Home / Romansa / Pelabuhan terakhirku / Sedingin Embun Pagi

Share

Pelabuhan terakhirku
Pelabuhan terakhirku
Author: Tanty Longa

Sedingin Embun Pagi

Author: Tanty Longa
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Burung kecil terbang rendah di atas deru ombak yang memecah bibir pantai. Angin bertiup pelan, namun berhasil menerbangkan helaian rambut panjang milik Binar. Matahari sore ini begitu indah. Sekelompok anak kecil berlarian di tepi pantai. Ada yang bermain air, dan juga ada yang membangun istana pasir. Binar memperhatikan mereka satu per satu. Sebahagia itu dia dulu. Ayah Binar seorang nelayan yang sukses sedangkan ibunya seorang dokter. Keluarga mereka cukup berada. Keluarga mereka menjadi panutan bagi penduduk pesisir. 

Kini kehidupan Binar sangat jauh dari anggapan orang-orang. Banyak orang berpikir kalau Binar mempunyai kehidupan yang sempurna. Kuliah di kampus ternama, dan juga terlahir dari keluarga yang kaya raya. Nyatanya itu berbanding terbalik baginya. Ayahnya sibuk melaut walaupun kini ia menjadi pemilik perahu, sampan dan media penangkap ikan lainnya yang disewakan kepada para nelayan. Begitu pula ibunya, yang jarang kumpul dengan keluarga karena tugasnya. Dalam sebulan kadang mereka menghabiskan waktu hanya semalam untuk kumpul bersama. Mereka hampir tidak pernah hanya sekedar untuk makan bersama. 

Binar merasa terabaikan.   Sejak kecil ia jarang diperhatikan oleh kedua orang tuanya. Kesehariannya ia habiskan untuk bermain di pantai, walau kadang ia sendirian di sana. Hal itu membuatnya terbiasa sendiri hingga kini menginjak kuliah semester empat ia tidak punya teman dekat. Ia jauh dari teman kecilnya. Orang  tuanya mendaftarkan dia di sekolah mahal dan sangat bermutu hal itu membuat ia merasa berada diantara kawanan orang asing.

 Pantai ini mengingatkan ia akan pantai di kampung halamannya. 

 “ Neng sendirian aja,” goda seorang nelayan yang usianya sudah renta.

“ heheheh kakek,” balas Binar yang terkejut dengan kehadiran sang kakek. 

“ Tidak baik loh sendirian di sini.”  

“ Emangnya ada apa kek?” tanya Binar penasaran.

“ Nanti di makan ikan Buntal” goda kakek sembari mengurus jalanya. 

“ Masa iya ikan buntal bisa makan orang,” balas Binar terkekeh. 

“Emang situ orang?” tanya kakek. 

Ia berhenti merapikan jala. Binar mengernyit keheranan. 

“ iya orang, saya kan manusia,” balas Binar pasti.

“ yah kakek kira situ robot. Soalnya kalau manusia jarang ada yang nongol di tempat seindah ini sendirian.” Balas kakek menyindir. 

“Wah parah kakek nih,” balas Binar sambil menggeleng-geleng kepala. 

Mereka tertawa kecil setelah beberapa saat terdiam. 

Dari kejauhan seorang yang sedang mendorong perahu melambaikan tangan. Sepertinya ia memanggil kakek untuk segera berangkat melaut. 

“Kakek pergi dulu. Doakan kakek yah,” ucap kakek sembari menarik jalanya. 

“pasti kek.” Balas Binar sambil tangannya mengacung hormat. 

“ Bagus. Entar ambil aja ikan di rumah sudah nenek siapkan,” ucap kakek. Ia berlalu meninggalkan Binar. 

Begitulah mereka. Binar selalu diberi ikan setiap kali ia datang ke pantai. Binar sudah kenal kakek dan keluarganya sejak pertama kali ia tinggal di rumah di kota yang dibeli oleh ibunya. Ia selalu bertemu kakek setiap senja saat menikmati sunset, dan angin sore yang mendekapnya lembut.  Ia tidak pernah bosan dengan pemandangan senja di pantai ini. Hampir setiap senja jika ada waktu luang ia selalu mengunjungi pantai. Bersantai di sudut dermaga, sambil menyaksikan pemandangan seisi pantai. Kadang ia mengerjakan tugas kuliahnya di sini. Tak peduli banyak anak kecil yang menjailinya. Meskipun orang tuanya memberikan uang bulanan yang banyak, ia tidak boros, karena ia bukan cewek yang suka belanja. Apalagi soal makanan, ia tidak pusing dengan hidangannya. Ia selalu makan ikan pemberian kakek. Untuk membalas kakek, ia selalu memberinya vitamin dan makanan mewah yang sengaja ia pesan di rumah makan mewah.

