Waktu seakan berjalan lambat dari pada biasanya. Dua orang penjahat itu mengepung abis-abisan orang yang tadi sempat menghalangi penjahat itu untuk menyerang Binar. Salah seorang dari penjahat itu memukul pria yang sudah menolong Binar dari belakang. Pria itu bernasib malang seperti Binar. Salah seorangnya lagi mengunci gerak pria itu, dengan leluasa penjahat yang menyerangnya tadi memukulnya dari depan. Pria itu hanya bisa menahan.
Binar berteriak histeris di tempatnya.
“Akhirnya loh muncul juga!” seru salah seorang penjahat itu.
Itulah percakapan mereka yang sempat terekam di benak Binar. Di tengah rasa sakitnya Binar teringat akan sesuatu. Cara halus untuk menolong orang yang sempat menolongnya tadi.Binar dengan penuh perjuangan mengambil ponselnya di saku jaket. Ponsel yang kini layarnya telah retak akibat terkena tendangan dan pukulan dua orang yang menghajarnya tadi. Ia mengutak-atik ponselnya, lalu menekan tombol s
Pintu mengeluarkan bunyi yang berderit kecil. Aras mendorong pintu dengan kaki Binar. Pintu terbuka seiring dengan suara derit. Aras cukup terpesona dengan pemandangan di hadapannya. Rumah yang berukuran sedang itu, dipenuhi dengan banyak ornamen. Ruangan bernuansa putih itu memberikan kesan elegan di setiap edaran pandangan mata. Maju beberapa langkah Aras pun menurunkan Binar di kursi sofa ruangan itu.“Sory gue enggak bisa buatin loh minum,” ujar Binar.Aras mengambil tempat duduk di depan Binar.“Enggak perlu repot-repot gue juga tahu, harga air sekarang mahal,” canda Aras.Binar memanyunkan bibirnya, kesal.“Thanks ya,” ujar Binar setelah beberapa menit mereka tenggelam dalam diam.“Ah dasar loh gengsian, mau ngomong makasi aja tegang amat,” ejek Aras.Ia tersenyum sipu karena berhasil membuat Binar kesal.Binar menggeru
Matahari telah kembali ke peraduannya, hari yang rumit yang telah mereka lewati. Hampir sepuluh menit Binar menunggu Aras kembali menerima paketnya, entahlah apa isinya.Pintu kamar Binar berderit, sosok tinggi kurus itu muncul di balik pintu yang jarak kepalanya dengan bagian atas pintu hanya beberapa centi meter. Sentakan langkah kakinya beradu dengan lantai ruangan. Tangan kanannya membawa sebuah bingkisan.“Apa itu?” tanya Binar ketika Aras meletakan benda yang di bawanya diatas meja.“Bom” balas Aras serius.Binar berdecak tak percaya. Ia mengamati Aras yang sedang membuka bingkisan misterius itu.Aroma makanan langsung memenuhi seisi ruangan. Itu adalah aroma khas daging ayam. Aras memesan KFC lengkap dengan minumannya.Binar senyam senyum tidak jelas.“Ngapain cengar-cengir di situ?” tanya Aras memergoki Binar yang tertangkap basah.“Ehhm jadi gue enggak perlu
Araz melaju di jalanan, angin malam mengantarnya pulang ke rumah dengan rasa yang damai dan tenang. Entah mengapa hatinya diliputi dengan penuh rasa riang dan gembira.sengaja ia mengetes bagaimana kelajuan mobilnya Binar, ia langsung nyaman dengan mobil ini. biasanya Aras ke mana-mana selalu dengan motornya. jarang ia mengendarai mobil, karena ia tidak menyukainya namun kali ini ketika ia mengemudi mobil Binar ia sangat merasa nyaman, entah mengapa, ia seperti sangat suka dengan mobil ini.“Boleh juga nih cewek,” ujarnya dalam hati. Di perjalanan Aras dikejar oleh sekelompok geng motor. Sekilas ia melihat di kaca spion mobil yang ia kemudi, orang yang sedang mengejarnya itu, mereka adalah orang yang tadi sempat bertengkar melawan dia dan Binar.Aras berusaha untuk menghindari mereka, ia tidak mengurangi kelajuan Mobilnya. Di situasi sekarang Aras bingung bagaimana musuhnya itu tahu bahwa yang di dalam mobil itu adalah dirinya. Pa
