Share

Bab 6

Penulis: Tanty Longa
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Chiara tertegun di ranjangnya. Nalurinya menyadari bahwa ucapannya telah menyinggung perasaan sang dokter, meskipun dokter tidak  menceritakan secara langsung kepadanya. Ia menatap sendu kepada Irishena.  Irishena masih dengan lamunannya, sehingga tanpa ia sadari setumpuk air mata hampir membanjiri pipinya. 

Waktu seakan berjalan sangat lambat dari pada biasanya. Dua orang perawat yang membantu Irishena tampak kebingungan dengan keadaan yang terjadi sekarang. Mereka saling menatap satu sama lain, memainkan alis, mempertanyakan arti semua ini. Yah jelas ini bukan drama. 

Akhirnya Chiara memberanikan diri untuk bertanya.

“Dok,” ucap Chiara dengan suara yang masih serak, mungkin karena ia sehabis menangis dan teriak.

Irishena tidak menggubris. Mungkin ia tidak mendengar karena konsentrasinya buyar.

Sekali lagi Chiara mengulanginya untuk memanggil dokter.

“Dok, dokter enggak apa-apa kan?” lanjut Chiara santun.

Wajahnya sengaja ia majukan mendekati wajah dokter. Irishena tersadar dari lamunannya, refleks ia menghapus air matanya dengan beberapa ujung jari tangannya. Chiara menaikkan kedua alisnya. Menatap Irishena penuh tanya.

“Ehmm, saya baik-baik saja” balas Irishena pelan.

“Dok yakin?” balas Chiara.

“Iya, serius.” Sambung Irishena.

“Dok, saya tahu dokter sedang tidak baik-baik saja. Cerita sama saya. Dok tahu kan efek samping kalau kita mendam semuanya sendiri?” ujar Chiara pelan.

Irishena menatapnya dalam. Ini serasa aib bagi dirinya sendiri jika harus diceritakan kepada orang lain. 

“Mungkin dokter akan sama  seperti saya, teriak-teriak enggak jelas, menangis enggak jelas.” Sambung Chiara.

Irishena terdiam beberapa menit mendengar ucapan pasiennya. 

“Bukan apa sih, dok cuma ngebayangin gimana rasanya diposisi kamu.” Jawabnya serius.

Chiara merasa terharu, karena ada yang mau mendengarkannya, dan bersimpatik dengannya. Ia memeluk Irishena sekali lagi. Memeluknya dengan erat. Irishena pun membalasnya, ia membelai rambut Chiara. Ia merasakan seakan-akan yang dipeluknya itu bukanlah Chiara melainkan Binar anak semata wayangnya. Kini kedua orang perawat itu makin   heran. Beberapa saat kemudian keduanya melepaskan pelukan hangat itu.

“Oh ya, gimana keadaan kamu sekarang?” tanya Irishena.

“Aku udah baikkan, udah sangat lega dok,” balas Chiara tersenyum.

“Syukurlah jika begitu,” sambung Irishena. 

“Oh iya ini resep obatnya, jangan lupa diminum sesuai aturan yang tertera ya, sayang.” Lanjut Irishena.

“Siap dok.” Balas Chiara sembari mengacung jempol.  

Mereka semua tersenyum bahagia. 

“Oh ya, yang tadi mengantar kamu siapa?” tanya Irishena.

“Oh itu kawan aku dok,” jawab Chiara.

“Ah masa sih?” goda Irishena.

“Ih kok dokter enggak percaya?” Chiara balik bertanya. 

“Iya deh.” Balas Irishena.

Seorang laki-laki  menghampiri mereka.

“Eh yang suruh loh masuk siapa?” bisik Chiara ke lelaki itu, tetapi seisi ruangan  itu mendengarnya.

“Tadi ngomong ke dokter saya kamu, sekarang malah gue loh” goda Irishena.

“ Chiara biasa gitu dok, kalau moodnya lagi baik ngomongnya sopan, coba kalau tidak bisa dimakan orang-orang sekitarnya.” Jelas lelaki itu.

Mereka semua tertawa mendengarnya. 

“Iya sih, sepertinya kayak gitu, tadi juga sama saya begitu,” ucap Irishena mangut-mangut. 

Chiara terlihat kesal. “Awas aja loh,” bentaknya. Lelaki itu malah tidak peduli dengan ancaman Chiara.

