Beranda / Romansa / Payung Yang Jebol / 1. Aku, Sarni Trilili

Share

Payung Yang Jebol
Payung Yang Jebol
Penulis: setiawan_g_sasongko

1. Aku, Sarni Trilili

Tangisnya belum mereda. Dadanya yang tambun terguncang-guncang hebat. Betul, suara isak tangisnya sudah tidak keras lagi. Tetapi itu malah terdengar menyakitkan, ngenes-ngenesi ati. Sementara dari balik pintu muncul dua perempuan yang sebaya dengannya. Yang satu berkebaya dan satunya lagi memakai rok. Tak ada gincu-gincu di bibir mereka. Pendatang yang ber-rok duduk di samping si penangis, menghibur. Sedangkan si kebaya diam dengan pancaran mata yang sukar diraba, entah turut berduka cita atau sebaliknya. Boleh jadi kematian laki-laki Sarni Trilili merupakan hiburan tersendiri baginya.

“Sudahlah. Kematian itu milik siapa saja. Maka tak usah terlalu ditangisi, ” bisik yang berkebaya.

“Betul. Besok lusa kau pasti sudah tertawa renyah lagi,” sambung yang ber-rok sambil sedikit melengos. Tangan yang berkebaya pun menyubit pantatnya, agar temannya itu menjaga mulut.

Kematian Jonet Tralala yang terkena radang tebece menambah perbendaharaan janda kembang di dusun ‘ex’. Kali ini Sarni Trilili yang ketiban sampur untuk menyandang gelar tersebut. Padahal masih muda dan belum beranak-pinak. Dan, itu mengundang senyum simpul Yu Jiyem Kempul, si pedagang berlian yang notabene juga calo begituan. Di pelayatan tempo hari, mungkin, urun banyunya yang paing tebal di antara para pelayat. Maklum mudah mencari duit. Orang dusun ‘ex’ menggambarkan tinggal garuk-garuk kepala saja duit Yu Jiyem Kempul sudah mbrojol sendiri.

Di peringatan tiga hari si mati,  Sarni Trilili belum bisa tersenyum sama sekali. Toh,  pas peringatan tujuh harian ia bisa tersenyum meski tampak ditahan-tahan. Ee.., pas empat puluh harian dari nggletaknya si Jonet Tralala, istri yang setia itu sudah bisa tertawa ngikik saat ada acara lawak di televisi. Aneh ya, tertawa saja menunggu empat puluh hari.

Selisih dua hari dari peringatan empat puluhan, Yu Jiyem Kempul tledang-tledang datang ke rumah Sarni Trilili. Bermaksud menawarkan berlian mata kucing. Dengan si gandes luwes itu Sarni Trilili tak kuasa menolak untuk ngobrol ngalor-ngidul. Dari harga cabai-jahe sampai rencana si tamu mengambil perumahan di Giri Indol.

“Bagaimana, Jeng? Jadi ngambil intan tidak?”

“Tidak, Mbakyu. Wong habis kesusahan kok mborong. Tidak patut, tabu. Bisa dicibir tetangga,” jawab Sarni Trilili.

“Itu sebetulnya tidak tabu. Hanya orang kolot saja yang menabukan sesuatu.” Ah, gaya klasik pedagang. Ngglembuk.

Sarni Trilili tak bergeming. Lha apa pantas uang hasil iuran untuk si mati dibelikan intan permata. Tidak baik, bisa kualat.

Padahal bukan jual beli itu sendiri yang tak mengenakkan hatinya. Kedatangan Yu Jiyem Kempul ke rumahnya saja sudah mengundang njedirnya bibir-bibir sedusun ‘ex’. Reputasi Yu Jiyem Kempul memang buruk di mata orang-orang yang sering kena wabah paceklik musiman itu. Penduduk dusun ‘ex’ memang sudah mengout-groupkan Yu Jiyem Kempul. Ia sampah, bah, pantas diludahi! Padahal kalau dalam hal sumbang-menyumbang untuk pembangunan dusun, woow, Yu Jiyem Kempul yang pegang sabuknya. Pak lurah kalah jauh.

