Uba rampe pendukung keberadaan warung gudeg sudah siap sedia. Dengan mobil colt gundul para pemuda dusun ‘ex’ pergi ke kota Kendil untuk membantu membereskan calon warung. Semua itu di bawah komando Kang Jito Akik. Akhirnya warung Trilili’s Gudeg pun siap diresmikan. Tapi Sarni Trilii menunggu hari Senin untuk potong pita dan melepas burung merpati untuk peresmian. Sejak itu warung Trilili’s Gudeg sudah resmi buka. Untuk promosi, Sarni Trilili menyebar ribuan brosur yang dicetak sederhana.
Eloknya, yang jajan pertama kali adalah Joko Pekik. Ah, Sarni Trilili jadi salah tingkah. Pasti ia dapat bocoran dari Mbah Darmo.
“Makan siangnya kok ke sini? Apa tidak kejauhan?” tanya Sarni Trilili berbasa-basi. Padahal hatinya kecilnya ia senang kalau Joko Pekik berada di dekatnya.
“Ah, hari ini ‘kan pembukaan warung Mbakyu Trilili. Tentu saya sempat-sempatkan ke mari.”
Sejak hari itu pula Trilili’s Gudeg selalu ramai dikunjungi orang. Selain rasa gudegnya yang jos juga karena keramahan kru warungnya. Sarni Trilili memang capai, tapi keletihan itu terobati dengan kelancaran usahanya. Untuk itulah dalam seminggu ia meliburkan warungnya. Dipilihnya hari Jum’at, sehingga tiap Jum’at warung itu tutup. Tidur-tidur Sarni Trilili pun kini sudah dipenuhi senyum-senyum manis Jonet Tralala. Toh sampai saat ini Kang Tralalanya belum juga memberinya bunga melati. Padahal Sarni Trilili menunggu saat-saat indah itu. Tak pelak dalam kesepiannya pikirannya sering dikelebati bayangan Joko Pekik. Tampaknya pemuda itu tak main-main dengannya. Ah, apakah hatiku segera kubuka untuknya? Sering ia berpikir seperti itu meski di satu sisi dirinya belum bisa melupakan bayang-bayang mendiang suaminya.
Dulu, kehadiran Jonet Tralala layaknya kehadiran pangeran tampan yang menyambut Cinderella. Ia pun telah berjanji untuk selalu setia padanya. Tetapi siapa menyangka kalau suaminya begitu cepat pergi. Maka dalam saat-saat sepi sering hatinya merasa bimbang. Joko Pekik … Joko Pekik ... Sarni Trilili pun belum siap seandainya Joko Pekik menyatakan cintanya.
‘Ok, Kangmasku. Kapan kau sematkan melati di rambutku lagi?” Sarni Trilili tetap menunggu mimpi-mimpi itu. Tiap malam sebelum tidur ia berdo’a agar suaminya datang dalam mimpi dan menyematkan bunga putih itu. Anehnya, mimpi itu tak pernah hadir lagi. Dirinya ingat, hya ia ingat sejak dibonceng motor Joko Pekik mimpi itu tak pernah datang. Jangan-jangan kesucian cintanya kepada Jonet Tralala sudah diragukan sama almarhum. Memang senyum manis Kang Jonet Tralala masih hadir, tapi bunga melati itu? Kenapa mimpi itu kini macet total?
Akhirnya, ketika Joko Pekik betul-betul menyatakan cintanya, Sarni Trilili tidak bisa langsung memutuskan. “Biarlah kupikirkan dulu. Kenapa Dik Joko malah memilih saya, padahal banyak bunga-bunga kampus yang semerbak mekar?”
“Mbakyu. Cinta itu seperti kehidupan atau kematian. Datang dan perginya tak bisa ditolak atau ditawar-tawar. Bila cinta itu hadir kenapa tak larut saja dalam iramanya. Apalagi kalau kita meyakininya sebagai cinta sejati.” Semoga khotbah cinta pemuda itu bukan gombal mukiyo.
“Lalu bagaimana keluarga Dik Joko Pekik sendiri?”
“Begini, Mbakyu. Saya ini anak yayasan. Saya yatim piatu sejak kecil. Saya juga sudah bicara pada pihak yayasan bahwa saya akan segera menikah. Toh selama ini saya sudah bisa mandiri. Dan itu direstui. Jadi tinggal jawaban Mbakyu saja yang saya tunggu.” Mendengar itu mata Sarni Trilili jadi basah. Kok nasib mereka tak jauh beda.
Jum’atnya, Sarni Trilili pulang ke desa dan nyekar. Malamnya almarhum Jonet Tralala datang dan tersenyum manis. Di mimpi itu Sarni Trilili malah sempat menagih bunga melati. Tapi hanya dijawab dengan senyuman indah, senyuman surgawai. Dari mimpi itu Sarni Trilili menduga-duga bahwa almarhum rela andai dirinya disunting Joko Pekik. Namun hati Sarni Trilili akan lebih mantep kalau almarhum tersayang itu memberinya bunga melati.
