Tragedi! Tragedi!
Tragedi tidak jadi terjadi. Karena dengan kuat gigi Sarni Trillili menggigit jari-jari tangan setan itu. Bekapan itu lepas dan orang itu lari sambil menahan sakit di tangannya. Sarni Trilili belum sempat mengenali si misterius. Duh gusti! Sarni Trilili menangis. Sakit, sakit hatinya. Ketika Surip Sasawati pulang diantar Yu Munah Soblem, sempat pula mereka melihat mata sembabnya. Tapi perkiraan mereka jelas tangisan itu karena Sarni Trilili baru teringat dengan Jonet Tralala, sang almarhum. Sarni Trilili pun enggan menceritakan aib yang hampir saja menimpanya. Maka, ketika Yu Munah Soblem pamitan, ia hanya bisa mengangguk tanpa berkata-kata. Ketika Surip Sasawati tertidur Sarni Trilili hanya bisa klisikan. Otaknya berteka-teki silang, siapa gerangan setan yang hampir memperkaosnya.
Kamto Oncekkah? Rasanya bukan. Kamto Oncek orangnya cebol dan tangannya kurus, tak sekekar itu. Tampaknya bukan orang dusun ‘ex’. Di dusun ‘ex’ tak ada orang segagah itu. Tapi siapa tahu! Besok ia akan menyelidiki, tangan siapa yang terluka kena gigit. Sampai ayam jago berkokok mata Sarni Trilili tak bisa terpejam. Ia menangis lagi. “O, kakang….” Jerit hatinya pada almarhum tersayang. Namun foto sepuluh er itu hanya tersenyum manis meskipun hati istrinya lagi ngenes. Toh, akhirnya mata itu bisa terlelap barang sekejap. Saat itulah ia bermimpi diberi bunga melati oleh mendiang. Mimpi-mimpi melati putih sangat menghibur hatinya. Kang Jonet Tralalanya yang menyuntingkan bunga di rambutnya itu menguatkan hatinya.
Keesokan harinya, orang-orang dusun ‘ex’ masih saja asyik membicarakan tentang pengamen kemarin. Kabarnya pengamen itu menginap di rumah Ponidi Gareng. Sarni Trilili pun belum bisa melupakan traumanya. Tapi ia tak mau berbagi cerita dengan siapa pun.
Malam Jum’at Sarni Trilili nyekar ke makam. Air matanya meleleh-leleh lagi. Sepulangnya dari kuburan ia memergoki Kamto Oncek yang baru asyik mancing kodok ijo. Dia amati tangan orang itu diam-diam. Bersih tak ada luka sedikitpun. Padahal ia yakin-mbolokin gigitannya semalam bisa mencopot jari. Tetapi siapa tahu Kamto Oncek berkolusi, menebar umpan di sekitar dirinya. Maka kali ini Sarni Trilili tak mau ramah kepadanya. “Nanti aku ke rumah, Mbakyu,” kata Kamto Oncek tanpa kesan dosa sedikit pun. Sarni Trilili hanya mengangguk dan tersenyum yang dipaksakan. Tapi akhirnya ia pasrah. Tak mau main hakim sendiri, tak ingin memvonis orang yang belum genah bersalah.
Sorenya Kamto Oncek datang ke rumah, malah bersama Yu Munah Soblem dan Jito Akik. “Mbolos, kang?” tanya Sarni Trilili kepada Jito akik. Jito Akik hanya nyengingis. E, malah dicubit istrinya. Suami istri itu memang guyub-rukun, bikin iri siapa saja. Sayang, belum dikarunia anak meskipun usia perkawinan mereka sudah cukup lama. “Bagaimana? Masih mau ngrembug tegalan di pinggir gumuk itu?” Sarni Trilili membuka pembicaraan. Kamto Oncek hanya mengangguk-angguk sambil menoleh Yu Munah Soblem.
Yu Munah Soblem pun tak mau berbasa-basi. “Aku sama kakangmu hanya mengantar si Oncek ini. Masalah tegalan dan pohon rambutan adalah hakmu seutuhnya. Kamu sendiri yang menentukan hya atau tidaknya! Begitu ‘kan, kang?” Tapi Jito Akik yang dimintai pendapat hanya berdehem-dehem tanpa mengangkat gerahamnya. Cuek bebek, seolah tak ada tugasnya selain melirik istrinya saja.
