Beranda / Romansa / Pelabuhan Akhir Sang Pewaris / 04 : A - Manhattan Square

Share

04 : A - Manhattan Square

Manhattan Square, USA. | 13.11 PM.

Pusat belanja kota Manhattan begitu banyak akan pengungjungnya. Musik berkelas mengalun menemani pendatang, terasa begitu menenangkan. Di sebelah kanan ada sebuah lift yang akan membawa siapa pun ke lantai atas. Ada juga sebuah eskalator, atau bisa disebut dengan tangga bisa membawa naik atau pun turun.

Sedangkan tangga darurat, posisinya berada di pojok ruangan. Di sebelah barat ada sebuah jalan berputar mengelilingi gedung menuju parkiran yang berada di lantai atas. Jika ke sebuah pusat belanja besar seperti Manhattan Square, dengan membawa sebuah kendaraan roda empat maka parkirannya akan berada di atas.

Hari ini Kate tidak mengabari kepada Liam mengenai rutinitasnya. Lagi pula Liam pasti sibuk di kantor jadi tidak ada waktu untuk meladeni obrolan tidak bermutunya. Perkara kejadia kemarin saja jejaknya masih terekam jelas oleh ingatannya, Kate tidak mudah lupa begitu saja.

Apalagi baru dua hari berada di Manhattan, Kate harus terlibat dengan orang yang merepotkan di kota ini. Jika bukan karena ponsel laki-laki terbut seharga jutaan dolar, Kate tidak akan perlu menunggunya seperti sekarang ini.

Matanya menoleh ke sana ke mari, guna mencari orang yang sedang ditunggunya. Dia dapat melihat orang-orang memasuki ruangan dengan brand ternama di dunia. Sejenis, Christian Dior, Hermes, Gucci, Prada, Louis Vuitton dan masih banyak lagi. Sekiranya hanya itulah yang diketahui oleh Kate.

“Sudah menunggu lama?” Seorang laki-laki mengagetkan Kate begitu datang, membuat perempuan itu memutar bola matanya ketika sudah melihat wajah tampan dan angkuhnya.

Dia tidak pernah berkhayal akan bertemu laki-laki merepotkan seperti ini dalam hidupnya. Meski Liam kalah tampan, tapi Kate tetap teguh pada pendiriannya untuk berusaha agar tidak berpaling dari Liam. Perempuan itu lantas mengangkat pergelangan tangannya guna melihat jam kecil yang melingkar indah di pergelangannya. Pukul satu lebih dua puluh enam, nyatanya dia sudah menunggu selama lima belas menit.

“Anda terlambat, Pak.” Kate menatap Sean yang juga tengah menatapnya, dan buru-buru mengalihkan pandangannya. Tidak ingin terjebak dalam mata biru itu.

“Hanya dua puluh enam menit saja. Itu tidak terlalu parah,” jawab Sean dengan cuek.

Laki-laki itu tetap memasang wajah stay coolnya, tetap terlihat berwibawa meski hatinya berbunga-bunga tetapi harus menahan kedutan bibirnya karena ingin sekali tersenyum. Mengabaikan dengusan Kate yang terdengar begitu ketara.

“Baiklah. Mari ikut saya … toko ponsel berada di lantai atas.” Kate kembali menatap Sean, lantas menggerakan kepalanya sebagai kode untuk naik ke lantas atas.

“Sebelum itu, lebih baik kau ikutlah denganku. Aku belum makan siang,” kata Sean dan hendak mengambil sebelah tangan Kate, namun sebelum itu terjadi Kate sudah membuka suaranya.

“Saya tidak peduli dengan urusan perut anda, Pak. Saya ke sini menemui anda hanya untuk menyelesaikan tanggung jawab saya. Hanya itu, tidak dengan yang lain.” Kate berucap dengan nada suara yang terdengar begitu tegas. Membuar Sean berkedip karena terkejut dengan reaksi yang ditunjukan oleh Kate.

Sean berdeham pelan, matanya menatap Kate dengan tenang. Seolah tidak merasa terusik oleh perkataannya. “Sean Axel William, panggil aku Sean dan berhentilah memanggilku dengan sebutan Pak.” Sean mengenalkan dirinya, dan menekankan kata Pak dalam ucapan terakhirnya.

Tanpa menunggu respon Kate, dengan cepat Sean menarik Kate untuk ikut bersamanya ke sebuah restaurant yang menyediakan makanan Prancis. Kate yang akan mengomel dia urungkan karena menyadari kalau sebagian dari orang-orang menatap ke arah mereka. Terpaksa mengikuti langkah Sean yang menarik tangannya.