“Mungkin besok malam melati itu hadir.” Pikirnya berandai-andai. Impian tentang melati kini selalu diangankannya.
Joko Pekik pun semakin sering berkunjung ke warungnya. Suatu saat ia pamitan untuk pergi ke kota Pitung selama tiga bulan. Untuk penelitian. Sebelum keberangkatannya ia singgah dulu ke warung Sarni Trilili. Meminta ketegasan Sarni Triili, tapi Sarni Trilili belum bisa memberi keputusan. Sarni Trilili masih menunggu sinyal-sinyal spiritual dari mimpi-mimpinya. “Kapan-kapan saja, Dik Joko.”
“Tapi jangan lama-lama lho, Mbakyu.”
“Mudah-mudahan saja tidak.” Up, saat menyadari perkatannya itu Sarni Trilili kaget campur malu.
Hari-hari selanjutnya Trilili’s Gudeg makin ramai. Langganannya makin bertambah-tambah. Bahkan banyak perkantoran yang berkatering padanya. Karena itu tak jarang mereka menolak pesanan karena kualahan. Tenaga kerjanya juga sudah bertambah, Jiwet Umil dan Alex Grontol. Alex Grontol tugasnya mencari bahan baku gudeg, yaitu nangka muda. Tugasnya kian berat bila stok tewel di pasar-pasar kota Kendil menipis karena tidak musimnya. Bila sedemikain Alex Grontol harus blusak-blusuk ke pedesaan mencarinya. Akhirnya ada kasak-kusuk kalau Surip Sasawati dan Alex Grontol ada main mata.
“Biarlah, laki-laki dan perempuan dari zaman purba memang ditakdirkan berjodoh,” kata Sarni Trilili menanggapi bisik-bisik Jiyem Belinna tentang dua anak muda yang sedang merenda hati itu.
Sarni Trilili pun pikirannya sering mendua. Senyum manis si almarhum tersayang sering berubah dengan wajah Joko Pekik. Bahkan pernah ia mimpikan dua lelaki lain alam itu bertemu. Mereka tampak bersahabat, bahkan Kang Jonet Tralalanya sempat memberi batu cincin merah delima pada Joko Pekik. Mimpi itu membuat Sarni Trilili terkesima, jangan-jangan itulah simbol ketulusan si almarhum tercece agar dirinya menerima Joko Pekik.
“Tapi bunga melati yang kiidamkan belum hadir,” bisik hatinya. Maka ketika Joko Pekik sekali lagi menyatakan cintanya, Sarni Trilili menceritakan apa adanya. Dengan khidmat pemuda itu mendengarkan cerita itu dan tahu diri. Oleh karena itu Joko Pekik pun ikut berdo’a agar mimpi itu segera hadir pada Sarni Trilili.
“Bagaimana, Mbakyu. Apakah melati itu sudah hadir?”
“Sabar Dik Joko Pekik.”
Setelah itu Joko Pekik lama absen, tak bertandang. Mungkin karena kesibukan dunia kampusnya. Atau bisa jadi malu pada dirinya sendiri. Namun tatkala ia datang ke Trilili’s Gudeg, warung itu tutup. Padahal bukan hari Jum’at. Ada tulisan yang terpampang di depannya: Trilili’s Gudeng tutup sampai tanggal sekian. Secepatnya Joko Pekik meluncur ke arah luar kota. Tetu saja arah dusun ‘ex’. Sesampainya di dusun ‘ex’ ia kaget melihat rumah Sarni Trilili penuh orang. “Kok ramai sekali ada apa, Pak?” tanyanya curiga saat memasuki regol.
“Anu, Den. Seribu harinya Mas Jonet Tralala.”
Kedatangan Joko Pekik kali ini disambut hangat oleh Sarni Trilili. Roman mukanya berbinar-binar. “Dik Joko Pekik, melati itu sudah hadir. Ya, sudah hadir semalam. Malah dua kuntum.” Suaranya sangat ceria. Joko Pekik pun tersenyum ceria. Sore itu pula ada sepasang manusia berdoa di sebuah pusara kuburan desa. Sejak hari itu pula pusara tersebut selalu harum melati, bukan mawar.