Matahari telah tenggelam. Selepas mengambil ikan di rumah kakek ia pulang ke kosnya. Mobilnya melaju di jalanan menembus dinginnya angin malam. Ketika sudah sampai di depan rumahnya ia teringat akan sesuatu. “ Ah aku lupa membeli kertas. Tugasnya kan akan dikumpul besok.” Gumam Binar dalam hati. Tangannya refleks menepuk jidat. 

Persediaan kertasnya sudah menipis. Ia memiliki alat printer, jadi tak perlu repot untuk pergi print tugas di tempat foto copy-an. 

Binar memutar balik mobilnya dan segera menuju ke toko buku. Sesampainya di sana, ia membeli kertas beberapa rim, dan juga sebuah novel. Ketika berjalan pulang ia bertabrakan dengan seorang pria di pintu. Ia menunduk minta maaf kepada pria itu. Pria itu terlihat slow respon walaupun beberapa buku yang ia bawa terjatuh. Binar yang sedang terburu-buru tidak sempat membantu pria itu memungut bukunya. Ia berlari kecil ke tempat parkir mobilnya. Ketika hendak meraih pintu mobil seseorang berlari hingga menabraknya. Orang itu menabrak lengan kanan Binar. Binar meringis kesakitan. “Aww sakit....” 

“maaf-maaf..” kata pria itu sambil meraih tangan Binar yang mengadu kesakitan. Binar menolak di sentuh orang asing itu. 

“ Eh maaf lagi. Enggak sengaja,” ujar pria itu.

“Sudah enggak apa-apa,” balas Binar ketus.

Binar masuk ke mobil meninggalkan pria itu yang tiba-tiba menjadi tukang parkir.

“Mundur lagi.... Kiri..” teriak pria itu memberi aba-aba kepada Binar ketika membelok mobilnya keluar dari parkiran. Binar tersenyum, merasa lucu dengan tingkah orang itu. Ia pun pulang dan mengerjakan tugasnya di rumah.

Ombak menghantar perahu yang ditumpangi Azerus kembali ke pantai. Wajahnya berseri-seri. Mereka berhasil menangkap ikan yang banyak. Mentari masih diselimuti awan. Cahaya bulan perlahan mulai menghilang. Azerus dan nelayan lainnya mulai bergegas mengeluarkan ikan yang terperangkap di jala mereka. Raut bahagia terpancar dari wajah mereka. Lentera yang mereka bawa sinarnya sudah mulai redup. Azerus teringat sesuatu. 

Ia meraih ponselnya yang ia tinggalkan di pondok yang letaknya di tepi pantai. Mereka biasa meninggalkan barang mereka di sana. 

Azerus mulai menggeser-geser layar ponselnya. 

“Halo papa,” ucap Binar dari seberang sana.

“Halo sayang. Jam segini udah bangun aja. Anak papa memang rajin dan pintar.” Ujar Azerus membalas putrinya. 

“Tumben papa nelpon jam segini?” tanya Binar keheranan.

“Emang enggak boleh yah.”

“ Bukan gitu,  cuman kan selama ini papa enggak pernah ngabarin  Binar.”

Azerus tampak gelagapan. “ Ah enggak kok sayang, papa cukup sibuk selama ini. Kamu sendiri juga tahu kan bagaimana sinyal di sini,” balas Azerus.

“oh gitu ya.” Ujar Binar dari seberang sana. Intonasinya terdengar ragu dengan jawaban ayahnya.

Azerus terlihat gugup seperti menyembunyikan sesuatu. 

“oh ya pa, ada apa tiba-tiba nelpon?” tanya Binar beberapa detik kemudian.

“ oh iya papa hampir lupa. Padahal belum tua, tapi sudah pikun,”

Binar tertawa kecil mendengar gurauan ayahnya.

“ Gini sayang, papa habis menangkap ikan kesukaan kamu. Masih hidup,” ujar Azerus semangat.

“Serius pa?”

“Iya sayang, masa bercanda”

“ yah sudah besok aku pulang, buat ngambil  ikannya,” ucap Binar kegirangan. 

“Oke papa tunggu.”

Azerus mengakhiri sambungan telepon. Ia kembali sibuk mengurus ikan hasil tangkapannya. Stoples tempat ikan yang akan ia berikan kepada putrinya ia pindahkan ke tempat yang aman.   

“Kamu enggak kasihan sama putrimu?“ tanya seorang temannya yang ikut melaut bersamanya.

Azerus terdiam. Ia menghela nafas yang terlihat sangat berat. Matanya menatap kosong jala di genggamannya. Mereka semua ikut terdiam. Suasana kembali hening, hanya terdengar suara deburan ombak. Mereka sibuk mengeluarkan ikan yang masuk kedalam perangkap. Mentari menapakkan jejak di ufuk timur. Parau suara kicauan burung mulai memenuhi pantai. Pantai sudah ramai dengan kedatangan pembeli ikan. 

