Pertanyaan Binar bagaikan petir yang menyambar disiang bolong. Azerus terlihat tegang. Tatapan matanya seperti orang yang terpergok sedang melakukan kejahatan.
Di dapur Bi Imba sedang membuatkan es kelapa kesukaan Binar. Minuman yang berbahan dasar air kelapa asli yang baru saja ia belah. Daging kelapa yang masih sangat muda itu ia kerok lalu dimasukan kedalam gelas yang berisi air kelapa dan beberapa keping es batu. Bi Imba menambahkan sedikit susu bubuk pada sentuhan terakhirnya. Jadilah segelas es kelapa asli minunan favorit Binar sejak dahulu kala. Setelah semua telah disiapkan Bi Imba membawanya ke ruangan tempat majikannya duduk. Bi Imba kebingungan mendapatkan ekspresi majikannya yang sangat tegang. Yah kondisi mereka saat ini seperti sedang menunggu keputusan hakim agung di persidangan.“Ini Non minumannya,” ujar Bi Imba sembari menyodorkan gelas di depan Binar. Binar tersenyum menyambutnya. Bi Imba pun melakukan hal yang sama kepada Azerus. Azerus membiarkan pembantunya meletakan minuman di meja yang ada dihadapannya. Azerus berpura-pura membersihkan pasir yang nyangkut di pakaiannya. “ Pa kenapa?” tanya Binar untuk kedua kalinya.“Kenapa gimana?” balas Azerus mengelak.“Papa kemana selama ini. Papa enggak di rumah kan?” Binar makin menuntut ayahnya untuk segera menjawab.“ Enggak kemana-mana kok. Papa Cuma melaut.” Ujar Azerus seadanya.“ Papa enggak bohong kan?” Binar semakin meneror.“ Enggak sayang. Kamu tahu sendiri kan papa gimana kalau melaut.” Jawab Azerus mencoba meyakinkan.“ Iya aku tahu. Biasanya papa pergi tiga sampai empat lima hari baru pulang,” balas Binar.“ Nah itu tahu” balas Azerus. Sedikit rasa percaya diri mulai kembali kedalam dirinya. “ Yah sudah sayang, itu enggak penting. Mendingan kita habisin dulu minumannnya,” lanjut Azerus.“ Tapi pa, aku ingat dua bulan lalu ketika aku pulang, aku minjam sabun cair di kamar mandi papa. Aku ingat saat itu persediaan sabun cair di kamar mandiku sudah habis. Aku ingat, dulu aku menyisahkan tepat di garis kelima pada takarannya, dan tadi waktu aku pulang sabun itu masih sama.” Tegas Binar.Ia sedang mencari celah agar ayahnya mau jujur. Binar tidak ingin melibatkan pembantunya dalam hal ini.Azerus terlihat gelagapan. Ia kehabisan kata-kata. Binar pun sama, ia merasa bersalah karena terlalu menuntut ayahnya. “Maafin aku pa.” gumamnya dalam hati.Binar meraih minumannya di meja, meneguknya dengan huru-hara. Ia tidak berhenti meneguk, hingga gelas itu kosong. Ia melampiaskan amarahnya kepada minumannya. “ Pa aku harap kita bertiga akan selalu bersama selamanya,” ucap Binar sembari berdiri. “ Aku pergi dulu pa,” ujar Binar sambil meraih tangan Amas untuk menyalaminya. Azerus berdiri dengan penuh rasa bersalah. Binar mengambil akuariumnya dan berjalan keluar rumah. Bi Imba berlari dari dapur saat mendengar bahwa Binar mau pamit pulang.“ Eh Non enggak makan dulu?” Bi Imba menawari.“ Enggak usah Bi. Masih kenyang.” Jawab Binar.