Sebelum turun Azerus membisikkan sesuatu kepada Tola dan Luta. Tola dan Luta tampak mengangguk paham. Azerus memasukkan sesuatu ke dalam saku baju Tola dan Luta. Mereka tersipu. Azerus melompat dari dalam perahu. Lantas melambaikan tangan kepada dua orang kawannya. Ia berjalan menyusuri pantai, bekas jejaknya tersapu ombak, begitu terus setiap pijakan. Mentari muncul di ufuk timur, semburat cahaya mentari mengisi seluruh pantai ini. Pantai pagi ini sangat ramai. Banyak nelayan yang mengerumuni setiap perahu. Mereka sangat gerak cepat, begitu pula pembeli yang berebutan untuk membeli ikan, yang nantinya akan di jual lagi ke masyarakat. Biasanya mereka menjualnya ke pegunungan.Azerus menyusuri jalan setapak di samping hutan bakau. Orang yang bertemu dengannya selalu bertegur sapa dengan ia. Mereka sangat ramah, rupanya Azerus bertabiat baik di mata penduduk pantai. Setelah berjalan sejauh hampir seratus meter ia tiba depan sebuah rumah,
Binar merasa sedikit lega setelah menceritakan sesuatu yang di alaminya itu kepada ibunya. Binar menelepon ibunya hanya ketika sangat penting, selebihnya ia hanya menunggu ibunya yang menghubunginya, karena Binar takut mengganggu jam kerja ibunya.Setelah bercerita perasaannya sedikit lega, namun ia masih kawatir. Ucapan ibunya yang mengatakan bahwa mimpi itu kadang bisa sebagai alarm dan petunjuk. Binar pusing memaknai maksud dua kata tersebut. Binar selalu percaya dengan apa yang ibunya katakan, karena baginya ibunya seorang motivator yang hebat, ia selalu belajar dari kerja keras dan kegigihan ibunya. Hal itu selalu menjadikan Irishena selalu sosok yang benar di mata Binar, meskipun ada sedikit hal yang tidak Binar benarkan dari ibunya, namun itu tidak menutup dari semua cerita lain dari hidup Irishena.Binar bersiap-siap menuju kampus, walaupun kaki kananya masih harus sedikit di paksakan untuk bisa berdiri tegak.“Astaga ikan ini, aku lupa mengu
Aras terdiam. Pertanyaan Binar bagaikan disambar petir siang bolong. Alasannya akan membuat jatuh harga dirinya. Di situasi seperti sekarang sembilan puluh sembilan persen penghuni bumi memilih untuk berdosa. Kebanyakan dari mereka memilih untuk berbohong. Jujur adalah sesuatu yang mudah diucapkan namun melaksanakannya sama susahnya seperti melawan penjajah.Aras menggaruk kepala, Binar terus menatapnya, menunggu jawaban darinya.“Kenapa?’ ulang Binar.“Ah gue tahu, gue bikin loh nyaman yah?” lanjut Binar lagi.“Jangan Gr deh,” protes Aras.“Yah terus kenapa?” potong Binar.“Gue cuma kasihan sama loh, kaki loh kan belum beres,” sergah Aras.“Cieee kawatir sama gue,” goda Binar.Terpaksa Aras mengalah di balik rahasia besarnya. Ia kembali mengemudi mobil Binar. Suasana tidak sebeku tadi pagi sewaktu mereka berangkat ke kampus.Aras membuka musik, al
