St. Louister’s Cathedral, Manhattan, USA. | 09.16 AM.Suara pintu mobil yang ditutup dari luar terdengar begitu nyaring di parkiran yang letaknya berada di sebelah kiri Gereja. Barisan mobil mewah yang terparkir di sana membuat siapa pun bisa memastikan kalau pemiliknya bukanlah orang sembarangan. Apalagi mayoritas orang sini itu lebih dominan mengenakan mobil berbau sport untuk kegiatan sehari-hari mereka.Liam merangkul Kate untuk memasuki pintu utama menuju ke ruangan. Mereka mengambil tempat duduk di barisan ke sembilan dari depan. Pengunjung sudah begitu ramai. Baik Kate maupun Liam mereka tidak banyak mengobrol sampai ibadah mereka selesai. Satu jam setelahnya ketika pemimpin Gereja sudah mengintrupsi bisa bubar, orang-orang mulai meninggalkan tempat duduk mereka sekaligus meninggalkan Gereja.“Setelah ini kau akan ke mana, honey?” tanya Liam. Laki-laki itu duduk setelah membalikan kursinya agar bisa menatap Kate. Kate menyahut, “Aku akan ke tempat Paman Rodrigo, kau mau ikut
Amoda Park, Manhattan, USA. | 10.26 AM.Suasana Amoda Park tidak begitu ramai akan pengunjung ketika menuju siang. Taman kota ini akan ramai jika sore menjelang malam, akan banyak acara di sini, semacam orkestra, permainan biola.Menyebrangi jalan kecil yang berada di pinggir taman adalah hal yang sedang Sean lakukan bersama Kate. Pemberhentiannya adalah di sebuah taman Amoda yang sering Sean datangi jika bersama Shanice. Matahari sudah mulai meninggi, siang ini dia mengajak Kate yang mukanya terlihat begitu masam namun tetap terlihat cantik di mata Sean. Langkahnya begitu ogah-ogahan saat mengikutinya. Dia mengajak Kate agar mengikutinya menuju kursi taman yang berada di ujung timur. Kursi itu teduh karena terhalang oleh pohon pinus yang begitu besar.“Duduklah Kate,” kata Sean setelahnya dia duduk bersampingan dengan Kate.“Apa maksudnya ini, Sean?” tanya Kate. Dia bingung dengan sikap Sean saat ini, mengajaknya ke taman yang baru dia kunjungi.Label dengan tanda Amoda Park terpampa
Airport Internasional, Manhattan, USA. | 18.17 PM.Penerbangan yang dilakukan oleh Sean dan Ken menuju Los Angeles menggunakan pesawat komersial, mereka sengaja tidak mengenakan jet pribadi karena ingin ikut mengantri bersama yang lain. Jika bukan Ken yang memaksa dia tidak akan mau harus mengantri panjang seperti ini.Orang-orang hilir mudik menyeret barang bawaan mereka. Banyak perempuan yang ingin menghampirinya untuk sekedar berfoto atau pun mengajak bersalaman. Para pengawal yang ikut bersamanya mencegat perempuan-perempuan itu yang berbondong-bondong ingin menghampiri Sean. Bayangkan saja, di penjuru New York siapa yang tidak mengetahui sepak terjang Sean Axel William dalam dunia bisnis. Bahkan ketika ada acara perusahaan yang akan mengundangnya, Sean tidak mengambil pasangan dari luar untuk mendampinginya. Melainkan mengajak Shanice atau memboyong Angeline yang sudah paruh baya pun tetap terlihat menawan. Katanya, keluarga perempuannya tidak kalah cantik. Jadi tidak perlu repo
Colage Art, Manhattan, USA. | 19.26 AM.Suasana pameran galeri seni cukup ramai, pemandangan orang-orang yang berlalu lalang membuat mata tidak berhenti untuk memandangi. Alunan musik klasik yang terdengar di penjuru ruangan membuat nyaman pengunjung. Kali ini Kate tidak memamerkan karyanya, dia sudah berdiskusi dengan Paman Rodrigo karena pameran lukisannya akan dia gelar bulan depan. Lukisan yang Kate buat dengan rasa yang begitu percaya diri, sebuah lukisan yang semata-mata dia buat menggambarkan perasaannya yang paling dalam kepada Liam.Namun jika mengingat sosok Liam, dia jadi teringat pembicaraannya dengan James dua hari yang lalu. 2 hari yang lalu.“Dua hari yang lalu aku melihat Liam keluar dari hotel bersama seorang perempuan. Aku tidak mau berburuk sangka, tapi apa Liam sempat bercerita perihal ini?” Wajah Kate berubah datar, tidak ada ekspresi terkejut yang terlintas di wajahnya selain datar dan tatapannya yang begitu dingin. Apalagi ini?“Tidak sama sekali James,” bala