Sarni Trilili tanpa sadar mengamat-amati Kamto Oncek. Yang diamati akhirnya belingsatan seperti monyet dilempar batu kali. “Benar kamu ingin jadi petani rambutan?”
“Benar, Mbakyu. Itu sudah kupertimbangkan masak-masak. Dan lagi, aku sudah lama berkecimpung dengan tanaman ini.”
“Kalau niatmu sudah bulat, aku juga menyetujui.” Mendapat jawaban seperti itu muka Kamto Oncek pun secerah matahari.
Hari-hari berlalu. Kehidupan dusun ‘ex’ berjalan datar. Hari ini tak berbeda dengan yang kemarin. Diisi dengan kegiatan penduduk dari itu ke itu saja. Hanya anak-anak usia sekolah dasar yang punya kesibukan baru, berburu walang kopo. Sejenis belalang kayu yang enak dimakan, dibuat keripik belalang. Kehidupan yang rutin seperti itu membuat Sarni Trilili jenuh. Ia pun telah berbulat hati unuk merantau ke kota Kendil. Dirinya pun teringat Yu Jiyem Kempul. Tapi ia tak pernah berniat menghubunginya, takut dijual. Sebab ia tahu betul siapa Yu Jiyem Kempul itu sebenarnya. Tujuannya ke kota Kendil hanya satu saja, ingin menjadi ahli gudeg. Setelah menguasai ilmu itu ia berniat mendirikan restoran sendiri. Minimal warunglah.
Untunglah Kang Jito Akik punya famili yang tinggal di kota Kendil dan membuka warung gudeg khas kota itu. Akhirnya, Sarni Trilili diantar oleh Yu Munah Soblem ke tempat familinya itu. Mbah Darmo, ya Mbah Darmo. Warungnya sangat terkenal di mulut, mata dan telinga anak-anak kampus biru lumut. Meski tempatnya nylempit tapi warung itu tak pernah sepi. Mbah Darmo menyambut niat Sarni Trilili itu dengan gembira. “Hanya seperti ini warungnya, nduk. Tapi laris. Tak tahulah kenapa warung ini jadi begitu ramai dan dikagumi anak-anak kampus biru lumut.”
“Inggih karena masakan Simbah yang enak dan lezat, tho,” sambung Sarni Trilili. Mulai saat itu Sarni Trilili tinggal di warung gudeg tersebut. Untunglah, Mbah Darmo begitu menyayanginya, meskipun tahu kalau si Sarni Trilili kerabatnya. Mungkin pembawaan Sarni Trilili yang lemah lembut dan cekatan itu yang bikin Mbah Darmo falling in love.
Berita hadirnya makhluk manis di warung Mbah Darmo ternyata mengundang semangat anak-anak kampus biru lumut untuk datang berlomba-lomba mendapatkan senyumannya. Andai saja Sarni Trilili itu si Roro Mendut bolehlah ia berjualan rokok lintingan. Sayang dirinya bukan calon selir Tumenggung Wiraguno yang seorang senopati Mataram, ia lebih suka bunuh diri karena Prono Citro, kekasihnya, dibunuh sang senopati. Banyak di antara pembeli yang hatinya gonjang-ganjing. Kepranan atau jatuh hati akan senyum manis Sarni Trilili. Di mata anak-anak kampus biru lumut yang rata-rata mata keranjang itu Sarni Trilili memang moiii…!
“Mbah, mbak yang ini cucunya, ya?”
“Inggih, Den Joko Pekik,” jawab Mbah Darmo. Tampaknya Joko Pekik, mahasiswa teknik sipil, salah satu dari mereka yang kepincut. Bahkan sering titip salam agar disampaikan kepada Sarni Trilili.
“Nduk Trilili, kamu dapat salam lagi. Kali ini bukan dari Den Joko Pekik, tapi dari Mas Bambang Senggotho. Mahasiswa hukum karma,” kata Mbah Darmo bercanda. Sarni Trilili menanggapi salam-salim itu dengan senyam-senyum saja. Tak pernah dicatatnya dalam hati. Warung yang meriah itu kian hidup. Para penjajan kini lebih rapi jeli, yang tak hobby keramas pun jadi dendy, jadi tiga kali seminggu. Lama-lama para penjajan tahu kalau Sarni Trilili adalah seorang janda kembang. Tetapi bagaimanapun mereka tetap santun kepada kembang warung itu. Karena pembawaan Sarni Trilili yang anggun dan tidak aneh-aneh. Bukankah harga diri seseorang bukan ditentukan dari status perkawinannya?