Hari ini Binar ada jadwal kuliah sore. Ini sangat baik baginya. Pagi-pagi sekali ia menancap di jalanan. Tujuannya adalah toko akuarium. Semangatnya pulih ketika mendapat kabar dari ayahnya bahwa mereka berhasil menangkap ikan hias. Binar sangat menyukai ikan dan semua jenis makhluk pantai. Setelah membeli akuarium ia langsung pulang ke tempat ayahnya. Jalanan cukup ramai, untungnya tidak ada antrean karena macet. Setelah kurang lebih tiga jam menyusuri jalanan akhirnya Binar tiba di kampung halamannya. 

Binar berpapasan dengan ayahnya di pintu gerbang rumah mereka. Azerus mengendarai sepeda motor. Tangan kirinya membawa stoples ikan yang masih hidup itu. Ia menggantungnya di setang motor. Seorang wanita tua muncul di balik gerbang. Dengan gesit ia membukakan pagar besi setinggi tiga meter itu. Ia  menunduk memberi hormat. Azerus melemparkan senyum khasnya kepada putrinya. Binar membalasnya dengan membunyikan klakson mobilnya. Mereka pun masuk ke halaman rumah. Pembantu itu bergegas meraih ikan yang menggantung di setang motor.  Ia menunggu Binar keluar dari mobil. Ia tidak tahu kalau yang di dalam mobil itu adalah tuannya.  Binar keluar dari mobilnya. Ia menyapa ayahnya dengan memberikan sebuah pelukan penuh rindu kepada ayahnya. Azerus membelai rambut panjang putrinya. Bibi Imba yang mengetahui bahwa itu adalah tuannya, langsung bergegas mendekati ayah dan anak itu. 

“ Wah Non, makin cantik aja,” ujar Bi Imba sambil tersenyum riang. 

“Ah Bibi bisa aja,” jawab Binar menyikut lengan Bi Imba.

“Serius atuh Non, Cuman Non udah kurusan.” Ucap Bi Imba mengomentari.

“Masa sih Bi?” ujar Binar tidak percaya.

“Ah sudah kapan habisnya perdebatan ini?” Azerus menengahi mereka.

Mereka tertawa dengan hal konyol yang barusan mereka alami. 

“Yah sudah tunggu siapa lagi, ayo masuk.” Seru Azerus membukakan pintu. 

Mereka melangkah masuk. Binar mendatangi dan memperhatikan setiap titik ruangan yang ada di rumah itu. Semuanya tidak ada yang berubah. Foto keluarga yang masih dipajang di tempat yang sama, yang berbeda hanyalah penambahan sebuah lukisan di samping kanan bawah foto keluarga. Itu adalah lukisan pantai saat senja, di sana ada sebuah perahu kecil yang ditumpangi sepasang suami istri dan seorang putri kecilnya. Itu adalah lukisan Binar ketika ia  masih berusia sepuluh tahun. Sosok yang ada di dalam lukisan itu adalah keluarga kecilnya. Ia berimajinasi bahwa mereka bertiga sedang mengarungi lautan saat senja. Binar menatap lekat lukisan itu.

“Eh maaf Non, kalau Bibi lancang. Masa lukisan sebagus itu dibiarkan menjamur disudut kamar Non,” ujar Bi Imba yang mengagetkan Binar.

“Enggak apa-apa kok Bi”

“Emang kenapa Non selama ini enggak mau pajang lukisan ini” tanya Bi Imba penasaran.

“ Itu Cuma ekspetasi aku doang Bi” balas Binar memelas.

“ ekpetasi?”   ujar Bi Imba bingung. “Apaan tuh Non?”

“ haaallaahh Bibi nyebut aja  keliru, gimana mau tahu maksudnya,” Binar tertawa melihat tingkah pembantunya. Bi Imba menyengir tidak jelas 

“Enggak sesuai aja Bi” balas Binar memelas. 

Wajah cerianya langsung berubah drastis. Bi Imba turut bersedih ia seakan tahu isi hati tuannya itu. 

“Non, sebenarnya Bibi mau cerita sesuatu, tapi janji yah jangan marah dulu,” ucap Bi Imba ragu.

“ Apa Bi?” tanya Binar penasaran.

“ janji dulu!”

“iya iya” Binar penasaran.

“ Bapak sebulan ini tidak pernah pulang,”

“kalau mama?” tanya Binar memotong pembicaraan.

“ Kalau ibu biasanya pulang seminggu sekali” Bi Imba menjawab.