“Loh tadi katanya pengen makan masakan Bibi,” balas Bi Imba. “Lain kali aja Bi,” kata Binar sambil masuk ke mobilnya.“ Yah sudah hati-hati ya Non,” terikak Bi Imba melambaikan tangan. Binar membalasnya dengan membunyikan klakson mobilnya. Beberapa saat kemudian mobil itu lenyap dari hadapan mereka. Azerus masih terpaku di sofa. Ia bahkan tidak mengantar putrinya sampai ke depan gerbang rumah. Bi Imba menutup kembali pagar lantas melangkah masuk kembali ke dalam rumah.“ Kamu tadi bicara apa saja ke anak saya,” tukas Azerus.Bi Imba terlihat santai. Ia menjawab, “ oh tadi cuma ceritain tentang teman kecilnya Non Binar, soalnya tadi ia tanya pada kemana mereka.”Azerus terlihat percaya dengan apa yang diucapkan pembantunya. Mungkin ia percaya bahwa pembantunya itu sangat polos. Kemungkinan untuk membohonginya itu cuma setengah persen.“Saya izin kembali ke dapur dulu Tuan,” ucap Bi Imba santun.Azerus tidak menghiraukannya. Otaknya masih diselimuti rentetan pertanyaan Binar tadi. Bi Imba pun melangkah ke dapur. Ia mengelus dada, “untung aja Tuan tidak banyak tanya,” gumamnya dalam hati. Azerus menghempaskan tubuh kekarnya ke sofa. Ia terlihat frustasi. Keraguan-keraguannya selama ini perlahan mulai terkuak. Benar apa kata orang. Rahasia itu semacam kita menggengam segenggam pasir. Semakin kita mempertahankannya pasir itu akan semakin tumpah perlahan dari genggaman kita. Matahari semakin terik, Binar memacu mobilnya dengan kencang. Pikirannya kalut. Ia mulai membayangkan ribuan kemungkinan tentang ayahnya yang kata pembantunya jarang pulang ke rumah. Di sela bingungnya ia mempertanyakan apa yang terjadi pada ayahnya ia teringat bagaimanakah ibunya sekarang. Hampis setengah tahun ia tidak memeluk ibunya. Seorang dokter yang disebut penyelamat oleh sebagian pasiennya tetapi ibu yang jauh bagi anaknya. Setelah beberapa jam di jalanan akhirnya Binar tiba di rumahnya. Dengan tergesa-gesa ia mengurus ikannya, setelah itu pergi lagi. Sedikit kesibukan dengan urusan kampus membuat ia sedikit melupakan masalahnya. Rupanya kabar dari Bi Imba tadi telah mengusik sepihnya. Binar tiba di depan sebuah kedai. Ia memesan makanan. “Bu seperti biasa,” ujarnya sedikit berteriak kepada penjaga kedai langganannya.Penjaga itu mengangguk mengerti lantas menyiapkan makanan yang biasa dipesan Binar. Beberapa menit berlalu. Binar telah melahap semua isi mangkuknya. Ketika pergi membayar ia berpapasan dengan orang yang menabraknya di pintu toko buku. Ia masih ingat sosok tinggi kurus itu. Binar tampak acuh begitupun pria itu. Mereka seperti dua orang asing yang tidak pernah bertemu. Binar menyerahkan selembar uang dua puluh ribu untuk membayar makanannya.
“Tunggu bentar, saya cari uang kembalian dulu,” ucap penjaga kedai sambil menerima uang dari Binar.Pria tadi pun menghentikan penjaga warung. Ia membayar makanannya dengan selembar uang sepuluh ribu rupiah. Penjaga kedai tampak tersenyum kepada pria itu.