“Oh ya dok, ini kawan saya namanya Arial” ujar Chiara.

Arial mengulurkan tangan kanannya untuk menyalami dokter. Irishena membalasnya. 

“Saya dokter Irishena,” jawab Irishena.

“Oh ya, kamu harus temanin Chiara, dia butuh orang yang mau mendengarnya, hibur dia ya?” titah Irishena, yang disambut baik oleh Arial, “siap dok.”

“Yah sudah, saya pamit dulu, masih ada pasien lain yang membutuhkan saya.” Lanjut Irishena.

“Makasi ya dok” ujar Chiara.

“Iya sama-sama,” jawab Irishena sambil melangkah pergi.

Irishena kembali ke ruangannya. Ia memandangi foto keluarganya yang sengaja ia pajang di atas mejanya. Di sana terlihat sebuah keluarga kecil yang tersenyum riang, foto itu diambil ketika Binar berusia tujuh tahun. Irishena memajangnya dengan sebuah bingkai foto berbentuk ikan.

Setelah diam beberapa saat ia memergoh ponsel yang ia simpan di saku bajunya. Setelah sedikit mengutak-atik ponsel itu terdengar sebuah suara dari dalam ponsel.

“Halo mah.” 

“ Kamu apa kabar sayang?” balas Irishena. 

“Sangat bak mama, mama sendiri gimana kabarnya?” balas Binar.

“Iya sayang, mama juga,” jawab Irishena matanya mulai berkaca-kaca.

“Mah, video call yuk?” ajak Binar. 

“Baik sayang,” bakas Irishena.

Beberapa saat kemudian di layar ponsel Irishena ada wajah Binar yang sedang tersenyum bahagia. Ia tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Ia mengamati wajah ibunya dengan teliti. Begitu pula Irishena.  Setelah beberapa saat saling diam akhirnya Irishena angkat bicara.

“Putri mama udah makin cantik aja,” puji Irishena 

“ Siapa dulu dong mamanya” balas Binar memuji ibunya.

Keduanya tertawa lepas. 

“Oh ya sayang, tambah panggilan dengan papa yah?” usul Irishena.

Binar terdiam. Mengingat apa yang telah pembantunya ceritakan rasanya sangat berat untuk bisa bertemu lagi dengan ayahnya. 

“Loh kok diam?” tanya Irishena, sembari menggerakkan ponselnya, kawatir kalau sinyal ponselnya lemah.

“Ah boleh mah.” Balas Binar.

“Siapa yang nelpon nih?” tanya Irishena.

“Mama aja ya?” usul Binar

“Oke deh, tunggu bentar yah,” ucap Irishena.

Irishena menelepon suaminya. Beberapa detik kemudian panggilan itu terhubung. 

“Wah, pertemuan virtual ya?” sapa Azerus.

Mereka tertawa. 

“Papa garing,” balas Binar.

“Iya papa kamu tuh lebih mirip psikolog,” balas Irishena. 

“Kenapa Psikolog?” tanya Azerus.

“Terlalu serius orangnya,” teriak Binar.

Mereka pun kembali tertawa, sebelum akhirnya seorang perawat menghampiri Irishena.

“Dok ada jadwal kunjungan pasien,” 

Binar dan ayahnya menyaksikan itu. Irishena mengangkat bahu, wajahnya memelas. 

“Maaf sekali ya sayang,” pinta Irishena.

Binar dan Azerus tampak kecewa. Itu terlihat jelas dari bagaimana ekspresi mereka saat ini.

Mereka bertiga pun sepakat untuk mengakhiri panggilan. Setelah itu mereka kembali dengan kesibukan masing-masing.

Malam kembali mendekap. Hidup sendiri di sebuah rumah yang besar membuat Binar menjadi benar-benar sepih. Ia sengaja tidak menyewa pembantu rumah tangga. Di sini ia hanya di temani oleh seekor anjing dan dua ekor kucing. 