“O, ya. Lantas Jeng Trilili mau usaha apa setelah kepergian Dimas Tralala?” Idium dimasnya ia beri intonasi mantap. Hal itu malah bikin Sarni Trlili terharu-biru. Ia jadi ingat suami tercece.

“Ada sawah yang bisa saya olah, Mbakyu.”

“Wah apa cukup, Jeng.”

“Juga ada duapuluh pohon mlinjo di kebun. Dan semua sudah berbuah.”

“Ah, Jeng Trilili itu lho. Kaya’ Ratu Kalinyamat saja, mau bertapa. Harga cabe saja tidak pernah turun. Saya rasa Jeng Trilili masih ingin plesar-plesir, piknik. Masih ayu, cantik. Lesung pipinya itu lho yang bikin gemes!” Yu Jiyem Kempul nyrocos bak bebek nyosori gabah. Sarni Trilili tersenyum tersipu-sipu.

Yu Jiyem Kempul akhirnya pamitan. Sarni Trilili mengantarnya sampai regol. Sopir caldilac warna sitrun pun membuka pintu mobil sambil melirik Sarni Trilili dengan senyuman nakal. Yu Jiyem Kempul masuk setelah jempol si sopir menunjuk ke dalam. Duh-duh, orang itu kalau baru jadi orang kok disubya-subya kayak ratu laron.

Dari dalam mobil Yu Jiyem kempul masih berucap dengan Sarni Trilili. “Jeng Trilili, kalau ada apa-apa jangan segan-segan menghubungi mbakyumu ini!”

Sarni Trilili mengangguk-angguk. Mobil lantas nggereng halus dan pelan-pelan menuju arah kota Kendil, ladang subur Yu Jiyem Kempul. Orang-orang yang melihatnya sinis. Ada yang meludah, cuh-cuh!

Tahu-tahu Mbah Joyo Tempe, orang sebelah rumah, sudah berdiri di sampingnya. Bertanya-tanya cemas, “Ada apa, Nduk?”

“Menawarkan berlian kok, Mbokde.”

“Hati-hati lho, Nduk. Dia itu ular beludak.”

Sarni Trilili mengangguk. Tetapi peringatan itu malah menyakitkan hatinya. Diriku dianggap apa, batinnya. Dadanya menjadi sesak. Gundah. Ada rasa sakit di dalamnya. Tak kuasa membendung air mata maka ia berlari masuk rumah, dan menyuntaknya di bantal.  Malamnya ia bermimpi, si almarhum menyuntingkan bunga melati di rambutnya. Mimpi itu dirasa sangat syahdu dan indah.

Pagi harinya, Tebasan mlinjo itu datang lagi. Padahal kemarin penawaran tertingginya sudah ditolak Sarni Trilili. Harganya masih dianggap terlalu rendah. Tetapi Darmo Dipo, sang pengijon nan ulet dari dusun ‘er’,  tidak bersedia menaikkan koin penawarannya.

“Harga klathak baru top-topnya lho, kang,” kata Sarni Trilili. Klathak adalah biji melinjo yang sudah dikupas kulit arinya.

“Siapa bilang? Di bursa emping kota penawaran mencapai titik tertinggi, permintaan anjlok. Sementara setoran biji mlinjo dari petani mengalir terus.”

“Pokoknya,  kalau tidak sembilan ratus rupiah perkilonya tidak akan saya berikan.”

“Itu harga mlinjo kalau sudah berujud klathak, sudah dikuliti. Sedangkan di sini? Aku masih harus memanjat pohonnya.”

“Pokoknya sembilan ratus rupiah!”

“Tujuh ratus!”

“Kalau begitu tidak kuberikan!”

“Hya sudah, aku juga tak mau rugi,”Darmo Dipo lantas nggenjot skuternya. Tukang panjatnya nongkrong di jok belakang yang hanya dialasi goni buat ganjel bokong. E, lha kok hari ini dia berani-beraninya datang lagi. Klakson skuternya yang cemreng ia ngek-ngekkan di depan rumah Sarni Trilili.