Sebuah bola kena di depan mobil Binar. Sekelompok anak kecil sedang bermain bola. Mereka tampak takut untuk memungut bola itu. Binar keluar dari mobil. Binar memungut bola itu, lantas melemparkan kembali bola itu kepada mereka."Makasi kakak baik," ucap mereka kompak.Binar tersenyum riang kepada mereka."Kakak baik, main bareng kita yuk," ajak seorang anak kecil, rambutnya keriting, bajunya penuh pasir.Binar menengok kepada Aras. Aras tampak mengangguk, lantas membuka pintu mobil lalu keluar."Wah ada kakak ganteng juga," goda seorang anak perempuan, rambutnya terurai serata lengan, salah satu gigi depannya sudah tanggal alias ompong.Aras tersenyum puas melihat anak kecil tersebut.Seorang anak yang kepalanya botak, melempar bola kepada Aras, "ayo main kak."Aras menangkap bola itu, memutar-mutar bola di tangannya, menahannya hanya dengan jari telunjuk. Bola itu berputar
Dosen dengan tubuh sedikit gemuk itu berlalu dari hadapan Amaz dan Binar, meninggalkan mereka dengan perasaan kesal. Binar selalu diam jika sedang kesal, kecewa maupun sedang marah. Ia membanting buku dengan kasar di atas meja kesayangannya itu. Sedangkan Amaz komat kamit mulut meniru dengan kesal cara dosen itu berbicara.“Dia pikir bikin esai itu mudah apa?” gerutu Amaz.“Dia pikir orang lain enggak ada kerjaan apa. Bisa menyelesaikan semuanya dalam waktu sesingkat itu,” tambahnya kesal.Binar masa bodoh, ia tidak peduli dengan ancaman dosen tadi.Sementara Amaz sebaliknya, baginya bertanggung jawab dengan segala apa yang di percayakan padanya itu adalah hal yang paling nomor satu. Ia sangat disiplin dan berkomitmen dengan tugas dan keputusannya. Ia selalu punya target dalam menjalankan misinya. Hidupnya bisa di katakan sangat teratur.Binar berlalu dari hadapan Amaz.“Itu anak, enggak ada
Azerus sedikit lebih pulih setelah ditangani. Dokter yang menanganinya tampak sedikit ragu untuk mendiagnosis Azerus, pasalnya tidak ada bagian tubuh yang mengalami masalah. Dokter itu berterus terang bahwa, mungkin Azerus sedang mengalami tekanan batin. Itu berdampak pada konsentrasinya. Dokter menyarankan agar Azerus perlu terbuka pada seseorang yang paling dipercayainya yang dianggap bisa membantu dia menyelesaikan persoalannya. Amaz sangat khawatir dengan keadaan ayahnya, padahal saat ia datang tadi beliau baik-baik saja, dan setelah ketemu Aras, ayahnya menjadi tidak terkendali. Konsentrasi Amaz menjadi kacau, urusannya dengan Binar belum selesai, sekarang kesehatan ayahnya menambah beban di pikirannya. Amaz tidak henti bertanya perihal masalah kesehatan ayahnya."Mungkin benar apa kata dokter tadi, ayah cuman kecapean atau nggak karena banyak pikiran. Tapi kenapa bisa ya? Ayah pikir apa? Bukankah selama ini
Aras menghentikan laju motornya, sementara Binar masih melaju. Sesaat kemudian Binar menyadari jika Aras tidak ada di belakangnya. “Oi, thanks ya,” ujar Binar sedikit menoleh dengan wajah datar. Kemudian melambaikan tangan dan kembali melaju. Pagar gerbang rumahnya terbuka secara otomatis ketika ia menekan sebuah remot. Amaz mengurungkan niatnya untuk menahan Binar. Panggilannya tidak mendapat respon apa-apa dari Binar. Dalam hati Amaz menduga jika Binar sudah tahu soal penyerangan itu. Amaz tak bergeming dari tempatnya bahkan saat jelas-jelas ia tahu kalau kekasihnya baru saja berjalan dengan lelaki lain. Aras memutar balik kendaraannya, dan melesat, meninggalkan tempat itu.Binar masuk ke dalam rumahnya, ia langsung ke kamarnya, mengabaikan sapaan hangat dari Bi Imba dan juga sang kakek. Mereka bertiga tampak panik dan bingung, “Tadi waktu pergi mukanya ceria, sekarang kok malah gitu,” ujar sang Nenek sekaligus mewakili pertan