Ia kembali melukis setelah melupakan sedikit rasa kecewanya terhadap ibunya.. Lukis adalah hobinya sejak kecil. Dengan berimajinasi ia bisa melupakan kesepiannya. Ketika pikirannya berkelana di alam imajinasi bebannya seakan tenggelam di lautan dalam. Kini ia tengah melukis induk ayah yang tengah mendekap anaknya. Setelah memberikan sentuhan terakhir pada lukisannya ia diam memperhatikan hasil karyanya. Iseng ia memotretnya lalu mengirimnya di grup sastra mereka. Anggotanya merespon dengan sangat baik, bahkan editor mereka mengusulkan agar lukisan itu dijadikan tema majalah kampus edisi yang akan datang. Semua tampak setuju dengan ide itu, hanya saja perlu sedikit dipoles lagi lukisannya. Mereka pun menyepakatinya.

“Guys temanya apa?” tanya  seorang anggota.

“Merengkuh kasih” usul Binar.

“Gue setuju,” balas salah seorang anggota.

Anggota lain juga menyetujuinya. 

“Oke guys,  besok kita meeting,” usul Binar. 

Binar pun keluar dari laman grup. Ia mulai belajar. Ketika sedang belajar ia dikejutkan oleh sebuah suara keras. Kaca rumahnya dilempari batu oleh seseorang.

Binar membuka jendela, ia melihat sebuah motor  melaju meninggalkan gerbang rumahnya. Dengan gesit Binar menarik jaket yang sengaja ia simpan di atas meja belajarnya. Ia mengambil kunci yang menggantung si samping pintu kamar dan bergegas turun ke garasi. Dengan terburu-buru ia mengendarai motornya.  Gerbang otomatis di rumahnya terbuka otomatis saat ia menekan tombol pada remot . Setelah ia keluar dengan sendirinya gerbang itu tertutup. Binar melaju dengan kecepatan tinggi. Jarum spidometernya menyentuh angka 100 walaupun sudah memakai jaket  namun angin malam masih menembus di dadanya. Kali ini ia sangat penasaran dengan sosok asing yang berani melempari rumahnya.

Bab terkait

  • Pelabuhan terakhirku   Bab 7

    Jalanan masih cukup ramai, banyak kendaraan roda empat yang masih lalu lalang. Binar masih jauh di belakang. Targetnya melaju dengan cepat. Binar tidak menyerah, meskipun samar-samar Binar melihat orang yang sudah melempari rumahnya, namun ia belum kehilangan jejak. Binar menambah laju kendaraannya. Ia melesat, menyalib banyak mobil yang memadat di jalan raya. Dalam sekitar lima menit posisi Binar sudah dekat dengan orang asing itu. Hingga sampailah mereka di jalanan yang sepih. Binar berusaha menyalib motor orang itu, ia menambah kecepatan hingga akhirnya ia berada di samping orang itu. Mereka terus mengadu nyali di jalanan, orang asing itu berusaha menghindar sedangkan Binar tidak menyerah untuk mendapatkannya. Binar sudah habis kesabaran. Orang itu mengendarai motornya dengan zig-zag di depan Binar. Hingga di tikungan Binar menendang orang itu dari samping. Orang asing itu terpental dari motornya, ia jatuh berguling-guling di aspal. Roda motor Binar mengikis aspal, karena i

  • Pelabuhan terakhirku   Bab 8

    Binar menyusuri setiap anak tangga, ruangan itu masih gelap. Ia menyalahkan senter pada ponselnya. Setelah menapaki hampir tiga puluhan anak tangga, sampailah Binar di lantai dasar, ruangan itu. Sebuah ruangan yang luasnya hampir empat puluh delapan meter persegi. Setelah berjalan beberapa langkah ke arah kiri ia menekan sebuah tombol yang menempel di tembok. Ruangan seketika menjadi terang. Ruangan bernuansa keemasan itu tampak megah dan mewah. Satu meter dari langit-langit ruangan di bagian barat tampak jelas sisi samping dekat ujung bawah kolam renang. Ruangan itu terletak sedikit lebih rendah dari kolam renang. Binar meletakan makanannya di atas sebuah meja kayu. Di hadapannya ada komputer. Binar mulai mengutak atik komputer tersebut, rupanya ia melihat rekaman beberapa jam yang lalu, ketika rumahnya di serang. Lantas menyesuaikan ciri yang ada di komputer itu dengan orang yang ia foto tadi di jalan. Ternyata keduanya sesuai.Ia menghempaskan