Pernah sekali, saat ia belanja ke pasar Demangun Sarni Trilili kepergok Joko Pekik yang baru memfoto copy diktat kuliah di Mricun. Joko Pekik menawarkan memboceng dirinya. Padahal ia sudah berniat naik becak lho!
“Mbakyu bersedia saya bonceng? Kita satu arah kok!” tawaran itu tak kuasa ia tolak. Apalagi Joko Pekik selama ini selalu baik dan ramah padanya. Maka motor tuanya jadi sarat sayuran dan bumbu-bumbu dapur. “Kenapa tidak bersama Mbah Darmo, Mbakyu?”
“Simbah baru kontrol di Rumah Sakit Sarjitun,” jawabnya semanak. Tak dirasa oleh Sarni Trilili, kalau hati Joko Pekik jadi tak karuan. Bunga-bunga asmara yang mulai ia tanam kepada Sarni Trilili inginnya segera bersambut. Toh, meski begitu, Joko Pekik tetap menjaga citra santun di matanya. Sampai di perempatan Jalan Kali Uring, motor itu berbelok ke kanan. Nah saat itulah mereka melihat kemliwernya Hurip Janaloka, anak arsitektur yang baru keluar dari warung Santai. Sarni Trilili agak gugup, sebab Hurip Janaloka pernah kirim surat padanya namun tak ia balas. Dengan memboncengnya dirinya kepada Joko Pekik mungkin bisa membuka praduga-praduga minor akan dirinya. Paling tidak ada bibit sentimen pribadi antara Hurip Janaloka dan Joko Pekik.
“Tapi biarlah, wong saya juga tak punya niat macam-macam sama Joko Pekik,” katanya dalam hati. Ketika sampai gang menuju warungnya Sarni Trilili minta turun dan ia mengucapkan banyak terima kasih kepada Joko Pekik. Joko Pekik hanya tersenyum, padahal hatinya berbunga-bunga mawar merah.
“Simbah belum pulang, Dik Anis?” tanya Sarni Trilili ketika tahu Mbah Darmo belum pulang dari kontrolnya. Anis Tembem adalah cucu Mbah Darmo yang baru berlibur di kota itu.
“Mungkin lama, Mbakyu. Bukankah rumah sakit umum selalu berjubel-jubel?”
“Jam sebelas warung kita buka. Kasihan mereka-mereka yang sudah lapar,” kata Sarni Trilili.
“Baiklah. Nasinya sudah siap, kok. Mbok Karto Tulup memang bisa diandalkan kalau tak ada simbah. Sayur pecel dan sopnya sudah siap. Sisa gudeg tadi pagi juga masih ada.”
Warung satu ini memang unik. Mungkin hanya satu-satunya warung kecil yang punya jadwal ketat. Warung ini buka tiga kali sehari: pagi, siang dan sore. Hari besar dan hari Minggu tutup. Warung ini juga tutup bila Universitas Gela-Gelo baru libur semesteran. Saat warung dibuka sudah ada yang menunggu di depan pintu. Tak lain Bambang Senggotho and his gang. Bambang Senggotho yang juga menaruh hati mencoba menarik perhatiannya. Hal itu hanya ditanggapi Sarni Trilili dengan senyuman. Namun senyum manis itu yang justru menaikkan tensi darah Bambang Senggotho. Gonjang ganjing di hatinya kian menjadi-jadi. O, Sarni Trililiku! O, burung prenjakku! Berkicaulah lagu asmaradahana untukku!
Penjajan-penjajan lain mulai berdatangan. Tempe goreng tepung yang di baskom sudah tambah tiga kali. Tempe memang digandrungi anak-anak kost. Menu yang paling laris saat makan siang adalah soto dan pecel. Sedangkan gudegnya paling laku kalau pagi hari, saat sarapan.