Dexlicas tidak menggubris pertanyaan Rindi, ia berhasil meloloskan diri ditengah kebingungan ketiga orang itu.“Sialan!” umpat Aras kecewa.“Tunggu, tadi dia bilang, gak ada yang bisa masukin dia ke penjara?” Binar sekali lagi memastikan bahwa yang ia dengar itu tidak salah.Aras dan Rindi mengangguk, mengiyakan apa yang ucakan Binar.“Tunggu, itu terjadi jika ada yang menyogok atau gak mereka punya hubungan keluarga,” gumam Rindi menebak.Mereka bertiga terdiam, “Ah apa mungkin jika mereka bersaudara? Saya ingat waktu itu Afra bilang, itu saudaraku.” ucap Aras setelah berhasil mengingat.“Aku gak tahu kalau soal itu. Cuman dulu Afra pernah bilang kalau ia punya saudara tiri, apa mungkin Dexlicas, yang ia maksud?” tambah Binar.“Kita harus cari tahu ini, dan juga perihal Amaz yang mencurigakan itu. Aku yakin ia terlibat,” gumam Rindi.“A
Satu jam sebelumnya…. POV: ARAS……Aku seakan asing lagi saat berada diantara sepasang kekasih itu. Aku pun memutuskan untuk pergi dari pada harus menjadi obat nyamuk untuk pasangan itu. Baru saja aku dalam perjalanan, tiba-tiba Rindi mengirimiku pesan, kalau ia mendapat petunjuk dari pesan Dexlicas yang diduplikatnya. Tak sabar aku pun langsung tancap gas, menuju lokasi yang dikirim oleh Rindi. Setelah beberapa menit kemudian, aku melihat Dexlicas dalam perjalanan, ia tidak jauh dari sebuah rumah makan yang sekilas aku melihat ada Amaz di sana. Entahlah kenapa tiba-tiba ia ada di sana, bukannya tadi ia sedang bersama Binar? Tapi terserah, tujuanku sekarang adalah Dexlicas.Dexlicas menuju tempat yang sampai kapanpun tidak bisa aku lupakan. Ini adalah tempat yang aku tinggalkan sejak dua tahun yang lalu. Rasanya aku ingin pulang saja karena ku pikir Dexlicas aka
Kedai hari ini menghadirkan sesuatu yang berbeda bagi Binar. Biasanya, ia akan lebih tenang jika berada di sini, namun yang terjadi sekarang, ia merasa seakan ada sebuah tekanan yang mengalir dalam pikirannya.Amaz duduk termangu di hadapannya. Mereka tenggelam dengan pikirannya masing-masing. Binar menatap kosong nasi ikan di hadapannya, begitu pula Amaz. Tidak ada lagi kalimat yang dilontarkan semenjak kepergian Aras tadi. Sesungguhnya Amaz, masih memikirkan masalahnya. Sesuatu yang cemerlang pun tiba-tiba muncul dalam pikirannya.Ia pun dengan gesit, mengambil ponsel dan mengirimkan sebuah pesan kepada Dexlicas atau yang sering dipanggil dengan nama Gefol olehnya. Menurut Amaz, Gefol lebih singkat dari pada Dexlicas. Binar sedikit menaruh rasa curiga terhadap sikap Amaz sekarang. Ia sangat tahu Amaz, jika Amaz selalu diam, itu artinya ada sesuatu yang mengusiknya."Kenapa?" tanya Binar akhirnya. Ia melihat sesuatu yan
