa harus Kak Indra? Mengapa ia harus mengkhianati Kakak?Setelah semua yang terjadi, setelah semua yang kami lewati bersama, mengapa Kak Indra berubah?Aku tau. Kak Indra mengkhianati Kakak, bukan diriku, tapi ternyata sakitnya jauh lebih dalam. Seperti ketika aku menemukan kenyataan bahwa ibuku berselingkuh dengan kakak iparnya sendiri. Kau akan marah, bukan hanya kepada mereka, tapi juga kepada dirimu sendiri, karena kau tau, kau bahkan tidak bisa melakukan apa pun untuk memperbaiki hal yang salah.Apa semua orang akan seperti itu? Apa pria tidak pernah cukup dengan satu wanita? Apakah ia baru bisa merasa puas setelah memiliki lusinan selir di sisinya?‘Karma itu nyata.’Aku meremas kertas itu, menc
“Shei, apa kita harus sampai begini?” tanya Leslie panik. “Aku nggak minta kamu buat ikut,” kataku, dingin. Leslie menghela napas putus asa di kursi belakang. “Alamatnya di sini.” Dinda, yang langsung datang di hari yang sama setelah aku meneleponnya, berbicara sambil menatap peta di ponsel. Ternyata tidak terlalu sulit mencari tau sosok wanita itu. Aku hanya perlu menyerahkan fotonya ketika bersama sang anak kepada pria yang mengaku sebagai detektif swasta, berserta sejumlah uang yang tak seberapa, lalu secara ajaib kami mendapatkan alamatnya. Aku sudah mempersiapkan segala yang mungkin kubutuhkan. Jika sebuah ancaman saja takkan membuatnya mundur, aku bahkan siap melakukan apa pun untuk Kakak dan putrinya. Aku akan membuat dunia yang aman untuk mereka, meski itu artinya merelakan kebebasanku sendiri. Dinda menunjuk sebuah gang yang ada di hadapan kami. “Masuk ke sini,” katanya. Leslie terlihat semakin gelisah, tapi aku tidak peduli. Aku sudah siap menghadapi apa pun yang akan
“Pak Indra, kami sudah pulang.”“Apa? Kalian?”“Ya, tadi tiba-tiba Sheila pusing. Kayaknya karena panic attact.”“Lalu kondisi Sheila sekarang?”“Sudah lebih baik. Aku dan Dinda diperjalanan antar Sheila ke rumah.”“Astaga. Syukurlah. Tolong pantau dia, Les. Saya akan ke sana secepat yang saya bisa.”“Mm… mungkin lebih baik nanti aja, Pak. Sheila baru aja tenang. Kami juga akan temani Sheila di sini.”“Oke. Kabari saya kalau ada apa pun, Les. Terima kasih karena sudah jaga Sheila.”“Iya, Pak.”“Tapi, Leslie, apa kalian sempat temui Miranda?”Leslie melirik ke arahku, meminta jawaban, saat yang bisa kulakukan hanya mematung tak bergerak.“Nggak.” Akhirnya, Leslie kembali berbicara. “Kami nggak sempat ketemu perempuan itu.”“Syukurlah. Terima kasih, Leslie.”Setelah menganggukkan kepala, Leslie menutup sambungan telepon itu.Di dalam mobil, keheningan kembali tercipta. Aku sudah meminta Dinda memundurkan mobil sejauh mungkin, hingga kami bisa melihat apa yang terjadi, tanpa dicurigai.T
Tok tok.Ketukan itu memecah lapisan beku di antara kami. Kak Indra masih menatapku, meminta sebuah jawaban, ketika yang kulakukan adalah berjalan ke pintu, membiarkan Leslie dan Dinda masuk, dan mengintrupsi perbincangan yang tak ingin kulanjutkan.“Shei! Akhirnya kamu masuk kant— what the f*ck!” Suara Leslie membeku dalam keterkejutan.Kopi yang dibawa Dinda bahkan jatuh begitu saja, membuat genangan hitam di bawah kakinya. Seketika ruangan Kakak dipenuhi nyengat aroma kopi.“Astaga! Ka… kamu… sudah gila?” Leslie terbata. Manik matanya bergetar menatap wajahku.Tangan Dinda terulur dramatis, menyentuh ujung rambutku yang terpotong.“Model baru, cocok kan? Aku sudah lama mau potong model bob begini.”Bukannya menjawab, Leslie justru menutup mulutnya, lalu tetesan air mata mulai jatuh tanpa tertahan. Bahkan Dinda ikut menatap sedih.Demi Tuhan, ini hanya sebuah potongan rambut. Apakah mereka harus sedramatis itu? Aku masih hidup, bernapas dengan baik, apakah di mata mereka aku tak lag