  • Pelabuhan terakhirku   Bab 9

    Binar mendorong Trea menjauhi dirinya. Trea tidak bisa melawan, sesuatu seperti telah menghantam bokongnya. Binar kembali kedalam mobil. Sebelum masuk ia mengacungkan jari tengahnya, melambangkan fuck.“Heh Keura loh udah gila ya, cepat hapus postingan loh!” bentak Trea geram.Keura menurut, ia segera memasukkan ponselnya ke dalam tas, tapi terlambat seisi kampus sudah melihat semuanya. Drama yang mereka pentaskan siang ini telah mencuri waktu banyak penonton. Bahkan video berdurasi beberapa menit itu sudah beredar viral di sosial media. Perbuatan Trea kembali kepada dirinya. Ini sama halnya ketika kita menunjuk menyalahkan orang lain. Kita tidak menyadari, kepal tangan kita beberapa jarinya kembali kepada diri sendiri, ini mengingatkan kita bahwa semua yang kita perbuat akan timbal balik. Perbuatan yang baik akan menuai baik begitu pula sebaliknya.Para kreator konten mengedit video itu seapiknya, sehingga dalam beber

  • Pelabuhan terakhirku   Bab 10

    Binar tidak berani menanyakan siapa orang itu kepada Amaz, karena ia tidak ingin Amaz berprasangka yang tidak-tidak tentang dirinya. Ia takut bakalan di ledeki abis-abisan oleh Amaz.“Mending gue selidiki diam-diam dari pada entar citraan gue hancur karena dituduh kecentilan sama cowok itu,” gumamnya dalam hati.Amaz membuka pintu, sebelum keluar ia mengucapkan terima kasih kepada Binar. Hujan mulai reda.“Eh loh enggak masuk dulu,” tawar Amaz.“Enggak usah, gue ada urusan.” Tolak Binar.Binar pun kembali tancap gas, ia tidak ingin kehilangan jejak orang itu.“Apa hubungan orang itu dengan Amaz ya?” tanya Binar dalam hati.Mobilnya melaju dengan kecepatan tinggi, jalanan masih sepih. Setelah beberapa menit ia masih belum menemukan apa-apa tentang orang itu. Binar tidak menyerah, ia terus m

  • Pelabuhan terakhirku   Bab 11

    Waktu seakan berjalan lambat dari pada biasanya. Dua orang penjahat itu mengepung abis-abisan orang yang tadi sempat menghalangi penjahat itu untuk menyerang Binar. Salah seorang dari penjahat itu memukul pria yang sudah menolong Binar dari belakang. Pria itu bernasib malang seperti Binar. Salah seorangnya lagi mengunci gerak pria itu, dengan leluasa penjahat yang menyerangnya tadi memukulnya dari depan. Pria itu hanya bisa menahan. Binar berteriak histeris di tempatnya. “Akhirnya loh muncul juga!” seru salah seorang penjahat itu.Itulah percakapan mereka yang sempat terekam di benak Binar.Di tengah rasa sakitnya Binar teringat akan sesuatu. Cara halus untuk menolong orang yang sempat menolongnya tadi. Binar dengan penuh perjuangan mengambil ponselnya di saku jaket. Ponsel yang kini layarnya telah retak akibat terkena tendangan dan pukulan dua orang yang menghajarnya tadi. Ia mengutak-atik ponselnya, lalu menekan tombol speaker. Seket

  • Pelabuhan terakhirku   Bab 11

    Waktu seakan berjalan lambat dari pada biasanya. Dua orang penjahat itu mengepung abis-abisan orang yang tadi sempat menghalangi penjahat itu untuk menyerang Binar. Salah seorang dari penjahat itu memukul pria yang sudah menolong Binar dari belakang. Pria itu bernasib malang seperti Binar. Salah seorangnya lagi mengunci gerak pria itu, dengan leluasa penjahat yang menyerangnya tadi memukulnya dari depan. Pria itu hanya bisa menahan.Binar berteriak histeris di tempatnya.“Akhirnya loh muncul juga!” seru salah seorang penjahat itu.Itulah percakapan mereka yang sempat terekam di benak Binar.Di tengah rasa sakitnya Binar teringat akan sesuatu. Cara halus untuk menolong orang yang sempat menolongnya tadi.Binar dengan penuh perjuangan mengambil ponselnya di saku jaket. Ponsel yang kini layarnya telah retak akibat terkena tendangan dan pukulan dua orang yang menghajarnya tadi. Ia mengutak-atik ponselnya, lalu menekan tombol s