“Berani naikkan harganya lagi, kang?” tantang Sarni Trilili.

“Harga kemarin saja!”

“Tidak! Sekarang seribu lima puluh perkilo!”

“Apa-apaan, nih,” Darmo Dipo jadi nyengir ampang. Tukang panjatnya yang sudah stand bye manjat ikut nyengir sambil nglirik ke arah dada Sarni Trilili yang lupa dibehai. Darmo Dipo dan tukang panjatnya tersenyum bareng, wow!

“Tidak mau ya sudah. Biar nanti dipanen si Nardi Kithil.”

“Mau! Mau! Tapi mbok jangan pakai limapuluhan! Biar gampang menghitungya!”

“Dasar buta huruf!” seru Sarni Trilili sambil mengangguk setuju. Bertiga mereka pergi ke kebun samping rumah. Hanya sembilan pohon yang sarat akan buah mlinjo yang merah dan kuning. Yang lainnya masih berupa kroto, bunga melinjo. Selanjutnya Gino Luwak, si Tukang panjat, ngangkrik pohon dan mulai menyenggeti buah mlinjo.

Sementara itu Darmo Dipo asyik dengan dua bola mata nakalnya. Ia mengemudikan kornea matanya ke mana pun Sarni Trilili berada. Padahal dari atas pohon, sepasang mata Gino Luwak juga lebih konsen ke biji mlinjo di dada si janda. Ah, mata itu betul-betul terlatih untuk melihat hal-hal yang begituan. Aha! Sarni Trilili pun tersipu-sipu ketika tersadar bahwa dirinya tak pakai kutang, lantas ia berlari masuk rumah. Sekeluarnya dia ke rumah Mbah Joyo Tempe. Minta ditemani agar lebih aman.

Sekembalinya Sarni Trilii dengan ditemani nenek-nenek bikin Darmo Dipo merasa dibetheti moralnya. Diam-diam ia meringis menahan gejolak rasa malu dan anu. “Mati aku! Ketangkap basah mataku!”

Nah, si Gino Luwak pun lebih perhatian akan biji-biji mlinjo yang sebenarnya, sehingga mlinjo pun berjatuhan layaknya hujan. “Asem!” gerutu Darmo Dipo menggerutui buruh panjatnya. Ah, kau! Kiranya hanya matamu saja yang hobby barang sedap. Acara petik mlinjo itu hampir seharian. Dari sembilan pohon itu didapat hampir lima kuintal mlinjo. Mlinjo masuk goni dan uang pun dibayarkan.

“Nih, ada jatah sedikit,  buat cemilan,” kata Darmo Dipo sambil mbonus hampir dua kilo mlinjo kepada Sarni Trilili. Padahal selama ini dia terkenal pelit, lho. Sebelum skuter itu nggeblas ke arah selatan Darmo Dipo sempat membonus lagi, kali ini sebuah kerlingan mata manis.

Dengan bijaksana Sarni Trilili membalas dengan senyuman masam. Dan dalam lubuk hatinya ia bersyair,  “Cintaku berkeping tunggal, tiada berbelah.” Syair lima kata itu gubahan Jonet Tralala sebelum menghembuskan napas yang penghabisan. Itulah resiko menjadi janda muda. Ada-ada saja yang ingin mengajaknya nonton pengantin.

Sore itu sepulang mancing kodok ijo, Kamto Oncek mampir ke rumah Yu Munah Soblem. Tujuannya tak lain dan tak bukan ingin ngrembug bab tegalan yang ia garap dari Sarni Trilili. Ia minta pertimbangan tentang keinginannya untuk bertanam rambutan di tegalan itu. “Urusan itu ya kamu bicarakan sendiri sama Trilili. Bukan aku. Wong bosnya  bukan aku,” sergah Yu Munah Soblem. “Atau otakmu sudah kenthir, kok pingin bertanam rambutan segala, bukankah padi gogo sudah cukup untuk ngganjal perut?”

