Mansion Amberlane, Madrid, Spain. | 21.09 AM.
Jason Maxwel berdiri di sana, menatap keluarga yang balik menatapnya juga. Obrolan yang tidak sengaja dia dengar sedari dia sampai di tempat ini membuat laki-laki itu menyadari betapa kerasnya Katherine menolak perjodohan mereka. Perjodohan yang selalu dikatakan oleh Lauren dan Ibunya, kedua Ibu yang sudah sejak dulu mengharapkan Kate dengan Jason berjodoh.Sehingga suara Samuel mengintrupsi semuanya, membuat Jason terpaku begitu Kate menatapnya. Tatapan yang selalu mengunci mata Jason agar tetap menatap keindahan itu. Keindahan yang tidak dapat dia miliki tentunya.Sampai kapan pun dia akan tetap terpesona oleh sosok Kate. Sosok yang tidak pernah balik mencintainya, tapi Jason cukup sadar diri dengan tidak mengharapkan timbal balik dari apa yang dia rasakan terhadap Kate.“Sejak lima menit yang lalu. Aku takut mengganggu pembicaraan kalian.” Jason terkekeh ringan, lantas menepuk bahu anak remaja di hadapannya ini. Wajah Samuel tidak jauh berbeda dengan Kate, sekilas mereka berdua terlihat seperti kembar berbeda kelamin.“Kemari lah, Nak.” Gustavo mengajak Jason untuk menghampirinya.Jason berjalan diikuti oleh Samuel dari belakang. Laki-laki itu berhenti di hadapan Lauren yang menatap Jason dengan raut wajah yang tidak enak hati. Jason menyerahkan sebuah paper bag titipan Bryan, karena kebetulan Jason bertemu dengan anak sulung keluarga Amberlane ketika sedang berada di Kanada. Lalu Bryan menitipkan sesuatu untuk Kate dan Bibi Lauren.“Aku hanya mampir untuk mengantarkan titipan Bryan,” ucap Jason setelah menyerahkan paper bag yang dia bawa.Lauren tersenyum ramah setelah menerimanya. “Ah, terima kasih banyak, Jason.” Setelahnya Lauren menyuruh Jason untuk duduk. Lauren bergerak untuk memanggil pelayan agar membuatkan minuman untuk Jason.Gustavo menanyakan beberapa hal terhadap Jason, mereka berdua terlihat sangat akrab jika sudah membicarakan perihal pekerjaan.“Bagaimana kabar kedua orang tuamu, Nak?” tanya Gustavo. Suara laki-laki paruh baya itu terdengar begitu tenang.Jason tersenyum tipis sebelum menjawab pertanyaan Gustavo. “Mereka baik, Paman. Lagipula semua urusan pekerjaan sudah aku tangani, saat ini Daddy hanya perlu menikmati masa pensiunnya.” Laki-laki itu tersenyum kecil mengingat Ayahnya yang sangat menginginkan untuk segera pensiun semenjak Jason mulai mengambil alih bagian perusahaan.Semakin lama obrolan itu mengalir tanpa adanya rasa canggung diantara ketiganya. Inilah yang Lauren suka dari Jason, laki-laki ini ramah dan begitu mudah tertawa saat berbincang dengannya, maupun dengan suaminya. Lauren hanya ikut menyimak dan sesekali menimpali obrolan suaminya dengan Jason. Samuel sudah kembali ke kamarnya, karena merasa kalau obrolan orang dewasa itu membosankan.Sedangkan Kate lebih memilih untuk keluar rumah. Duduk di sebuah kursi yang menghadap patung angsa putih yang dikelilingi oleh air mancur di sekitarnya, dan dilengkapi dengan lampu yang terletak di tengah-tengah patung tersebut. Sehingga terlihat terang bersinar dan menyenangkan ketika dipandang.Tidak lama setelah itu, suara derap langkah kaki terdengar mendekat. Membuat Kate menoleh dan menemukan sosok Jason yang ikut duduk di kursi kosong di sebelahnya.Angin malam menerpa rambut Kate yang tergerai. Di antara mereka berdua belum ada yang membuka suara lebih dulu. Sebelum Jason yang menintrupsinya lebih dulu.