Saat melayani pembeli ada surat yang dilempar pak pos dari jendela, surat buat Sarni Trilili. Surat itu ia simpan di bawah taplak meja. Seorang pengamen langganan datang dan melanggamkan lagu Rangkaian Melati. Mungkin itu satu-satunya lagu yang bisa dinyanyikan pengamen yang sudah jompo, sebab tiap hari hanya itu-itu saja yang didendangkan. Oleh anak-anak kampus biru lumut yang usil pengamen tua itu dijodoh-jodohkan dengan Mbah Darmo, karena hampir seusia.
Jam satu sepuluh menit warung itu sudah tutup. Hampir saja Sarni Trilili lupa akan surat itu. Tapi ia diingatkan Ani Tembem. Ternyata surat dari Joko Pekik. Tubuh Sarni Trilili jadi mrinding membaca surat itu. Ternyata Joko Pekik sangat kesengsem akan dirinya. Bahkan syair pujian yang diselipkan sangat romantis, layaknya memuji dewi langit saja.
Malamnya, hya malamnya, Sarni Trilili bermimpi bertemu dengan Jonet Tralala. Dan baru kali ini Jonet Tralala tidak tersenyum manis. Dan baru kali ini pula si mendiang tidak memberinya sekuntum melati. Maka tengah malam saat matanya terjaga, ia tak bisa terpejam lagi. Air mata meleleh di pipinya. Ah, ia teringat, hampir dua bulan ini dia tidak menengok kubur suaminya. Maka subuh-subuh Sarni Trilili mengutarakan maksudnya kepada Mbah Darmo untuk pulang sebentar ke dusun ‘ex’, untuk nyekar suaminya.
“Tidak apa-apa, Nduk. Saya malah bahagia karena kamu sangat berbakti kepada almarhum. Bagaimanapun, mereka yang sudah mendahului kita harus tetap kita hormati. Apalagi suami sendiri,” kata Mbah Darmo, ia pun jadi ingat Mbah Darmo Lanang yang lebih dahulu meninggal.
Pagi itu juga Sarni Trilili berangkat. Anis Tembem ikut dengannya. Tiga jam mereka baru sampai ke dusun ’ex’. Mereka disambut hangat oleh tetangganya. Yu Munah Soblem bahkan sampai tergopoh-gopoh menyambutnya dengan pelukan. Air matanya pun keluar. Padahal belum berpisah lama, lho. Rumah yang ia titipkan terawat rapi, bahkan di kebunnya banyak pohon cabai yang baru berbunga.
Sorenya ditemani oleh Anis Tembem, Sarni Trilili pergi ke kuburan. Makam suaminya ternyata terawat. Bahkan tak ada rumput satu pun yang tumbuh di atasnya. Ternyata pesannya kepada Kamto Oncek sangat diindahkan. Saat acara tabur bunga di pusara itu air mata Sarni Trilili menetes, tes. Ia teringat bahwa Jonet Tralala yang mengangkatnya jadi orang, yang menyelamatkannya ketika ia hampir jadi gelandangan saat diusir dari rumah orangtua angkatnya. Gara-gara lapor kepada ibu angkatnya, kalau tubuhnya digerayangi sang bapak palsu. Anis Tembem pun ikut prembik-prembik manahan haru.
Malamnya mereka menginap di desa. Saat itulah ia bisa berbincang dengan Yu Munah Soblem, Kang Jito Akik, juga Surip Sasawati. Bahkan Kamto Oncek pun datang, untuk melapor bahwa tanaman rambutannya sudah subur makmur.
“Darmo Dipo, juragan emping, tempo hari datang ke sini. Niat menebas mlinjo, Dik Trilili,” kata Yu Munah Soblem.
“Kalau sudah saatnya petik tawarkan saja, Mbakyu. Jangan sungkan-sungkan,” kata Sarni Trilili. Bagaimana pun Yu Munah Soblem family itulah saudaranya. Ia pun percaya sekali pada mereka. Malam itu pula Sarni Trlili dapat kabar kalau Yu Munah Soblem sudah hamil, baru dua bulan. Ketika tidur almarhum suaminya datang dalam mimpi. Sudah tersenyum, tapi tak ada bunga melati yang disuntingkan di rambutnya. Paginya, Sarni Trilili dan Anis Tembem kembali ke kota Kendil.
“Nduk, kemarin den Joko Pekik menanyakan genduk Trilili. Juga Mas Hurip Janaloka. O, ya! Ada surat juga, kusimpan di lemari samping tempat tidur. Tak tahulah dari siapa, simbah ‘kan buta huruf latin.”