  • Pelabuhan terakhirku   Bab 12

    Pintu mengeluarkan bunyi yang berderit kecil. Aras mendorong pintu dengan kaki Binar. Pintu terbuka seiring dengan suara derit. Aras cukup terpesona dengan pemandangan di hadapannya. Rumah yang berukuran sedang itu, dipenuhi dengan banyak ornamen. Ruangan bernuansa putih itu memberikan kesan elegan di setiap edaran pandangan mata. Maju beberapa langkah Aras pun menurunkan Binar di kursi sofa ruangan itu.“Sory gue enggak bisa buatin loh minum,” ujar Binar.Aras mengambil tempat duduk di depan Binar.“Enggak perlu repot-repot gue juga tahu, harga air sekarang mahal,” canda Aras.Binar memanyunkan bibirnya, kesal.“Thanks ya,” ujar Binar setelah beberapa menit mereka tenggelam dalam diam.“Ah dasar loh gengsian, mau ngomong makasi aja tegang amat,” ejek Aras.Ia tersenyum sipu karena berhasil membuat Binar kesal.Binar menggeru

  • Pelabuhan terakhirku   Bab 13

    Matahari telah kembali ke peraduannya, hari yang rumit yang telah mereka lewati. Hampir sepuluh menit Binar menunggu Aras kembali menerima paketnya, entahlah apa isinya.Pintu kamar Binar berderit, sosok tinggi kurus itu muncul di balik pintu yang jarak kepalanya dengan bagian atas pintu hanya beberapa centi meter. Sentakan langkah kakinya beradu dengan lantai ruangan. Tangan kanannya membawa sebuah bingkisan.“Apa itu?” tanya Binar ketika Aras meletakan benda yang di bawanya diatas meja.“Bom” balas Aras serius.Binar berdecak tak percaya. Ia mengamati Aras yang sedang membuka bingkisan misterius itu.Aroma makanan langsung memenuhi seisi ruangan. Itu adalah aroma khas daging ayam. Aras memesan KFC lengkap dengan minumannya.Binar senyam senyum tidak jelas.“Ngapain cengar-cengir di situ?” tanya Aras memergoki Binar yang tertangkap basah.“Ehhm jadi gue enggak perlu

Bab terbaru

  • Pelabuhan terakhirku   Bab 76

    Azerus sedikit lebih pulih setelah ditangani. Dokter yang menanganinya tampak sedikit ragu untuk mendiagnosis Azerus, pasalnya tidak ada bagian tubuh yang mengalami masalah. Dokter itu berterus terang bahwa, mungkin Azerus sedang mengalami tekanan batin. Itu berdampak pada konsentrasinya. Dokter menyarankan agar Azerus perlu terbuka pada seseorang yang paling dipercayainya yang dianggap bisa membantu dia menyelesaikan persoalannya. Amaz sangat khawatir dengan keadaan ayahnya, padahal saat ia datang tadi beliau baik-baik saja, dan setelah ketemu Aras, ayahnya menjadi tidak terkendali. Konsentrasi Amaz menjadi kacau, urusannya dengan Binar belum selesai, sekarang kesehatan ayahnya menambah beban di pikirannya. Amaz tidak henti bertanya perihal masalah kesehatan ayahnya."Mungkin benar apa kata dokter tadi, ayah cuman kecapean atau nggak karena banyak pikiran. Tapi kenapa bisa ya? Ayah pikir apa? Bukankah selama ini

  • Pelabuhan terakhirku   75

    Aras menghentikan laju motornya, sementara Binar masih melaju. Sesaat kemudian Binar menyadari jika Aras tidak ada di belakangnya. “Oi, thanks ya,” ujar Binar sedikit menoleh dengan wajah datar. Kemudian melambaikan tangan dan kembali melaju. Pagar gerbang rumahnya terbuka secara otomatis ketika ia menekan sebuah remot. Amaz mengurungkan niatnya untuk menahan Binar. Panggilannya tidak mendapat respon apa-apa dari Binar. Dalam hati Amaz menduga jika Binar sudah tahu soal penyerangan itu. Amaz tak bergeming dari tempatnya bahkan saat jelas-jelas ia tahu kalau kekasihnya baru saja berjalan dengan lelaki lain. Aras memutar balik kendaraannya, dan melesat, meninggalkan tempat itu.Binar masuk ke dalam rumahnya, ia langsung ke kamarnya, mengabaikan sapaan hangat dari Bi Imba dan juga sang kakek. Mereka bertiga tampak panik dan bingung, “Tadi waktu pergi mukanya ceria, sekarang kok malah gitu,” ujar sang Nenek sekaligus mewakili pertan