“Hai Katherine, lama tidak berjumpa. Bagaimana kabarmu?” tanya Jason sembari tersenyum tipis dan melambaikan tangannya kepada Kate.Kate balas tersenyum. “Halo Jas, aku baik. Bagaimana denganmu?”“Aku akan terlihat baik-baik saja jika melihatmu tersenyum seperti sekarang,” cengir Jason. Menatap Kate dengan jahil.Beginilah Jason Maxwel saat sedang bersamanya. Dia laki-laki yang memiliki kepribadian yang cukup menyenangkan. Namun sayang sekali Kate tidak pernah memiliki rasa ketertarikan yang sama terhadap Jason. Selain karena alasannya sudah memiliki Liam, dia juga tidak memiliki niatan untuk jatuh cinta terhadap Jason.Perempuan itu tersenyum masam dan mengalihkan tatapannya. Sekaligus mencoba untuk mencari pembahasan yang lain. “Aku tahu, tadi kau mendengar semua perkataan Mommy.”Jason malah terkekeh kecil, dia menyandarkan punggungnya dan menatap langit Madrid yang terlihat gelap dan kelam. Menaikan resleting jaketnya ketika udara malam kian dingin. Jason memikirkan berbagai hal sebelum membalas ucapan Kate barusan.“Kau benar. Aku mendengarnya, meski tidak semuanya. Ini terasa nyata, kan? Aku mencintaimu, dan kau tahu itu. Aku lebih sakit hati mengetahui kau mencintai Liam, ketimbang aku mendengar ucapan Bibi Lauren tadi. Kau cantik, kau berpendidikan, mudah bagimu untuk mencari laki-laki lain yang lebih daripada Liam,” ujar Jason terdengar lirih. Laki-laki itu seakan sudah terlalu letih untuk mencari celah agar bisa masuk ke dalam hati Kate.Kate menoleh, menatap Jason yang terlihat begitu rapuh di hadapannya. “Jas ... jangan berbicara seperti itu. Kau layak mendapatkan perempuan yang melebihi diriku, perihal aku yang tidak mencintaimu bukan berarti kau merasa tidak ada perempuan lain lagi di luaran sana.”Laki-laki itu balas menatap Kate. Memperhatikan wajah manis perempuan di hadapannya, tetapi sayang sekali sosok ini tidak ditakdirkan untuk menjadi miliknya. Katherine Margaretha sudah memilih untuk melabuhkan hatinya terhadap Liam Xaviendra sejak empat tahun yang lalu.Jason menyaksikan itu terjadi sebelum Kate pergi ke London untuk kembali melanjutkan kuliahnya. Bagaimana ekspresi bahagia yang dipancarkan oleh Kate ketika keduanya sudah resmi berpacaran. Saat itu dia kembali patah hati, dia tidak bisa bertindak lagi selain merelakan semua itu terjadi.Mau bagaimana lagi, nasi sudah menjadi bubur.“Empat tahun yang lalu aku sudah patah hati, Kate. Kau pasti tahu itu, bukan?” Jason membalasnya sambil tertawa. Mengenyahkan rasa sesaknya, tidak ingin terlihat lebih menyedihkan di hadapan Kate.Jason berdiri membelakangi Kate yang setia memerhatikan gerak-geriknya. Kedua tangan laki-laki itu dimasukan ke dalam saku jaket kulitnya, menatap lurus ke depan.“Kau sudah kuanggap seperti sahabat sekaligus Kakakku, Jas. Jangan sungkan jika ingin bercerita tentang apa pun itu kepadaku.” Kate memeluk Jason dari belakang, kepalanya dia sandarkan pada punggung Jason yang terasa kokoh dan nyaman.Laki-laki itu tersenyum tipis. Melepaskan kedua tangan Kate dan berbalik badan untuk merangkul Kate ke dalam pelukannya. “Aku menyayangimu Kate, sangat.” Jason mengusap rambut Kate yang terasa halus mengenai tangannya.Jika mencari seorang laki-laki yang menyedihkan karena cintanya tidak pernah terbalas, maka kau akan menemukan Jason berada di tempat ini. Tempat di mana dia belum bisa melupakan Katherine yang memiliki dampak luar biasa bagi hatinya. Mungkin rasanya akan berbeda jika Kate juga memiliki rasa yang sama, tapi ini sudah lama terjadi. Kesempatan