“ Bibi bilang papa udah hampir sebulan melaut dan sekarang baru pulang?” tanya Binar memastikan.

“Ita Non. Bahkan selama ini Bapak pulang hanya sehari di rumah terus pergi lagi, bulan depannya lagi baru pulang.” Jawab Bi Imba panjang lebar.

Binar menggigit bibir. Ia sedang berusaha mencerna ucapan pembantunya. Seribu tanya terlintas di benaknya. Ia tahu kalau ibunya yang jarang pulang itu wajar, tapi kok kini ayahnya. Ia sungguh tak habis pikir. 

“Mungkin papa ke tempat ibu kali,” Binar mencoba meyakinkan.

“ Enggak Non, Bibi yang lihat sendiri.”

Binar menggeleng tidak percaya. “Sudah berapa lama Bi?” Binar bertanya dengan sangat penasaran. 

“ sejak Non masuk SMP” Bi Imba akhirnya memberi jawaban setelah ia mencoba mengingat. 

“ Dulu kan papa biasanya Cuma pergi tiga sampai empat hari kan Bi?” Kali ini Binar serius bertanya.

Ruangan itu sejenak lenggang. Mereka terdiam. Keduanya tampak tegang. Terlebih Binar, ia terlihat bingung. 

“Ini tidak masuk akal Bi” lanjut Binar beberapa saat kemudian.

Bi Imba menggeleng pasrah.

“ mama tau itu semua?” tanya Binar penasaran. 

“Enggak Non.” Jawab Bi Imba sambil menggeleng. 

“Mama pernah ketemu papa selama saya tidak ada di rumah?” tanya Binar semakin penasaran.  

“Iya Non tetapi jarang. Hanya dua bulan sekali. Itu pun mereka tinggal di rumah hanya beberapa hari.” Jawab Bi Imba.

“Berapa hari Bi?” 

“ dua tiga hari, mungkin.” Jawab Bi Imba pasti.

Binar sangat pusing mendengar ini semua. Tangannya meremas kepala yang rasanya mau pecah.  Logikanya lumpuh. Ia sulit menganalisis jawaban pembantunya. “Ada apa sebenarnya?” gumam  Binar dalam hati. 

Azerus menghampiri Binar di ruang tamu. 

“Ini sayang, ikannya sudah papa pindahkan ke akuarium,” ujar Azerus sambil menyerahkan akuarium itu kepada Binar. Binar menerimanya, dengan senyum yang sengaja dipaksakan. Bi Imba segera melangkah ke dapur untuk menyiapkan minuman untuk tuannya. Sebelum pergi Bi Imba memberikan kode-kode kepada Binar. Binar terlihat mengerti apa maksud pembantunya. 

“ ada apa?” tanya Azerus penasaran melihat gelagat putrinya.

“ Bukan apa-apa kok” balas Binar mencoba mengelak.

“Tapi kok tadi gitu-gitu matanya” ucap Azerus sambil meniru gerakan mata Binar yang tadi tertangkap basah olehnya.

“Oh itu, biasa pa. Makanan langganan aku. Aku menyuruh Bibi menyiapkannya,” jawab Binar berbohong. 

Azerus terlihat mengangguk percaya. Akhirnya Bi Imba bisa bernapas lega setelah Binar menyelamatkannya dari Azerus, majikannya yang tegas itu. Akhirnya Binar memutuskan untuk menanyakan langsung kepada ayahnya. 

“Pa sebenarnya papa selama ini kemana?”

Related chapters

  • Pelabuhan terakhirku   Aku mau kita selamanya

    Pertanyaan Binar bagaikan petir yang menyambar disiang bolong. Azerus terlihat tegang. Tatapan matanya seperti orang yang terpergok sedang melakukan kejahatan.Di dapur Bi Imba sedang membuatkan es kelapa kesukaan Binar. Minuman yang berbahan dasar air kelapa asli yang baru saja ia belah. Daging kelapa yang masih sangat muda itu ia kerok lalu dimasukan kedalam gelas yang berisi air kelapa dan beberapa keping es batu. Bi Imba menambahkan sedikit susu bubuk pada sentuhan terakhirnya. Jadilah segelas es kelapa asli minunan favorit Binar sejak dahulu kala. Setelah semua telah disiapkan Bi Imba membawanya ke ruangan tempat majikannya duduk. Bi Imba kebingungan mendapatkan ekspresi majikannya yang sangat tegang. Yah kondisi mereka saat ini seperti sedang menunggu keputusan hakim agung di persidangan.“Ini Non minumannya,” ujar Bi Imba sembari menyodorkan gelas di depan Binar.Binar tersenyum menyambutnya. Bi Imba pun melakukan h