“Ah Nar ini uang kembaliannya,” ujar penjaga warung.Binar yang masih sibuk dengan ponselnya segera merespon. Ia menerima uang itu, memeriksanya terlebih dahulu.“Bu kok gini sih,” ujar Binar kesal. “Ada apa? “ tanya penjaga kedai memastikan. “Masa uangnya robek gini, “ balas Binar tidak terima. “Wah itu tadi uangnya dia, “ balas penjaga kedai sembari menunjuk ke arah pria yang masih mengemas barangnya. “Enggak mau yang ini, “ umpat Binar. “Tapi uang kembaliannya tidak ada, “ balas penjaga kedai protes. “Ah terserah, saya tidak mau uang yang ini.” Tukas Binar sembari menyerahkan uang itu kepada penjaga kedai. Penjaga kedai menggeleng kepala. Ia memanggil pria yang memberikan uang itu tadi. “ Aras sini dulu, “ ia sedikit berteriak. Pria bernama Aras itu menghampiri mereka. “Ada apa Bu? “ tanyanya sopan. “jadi gini, uang kamu tadi udah robek,” jelas penjaga kedai. “Oh maaf bu. Biar saya ganti lagi,” balas Aras antusias. Ia memergoh saku jaketnya. Setelah ia memeriksanya uang yang ia butuhkan tidak ada di sana. “Maaf Bu saya tidak bawa uang pas,” ucapnya penuh rasa bersalah. “ Sudah biar enggak jadi aja,” tegas Binar kesal. Binar beranjak pergi meninggalkan penjaga kedai dan Aras yang keheranan di meja kasir. Binar pergi tanpa mengambil uang kembaliannya. “Tadi mendesak untuk segera mengembalikan uangnya. Sekarang malah ia yang kabur.” Kata Aras menggeleng kesal. “ Sepertinya aku pernah melihat orang itu, tapi dimana ya?” Aras mencoba mengingat-ingat.Suasana kedai kembali lenggang. Aras pun pamit pulang kepada penjaga kedai.“Jangan lupa besok mampir lagi,” tawar penjaga kedai.“heem, kapan-kapan,” ucap Aras sembari memasang tas ranselnya.Kedai kembali ramai, banyak mahasiswa yang menghabiskan waktu mereka untuk bersantai di kedai ini. Kedai yang sangat sederhana, bangunannya terbuat dari bahan dasar kayu, baik dinding maupun kursi dan mejanya. Di setiap sudut ruangan dan setiap meja selalu ada bunga, bunga yang berbeda-beda sehingga kesannya sangat natural dan hidup. Pemilik kedai ini sudah sangat tua, sekarang yang menggantikan mereka adalah anaknya. Binar adalah pelanggan setia kedai ini. Biasanya yang dominan nongkrong di kedai ini adalah anak jurnalis. Tidak tahu apa alasannya.Binar berlari kecil untuk mengikuti kelas psikologi. Mata pelajaran ini tidak diwajibkan bagi materi mereka, Binar mengikutinya karena ia rasa itu perlu.Dosen yang m
“Oke, pelajaran hari ini cukup sampai di sini, jangan lupa kirim tugasnya melalui email, saya terima lima menit setelah azan magrib.” Tegas sang dosen tanpa peduli dengan Amaz yang masih kesal.Beberapa saat setelah itu dosen keluar kelas yang disusul mahasiswa lainnya, kecuali Binar dan Amaz. Binar kembali ke mejanya dan mengambil tasnya. Begitu pula dengan Amaz. Ia menggendong tasnya dengan kesal. Mungkin tidak boleh ada kata kalah di hidupnya.Binar melangkah keluar kelas. Langkahnya terhenti ketika Amaz menarik rambutnya. Binar mendesis marah.“Udahlah kalau kalah tinggal ngaku aja,” ejek Binar.“Eh loh harus tahu, gue enggak kalah, cuma tuh dosennya aja aneh,” balas Amaz membela diri.“Oh maksud loh beliau psikopat?” celah Binar.“Loh yang bilang, bukan gue!” serunya.Binar terlihat malas menanggapinya. Tidak ada waktu untuk berdebat dengan pria ane