itu tidak akan pernah ada untuknya.Katherine hanya akan menganggapnya sebagai seorang kakak sekaligus sahabat. Tidak lebih dari itu, harusnya sejak awal Jason sadar, tapi dia tidak bisa.St. Louister’s Cathedral, Manhattan, USA. | 08.19 AM.Meski saat weekday suasana Louister’s tidak pernah sepi akan pengunjung. Sebuah Gereja dengan nuansa klasik ini terlihat begitu terawat, dan bersih. Orang-orang tampak hilir mudik atau bisa juga disebut dengan keluar masuk. Gereja yang terletak di bagian barat kota Manhattan ini selalu menjadi tempat singgah yang nyaman dan menenangkan pikiran.Semilir angin terasa begitu menyejukkan ketika Sean sudah berada di luar Gereja. Pandangan matanya terlihat selalu tajam meski dalam situasi biasa saja. Jas berwarna biru gelap yang dia sampirkan di bahu kanannya kini hendak dia kenakan, dari tempat tinggalnya Sean tidak langsung berangkat ke kantor. Melainkan menghabiskan waktu dua jamnya untuk beribadah di sini. Burung-burung mulai berkicau sehingga menghasilkan suara indahnya. Taman yang berada di halaman belakang Louister’s terlihat begitu terawat dengan bunga-bunga yang bermekaran indah. Cahaya matahari pagi menyorot sehingga membuat b
Mandiley’s Restaurant, Manhattan, USA. | 09.07 AM.Alunan musik klasik menjadi teman dengar yang baik, seakan iramanya berjodoh dengan Mandiley’s yang bertema klasik tetapi juga terlihat begitu modern. Tentu saja karena pemiliknya tidak ingin ketinggalan jaman. Tidak hanya klasik, Mandiley’s juga terkesan seperti retro dengan kursi dan meja yang terbuat dari kayu kokoh yang diukir tanpa menghilangkan warna aslinya.Terlihat kuno tetapi begitu mewah. Membuat siapa pun tidak akan pernah bosan untuk mengunjungninya. Apa lagi Mandiley’s juga disediakan sebuah bar yang terletak di depan pintu masuk. Selain bar, ada juga sebuah private room yang sering digunakan orang yang bermain billiard atau sekedar bersantai. Dan di sampingnya ada ruang karaoke yang yang dikhususkan untuk lima orang.Sebelah selatan ada sebuah mini panggung yang dilengkapi dengan alat-alat musik. Itu adalah tempat untuk band yang manggung di Mandiley’s ketika petang. Karena waktu sore pengunjung akan semakin banyak.Kat
Manhattan Square, USA. | 13.11 PM.Pusat belanja kota Manhattan begitu banyak akan pengungjungnya. Musik berkelas mengalun menemani pendatang, terasa begitu menenangkan. Di sebelah kanan ada sebuah lift yang akan membawa siapa pun ke lantai atas. Ada juga sebuah eskalator, atau bisa disebut dengan tangga bisa membawa naik atau pun turun.Sedangkan tangga darurat, posisinya berada di pojok ruangan. Di sebelah barat ada sebuah jalan berputar mengelilingi gedung menuju parkiran yang berada di lantai atas. Jika ke sebuah pusat belanja besar seperti Manhattan Square, dengan membawa sebuah kendaraan roda empat maka parkirannya akan berada di atas. Hari ini Kate tidak mengabari kepada Liam mengenai rutinitasnya. Lagi pula Liam pasti sibuk di kantor jadi tidak ada waktu untuk meladeni obrolan tidak bermutunya. Perkara kejadia kemarin saja jejaknya masih terekam jelas oleh ingatannya, Kate tidak mudah lupa begitu saja.Apalagi baru dua hari berada di Manhattan, Kate harus terlibat dengan oran