‘Jika kau berada di sebuah kapal yang akan tenggelam, dan hanya bisa menyelamatkan satu orang di antara ibu atau kekasihmu, siapa yang akan kau selamatkan terlebih dulu?’Kau pernah mendengar pertanyaan itu?Atau kau pernah melontarkan pertanyaan itu?Bagiku, itu adalah pertanyaan yang paling menyeramkan. Takkan kulontarkan pertanyaan itu kepada siapa pun, dengan aku menjadi salah satu pilihannya. Karena selama ini aku selalu menjadi sosok yang dibiarkan mati tenggelam.Bahkan meski hanya dalam sebuah pengandaian yang belum tentu terjadi.“Ini?” Leslie ikut menghentikan langkahnya saat aku berhenti.“Ini mobilnya?” Dinda melanjutkan pertanyaan Leslie.Lekat kutatap mobil di hadapanku. Beberapa kali aku duduk sebagai penumpang di dalam mobil itu. Beberapa kali juga aku merasa betapa amannya berada di sampingnya, hingga kupikir, akhirnya nasib buruk itu berhenti datang. Akhirnya aku menemukan
PLAK!Kedua mataku terbelalak lebar. Suara tamparan itu menyentak tubuhku. Refleks, tanganku menyentuh pipi, tapi tidak ada sengatan rasa sakit di sana.Aku berdiri, menatap bingung tempat familiar yang juga terasa asing itu.Di mana aku sekarang?PLAK!Suara tamparan kedua membuatku menoleh.“Dasar perempuan nggak berguna! Harusnya kamu m*ti!”Betapa terkejutnya aku saat melihat sosok Dandy. Di hadapannya, Kakak tampak berlutut tengadah saat Dandy menarik rambutnya dengan keras. “Kamu harusnya m*ti, Bianca!”“Lepas, Mas!” Kakak berusaha keras melepaskan tangan Dandy yang mencengkram rambutnya. Namun, semakin kencang usaha Kakak, semakin keras cengkraman Dandy. Ia mengangkat kembali tangannya, lalu melayangkan sebuah tamparan keras yang lain. Hingga aku bisa melihat tubuh Kakak terpelanting dengan noda darah di sudut bibirnya.‘Kakak!’ teriakku, tapi
Setelah memastikan wajahku tak menyisakan jejak air mata atau kesedihan yang tercipta dari mimpi buruk itu, aku turun ke ruang makan. Tempat ia menungguku.Sengatan air dingin yang mengguyurku saat mandi, membuat pikiranku sedikit lebih jernih. Kuharap, itu membuatku siap menemuinya. Rumah dua lantai yang kami tempati semenjak menikah terasa sangat lenggang. Semua seakan terdiam melihat kedatanganku. Bahkan para pelayan hanya bergerak ketika diperintahkan, seperti tubuh tak berjiwa.Mereka menunduk saat aku tiba di ruang makan. Samar aku bisa melihat rona merah di salah satu pipi Aria. Apakah itu hukuman darinya karena lalai mengabari keberadaanku pagi tadi?Aku menarik napas panjang sebelum kembali melanjutkan langkah.Pria itu sudah duduk di depan meja makan, dengan sajian makanan mewah seperti biasa. Dua hari yang lalu, aku bahkan tidak sanggup memakan apa pun. Ketidak beradaannya membuat seluruh nafsu makanku lenyap.Siapa sangka
“Nona Sheila, sudah waktunya.” Suara Aria muncul dari balik pintu yang terkunci. “Acaranya akan dimulai jam 8 malam.”Aku tetap bergeming tanpa jawaban. Kutatap pantulan wajahku yang terrias sempurna di cermin. Ia seperti seorang putri yang siap menghadapi dunia dengan kecantikannya. Ia seperti gadis belia yang mampu mengalihkan pandangan semua orang karena keanggunannya.Namun, bagiku, sosok itu hanyalah sebuah cangkang tak bernyawa. Perasaan hampa membuat waktu di sekelilingku terasa melambat.“Nona Sheila.”Saat suara Aria kembali terdengar, kulirik ponsel yang masih gelap di atas nakas. Tidak ada tanda-tanda ia akan membalas pesan yang kukirimkan ke ponselnya. Tidak ada telepon, atau kabar apa pun, seperti biasa.Malam ini, aku harus menghadiri sebuah undangan peresmian hotel sebagai Nyonya Anggara Miles. Pemilik hotel itu adalah rekan bisnis Miles Group. Tentu saja nama kami tertera sebagai tamu VIP seperti seluruh keluarga Miles yang lainnya. Aku bisa membayangkan berapa banyak