Hari sudah mulai gelap. Lampu jalan mulai menyilaukan mata, Binar kembali fokus setelah meninggalkan Aras yang tidak tahu lagi bagaimana keadaanya sekarang.Jalanan masih ramai. Di pertigaan jalan tepat menyala lampu merah Binar berhenti dan mengecek ponselnya.“ Wah udah lewat, tugas gue.” Desisnya sambil menepuk jidat.Binar mulai panik, ia tidak fokus lagi dengan kendaraannya.“Ah sial, enggak mungkin gue diberi toleransi setelah berulah di kelasnya tadi.” Desis Binar dalam hati.Waktunya tinggal tujuh menit, tugas yang di berikan cukup mudah, tetapi di situasi yang seperti sekarang rasanya untuk menjawab soal, satu tambah satu sama seperti memecahkan rumus logaritma.Binar masih mengendarai mobilnya, sambil sesekali matanya menatap layar ponsel dan juga memperhatikan sekitar jalan raya. Akhirnya ia sampai di tempat yang cukup sepih. Ia menepi dan menghentikan mobilnya. Beberapa
Chiara tertegun di ranjangnya. Nalurinya menyadari bahwa ucapannya telah menyinggung perasaan sang dokter, meskipun dokter tidak menceritakan secara langsung kepadanya. Ia menatap sendu kepada Irishena. Irishena masih dengan lamunannya, sehingga tanpa ia sadari setumpuk air mata hampir membanjiri pipinya.Waktu seakan berjalan sangat lambat dari pada biasanya. Dua orang perawat yang membantu Irishena tampak kebingungan dengan keadaan yang terjadi sekarang. Mereka saling menatap satu sama lain, memainkan alis, mempertanyakan arti semua ini. Yah jelas ini bukan drama.Akhirnya Chiara memberanikan diri untuk bertanya.“Dok,” ucap Chiara dengan suara yang masih serak, mungkin karena ia sehabis menangis dan teriak.Irishena tidak menggubris. Mungkin ia tidak mendengar karena konsentrasinya buyar.Sekali lagi Chiara mengulanginya untuk memanggil dokter.“Dok, dokter enggak apa-apa kan?” lanjut Chiara santun.
Jalanan masih cukup ramai, banyak kendaraan roda empat yang masih lalu lalang. Binar masih jauh di belakang. Targetnya melaju dengan cepat. Binar tidak menyerah, meskipun samar-samar Binar melihat orang yang sudah melempari rumahnya, namun ia belum kehilangan jejak. Binar menambah laju kendaraannya. Ia melesat, menyalib banyak mobil yang memadat di jalan raya. Dalam sekitar lima menit posisi Binar sudah dekat dengan orang asing itu. Hingga sampailah mereka di jalanan yang sepih. Binar berusaha menyalib motor orang itu, ia menambah kecepatan hingga akhirnya ia berada di samping orang itu. Mereka terus mengadu nyali di jalanan, orang asing itu berusaha menghindar sedangkan Binar tidak menyerah untuk mendapatkannya. Binar sudah habis kesabaran. Orang itu mengendarai motornya dengan zig-zag di depan Binar. Hingga di tikungan Binar menendang orang itu dari samping. Orang asing itu terpental dari motornya, ia jatuh berguling-guling di aspal. Roda motor Binar mengikis aspal, karena i
Binar menyusuri setiap anak tangga, ruangan itu masih gelap. Ia menyalahkan senter pada ponselnya. Setelah menapaki hampir tiga puluhan anak tangga, sampailah Binar di lantai dasar, ruangan itu. Sebuah ruangan yang luasnya hampir empat puluh delapan meter persegi. Setelah berjalan beberapa langkah ke arah kiri ia menekan sebuah tombol yang menempel di tembok. Ruangan seketika menjadi terang. Ruangan bernuansa keemasan itu tampak megah dan mewah. Satu meter dari langit-langit ruangan di bagian barat tampak jelas sisi samping dekat ujung bawah kolam renang. Ruangan itu terletak sedikit lebih rendah dari kolam renang. Binar meletakan makanannya di atas sebuah meja kayu. Di hadapannya ada komputer. Binar mulai mengutak atik komputer tersebut, rupanya ia melihat rekaman beberapa jam yang lalu, ketika rumahnya di serang. Lantas menyesuaikan ciri yang ada di komputer itu dengan orang yang ia foto tadi di jalan. Ternyata keduanya sesuai.Ia menghempaskan