Manhattan Square, USA. | 13.31 PM.Bertemu dengan klien di Manhattan Square adalah opsi yang menarik sekali bagi Liam. Selain berbicang mengenai bisnis dia juga membicarakan kepentingan lainnya, seperti kesenangan yang lainnya misalnya. Kate tidak harus tahu apa saja aktifitasnya selain berkutat dengan berkas dan laptop.Liam tersenyum sambil memerhatikan perempuan yang sedang menyantap makanan yang sudah Liam pesankan. Meski dia tidak secantik kekasihnya, tapi dia juga cukup membuat Liam senang. Apakah Liam mencintainya? Oh tentu saja bisa jadi seperti itu prosesnya. Secara hubungan gelap mereka sudah terjalin selama dua tahun lamanya. “Bertemu denganmu di sebuah tempat makan akan selalu berakhir seperti ini, lebih baik kita bertemu di pantehousemu saja, Li. Kau bisa merusak bentuk tubuhku jika seperti ini ceritanya.” Perempuan cantik itu mendumel setelah menyelesaikan makannya.Liam tertawa kecil. “Apa salahnya memanjakan perut ratamu itu? Lagi pula kau perlu makan,” cibir Liam. La
William’s Group, Manhattan, USA. | 10.46 AM.Setelah selesai dengan rapatnya, laki-laki bertubuh atletis itu kembali ke ruangannya. Di jalan sempat berbincang singkat mengenai masalah proyek baru yang akan digarapnya. Proyek itu terletak di Amerika Serikat, akan ditinjau langsung oleh Luke setiap dua minggu sekali. Mungkin Sean akan sesekali ke sana jika tidak sibuk. Karena sejak dulu Sean bukanlah laki-laki yang santai, dia selalu memilih sibuk bekerja dan bekerja meski belum memiliki istri yang harus diberi nafkah. Dia juga memikirkan keluarganya, terutama adik perempuannya yang masih berkuliah di London.Di waktu senggang ini tidak Sean gunakan untuk bersantai, dia kembali menyalakan komputernya dan mulai meninjau beberapa soft copy berkas-berkas yang sudah dikirimkan oleh sekretarisnya, Mia.Sampai saat ini dia tidak bisa melupakan hal yang terjadi saat di Manhattan Square. Katherine Margaretha, perempuan itu sukses mengalihkan semua pemikirannya tentang pekerjaan menjadi memikir
Manhattan, USA. | 08.02 AM. Lamborghini Veneno Roadster hitam metalik melaju di jalanan kota Manhattan yang ramai dengan kecepatan pelan, dan berhenti total saat lampu merah. Orang-orang hilir mudik melakukan perjalanan mereka sehingga di jam segini kota metropolitan ini begitu macet yang bisa dibilang cukup berkepanjangan. Kerumunan orang-orang pejalan kaki yang menyebrangi zebra cross ketika lampu merah menyala. Polisi yang patroli di jalanan memantau penyebrang dari jarak 2 meter. Mobil mulai melaju dengan begitu perlahan bersamaan dengan suara klakson yang begitu begitu nyaring. Kate lagi-lagi membunyikan klaksonnya saat mobil di hadapannya tak kunjung melaju. Ini salah satu hal yang membuat Kate begitu malas karena kemacetan kota ini lebih parah daripada di Madrid. “Oh Tuhan, mau sampai kapan aku terjebak kemacetan seperti ini.” Perempuan itu menghela napas setelah melihat jam. Lantas dengan cepat menginjak pedal gasnya ketika lampu sudah berubah hijau. Salah satu keburukan
Mansion William’s, Manhattan, USA. | 19.23 PM.Malam menuju wekend ini digunakan oleh Sean untuk menemui Angeline Alfonso, sang ibu. Untuk membahas tentang Zara Mellano dan kesepakatan yang akan mereka lakukan. Sean tentu saja meminta imbalan untuk apa yang dia lakukan meski itu menyangkut keinginan sang Ibu. Sean meminta kalau ini adalah permintaan terakhir mengenai Zara. “Ini yang terakhir kalinya, ya Mom.” Sean berujar dengan sedikit tegas. Sean tidak mau membuat seorang Zara Mellano besar kepala karena hal ini, dia tidak mau membuat Zara memiliki peluang untuk kembali menjeratnya. Dia sudah muak dengan sosok Zara, sudah tidak ingin campur tangan dengan segala hal yang berhubungan dengan Zara.“Baiklah ... lagi pula Zara itu cantik, Sean. Kau terlihat seperti alergi saja dengan Zara,” dengus Angeline. Menatap Sean begitu malas. “Jika dia tidak cantik, dia tidak akan lulus tes modeling, Mom. Aku begitu muak dengan dia,” balas Sean pendek.Mark ikut menyahut, “Hanya karena d