Los Angeles, USA. | 18.24 PM.Sean melepaskan tangan yang merangkulnya begitu mesra. Menatap tajam perempuan yang justru tersenyum begitu genit seolah tidak merasa terintimidasi oleh tatapan yang diberikan oleh Sean.Zara tertawa begitu anggun, mengabaikan bagaimana dinginnya raut wajah Sean saat ini. “Kita memang berjodoh ya, Sean. Bisa berada di sebuah tempat yang sama.”Dia mengetahui Sean berada di Los Angeles karena bertanya langsung kepada Ken. Setelah pulang dari California dia langsung ke sini, demi menemui Sean. Pujaan hatinya.Laki-laki itu berjalan meninggalkan Zara. Namun dia tidak pantang menyerah tetap mengikuti ke mana langkah Sean akan membawanya. Kemudian Sean berdecih, menatap Zara dari samping. “Dalam mimpimu, Zara.”“Meskipun hanya ada dalam mimpiku, seperti katamu. Tetapi entah mengapa aku begitu senang, Sean,” ucap Zara sembari terkikik, merasa lucu dengan perkataanya sendiri.Langkah Sean kembali berhenti di dekat anak-anak yang berusia lima tahunan. Anak-anak it
William’s Group, Manhattan, USA. | 22.43 PM.Sepulangnya dari Los Angeles sore tadi, Sean tidak pulang ke panthousenya dia langsung ke kantor ditemani oleh Luke. Memeriksa beberapa berkas yang sudah menumpuk di ruangannya karena selama lima hari dia tinggalkan. Selain memikirkan pekerjaan, Sean juga memikirkan Kate yang sedari tadi dia hubungi lewat pesan namum tidak kunjung membalas. Dia sudah mengirimi banyak pesan, nihil tidak ada balasan satu pun.Maka seperti inilah dampaknya, sebuah pekerjaan yang tertunda akan dia selesaikan malam ini juga. Bukan Sean namanya jika tidak berlarut-larut dalam pekerjaan. Jika ingin membuat Sean lupa terhadap suatu hal, maka dengan begini dia akan mudah lupa. Seakan-akan perkerjaan dapat menelan setengah pemikiran yang bersifat pribadi, anggap saja dengan cobaan hati. “Pak, ini sudah malam. Anda tidak ingin pulang?” tanya Luke yang sedari tadi menemani Sean. Laki-laki itu duduk di sofa berhadapan dengan sebuah laptop yang menyala.“Tidak Luke, ji
Mansion William's, Manhattan, USA. | 07.23 AM.Pagi yang cerah ini Sean, Ken, beserta Julian sengaja berkumpul di rumah kedua orang tua Sean. Membahas untuk proyek yang akan mereka garap bersama-sama. Rumah megah ini kosong, Ayah dan Ibunya berangkat kemarin sore ke London untuk menjenguk Shanice yang katanya sedang sakit.Sean awalnya akan ikut bersama, tetapi Mark melarang dan menyuruh Sean untuk menjaga rumah. Awalnya Sean sempat mengomel karena disamakan dengan seorang penjaga rumah.“Aku merekomendasikan untuk kita pergi ke pantai di hari libur ini.” Julian tersenyum sembari memeluk sebuah toples kaca yang berisi camilan.Ken mendelik, melempari Julian dengan snack. “Lebih tepatnya memaksa untuk libur, Jul. Kau yang merencanakan ini semua,” cibir Ken.Sejak menginjakkan kaki di rumah ini Ken sudah curiga dari awal ketika melihat Julian berpenampilan seperti orang yang mau ke pantai.“Lagi pula kita kan bosnya, tidak ada salahnya seorang bos mengambil cuti selama sehari. Anggap sa
Manhattan, USA. | 08.47 AM.Setelah pintu panthouse itu dibuka, Kate menatap laki-laki yang terlihat begitu kesal karena lama dibukakan pintu. Rupanya Sean Axel benar-benar nekat mendatangi tempat tinggalnya. Kate melambaikan sebelah tangannya, tanda menyapa laki-laki itu disertai dengan senyum masamnya. “Oh … hi, Sean. Kau datang?” “Kau membuatku kesal Kate, begitu sulit dihubungi.” Sean menatap Kate dengan datar, tangannya dia lipat di depan dada. Menatap penampilan Kate yang terlihat berantakan. Ada noda warna yang menempel di bajunya.Perempuan itu balas menatap Sean dengan garang sambil berkacak pinggang. “Lagi pula kau mau apa? Harusnya seorang bos sepertimu masuk kerja, bukan keluyuran seperti ini.” Sean mengidikan kedua bahunya dengan begitu acuh. “Aku bosnya, jadi tidak masalah seorang bos mengambil cuti.”Kate menghela napasnya dengan malas, meraup wajahnya dengan gaya frustasi. “Lalu sekarang ada apa gerangan kau datang ke tempatku?” tanyanya.Dia berjalan dua langkah se