Binar mendorong Trea menjauhi dirinya. Trea tidak bisa melawan, sesuatu seperti telah menghantam bokongnya. Binar kembali kedalam mobil. Sebelum masuk ia mengacungkan jari tengahnya, melambangkan fuck.“Heh Keura loh udah gila ya, cepat hapus postingan loh!” bentak Trea geram.Keura menurut, ia segera memasukkan ponselnya ke dalam tas, tapi terlambat seisi kampus sudah melihat semuanya. Drama yang mereka pentaskan siang ini telah mencuri waktu banyak penonton. Bahkan video berdurasi beberapa menit itu sudah beredar viral di sosial media. Perbuatan Trea kembali kepada dirinya. Ini sama halnya ketika kita menunjuk menyalahkan orang lain. Kita tidak menyadari, kepal tangan kita beberapa jarinya kembali kepada diri sendiri, ini mengingatkan kita bahwa semua yang kita perbuat akan timbal balik. Perbuatan yang baik akan menuai baik begitu pula sebaliknya.Para kreator konten mengedit video itu seapiknya, sehingga dalam beber
Binar tidak berani menanyakan siapa orang itu kepada Amaz, karena ia tidak ingin Amaz berprasangka yang tidak-tidak tentang dirinya. Ia takut bakalan di ledeki abis-abisan oleh Amaz.“Mending gue selidiki diam-diam dari pada entar citraan gue hancur karena dituduh kecentilan sama cowok itu,” gumamnya dalam hati.Amaz membuka pintu, sebelum keluar ia mengucapkan terima kasih kepada Binar. Hujan mulai reda.“Eh loh enggak masuk dulu,” tawar Amaz.“Enggak usah, gue ada urusan.” Tolak Binar.Binar pun kembali tancap gas, ia tidak ingin kehilangan jejak orang itu.“Apa hubungan orang itu dengan Amaz ya?” tanya Binar dalam hati.Mobilnya melaju dengan kecepatan tinggi, jalanan masih sepih. Setelah beberapa menit ia masih belum menemukan apa-apa tentang orang itu. Binar tidak menyerah, ia terus m
Azerus sedikit lebih pulih setelah ditangani. Dokter yang menanganinya tampak sedikit ragu untuk mendiagnosis Azerus, pasalnya tidak ada bagian tubuh yang mengalami masalah. Dokter itu berterus terang bahwa, mungkin Azerus sedang mengalami tekanan batin. Itu berdampak pada konsentrasinya. Dokter menyarankan agar Azerus perlu terbuka pada seseorang yang paling dipercayainya yang dianggap bisa membantu dia menyelesaikan persoalannya. Amaz sangat khawatir dengan keadaan ayahnya, padahal saat ia datang tadi beliau baik-baik saja, dan setelah ketemu Aras, ayahnya menjadi tidak terkendali. Konsentrasi Amaz menjadi kacau, urusannya dengan Binar belum selesai, sekarang kesehatan ayahnya menambah beban di pikirannya. Amaz tidak henti bertanya perihal masalah kesehatan ayahnya."Mungkin benar apa kata dokter tadi, ayah cuman kecapean atau nggak karena banyak pikiran. Tapi kenapa bisa ya? Ayah pikir apa? Bukankah selama ini
Aras menghentikan laju motornya, sementara Binar masih melaju. Sesaat kemudian Binar menyadari jika Aras tidak ada di belakangnya. “Oi, thanks ya,” ujar Binar sedikit menoleh dengan wajah datar. Kemudian melambaikan tangan dan kembali melaju. Pagar gerbang rumahnya terbuka secara otomatis ketika ia menekan sebuah remot. Amaz mengurungkan niatnya untuk menahan Binar. Panggilannya tidak mendapat respon apa-apa dari Binar. Dalam hati Amaz menduga jika Binar sudah tahu soal penyerangan itu. Amaz tak bergeming dari tempatnya bahkan saat jelas-jelas ia tahu kalau kekasihnya baru saja berjalan dengan lelaki lain. Aras memutar balik kendaraannya, dan melesat, meninggalkan tempat itu.Binar masuk ke dalam rumahnya, ia langsung ke kamarnya, mengabaikan sapaan hangat dari Bi Imba dan juga sang kakek. Mereka bertiga tampak panik dan bingung, “Tadi waktu pergi mukanya ceria, sekarang kok malah gitu,” ujar sang Nenek sekaligus mewakili pertan