Sosok yang berjalan dengan langkah gontai itu, tersungkur ke dalam dekapan Aras. Aras tampak terkejut. Ziyo melihat mereka terlibat percakapan yang tidak lama. Hasil rekaman itu tidak menghasilkan suara. Entah apa yang sedang mereka bicarakan, Ziyo memutuskan untuk selebihnya percaya kepada Aras. Ziyo cukup puas dengan penyelidikannya sekarang, meskipun belum semuanya terbongkar, setidaknya satu dari sekian banyak langkah sudah bisa ditapaki. Ziyo meminta izin untuk menyalin hasil rekaman itu.“Kasus sebesar ini, baru diselidiki sekarang?” gumam salah seorang petugas di sana.“Emangnya dulu belum ada yang mengusut hal ini?” Ziyo malah balik tanya, dulu ia sangat terpukul akibat kepergian Afra, sehingga tidak sempat untuk menyelidiki semuanya. Ia mengira pihak keluarga yang mengurusnya, namun pernyataan tadi cukup menjanggal pikirannya. Berbagai argumen mulai timbul dalam pikirannya. Tentang mengapa keluarga membiarkannya begitu saja, dan terle
Mereka kembali ke pantai setelah menyaksikan matahari benar-benar tenggelam. Aras telah mengambil banyak gambar dengan menggunakan kamera milik Binar. Mereka tampak sangat menikmati petualangan tadi, begitu pula dengan Trea, rupanya ya mulai bersahabat dengan laut meskipun selalu muntah."Wah, Nar, enak benar jadi kamu." seru Jaya kegirangan. Binar hanya tersenyum kecil membalasnya. Baginya itu hal yang biasa, namun aliran mereka kali ini membuat kebiasaannya itu agak sedikit tidak biasa melainkan luar biasa. Dia biasanya mengarungi lautan dengan beberapa nelayan yang sudah tua.Aras menghantarkan Binar pulang ke rumahnya dan langsung pamit pulang setelah memastikan Binar masuk dengan selamat. Binar segera menghampiri orang tuanya di kamar mereka, dia tidak memberi kabar selama seharian ini."Eh kamu sudah pulang Nak," Azerus berbasa basi."Iya. Oh iya, gimana maksud Mama yang bilang kondisi Papa naik turun gitu?" serga
Aras menarik nafas panjang sebelum menyampaikan berita super penting itu kepada rekannya,”Ini tentang Afra,” desisnya hampir tak terdengar. “Afra?” Rindi mengulangi ujaran Aras.“Ternyata Ziyo adalah sahabatnya dan Binar adalah mantan kekasihnya,” ujar Aras kembali serius dan dengan berat menyebut nama Binar sebagai mantan kekasih Afra. Rindi tampak tidak percaya dengan ucapan sahabatnya itu. Fakta barusan seakan membungkam mulutnya dan menarik semua kata-kata dari pikirannya sehingga ia kehabisan kata-kata.“Itulah bro. Aku juga tidak ngerti. Semua seperti sangat berhubungan. Saling terkait,” tutur Aras kemudian.“Berarti penyerangan selama ini, bisa dipastikan karena Afra alasan utamanya. Mungkin saja orang terdekat Afra yang tidak terima hingga mau balas dendam,” Rindi menambahkan.“Boleh juga sih. Kata Ziyo, Afra orang yang cukup berpengaruh. Dia pintar, keren dan kaya. Populer sema
Binar membiarkan kamera besarnya terkalung pada lehernya, sementara tangannya yang sedikit berlumur pasir dengan gesit menggeser layar ponselnya. Ia memperbesar ukuran gambar yang dikirim Amaz lantas tersenyum haru melihatnya. Anak-anak rumah ketan terlihat sangat bahagia melayani pembeli yang ramai, itulah foto yang dikirim Amaz.“Kamu lagi di sana?” dengan cepat Binar menyentuh papan keyboar dan mengirimnya segera. Beberapa detik kemudian sebuah panggilan video call dari Amaz masuk ke ponselnya. Binar segera menggeser ikon berwarna hijau untuk menjawabnya. Panggilan pun terhubung.“Hei,” sapa Amaz yang masih terlihat berada di Rumah Ketan. Binar hanya tersenyum membalasnya. “Nah gini dong, mentang-mentang di kampung halaman, senyumnya diumbar-umbar,” sambung Amaz.“Apaan sih? Biasa aja” celetuk Binar malu.“Idih, gitu aja baper,” gumam Amaz.“Yah sudah, ngapain telpon?” rup