  • Pelabuhan terakhirku   Dia berbahaya

    Suasana kedai kembali lenggang. Aras pun pamit pulang kepada penjaga kedai.“Jangan lupa besok mampir lagi,” tawar penjaga kedai.“heem, kapan-kapan,” ucap Aras sembari memasang tas ranselnya.Kedai kembali ramai, banyak mahasiswa yang menghabiskan waktu mereka untuk bersantai di kedai ini. Kedai yang sangat sederhana, bangunannya terbuat dari bahan dasar kayu, baik dinding maupun kursi dan mejanya. Di setiap sudut ruangan dan setiap meja selalu ada bunga, bunga yang berbeda-beda sehingga kesannya sangat natural dan hidup. Pemilik kedai ini sudah sangat tua, sekarang yang menggantikan mereka adalah anaknya. Binar adalah pelanggan setia kedai ini. Biasanya yang dominan nongkrong di kedai ini adalah anak jurnalis. Tidak tahu apa alasannya.Binar berlari kecil untuk mengikuti kelas psikologi. Mata pelajaran ini tidak diwajibkan bagi materi mereka, Binar mengikutinya karena ia rasa itu perlu.Dosen yang m

  • Pelabuhan terakhirku   Kita Adalah Dua Orang Asing

    “Oke, pelajaran hari ini cukup sampai di sini, jangan lupa kirim tugasnya melalui email, saya terima lima menit setelah azan magrib.” Tegas sang dosen tanpa peduli dengan Amaz yang masih kesal.Beberapa saat setelah itu dosen keluar kelas yang disusul mahasiswa lainnya, kecuali Binar dan Amaz. Binar kembali ke mejanya dan mengambil tasnya. Begitu pula dengan Amaz. Ia menggendong tasnya dengan kesal. Mungkin tidak boleh ada kata kalah di hidupnya.Binar melangkah keluar kelas. Langkahnya terhenti ketika Amaz menarik rambutnya. Binar mendesis marah.“Udahlah kalau kalah tinggal ngaku aja,” ejek Binar.“Eh loh harus tahu, gue enggak kalah, cuma tuh dosennya aja aneh,” balas Amaz membela diri.“Oh maksud loh beliau psikopat?” celah Binar.“Loh yang bilang, bukan gue!” serunya.Binar terlihat malas menanggapinya. Tidak ada waktu untuk berdebat dengan pria ane

  • Pelabuhan terakhirku   Ego ku telah membuatmu terlantar

    Hari sudah mulai gelap. Lampu jalan mulai menyilaukan mata, Binar kembali fokus setelah meninggalkan Aras yang tidak tahu lagi bagaimana keadaanya sekarang.Jalanan masih ramai. Di pertigaan jalan tepat menyala lampu merah Binar berhenti dan mengecek ponselnya.“ Wah udah lewat, tugas gue.” Desisnya sambil menepuk jidat.Binar mulai panik, ia tidak fokus lagi dengan kendaraannya.“Ah sial, enggak mungkin gue diberi toleransi setelah berulah di kelasnya tadi.” Desis Binar dalam hati.Waktunya tinggal tujuh menit, tugas yang di berikan cukup mudah, tetapi di situasi yang seperti sekarang rasanya untuk menjawab soal, satu tambah satu sama seperti memecahkan rumus logaritma.Binar masih mengendarai mobilnya, sambil sesekali matanya menatap layar ponsel dan juga memperhatikan sekitar jalan raya. Akhirnya ia sampai di tempat yang cukup sepih. Ia menepi dan menghentikan mobilnya. Beberapa

  • Pelabuhan terakhirku   Bab 6

    Chiara tertegun di ranjangnya. Nalurinya menyadari bahwa ucapannya telah menyinggung perasaan sang dokter, meskipun dokter tidak menceritakan secara langsung kepadanya. Ia menatap sendu kepada Irishena. Irishena masih dengan lamunannya, sehingga tanpa ia sadari setumpuk air mata hampir membanjiri pipinya.Waktu seakan berjalan sangat lambat dari pada biasanya. Dua orang perawat yang membantu Irishena tampak kebingungan dengan keadaan yang terjadi sekarang. Mereka saling menatap satu sama lain, memainkan alis, mempertanyakan arti semua ini. Yah jelas ini bukan drama.Akhirnya Chiara memberanikan diri untuk bertanya.“Dok,” ucap Chiara dengan suara yang masih serak, mungkin karena ia sehabis menangis dan teriak.Irishena tidak menggubris. Mungkin ia tidak mendengar karena konsentrasinya buyar.Sekali lagi Chiara mengulanginya untuk memanggil dokter.“Dok, dokter enggak apa-apa kan?” lanjut Chiara santun.