Ternyata surat itu dari Bambang Senggotho. Isinya ajeglah, seperti surat-surat anak muda lainnya. Apalagi kalau bukan puja-puji asmara. Sarni Trilili pun jadi kikuk bila melayani Bambang Senggotho, Hurip Janaloka, dan Jaka Pekik. Untunglah tugas itu diambil alih Mbah Darmo. Ia lebih sering di belakang, sebagai peracik bumbu. Ilmu pergudegan Mbah Darmo tampaknya mau disuntak-blak kepadanya. Rahasia gudeg dibukanya lebar-lebar kepada Sarni Trilili.
Di ilmu pergudegan akhirnya Sarni Trilili dinyatakan lulus dengan predikat suma cum laude oleh Mbah Darmo, tak tanggung-tanggung. Sarni Trilili juga ditawari untuk meneruskan usaha gudegnya. Sebab anak cucu Mbah Darmo tak ada yang ingin meneruskan usaha pergudegan yang sudah turun-temurun itu. Sarni Trilili sangat terharu atas ketulusan hati orang tua itu. Namun ia juga ingin mandiri. Kalau bisa ia ingin mencari kapling di dekat terminal Umbul-Umbul.
Setelah genap enam bulan berguru di warung gudeg itu, Sarni Trilili pun mohon diri untuk pulang ke dusun ‘ex’. Mbah Darmo pun tak bisa mencegahnya. Banyak yang merasa kehilangan atas kepulangan Sarni Trilili, apalagi anak-anak kampus biru lumut yang suka mencuri-curi senyum manisnya. Bahkan ada yang menyarankan agar foto Sarni Trilili dipasang di samping foto presiden. Usul itu dijawab no way oleh Mbah Darmo.
Sesampai di desa Sarni Trilili segera menugasi Kang Jito Akik untuk mencari kios di dekat terminal Umbul-Umbul. Niatnya sudah bulat, Trilili’s Gudeg harus segera berdiri. Maka ia tak segan-segan melego emas simpanannya untuk modal.
“Semua peralatan sudah komplit. Kiosnya sebentar lagi akan kita dapatkan,” ujar Yu Munah Soblem.
“Kita berdo’a saja, Mbakyu.”
Tak tahunya hari itu Sarni Trilili kedatangan tamu. Tak lain dan tak bukan si Joko Pekik. Tentu saja itu membuatnya kaget. Maka Sarni Trilili pun gugup saat mempersilakannya masuk rumah. Yu Munah Soblem yang senyum-senyum penuh arti malah membuatnya makin gugup.
“Maaf, Mbakyu. Mbakyu tidak keberatan saya main ke sini?” Ada nada getar di tenggorokan pemuda itu.
“Tentu saja tidak, Dik Joko.” Sarni Trilili sengaja menyebutnya: dik. Bagaimanapun ia lebih tua darinya. Kedatangan tamu asing itu membuat tetangganya bertanya-tanya, siapa gerangan tamu laki-laki itu. Sarni Trilili pun sengaja mengajak Yu Munah Soblem untuk menemani mereka ngobrol. Saat pulang Joko Pekik sengaja meninggalkan buku kumpulan puisinya yang diterbitkan bersama teman-teman sanggarnya.
“Terima kasih lho, Dik Joko Pekik. Jauh-jauh dolan kemari.” Sarni Trilili mengantarnya sampai regol.
“Priyayi mana itu tadi, Nduk?” suara Mbah Jaya Tempe.
“Asli Sili, Mbokhe. Tapi kuliah di kota Kendil.”
“O, mahasiswa Universitas Gela-Gelo? Wah calon hensingir kalau begitu,” sambung orang tua itu.
“Bukan hensingir, Mbokdhe. Tapi insinyur.”
“Ya begitulah maksudku, Nduk.” Mbah Jaya Tempe malah tampak bahagia. Orang tua itu memang berharap Sarni Trilili segera ada yang memperistrinya. Agar tak kesepian lagi. Kasihan, hidupnya selalu kesandung-sandung duka. Sorenya, Kang Jito Akik memberi kabar bahwa kios yang diinginkan Sarni Trilili sudah didapatkan. Tinggal menunggu hari baik saja untuk membuka warung gudegnya. Rencananya, Sarni Trilili akan mengajak Surip Sasawati dan Trinem Bellina untuk membantu berjualan. Apalagi Surip Sasawati sudah lulus esempe dan tidak melanjutkan sekolah. Sedangkan Trinem Belinna sudah lama tak sekolah, dia hanya tamat esde.