  • Pelabuhan terakhirku   Bab 74

    Dexlicas tidak menggubris pertanyaan Rindi, ia berhasil meloloskan diri ditengah kebingungan ketiga orang itu.“Sialan!” umpat Aras kecewa.“Tunggu, tadi dia bilang, gak ada yang bisa masukin dia ke penjara?” Binar sekali lagi memastikan bahwa yang ia dengar itu tidak salah.Aras dan Rindi mengangguk, mengiyakan apa yang ucakan Binar.“Tunggu, itu terjadi jika ada yang menyogok atau gak mereka punya hubungan keluarga,” gumam Rindi menebak.Mereka bertiga terdiam, “Ah apa mungkin jika mereka bersaudara? Saya ingat waktu itu Afra bilang, itu saudaraku.” ucap Aras setelah berhasil mengingat.“Aku gak tahu kalau soal itu. Cuman dulu Afra pernah bilang kalau ia punya saudara tiri, apa mungkin Dexlicas, yang ia maksud?” tambah Binar.“Kita harus cari tahu ini, dan juga perihal Amaz yang mencurigakan itu. Aku yakin ia terlibat,” gumam Rindi.“A

  • Pelabuhan terakhirku   Bab 73

    Satu jam sebelumnya…. POV: ARAS……Aku seakan asing lagi saat berada diantara sepasang kekasih itu. Aku pun memutuskan untuk pergi dari pada harus menjadi obat nyamuk untuk pasangan itu. Baru saja aku dalam perjalanan, tiba-tiba Rindi mengirimiku pesan, kalau ia mendapat petunjuk dari pesan Dexlicas yang diduplikatnya. Tak sabar aku pun langsung tancap gas, menuju lokasi yang dikirim oleh Rindi. Setelah beberapa menit kemudian, aku melihat Dexlicas dalam perjalanan, ia tidak jauh dari sebuah rumah makan yang sekilas aku melihat ada Amaz di sana. Entahlah kenapa tiba-tiba ia ada di sana, bukannya tadi ia sedang bersama Binar? Tapi terserah, tujuanku sekarang adalah Dexlicas.Dexlicas menuju tempat yang sampai kapanpun tidak bisa aku lupakan. Ini adalah tempat yang aku tinggalkan sejak dua tahun yang lalu. Rasanya aku ingin pulang saja karena ku pikir Dexlicas aka

  • Pelabuhan terakhirku   Bab 72

    Kedai hari ini menghadirkan sesuatu yang berbeda bagi Binar. Biasanya, ia akan lebih tenang jika berada di sini, namun yang terjadi sekarang, ia merasa seakan ada sebuah tekanan yang mengalir dalam pikirannya.Amaz duduk termangu di hadapannya. Mereka tenggelam dengan pikirannya masing-masing. Binar menatap kosong nasi ikan di hadapannya, begitu pula Amaz. Tidak ada lagi kalimat yang dilontarkan semenjak kepergian Aras tadi. Sesungguhnya Amaz, masih memikirkan masalahnya. Sesuatu yang cemerlang pun tiba-tiba muncul dalam pikirannya.Ia pun dengan gesit, mengambil ponsel dan mengirimkan sebuah pesan kepada Dexlicas atau yang sering dipanggil dengan nama Gefol olehnya. Menurut Amaz, Gefol lebih singkat dari pada Dexlicas. Binar sedikit menaruh rasa curiga terhadap sikap Amaz sekarang. Ia sangat tahu Amaz, jika Amaz selalu diam, itu artinya ada sesuatu yang mengusiknya."Kenapa?" tanya Binar akhirnya. Ia melihat sesuatu yan