Mereka berhenti di sebuah restaurant dengan nuansa Eropa yang begitu kental. Sean mengajaknya duduk di kursi yang berada di tengah-tengah membuatnya bisa melihat ke lantai atas dengan pemandangan para pengunjung.

Lalu seorang waiters laki-laki membawa buku menu yang dipegangnya. Menghampiri mereka berdua dengan sapaan yang begitu hormat menyapa Sean dan Kate. “Welcome back Mr. William and…” Laki-laki itu menatap sekilas ke arah wajah Kate yang tidak dikenalinya.

Sean menyahut, “Katherine Margaretha.”

Waiters itu kembali melanjutkan perkataannya, “Miss. Margaretha. Silakan.” Setelahnya waiters itu tersenyum ramah sembari menyodorkan sebuah buku menu yang sedari tadi dipegangnya.

Sean menyebutkan Boeuf Bourguignon, potongan daging sapi dengan sayuran yang dipadukan dengan saus anggur merah, sebagai menu makan siangnya dan menambah satu botol wine yang menjadi pelengkapnya. Dia menoleh kepada Kate yang terlihat cuek dengan sekitarnya, Sean memesankan Croque monsieur adalah sandwich atau roti lapis yang berasal dari Prancis dan disebut sebagai makanan ringan.

Dengan milkshake rasa coklat, serta menambahkan air putih. Dia tidak tahu apa ini akan sesuai selera Kate atau tidak. Namun, Sean selalu memerhatikan bagaimana Ibunya memesan makanan yang tidak jauh berbeda seperti ini. Dan Sean juga memesan untuk membawakan dua gelas untuk wine.

“Ini terlalu membuang waktu, Pak. William.” Terdengar dengusan Kate setelah mengatakannya.

Sean tersenyum kecil, dia mendadak tertarik dengan perempuan asing di sebelahnya ini. “Tidak sama sekali, Katherine. Kau cukup duduk dan menemaniku makan, mudah bukan?”

Bagi Sean, respon Kate itu terlalu seadanya. Tidak seperti perempuan lainnya yang selalu banyak basa-basi jika sudah bersamanya. Yang ini lain lagi, dia terlihat malas bahkan terkesan tidak peduli.

“Baiklah terserah anda saja, Pak.” Kate kembali mendengus malas, mengabaikan Sean yang mulai menyantap makanannya. Setelah seorang pelayan restaurant mengantarkan pesanannya.

Sean tertawa kecil menyodorkan milkshake yang sudah dipesannya ke hadapan Kate. “Aku tahu kau pasti haus, minumlah selama menungguku selesai makan.”

Kate menoleh, menatap laki-laki itu dengan pandangan menyelidik. Kate tidak akan pernah bosan untuk berpikir kalau laki-laki bernama Sean ini sangatlah tampan. Wajahnya perpaduan Barat dan Eropa, entahlah dia hanya menebak.

“Aku memang tampan, Katherine. Kau tidak harus meneliti wajahku sedetail itu,” ujar Sean. Laki-laki itu meletakkan sendok dan garpunya lantas mengambil selembar tisu.

Perempuan itu mengalihkan tatapannya ke arah lain, malas jika harus menanggapi ujaran Sean yang terlalu narsis. Meskipun itu adalah sebuah kebenaran.

“Kau tunggu sebentar di sini, Kate. Aku harus menyelesaikan pembayarannya.” Sean bangkit dari duduknya untuk menghadap kasir.

Kate tidak menyahut, dia memerhatikan sekelilingnya. Sehingga matanya tidak sengaja menangkap keberadaan sosok manusia yang sangat familiar di matanya. Dilihat dari bentuk tubuh memang terlihat seperti Liam. Siaga satu, lantas Kate mengambil sebuah buku menu guna menutupi setengah wajahnya saat laki-laki yang dia curigai sebagai Liam itu berdiri untuk merogoh sesuatu dari kantong celana bahannya.

Itu benar Liam. lalu siapa perempuan yang duduk di sampingnya? Kate menggeleng dengan gerakan pelan, tidak mungkin Liam bertemu dengan perempuan lain di belakangnya.

“Ayo, setelah ini aku ada rapat dengan klien.” Suara Sean berhasil menyadarkan Kate kembali ke dunianya.

Kate menarik sebelah tangan Sean untuk mengikuti langkahnya. Berjalan dengan tenang seperti seorang pasangan karena takut Liam akan melihat keberadaan Kate di tempat ini.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status