Dexlicas tidak menggubris pertanyaan Rindi, ia berhasil meloloskan diri ditengah kebingungan ketiga orang itu.“Sialan!” umpat Aras kecewa.“Tunggu, tadi dia bilang, gak ada yang bisa masukin dia ke penjara?” Binar sekali lagi memastikan bahwa yang ia dengar itu tidak salah.Aras dan Rindi mengangguk, mengiyakan apa yang ucakan Binar.“Tunggu, itu terjadi jika ada yang menyogok atau gak mereka punya hubungan keluarga,” gumam Rindi menebak.Mereka bertiga terdiam, “Ah apa mungkin jika mereka bersaudara? Saya ingat waktu itu Afra bilang, itu saudaraku.” ucap Aras setelah berhasil mengingat.“Aku gak tahu kalau soal itu. Cuman dulu Afra pernah bilang kalau ia punya saudara tiri, apa mungkin Dexlicas, yang ia maksud?” tambah Binar.“Kita harus cari tahu ini, dan juga perihal Amaz yang mencurigakan itu. Aku yakin ia terlibat,” gumam Rindi.“A
Satu jam sebelumnya…. POV: ARAS……Aku seakan asing lagi saat berada diantara sepasang kekasih itu. Aku pun memutuskan untuk pergi dari pada harus menjadi obat nyamuk untuk pasangan itu. Baru saja aku dalam perjalanan, tiba-tiba Rindi mengirimiku pesan, kalau ia mendapat petunjuk dari pesan Dexlicas yang diduplikatnya. Tak sabar aku pun langsung tancap gas, menuju lokasi yang dikirim oleh Rindi. Setelah beberapa menit kemudian, aku melihat Dexlicas dalam perjalanan, ia tidak jauh dari sebuah rumah makan yang sekilas aku melihat ada Amaz di sana. Entahlah kenapa tiba-tiba ia ada di sana, bukannya tadi ia sedang bersama Binar? Tapi terserah, tujuanku sekarang adalah Dexlicas.Dexlicas menuju tempat yang sampai kapanpun tidak bisa aku lupakan. Ini adalah tempat yang aku tinggalkan sejak dua tahun yang lalu. Rasanya aku ingin pulang saja karena ku pikir Dexlicas aka
Kedai hari ini menghadirkan sesuatu yang berbeda bagi Binar. Biasanya, ia akan lebih tenang jika berada di sini, namun yang terjadi sekarang, ia merasa seakan ada sebuah tekanan yang mengalir dalam pikirannya.Amaz duduk termangu di hadapannya. Mereka tenggelam dengan pikirannya masing-masing. Binar menatap kosong nasi ikan di hadapannya, begitu pula Amaz. Tidak ada lagi kalimat yang dilontarkan semenjak kepergian Aras tadi. Sesungguhnya Amaz, masih memikirkan masalahnya. Sesuatu yang cemerlang pun tiba-tiba muncul dalam pikirannya.Ia pun dengan gesit, mengambil ponsel dan mengirimkan sebuah pesan kepada Dexlicas atau yang sering dipanggil dengan nama Gefol olehnya. Menurut Amaz, Gefol lebih singkat dari pada Dexlicas. Binar sedikit menaruh rasa curiga terhadap sikap Amaz sekarang. Ia sangat tahu Amaz, jika Amaz selalu diam, itu artinya ada sesuatu yang mengusiknya."Kenapa?" tanya Binar akhirnya. Ia melihat sesuatu yan