  • Pelabuhan terakhirku   Bab 71

    Sosok yang berjalan dengan langkah gontai itu, tersungkur ke dalam dekapan Aras. Aras tampak terkejut. Ziyo melihat mereka terlibat percakapan yang tidak lama. Hasil rekaman itu tidak menghasilkan suara. Entah apa yang sedang mereka bicarakan, Ziyo memutuskan untuk selebihnya percaya kepada Aras. Ziyo cukup puas dengan penyelidikannya sekarang, meskipun belum semuanya terbongkar, setidaknya satu dari sekian banyak langkah sudah bisa ditapaki. Ziyo meminta izin untuk menyalin hasil rekaman itu.“Kasus sebesar ini, baru diselidiki sekarang?” gumam salah seorang petugas di sana.“Emangnya dulu belum ada yang mengusut hal ini?” Ziyo malah balik tanya, dulu ia sangat terpukul akibat kepergian Afra, sehingga tidak sempat untuk menyelidiki semuanya. Ia mengira pihak keluarga yang mengurusnya, namun pernyataan tadi cukup menjanggal pikirannya. Berbagai argumen mulai timbul dalam pikirannya. Tentang mengapa keluarga membiarkannya begitu saja, dan terle

  • Pelabuhan terakhirku   Bab 70

    Mereka kembali ke pantai setelah menyaksikan matahari benar-benar tenggelam. Aras telah mengambil banyak gambar dengan menggunakan kamera milik Binar. Mereka tampak sangat menikmati petualangan tadi, begitu pula dengan Trea, rupanya ya mulai bersahabat dengan laut meskipun selalu muntah."Wah, Nar, enak benar jadi kamu." seru Jaya kegirangan. Binar hanya tersenyum kecil membalasnya. Baginya itu hal yang biasa, namun aliran mereka kali ini membuat kebiasaannya itu agak sedikit tidak biasa melainkan luar biasa. Dia biasanya mengarungi lautan dengan beberapa nelayan yang sudah tua.Aras menghantarkan Binar pulang ke rumahnya dan langsung pamit pulang setelah memastikan Binar masuk dengan selamat. Binar segera menghampiri orang tuanya di kamar mereka, dia tidak memberi kabar selama seharian ini."Eh kamu sudah pulang Nak," Azerus berbasa basi."Iya. Oh iya, gimana maksud Mama yang bilang kondisi Papa naik turun gitu?" serga

  • Pelabuhan terakhirku   Bab 69

    Aras menarik nafas panjang sebelum menyampaikan berita super penting itu kepada rekannya,”Ini tentang Afra,” desisnya hampir tak terdengar. “Afra?” Rindi mengulangi ujaran Aras.“Ternyata Ziyo adalah sahabatnya dan Binar adalah mantan kekasihnya,” ujar Aras kembali serius dan dengan berat menyebut nama Binar sebagai mantan kekasih Afra. Rindi tampak tidak percaya dengan ucapan sahabatnya itu. Fakta barusan seakan membungkam mulutnya dan menarik semua kata-kata dari pikirannya sehingga ia kehabisan kata-kata.“Itulah bro. Aku juga tidak ngerti. Semua seperti sangat berhubungan. Saling terkait,” tutur Aras kemudian.“Berarti penyerangan selama ini, bisa dipastikan karena Afra alasan utamanya. Mungkin saja orang terdekat Afra yang tidak terima hingga mau balas dendam,” Rindi menambahkan.“Boleh juga sih. Kata Ziyo, Afra orang yang cukup berpengaruh. Dia pintar, keren dan kaya. Populer sema

  • Pelabuhan terakhirku   Bab 68

    Binar membiarkan kamera besarnya terkalung pada lehernya, sementara tangannya yang sedikit berlumur pasir dengan gesit menggeser layar ponselnya. Ia memperbesar ukuran gambar yang dikirim Amaz lantas tersenyum haru melihatnya. Anak-anak rumah ketan terlihat sangat bahagia melayani pembeli yang ramai, itulah foto yang dikirim Amaz.“Kamu lagi di sana?” dengan cepat Binar menyentuh papan keyboar dan mengirimnya segera. Beberapa detik kemudian sebuah panggilan video call dari Amaz masuk ke ponselnya. Binar segera menggeser ikon berwarna hijau untuk menjawabnya. Panggilan pun terhubung.“Hei,” sapa Amaz yang masih terlihat berada di Rumah Ketan. Binar hanya tersenyum membalasnya. “Nah gini dong, mentang-mentang di kampung halaman, senyumnya diumbar-umbar,” sambung Amaz.“Apaan sih? Biasa aja” celetuk Binar malu.“Idih, gitu aja baper,” gumam Amaz.“Yah sudah, ngapain telpon?” rup

DMCA.com Protection Status