Saat tidur Sarni Trilili diprimpeni Jonet Tralala. Almarhum tersenyum manis dan menatapnya mesra. Tapi belum ada bunga-bunga melati putih untuknya. Mungkin si almarhum sangat menyetujui istrinya buka usaha di kota Kendil. Mungkinkah senyuman itu juga mengisyaratkan kehadiran Joko Pekik direstui? Yang pasti saat bangun pagi-pagi hatinya sangat bahagia. Bahagia sekali.
Hari itu juga Sarni Trilili dan Yu Munah Soblem berangkat ke kota Kendil. Sengaja untuk melihat calon kiosnya. Mereka pun mampir ke warung Mbah Darmo. Kedatangan mereka disambut hangat. Untunglah hari itu hari Minggu, sehingga warung gudeg itu tutup. “Dulu, Den Joko Pekik menanyakan alamat rumah genduk. Hya simbah kasih saja.”
“Wong anaknya sudah main ke sana kok, Budhe,” Yu Munah Soblem menimpali. Sarni Trilili jadi merah mukanya. Ia menanggapi semua itu dengan senyuman.
“Oya, Anis Tembem juga berpesan kalau Nduk Trilili dolan ke sini agar dimintakan foto. Katanya ia kangen sekali,” ujar Mbah Darmo.
“Biar nanti saya kirimi, Mbah.”
“Aduh hampir lupa, Nduk. Dulu ada surat lagi. Tak tahulah dari siapa. Sebentar saya ambilkan.” Ampolp itu sudah lusuh tapi masih utuh. Ternyata surat dari Hurip Janaloka. Lagi-lagi puisi cinta. Mahasiswa sekarang ternyata pintar berpantun cinta.
Uba rampe pendukung keberadaan warung gudeg sudah siap sedia. Dengan mobil colt gundul para pemuda dusun ‘ex’ pergi ke kota Kendil untuk membantu membereskan calon warung. Semua itu di bawah komando Kang Jito Akik. Akhirnya warung Trilili’s Gudeg pun siap diresmikan. Tapi Sarni Trilii menunggu hari Senin untuk potong pita dan melepas burung merpati untuk peresmian. Sejak itu warung Trilili’s Gudeg sudah resmi buka. Untuk promosi, Sarni Trilili menyebar ribuan brosur yang dicetak sederhana.Eloknya, yang jajan pertama kali adalah Joko Pekik. Ah, Sarni Trilili jadi salah tingkah. Pasti ia dapat bocoran dari Mbah Darmo.“Makan siangnya kok ke sini? Apa tidak kejauhan?” tanya Sarni Trilili berbasa-basi. Padahal hatinya kecilnya ia senang kalau Joko Pekik berada di dekatnya.“Ah, hari ini ‘kan pembukaan warung Mbakyu Trilili. Tentu saya sempat-sempatkan ke mari.”Sejak hari itu pula Trili
Tangisnya belum mereda. Dadanya yang tambun terguncang-guncang hebat. Betul, suara isak tangisnya sudah tidak keras lagi. Tetapi itu malah terdengar menyakitkan, ngenes-ngenesi ati. Sementara dari balik pintu muncul dua perempuan yang sebaya dengannya. Yang satu berkebaya dan satunya lagi memakai rok. Tak ada gincu-gincu di bibir mereka. Pendatang yang ber-rok duduk di samping si penangis, menghibur. Sedangkan si kebaya diam dengan pancaran mata yang sukar diraba, entah turut berduka cita atau sebaliknya. Boleh jadi kematian laki-laki Sarni Trilili merupakan hiburan tersendiri baginya.“Sudahlah. Kematian itu milik siapa saja. Maka tak usah terlalu ditangisi, ” bisik yang berkebaya.“Betul. Besok lusa kau pasti sudah tertawa renyah lagi,” sambung yang ber-rok sambil sedikit melengos. Tangan yang berkebaya pun menyubit pantatnya, agar temannya itu menjaga mulut.Kematian Jonet Tralala yang terkena radang tebece menambah perbendaharaan jand