“Lho-lho, Yu Soblem itu malah ngecap orang gendeng. Aku ‘kan hanya minta saran saja. Toh semua orang tahu, Yu Soblem ini sahabat dekat Mbakyu Trilili,” protes Kamto Oncek.

“Kalau begitu  baiklah, nanti aku lapor ke Trilili.”

“Lapor? Kok kaya’ hansip saja,” sungut Kamto Oncek. Hii-hi-hi! Yu Munah Soblem malah meringkik seperti kuda sembrani. “Mau kodok, Yu?”

“Apa sudah dikuliti?”

“Kang Jito Akik ‘kan bisa nyopoti jaket-jaket kodok ini!”

Toh Yu Munah Soblem tertawa gembira dapat bonus kodok sawah. “Dapat kodok berapa kok ngajak pesta cwe-ke? Lumayan buat lauk nanti malem, sudah bosen tempe bacem.” Kamto Oncek pun pamitan. Tapi ia pesan wanti-wanti perihal tegalan dan pohon rambutan. Tampaknya ia  sudah ngebet betul akan buah rambutan. Suara kletek-kletek jeruji sepeda menandakan suami Yu Munah Soblem pulang. Buruh asah batu akik itu sudah tersenyum-senyum penuh kerinduan akan istrinya. Jakunnya sudah turun naik seperti tarian cleret gombel.  Apalagi ketika didapati  si istri lagi ngore rambut. Tarian jakunnya makin menjadi-jadi meski tanpa gamelan.

“Bagaimana, Kang? Sabtu ini dapat lemburan lagi?”

“Ya, nglembur ngukir rembulan.”

“Romantismu kumat, kang!”

He-he-he. Kang Jito Akik tak kuasa membendung rasa anunya. Dengan gemas dicubitnya pinggul istrinya. Batu bara di tubuh Yu Munah Soblem pun menyala-nyala, harus disiram untuk memadamkannya, dan itu tugas Kang Jito Akik. Namun sebelum kebakaran besar terjadi  mendadak ada ketukan di pintu. Kang Jito Akik mendesah, kecewa. Namun ia sadar, bagaimana pun tamu harus dihormati.

“Saya bawakan kolak pisang, Yu,” ternyata suara Sarni Trilili.

Yu Munah Soblem tertawa senang. Batu baranya sudah padam sendiri. “Terima kasih, lho. Pisang kepok sebelah barat rumah, ya?”

“Benar. Dari pada keduluan kampret kusuruh si Kawer menebangnya. Lumayan ada empat sisir.”

“Kenapa tidak dibawa ke pasar saja?”

“Sekali-kali makan kolak, Yu.”

“Betul. Kalau tidak begitu aku tak pernah makan kolak,” sambung Kang Jito Akik yang njilati piring bekas kolaknya.

“Saru, ah!” seru Yu Munah Soblem melihat kelakuan suaminya. “Ngomong-ngomong tadi Kamto Oncek datang ke sini. Ia berminat menanam pohon rambutan di tegalan. Kira-kira bagaimana, boleh tidak?”

‘Lha, terus stok gabahnya bagaimana?”

“Itu belum sempat kutanyakan padanya. Memang aneh-aneh saja pikiran orang satu itu. Mungkin ketularan virus dusun sebelah yang pada gandrung nanam jeruk manis!” seru Yu Munah Soblem.

“Kalau niat jadi petani sukses suruh saja menanam jeruk purut wadah kentut. Pasti laku dan untung besar. Perawatannya juga tidak rewel,” usul Kang Jito Akik.

“Jeruk purut? Siapa yang mau beli?” sahut istrinya.

“Hya orang-orang kota!”