  • Pelabuhan terakhirku   Bab 7

    Jalanan masih cukup ramai, banyak kendaraan roda empat yang masih lalu lalang. Binar masih jauh di belakang. Targetnya melaju dengan cepat. Binar tidak menyerah, meskipun samar-samar Binar melihat orang yang sudah melempari rumahnya, namun ia belum kehilangan jejak. Binar menambah laju kendaraannya. Ia melesat, menyalib banyak mobil yang memadat di jalan raya. Dalam sekitar lima menit posisi Binar sudah dekat dengan orang asing itu. Hingga sampailah mereka di jalanan yang sepih. Binar berusaha menyalib motor orang itu, ia menambah kecepatan hingga akhirnya ia berada di samping orang itu. Mereka terus mengadu nyali di jalanan, orang asing itu berusaha menghindar sedangkan Binar tidak menyerah untuk mendapatkannya. Binar sudah habis kesabaran. Orang itu mengendarai motornya dengan zig-zag di depan Binar. Hingga di tikungan Binar menendang orang itu dari samping. Orang asing itu terpental dari motornya, ia jatuh berguling-guling di aspal. Roda motor Binar mengikis aspal, karena i

  • Pelabuhan terakhirku   Bab 8

    Binar menyusuri setiap anak tangga, ruangan itu masih gelap. Ia menyalahkan senter pada ponselnya. Setelah menapaki hampir tiga puluhan anak tangga, sampailah Binar di lantai dasar, ruangan itu. Sebuah ruangan yang luasnya hampir empat puluh delapan meter persegi. Setelah berjalan beberapa langkah ke arah kiri ia menekan sebuah tombol yang menempel di tembok. Ruangan seketika menjadi terang. Ruangan bernuansa keemasan itu tampak megah dan mewah. Satu meter dari langit-langit ruangan di bagian barat tampak jelas sisi samping dekat ujung bawah kolam renang. Ruangan itu terletak sedikit lebih rendah dari kolam renang. Binar meletakan makanannya di atas sebuah meja kayu. Di hadapannya ada komputer. Binar mulai mengutak atik komputer tersebut, rupanya ia melihat rekaman beberapa jam yang lalu, ketika rumahnya di serang. Lantas menyesuaikan ciri yang ada di komputer itu dengan orang yang ia foto tadi di jalan. Ternyata keduanya sesuai.Ia menghempaskan

  • Pelabuhan terakhirku   Bab 9

    Binar mendorong Trea menjauhi dirinya. Trea tidak bisa melawan, sesuatu seperti telah menghantam bokongnya. Binar kembali kedalam mobil. Sebelum masuk ia mengacungkan jari tengahnya, melambangkan fuck.“Heh Keura loh udah gila ya, cepat hapus postingan loh!” bentak Trea geram.Keura menurut, ia segera memasukkan ponselnya ke dalam tas, tapi terlambat seisi kampus sudah melihat semuanya. Drama yang mereka pentaskan siang ini telah mencuri waktu banyak penonton. Bahkan video berdurasi beberapa menit itu sudah beredar viral di sosial media. Perbuatan Trea kembali kepada dirinya. Ini sama halnya ketika kita menunjuk menyalahkan orang lain. Kita tidak menyadari, kepal tangan kita beberapa jarinya kembali kepada diri sendiri, ini mengingatkan kita bahwa semua yang kita perbuat akan timbal balik. Perbuatan yang baik akan menuai baik begitu pula sebaliknya.Para kreator konten mengedit video itu seapiknya, sehingga dalam beber

Latest chapter

  • Pelabuhan terakhirku   Bab 76

    Azerus sedikit lebih pulih setelah ditangani. Dokter yang menanganinya tampak sedikit ragu untuk mendiagnosis Azerus, pasalnya tidak ada bagian tubuh yang mengalami masalah. Dokter itu berterus terang bahwa, mungkin Azerus sedang mengalami tekanan batin. Itu berdampak pada konsentrasinya. Dokter menyarankan agar Azerus perlu terbuka pada seseorang yang paling dipercayainya yang dianggap bisa membantu dia menyelesaikan persoalannya. Amaz sangat khawatir dengan keadaan ayahnya, padahal saat ia datang tadi beliau baik-baik saja, dan setelah ketemu Aras, ayahnya menjadi tidak terkendali. Konsentrasi Amaz menjadi kacau, urusannya dengan Binar belum selesai, sekarang kesehatan ayahnya menambah beban di pikirannya. Amaz tidak henti bertanya perihal masalah kesehatan ayahnya."Mungkin benar apa kata dokter tadi, ayah cuman kecapean atau nggak karena banyak pikiran. Tapi kenapa bisa ya? Ayah pikir apa? Bukankah selama ini