William’s Group, Manhattan, USA. | 08.07 AM.Pukul delapan pagi Sean baru tiba di kantor karena terjebak macet saat di perjalanan menuju ke mari. Jalanan Manhattan yang ramai, untung saja macetnya tidak berkepanjangan. Di depan lobi kantor, Luke sudah menyambut kedatangannya seperti biasa. Ini adalah salah satu kebiasaan yang sudah terjadi sejak Sean pertama kali menjadi pengendali William Group setelah Mark memilih untuk berhenti. Tidak sepenuhnya berhenti total, hanya jika ada kepentingan yang begitu mendesak baru Mark akan hadir mendampingi Sean.“Selamat pagi, Pak.”“Ya, pagi, Luke.”“Biodata seseorang yang anda minta tadi malam sudah saya letakan di ruangan, Pak. Anda dapat memeriksa kelengkapannya setelah tiba di sana,” ujar Luke yang sudah berdiri menyambut Sean di depan lobi kantor. “Kerja bagus.” Sean membalas sembari tersenyum tipis. Sebentar lagi dia akan menghubungi Kate. Laki-laki bersetelan jas hitam itu melangkahkan tubuh tegapnya masuk ke dalam gedung William Group.
POV Katherine MargarethaHal yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya adalah menua bersama seseorang yang kau cintai dan kau kasihi dengan sepenuh hati, seseorang yang mampu mengubah hidupmu menjadi lebih indah dari sekadar angan-angan yang samar di ujung pikiran. Sean Axel William, pria yang kini menjadi suamiku, telah berhasil menjadikanku perempuan paling beruntung di dunia ini. Dengan kesabaran yang tak pernah goyah, usaha yang tulus dalam setiap langkahnya, dan cinta yang dia tunjukkan melalui tindakan-tindakan kecil yang penuh makna, dia mampu menyentuh diriku dari berbagai sudut yang bahkan aku sendiri tidak pernah sadari sebelumnya. Ada saat-saat ketika aku bertanya pada diriku sendiri, bagaimana mungkin seorang pria seperti Sean—dengan segala kelebihan yang dimilikinya, dengan ketegasan dan kelembutan yang berdampingan—memilih untuk mencurahkan hatinya sepenuhnya kepadaku? Namun, jawaban itu selalu sama: cinta sejati tidak memerlukan alasan yang rumit, hanya ketulusan untuk
Hospital International, Manhattan, USA | 18.45 PMTiga bulan kemudian, di sebuah rumah sakit besar di pusat New York, suasana ruang bersalin dipenuhi ketegangan sekaligus harapan yang membumbung tinggi di antara dinding-dinding putih steril yang mencerminkan cahaya lampu neon terang. Ruangan itu luas namun terasa sesak oleh emosi yang bergolak, dengan aroma antiseptik yang tajam menusuk hidung, bercampur dengan suara monitor detak jantung bayi yang berdengung pelan di latar belakang. Ritme cepat dan teratur dari monitor itu menjadi pengingat bahwa kehidupan baru sedang berjuang untuk hadir ke dunia, sebuah suara yang sekaligus menenangkan dan menegangkan. Kate terbaring di ranjang rumah sakit, wajahnya pucat pasi namun penuh tekad, rambut cokelatnya yang basah oleh keringat menempel di dahi dan pipinya, membingkai wajahnya yang lelah. Kontraksi datang bertubi-tubi seperti gelombang yang tak kenal lelah, membuatnya menggenggam tangan Sean dengan kekuatan yang mengejutkan untuk tubuhnya