Sarbi  Trilili tak tertarik memperbincangkan sawah tadah hujannya lama-lama. Maka ketika acara bertandang ke rumah sang karib dirasa cukup ia mohon diri. Tinggal melompat saja sudah sampai, sebab rumah mereka hanya dibatasi pagar bambu yang rendah. Sampai di rumah Surip Sasawati baru menjerang air. Anak Pakdhe Aryo Clemong yang baru kelas dua esempe itu ia minta untuk menemaninya. Agar dirinya merasa aman dan tidak kesepian. Padahal selama ini kesepian itu sudah terlalu akrab baginya, lho. Benar, wong dari kecil Sarni Trilili itu anak lola, yatim piatu. E, lha kok ndelalah ketemu Jonet Tralala saja riwayatnya juga sama persis. Bedanya, kangmasnya itu punya tanah dan tegalan yang cukup luas. Sedangkan dirinya hanya punya jiwa raga saja.

Pasangan serasi! Tumbu entuk tutup! Pasangan yang klop! Kamajaya dan  Ratih!

Sayang kebahagiaan itu tak berlangsung lama. Mestikah Sarni Trilili mengumpati baksil-baksil yang telah menggrogoti tubuh suaminya tercinta. Tidak, menungsa amung saderma nglakoni. Manusia itu wayang, bukan sang dalang.

“Mbakyu, tadi di jalan ada pengamen lucu,” kata Surip Sasawati. “Bahasanya ngawur.”

“Ngawur kok lucu.”

“Betuk kok, Mbakyu. Bukan menyanyikan lagu dangdut,  tapi baca puisi.” Sarni Trilili mengernyitkan dahi. Hm. Malamnya, belum ada jam setengah tujuh, ada suara tung-tung-plak tung-plak gong! Surip Sasawati langsung menggamit lengan Sarni Trilili. “Lha itu pengamennya, Mbakyu.”

“Bukankah itu suara kendang khas Ledek Konyil yang sudah lama absen?” Sarni Trilili teringat suara gamelan masa lalu. Suara tung-plak tung-plak itu identik dengan suara ledek atau penayub, yang beber menawarkan tarian dan suaranya. Tapi itu dulu, sekarang sudah tak ada. Dahulu rombongan pengamen seperti itu berasal dari daerah ‘we.’ Tung-plak tung-plak gong! Suara gamelan itu makin dekat.

“Mbakyu, kita lihat, yo. Lucu lho, pangamennya ganteng-ganteng,” ajak Surip Sasawati. We lha, kok gantengnya pengamen yang dinilai. Kalau begini bisa ndrawasi buat generasi muda. Tak urung, Sarni Trilili keluar rumah juga. Menuruti Sasawati. Orang-orang dukuh ‘ex’ sudah keluar semua. Maklum jarang ada tontonan. Film kabe pun boleh dibilang tak pernah berpromosi di sini, tak ayal kalau di daerah ini panen anak balita. Ternyata rombongan itu sudah acting di pelataran rumah Mbah Cengger Wilah. Pekarangannya memang paling luas.

“Mereka anak-anak kuliah, kok.” Ada yang nyletuk kaya gitu, tapi entah siapa. Anak kampus, masa sih? Ka-ka-en,  masa sih? Mengapa mengamen. Bukankah yang biasa sekolah tinggi itu anak orang berjubel duit? Tung plak-tung plak jer! Sarni Trilili dan Surip Sasawati sudah ikut sikut-sikutan mencari tempat. Ngiikk-ngook….ngik-ngokkk suara gesekan biola. Penari menari di tengah arena, dekat api unggun, memakai topeng sambil memegang kertas kucel. Surip Sasawati tersenyum kecut, tak bisa melihat wajah ganteng penari yang dibelit topeng monyet. Sarni Trilili tertawa dalam hati. Pengamen jantur itu mulai meneriakkan syair-syair Jawa sambil menari-nari.

Lelepah-lelepah pakanane iwak entah

Lelumban lelamising lati

Landep lancip liding

Lumah lemeh, lemeh lumah

Lemes

Lelepah-lelepah pakanane iwak entah

Lelakon oo…lelakon

Lir pakeliran suran

Lamat pangindunge nyi sinden

Lelegon bumi kelairan

Lemahku subur

Lintangku dhuwur

Lelepah-lelepah pakanane iwak entah

Limbung nyi buto ijo

Lambe  ndremimil

Lambung perih ngelih

Le thole

Lodoken lenge gangsir

Lebanana kareben ngenthir

Lelepah-lelepah pakanane iwak entah.