  • Pelabuhan terakhirku   75

    Aras menghentikan laju motornya, sementara Binar masih melaju. Sesaat kemudian Binar menyadari jika Aras tidak ada di belakangnya. “Oi, thanks ya,” ujar Binar sedikit menoleh dengan wajah datar. Kemudian melambaikan tangan dan kembali melaju. Pagar gerbang rumahnya terbuka secara otomatis ketika ia menekan sebuah remot. Amaz mengurungkan niatnya untuk menahan Binar. Panggilannya tidak mendapat respon apa-apa dari Binar. Dalam hati Amaz menduga jika Binar sudah tahu soal penyerangan itu. Amaz tak bergeming dari tempatnya bahkan saat jelas-jelas ia tahu kalau kekasihnya baru saja berjalan dengan lelaki lain. Aras memutar balik kendaraannya, dan melesat, meninggalkan tempat itu.Binar masuk ke dalam rumahnya, ia langsung ke kamarnya, mengabaikan sapaan hangat dari Bi Imba dan juga sang kakek. Mereka bertiga tampak panik dan bingung, “Tadi waktu pergi mukanya ceria, sekarang kok malah gitu,” ujar sang Nenek sekaligus mewakili pertan

  • Pelabuhan terakhirku   Bab 74

    Dexlicas tidak menggubris pertanyaan Rindi, ia berhasil meloloskan diri ditengah kebingungan ketiga orang itu.“Sialan!” umpat Aras kecewa.“Tunggu, tadi dia bilang, gak ada yang bisa masukin dia ke penjara?” Binar sekali lagi memastikan bahwa yang ia dengar itu tidak salah.Aras dan Rindi mengangguk, mengiyakan apa yang ucakan Binar.“Tunggu, itu terjadi jika ada yang menyogok atau gak mereka punya hubungan keluarga,” gumam Rindi menebak.Mereka bertiga terdiam, “Ah apa mungkin jika mereka bersaudara? Saya ingat waktu itu Afra bilang, itu saudaraku.” ucap Aras setelah berhasil mengingat.“Aku gak tahu kalau soal itu. Cuman dulu Afra pernah bilang kalau ia punya saudara tiri, apa mungkin Dexlicas, yang ia maksud?” tambah Binar.“Kita harus cari tahu ini, dan juga perihal Amaz yang mencurigakan itu. Aku yakin ia terlibat,” gumam Rindi.“A

  • Pelabuhan terakhirku   Bab 73

    Satu jam sebelumnya…. POV: ARAS……Aku seakan asing lagi saat berada diantara sepasang kekasih itu. Aku pun memutuskan untuk pergi dari pada harus menjadi obat nyamuk untuk pasangan itu. Baru saja aku dalam perjalanan, tiba-tiba Rindi mengirimiku pesan, kalau ia mendapat petunjuk dari pesan Dexlicas yang diduplikatnya. Tak sabar aku pun langsung tancap gas, menuju lokasi yang dikirim oleh Rindi. Setelah beberapa menit kemudian, aku melihat Dexlicas dalam perjalanan, ia tidak jauh dari sebuah rumah makan yang sekilas aku melihat ada Amaz di sana. Entahlah kenapa tiba-tiba ia ada di sana, bukannya tadi ia sedang bersama Binar? Tapi terserah, tujuanku sekarang adalah Dexlicas.Dexlicas menuju tempat yang sampai kapanpun tidak bisa aku lupakan. Ini adalah tempat yang aku tinggalkan sejak dua tahun yang lalu. Rasanya aku ingin pulang saja karena ku pikir Dexlicas aka

  • Pelabuhan terakhirku   Bab 72

    Kedai hari ini menghadirkan sesuatu yang berbeda bagi Binar. Biasanya, ia akan lebih tenang jika berada di sini, namun yang terjadi sekarang, ia merasa seakan ada sebuah tekanan yang mengalir dalam pikirannya.Amaz duduk termangu di hadapannya. Mereka tenggelam dengan pikirannya masing-masing. Binar menatap kosong nasi ikan di hadapannya, begitu pula Amaz. Tidak ada lagi kalimat yang dilontarkan semenjak kepergian Aras tadi. Sesungguhnya Amaz, masih memikirkan masalahnya. Sesuatu yang cemerlang pun tiba-tiba muncul dalam pikirannya.Ia pun dengan gesit, mengambil ponsel dan mengirimkan sebuah pesan kepada Dexlicas atau yang sering dipanggil dengan nama Gefol olehnya. Menurut Amaz, Gefol lebih singkat dari pada Dexlicas. Binar sedikit menaruh rasa curiga terhadap sikap Amaz sekarang. Ia sangat tahu Amaz, jika Amaz selalu diam, itu artinya ada sesuatu yang mengusiknya."Kenapa?" tanya Binar akhirnya. Ia melihat sesuatu yan