William’s Mansion, Manhattan, USA | 07.21 AMPagi itu, sinar matahari lembut menyelinap melalui celah-celah tirai beludru tebal yang menghiasi jendela besar kamar tidur utama di kediaman Sean dan Kate, sebuah rumah mewah bergaya modern yang berdiri di pusat kota dengan pemandangan taman hijau yang luas. Cahaya keemasan itu memantul di lantai marmer putih mengilap, menciptakan pola-pola halus yang menari-nari di sekitar ranjang besar berkanopi kayu mahoni tempat Kate duduk. Dia mengenakan gaun katun longgar berwarna putih yang lembut, kainnya mengalir lembut menutupi perutnya yang kini membuncit di usia kehamilan lima bulan. Beberapa bantal tambahan disusun di punggungnya, memberikan sedikit kenyamanan pada tubuhnya yang terasa semakin berat setiap hari. Udara pagi membawa aroma kopi yang baru diseduh oleh pelayan dari dapur di lantai bawah, bercampur dengan hembusan angin sejuk yang menyelinap melalui jendela yang sedikit terbuka, membawa serta wangi samar bunga mawar dari taman. Kate
Mansion William’s, Manhattan, USA | 20.54 PMMalam itu, kediaman keluarga Sean di kawasan pinggiran kota dipenuhi kehangatan yang khas dari reuni keluarga. Rumah besar bergaya Victorian itu berdiri megah dengan dinding bata merah dan jendela-jendela lengkung yang dikelilingi taman kecil penuh bunga mawar. Ruang makan di dalamnya luas, dengan meja kayu mahoni panjang yang sudah berusia puluhan tahun, permukaannya dipoles hingga mengilap. Lampu gantung antik dari kuningan dan kristal bergoyang pelan di langit-langit, menyebarkan cahaya kuning keemasan yang lembut ke seluruh ruangan. Aroma daging panggang yang baru keluar dari oven bercampur dengan wangi kentang tumbuk dan sayuran segar, menciptakan suasana yang menggugah selera sekaligus nostalgia. Angeline sibuk mengatur hidangan di atas meja dan dibantu oleh beberapa pelayan. Wanita berusia lima puluh lima tahun itu mengenakan gaun biru tua yang sederhana namun elegan, rambutnya yang mulai memutih disanggul rapi. Mark duduk di ujung m
Manhattan, USA | 09.12 PMPagi itu, sebuah kafe kecil di pinggir kota menjadi saksi pertemuan Maria dan James. Bangunan sederhana dari kayu dengan jendela-jendela besar itu berdiri di tepi jalan yang sepi, dikelilingi pepohonan maple yang daunnya mulai menguning di awal musim gugur. Di dalam, aroma kopi panggang dan roti bakar mengisi udara, bercampur dengan suara mesin espresso yang berdengung pelan di belakang konter. Meja kayu kecil di sudut ruangan, tempat Maria dan James duduk berhadapan, tampak sederhana dengan dua cangkir kopi yang mulai mendingin dan beberapa remah roti di piring kecil. Cahaya pagi yang masuk melalui jendela menyinari wajah mereka, namun suasana di antara keduanya terasa jauh dari hangat. Maria duduk dengan tangan bertopang di dagu, matanya yang cokelat tua menatap James dengan campuran harap dan frustrasi yang sulit disembunyikan. Rambutnya yang hitam panjang tergerai di bahunya, sedikit berantakan karena dia berkali-kali mengusapnya dengan gelisah. Dia menge
William Group’s, Manhattan, USA | 08.00 AMPagi itu, pukul delapan tepat, sinar matahari pagi menyelinap melalui jendela-jendela besar ruang rapat di lantai dua puluh gedung William Group, perkantoran modern yang menjulang di pusat kota. Cahaya keemasan itu memantul di permukaan kaca tempered yang menjadi dinding ruangan, menciptakan kilau lembut yang kontras dengan suasana tegang di dalam. Meja konferensi panjang dari kayu walnut mengilap mendominasi ruang, dikelilingi kursi-kursi kulit hitam yang ergonomis, tempat duduk para karyawan senior perusahaan. Aroma kopi yang baru diseduh menguar dari mesin espresso di sudut, bercampur dengan suara lembut kertas-kertas yang dibolak-balik dan ketukan pelan jari di tablet digital. Sean, direktur operasional berusia tiga puluh empat tahun yang baru menikah tiga bulan lalu, duduk di ujung meja, posisinya mencerminkan otoritas yang telah dia bangun selama bertahun-tahun di perusahaan ini. Sean mengenakan setelan abu-abu gelap dengan potongan sem