Penduduk pun bersorak sorai ramai sekali mendengar geguritan yang kocak itu. Sarni Trilili tertawa-tawa senang. Benar, memang lucu. Sambil tetap menari orang topengan itu mengedarkan topi pandannya yang bulat plus kumal. Lantas uang logam pating klithik jatuh di sana. Tontonan ini memang tidak gratis, tapi murah meriah. Jadi siapa bilang orang desa terpencil tak bisa berapresiasi sastra. Bukankah yang baru saja didendangkan itu karya sastra? Geguritan, ya geguritan. Puisi Jawa!

Pengamen yang menari-nari itu kian berputar kencang, seiring dengan iringan gamelan yang kian ndadi, seperti reog ponorogo. Tiba-tiba saja, seperti gasingan yang baru saja disentakkan dari talinya, orang itu berputar hebat. Lalu jatuh terduduk, lemas. “Wah, apa tidak pusing orang itu!” gumam seseorang. Tampaknya tidak. Sebab tak lama kemudian si penari itu telah berdiri lagi. Matanya nanar memandang seputar sambil mulutnya komat-kamit.

“Ayo, baca puisi mbelingmu lagi!” teriak seseorang tidak sabar.

Jegag-jegug baungan kidul ratan

Jer sekar setaman nyi randa kalpika

Jugrug ketaman wiriding alif

Jaganana tha, nyai

Jangkepe manungsa nora bandha donya

Jeneh sira amemundhi memedi

Jayanen kautaman

Jatining janma amung wenang amarsudi

Ja ngaya nggembol lali

Syair yang memuat point randa atau janda itu dirasa Sarni Trilili nyenges dirinya. Ada rasa sir di hatinya. Sakit, agak sakit. “Kita pulang, Rip.”

“Sebentar, Mbakyu. Biar mereka makan kaca dulu.”

“Lho, ini bukan jaran kepang atau jathilan.”

Surip Sasawati ngeyel, “Tapi di desa ‘be’ tadi siang mereka ngremus kaca, kok.”

Sarni Trilili mengalah. Dikuat-kuatkanlah matanya untuk melek. Ia tak sadar ada beberapa mata diam-diam selalu mencuri pandang ke arahnya. Sedangkan penonton kian banyak. Minul Ceplis malah menambah kayu api unggun, sehingga nyalanya makin berkobar. Ngak-ngik-ngok suara biola pecah makin tidak karuan, blero. Tapi musik yang asal tabuh dan gesek itu malah akrab dengan gendang telinga rakyat kecil itu. Ketika penari pertama kelelahan maka diganti penari lainnya. Jadi belum tampak kapan pentas itu akan usai. Sarni Trilili punya inisiatif pulang sendiri. Biarlah Surip Sasawati menunggu idolanya dulu. Namun baru saja kakinya memasuki regol halaman rumah tiba-tiba mak jegagik. Jantung Sarni Trilili hampir terlepas. Kamto Oncek telah menghadangnya.

“Ada apa?” tanya Sarni Trilili mencoba untuk tidak terkejut.

“Kupikir Mbakyu tidak nonton. Anu, aku bermaksud membicarakan tegalan,” jawab Kamto Oncek. Dalam kegelapan itu tidak tampak raut muka si Kamto Oncek. Entah, wajah malaekat ataukah wajah setan.

“Tegalan kita bicarakan besok saja. Datanglah ke rumah jam dua siang,” Sarni Trilili berdiplomasi untuk mengusir Kamto Oncek dari hadapannya. Kamto Oncek ternyata tak bermacam-macam. Ia segera bergegas ke arah suara-suara  riuh itu. Sarni Trilili pun ingin segera masuk rumah. Namun, baru beberapa pecak kakinya melangkah ke arah pintu, dari balik kerimbunan pohon pisang ada sosok yang berkelebat. Sarni Trilili belum kober menjerit ketika tangan kekar itu membekap mulutnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status