  • Pelabuhan terakhirku   Bab 71

    Sosok yang berjalan dengan langkah gontai itu, tersungkur ke dalam dekapan Aras. Aras tampak terkejut. Ziyo melihat mereka terlibat percakapan yang tidak lama. Hasil rekaman itu tidak menghasilkan suara. Entah apa yang sedang mereka bicarakan, Ziyo memutuskan untuk selebihnya percaya kepada Aras. Ziyo cukup puas dengan penyelidikannya sekarang, meskipun belum semuanya terbongkar, setidaknya satu dari sekian banyak langkah sudah bisa ditapaki. Ziyo meminta izin untuk menyalin hasil rekaman itu.“Kasus sebesar ini, baru diselidiki sekarang?” gumam salah seorang petugas di sana.“Emangnya dulu belum ada yang mengusut hal ini?” Ziyo malah balik tanya, dulu ia sangat terpukul akibat kepergian Afra, sehingga tidak sempat untuk menyelidiki semuanya. Ia mengira pihak keluarga yang mengurusnya, namun pernyataan tadi cukup menjanggal pikirannya. Berbagai argumen mulai timbul dalam pikirannya. Tentang mengapa keluarga membiarkannya begitu saja, dan terle

  • Pelabuhan terakhirku   Bab 70

    Mereka kembali ke pantai setelah menyaksikan matahari benar-benar tenggelam. Aras telah mengambil banyak gambar dengan menggunakan kamera milik Binar. Mereka tampak sangat menikmati petualangan tadi, begitu pula dengan Trea, rupanya ya mulai bersahabat dengan laut meskipun selalu muntah."Wah, Nar, enak benar jadi kamu." seru Jaya kegirangan. Binar hanya tersenyum kecil membalasnya. Baginya itu hal yang biasa, namun aliran mereka kali ini membuat kebiasaannya itu agak sedikit tidak biasa melainkan luar biasa. Dia biasanya mengarungi lautan dengan beberapa nelayan yang sudah tua.Aras menghantarkan Binar pulang ke rumahnya dan langsung pamit pulang setelah memastikan Binar masuk dengan selamat. Binar segera menghampiri orang tuanya di kamar mereka, dia tidak memberi kabar selama seharian ini."Eh kamu sudah pulang Nak," Azerus berbasa basi."Iya. Oh iya, gimana maksud Mama yang bilang kondisi Papa naik turun gitu?" serga

  • Pelabuhan terakhirku   Bab 69

    Aras menarik nafas panjang sebelum menyampaikan berita super penting itu kepada rekannya,”Ini tentang Afra,” desisnya hampir tak terdengar. “Afra?” Rindi mengulangi ujaran Aras.“Ternyata Ziyo adalah sahabatnya dan Binar adalah mantan kekasihnya,” ujar Aras kembali serius dan dengan berat menyebut nama Binar sebagai mantan kekasih Afra. Rindi tampak tidak percaya dengan ucapan sahabatnya itu. Fakta barusan seakan membungkam mulutnya dan menarik semua kata-kata dari pikirannya sehingga ia kehabisan kata-kata.“Itulah bro. Aku juga tidak ngerti. Semua seperti sangat berhubungan. Saling terkait,” tutur Aras kemudian.“Berarti penyerangan selama ini, bisa dipastikan karena Afra alasan utamanya. Mungkin saja orang terdekat Afra yang tidak terima hingga mau balas dendam,” Rindi menambahkan.“Boleh juga sih. Kata Ziyo, Afra orang yang cukup berpengaruh. Dia pintar, keren dan kaya. Populer sema

  • Pelabuhan terakhirku   Bab 68

    Binar membiarkan kamera besarnya terkalung pada lehernya, sementara tangannya yang sedikit berlumur pasir dengan gesit menggeser layar ponselnya. Ia memperbesar ukuran gambar yang dikirim Amaz lantas tersenyum haru melihatnya. Anak-anak rumah ketan terlihat sangat bahagia melayani pembeli yang ramai, itulah foto yang dikirim Amaz.“Kamu lagi di sana?” dengan cepat Binar menyentuh papan keyboar dan mengirimnya segera. Beberapa detik kemudian sebuah panggilan video call dari Amaz masuk ke ponselnya. Binar segera menggeser ikon berwarna hijau untuk menjawabnya. Panggilan pun terhubung.“Hei,” sapa Amaz yang masih terlihat berada di Rumah Ketan. Binar hanya tersenyum membalasnya. “Nah gini dong, mentang-mentang di kampung halaman, senyumnya diumbar-umbar,” sambung Amaz.“Apaan sih? Biasa aja” celetuk Binar malu.“Idih, gitu aja baper,” gumam Amaz.“Yah sudah, ngapain telpon?” rup

DMCA.com Protection Status