Tangisnya belum mereda. Dadanya yang tambun terguncang-guncang hebat. Betul, suara isak tangisnya sudah tidak keras lagi. Tetapi itu malah terdengar menyakitkan, ngenes-ngenesi ati. Sementara dari balik pintu muncul dua perempuan yang sebaya dengannya. Yang satu berkebaya dan satunya lagi memakai rok. Tak ada gincu-gincu di bibir mereka. Pendatang yang ber-rok duduk di samping si penangis, menghibur. Sedangkan si kebaya diam dengan pancaran mata yang sukar diraba, entah turut berduka cita atau sebaliknya. Boleh jadi kematian laki-laki Sarni Trilili merupakan hiburan tersendiri baginya.“Sudahlah. Kematian itu milik siapa saja. Maka tak usah terlalu ditangisi, ” bisik yang berkebaya.“Betul. Besok lusa kau pasti sudah tertawa renyah lagi,” sambung yang ber-rok sambil sedikit melengos. Tangan yang berkebaya pun menyubit pantatnya, agar temannya itu menjaga mulut.Kematian Jonet Tralala yang terkena radang tebece menambah perbendaharaan jand
Tragedi! Tragedi!Tragedi tidak jadi terjadi. Karena dengan kuat gigi Sarni Trillili menggigit jari-jari tangan setan itu. Bekapan itu lepas dan orang itu lari sambil menahan sakit di tangannya. Sarni Trilili belum sempat mengenali si misterius. Duh gusti! Sarni Trilili menangis. Sakit, sakit hatinya. Ketika Surip Sasawati pulang diantar Yu Munah Soblem, sempat pula mereka melihat mata sembabnya. Tapi perkiraan mereka jelas tangisan itu karena Sarni Trilili baru teringat dengan Jonet Tralala, sang almarhum. Sarni Trilili pun enggan menceritakan aib yang hampir saja menimpanya. Maka, ketika Yu Munah Soblem pamitan, ia hanya bisa mengangguk tanpa berkata-kata. Ketika Surip Sasawati tertidur Sarni Trilili hanya bisa klisikan. Otaknya berteka-teki silang, siapa gerangan setan yang hampir memperkaosnya.Kamto Oncekkah? Rasanya bukan. Kamto Oncek orangnya cebol dan tangannya kurus, tak sekekar itu. Tampaknya bukan orang dusun ‘ex’. Di dusun ‘ex&
Uba rampe pendukung keberadaan warung gudeg sudah siap sedia. Dengan mobil colt gundul para pemuda dusun ‘ex’ pergi ke kota Kendil untuk membantu membereskan calon warung. Semua itu di bawah komando Kang Jito Akik. Akhirnya warung Trilili’s Gudeg pun siap diresmikan. Tapi Sarni Trilii menunggu hari Senin untuk potong pita dan melepas burung merpati untuk peresmian. Sejak itu warung Trilili’s Gudeg sudah resmi buka. Untuk promosi, Sarni Trilili menyebar ribuan brosur yang dicetak sederhana.Eloknya, yang jajan pertama kali adalah Joko Pekik. Ah, Sarni Trilili jadi salah tingkah. Pasti ia dapat bocoran dari Mbah Darmo.“Makan siangnya kok ke sini? Apa tidak kejauhan?” tanya Sarni Trilili berbasa-basi. Padahal hatinya kecilnya ia senang kalau Joko Pekik berada di dekatnya.“Ah, hari ini ‘kan pembukaan warung Mbakyu Trilili. Tentu saya sempat-sempatkan ke mari.”Sejak hari itu pula Trili
Tragedi! Tragedi!Tragedi tidak jadi terjadi. Karena dengan kuat gigi Sarni Trillili menggigit jari-jari tangan setan itu. Bekapan itu lepas dan orang itu lari sambil menahan sakit di tangannya. Sarni Trilili belum sempat mengenali si misterius. Duh gusti! Sarni Trilili menangis. Sakit, sakit hatinya. Ketika Surip Sasawati pulang diantar Yu Munah Soblem, sempat pula mereka melihat mata sembabnya. Tapi perkiraan mereka jelas tangisan itu karena Sarni Trilili baru teringat dengan Jonet Tralala, sang almarhum. Sarni Trilili pun enggan menceritakan aib yang hampir saja menimpanya. Maka, ketika Yu Munah Soblem pamitan, ia hanya bisa mengangguk tanpa berkata-kata. Ketika Surip Sasawati tertidur Sarni Trilili hanya bisa klisikan. Otaknya berteka-teki silang, siapa gerangan setan yang hampir memperkaosnya.Kamto Oncekkah? Rasanya bukan. Kamto Oncek orangnya cebol dan tangannya kurus, tak sekekar itu. Tampaknya bukan orang dusun ‘ex’. Di dusun ‘ex&
Tangisnya belum mereda. Dadanya yang tambun terguncang-guncang hebat. Betul, suara isak tangisnya sudah tidak keras lagi. Tetapi itu malah terdengar menyakitkan, ngenes-ngenesi ati. Sementara dari balik pintu muncul dua perempuan yang sebaya dengannya. Yang satu berkebaya dan satunya lagi memakai rok. Tak ada gincu-gincu di bibir mereka. Pendatang yang ber-rok duduk di samping si penangis, menghibur. Sedangkan si kebaya diam dengan pancaran mata yang sukar diraba, entah turut berduka cita atau sebaliknya. Boleh jadi kematian laki-laki Sarni Trilili merupakan hiburan tersendiri baginya.“Sudahlah. Kematian itu milik siapa saja. Maka tak usah terlalu ditangisi, ” bisik yang berkebaya.“Betul. Besok lusa kau pasti sudah tertawa renyah lagi,” sambung yang ber-rok sambil sedikit melengos. Tangan yang berkebaya pun menyubit pantatnya, agar temannya itu menjaga mulut.Kematian Jonet Tralala yang terkena radang tebece menambah perbendaharaan jand