Xaviendra’ Penthouse, Brooklyn, USA | 01.45 AM Malam itu, setelah meninggalkan pesta pernikahan megah Sean Axel William dan Katherine Margaretha, Liam Xaviendra kembali ke penthouse barunya di Brooklyn. Ruangan itu terasa dingin dan sepi, hanya diterangi lampu meja kecil di sudut yang memancarkan cahaya kuning redup. Liam duduk di sofa tua kesayangannya, setelan abu-abu yang dia kenakan di pesta masih melekat di tubuhnya, namun dasinya telah dilepaskan, tergeletak sembarangan di lantai. Di tangannya, dia memegang segelas wiski, memutar-mutar cairan itu sambil menatap kosong ke arah jendela. Pemandangan kota New York yang biasanya memukau kini terasa hampa baginya. Bayangan Kate dalam gaun pengantin putih terus menghantui pikirannya. Senyum bahagia Kate saat menari dengan Sean, tatapan penuh cinta yang dia berikan pada suaminya, semua itu menusuk hati Liam seperti pisau. Dia tahu, dia tak punya hak atas apa pun lagi. Dua tahun lalu, dia menghancurkan hubungan mereka dengan perselingkuh
Mature content!William’s Mansion, Manhattan, USA | 01.02 AM Malam setelah pesta pernikahan megah, Sean Axel William dan Katherine Margaretha, kini suami-istri, tiba di mansion mewah Sean di Upper East Side, New York, pada pukul satu dini hari. Bangunan bergaya klasik itu telah disulap menjadi tempat istimewa untuk malam pertama mereka. Lampu-lampu redup menerangi fasad luar, sementara di dalam, kelopak mawar merah bertebaran di lantai kayu mengilap, membentuk jalur menuju kamar tidur utama. Lilin-lilin kecil berkelip di sepanjang lorong, memancarkan cahaya hangat yang berpadu dengan aroma lavender dan vanila, menciptakan suasana intim yang memabukkan. Jendela besar di kamar memperlihatkan gemerlap kota New York, menjadi latar sempurna untuk malam yang penuh cinta. Sean membuka pintu depan, tangannya menggenggam tangan Kate dengan erat. Kate, yang telah berganti dari gaun pengantinnya ke gaun satin putih sederhana, melangkah masuk, matanya membelalak kagum. Kelopak mawar membentuk jal
Malam ini dalam sebuah gedung megah di kota metropolitan Manhattan, New York City berkilau di bawah lampu kota yang tak pernah padam, saat pesta pernikahan Sean Axel William dan Katherine Margaretha berlangsung megah di ballroom The Plaza Hotel. Ruangan itu bagaikan istana modern, dengan chandelier kristal raksasa menggantung di langit-langit, memantulkan cahaya ke meja-meja berbalut linen putih yang dihiasi rangkaian mawar putih, peony, dan aksen emas. Sean, pewaris William Group, tampak gagah dalam tuksedo hitam beraksen emas. Sementara Kate memukau dalam gaun pengantin berenda halus yang dirancang khusus, memancarkan aura anggun dan memikat. Di luar, media massa berdesakan, kamera berkedip tanpa henti, mencatat momen dengan tagline malam itu: "Sang Pewaris William Group Menemukan Cinta Sejatinya." Ballroom dipenuhi ratusan tamu dari kalangan elit, suara gelas sampanye berdenting bercampur dengan tawa dan obrolan ringan. Orkestra klasik memainkan melodi lembut di sudut ruangan, seme