Sosok yang berjalan dengan langkah gontai itu, tersungkur ke dalam dekapan Aras. Aras tampak terkejut. Ziyo melihat mereka terlibat percakapan yang tidak lama. Hasil rekaman itu tidak menghasilkan suara. Entah apa yang sedang mereka bicarakan, Ziyo memutuskan untuk selebihnya percaya kepada Aras. Ziyo cukup puas dengan penyelidikannya sekarang, meskipun belum semuanya terbongkar, setidaknya satu dari sekian banyak langkah sudah bisa ditapaki. Ziyo meminta izin untuk menyalin hasil rekaman itu.“Kasus sebesar ini, baru diselidiki sekarang?” gumam salah seorang petugas di sana.“Emangnya dulu belum ada yang mengusut hal ini?” Ziyo malah balik tanya, dulu ia sangat terpukul akibat kepergian Afra, sehingga tidak sempat untuk menyelidiki semuanya. Ia mengira pihak keluarga yang mengurusnya, namun pernyataan tadi cukup menjanggal pikirannya. Berbagai argumen mulai timbul dalam pikirannya. Tentang mengapa keluarga membiarkannya begitu saja, dan terle
Mereka kembali ke pantai setelah menyaksikan matahari benar-benar tenggelam. Aras telah mengambil banyak gambar dengan menggunakan kamera milik Binar. Mereka tampak sangat menikmati petualangan tadi, begitu pula dengan Trea, rupanya ya mulai bersahabat dengan laut meskipun selalu muntah."Wah, Nar, enak benar jadi kamu." seru Jaya kegirangan. Binar hanya tersenyum kecil membalasnya. Baginya itu hal yang biasa, namun aliran mereka kali ini membuat kebiasaannya itu agak sedikit tidak biasa melainkan luar biasa. Dia biasanya mengarungi lautan dengan beberapa nelayan yang sudah tua.Aras menghantarkan Binar pulang ke rumahnya dan langsung pamit pulang setelah memastikan Binar masuk dengan selamat. Binar segera menghampiri orang tuanya di kamar mereka, dia tidak memberi kabar selama seharian ini."Eh kamu sudah pulang Nak," Azerus berbasa basi."Iya. Oh iya, gimana maksud Mama yang bilang kondisi Papa naik turun gitu?" serga
Aras menarik nafas panjang sebelum menyampaikan berita super penting itu kepada rekannya,”Ini tentang Afra,” desisnya hampir tak terdengar. “Afra?” Rindi mengulangi ujaran Aras.“Ternyata Ziyo adalah sahabatnya dan Binar adalah mantan kekasihnya,” ujar Aras kembali serius dan dengan berat menyebut nama Binar sebagai mantan kekasih Afra. Rindi tampak tidak percaya dengan ucapan sahabatnya itu. Fakta barusan seakan membungkam mulutnya dan menarik semua kata-kata dari pikirannya sehingga ia kehabisan kata-kata.“Itulah bro. Aku juga tidak ngerti. Semua seperti sangat berhubungan. Saling terkait,” tutur Aras kemudian.“Berarti penyerangan selama ini, bisa dipastikan karena Afra alasan utamanya. Mungkin saja orang terdekat Afra yang tidak terima hingga mau balas dendam,” Rindi menambahkan.“Boleh juga sih. Kata Ziyo, Afra orang yang cukup berpengaruh. Dia pintar, keren dan kaya. Populer sema
Binar membiarkan kamera besarnya terkalung pada lehernya, sementara tangannya yang sedikit berlumur pasir dengan gesit menggeser layar ponselnya. Ia memperbesar ukuran gambar yang dikirim Amaz lantas tersenyum haru melihatnya. Anak-anak rumah ketan terlihat sangat bahagia melayani pembeli yang ramai, itulah foto yang dikirim Amaz.“Kamu lagi di sana?” dengan cepat Binar menyentuh papan keyboar dan mengirimnya segera. Beberapa detik kemudian sebuah panggilan video call dari Amaz masuk ke ponselnya. Binar segera menggeser ikon berwarna hijau untuk menjawabnya. Panggilan pun terhubung.“Hei,” sapa Amaz yang masih terlihat berada di Rumah Ketan. Binar hanya tersenyum membalasnya. “Nah gini dong, mentang-mentang di kampung halaman, senyumnya diumbar-umbar,” sambung Amaz.“Apaan sih? Biasa aja” celetuk Binar malu.“Idih, gitu aja baper,” gumam Amaz.“Yah sudah, ngapain telpon?” rup