“Jadi … dia memerlukan darah?” lirih Rosalyn.“Benar Nyonya. Maaf, saya pikir Pak Dewa sudah memberitahu.” Pandu menundukkan kepala. Jantung pria itu tak karuan karena nasibnya di ujung tanduk.“Oh.” Rosalyn geleng-geleng kepala dan mata hazelnya menyorot dingin ranjang pasien Vinsensia di bangsal presidential suite. Padahal ruangan itu dikhususkan bagi para petinggi saja tetapi Dewa menggelontorkan dana dalam jumlah besar demi fasilitas Vinsensia. “Dan kalian ingin aku mendonorkan darah untuk selingkuhan suamiku?”Pandu tidak berani bersuara sebab khawatir salah berkata-kata. Tadi, asisten pribadi itu telah menghubungi Dewa untuk menyelesaikan masalah ini. Sekarang mereka menunggu Presdir Cwell Grup datang ke pusat medis Kota Zurich.“Dia di mana?” Rosalyn menoleh pada Pandu.“Pak Dewa dalam perjalanan. Sebentar lagi tiba,” kata Pandu dengan tubuh gemetar hebat.Lima belas menit kemudian, derap langkah sepatu derby hitam menggema sepanjang selasar menuju ruang rawat Vinsensia.Rosal
“Apa dia hidup dengan baik?” tanya Dewa pada anak buahnya. Ia menatap beberapa gambar di layar tablet. Senyum samar terbit pada bibir sensual pria itu. Bahkan ia membelai bibir merah Rossalyn yang tertawa riang bersama rekan kerja wanita.“Ya, Tuan. Belakangan ini Nyonya sangat sibuk.”“Biarkan seperti ini, jangan usik istriku,” kata Dewa.**Dari hari berubah ke minggu lalu menjadi bulan dan musim telah berganti. Kini dedaunan merah bata serta kekuningan berguguran. Orang-orang menggunakan baju hangat di pagi, sore dan malam hari karena suhu mulai dingin.“Menurutmu jaket ini bagus tidak? Aku baru membelinya dan ini edisi terbatas.”Vinsensia melepas kemeja panjangnya tepat di depan seorang pria lalu mengenakan baju hangat dengan gerakan lamban. Tatapan mata gadis itu tertuju pada pria yang duduk di kursi sambil menatap ke luar jendela.“Dewa?!” panggil Vinsensia.Diam. Tidak ada tanggapan apa pun dari pria itu.“Sepertinya kamu merindukan Rosalyn,” cibir Vinensia, “Dia tidak mau kemb
“Aku mau ke rumah sakit,” ucap Rosalyn sambil menoleh pada Fabian. Tanpa menatap wajah Rosalyn atau bertanya apa kepentingannya, Fabian menyahut, “Ya, aku antar.” Pria itu merasa tidak ingin hubungannya melampaui batas mengingat status Rosalyn masih istri sah Antakadewa. Tiba di pelataran rumah sakit, Rosalyn berpamitan dengan Fabian tetapi sabuk pengamannya macet. Ia kesulitan melepas ikatan itu hingga Fabian turun tangan. “Kamu diam ya, aku bantu.” Fabian mencondongkan tubuh lalu tangannya menggapai sabuk pengaman. Berulang kali berusaha melepas, pria itu tetap gagal. “Maaf, kamu jadi terlambat,” sambung Fabian. “Tidak apa.” Senyum canggung memenuhi wajah Rosalyn sebab posisi ini sangat dekat dan nyaris menempel. Seadainya orang lain melihat dari luar kaca mobil sudah pasti mengira mereka sedang bermesraan. Beberapa saat kemudian Fabian berhasil melepaskan sabuk pengaman. Rosalyn mengembus napas lega lantas tersenyum dan bibir merahnya terbuka hendak mengucap kata terima ka
“Sekarang ayah engga sakit lagi. Sampaikan salamku untuk ibu,” lirih Rosalyn memeluk foto Dorian. Ia tidak menangis di atas pusara Dorian.Hingga matahari terbenam, Rosalyn masih betah duduk di area pemakaman sang ayah. Ia tidak sendirian, melainkan ditemani Mathilda yang sama terpukul. Wanita paruh baya itu histeris dan sulit ditenangkan.Rosalyn menolehkan kepala. “Bu, ayo pulang.”“Pulang saja sendiri! Aku mau menemani Dorian,” ketus Mathilda.Sejujurnya, Rosalyn ingin berbincang empat mata bersama ibu sambungnya. Ia penasaran kenapa Dorian tidak menggunakan uang pemberian darinya untuk membiayai operasi. Akan tetapi, melihat situasi tak memungkinkan, Rosalyn mengurungkan niat. Ia terpaksa berjalan sendirian meninggalkan Mathilda yang menangis. Lagi pula, perut Rosalyn terasa sakit dan memerlukan bantuan dokter.Iris hazel Rosalyn melihat satu unit mobil sport berwarna gelap di depan gerbang pemakaman. Ia mengernyit sebab mengenali kendaraan itu. Ia juga sempat berpikir mengapa Dew
“Rosalyn ….” Dewa memejamkan mata dan berlutut di atas tanah kuburan. Kepalan tangannya bergetar tatkala peti jenazah telah tertutup rapat oleh tanah.Beberapa orang mulai meninggalkan Dewa sendirian di pemakaman, termasuk sanak keluarga.“Maaf,” lirih pria itu sembari menatap kosong ke arah batu nisan.Kedua tangan kekar Dewa meremas kuat rambutnya. Ia menggelengkan kepala menolak kenyataan kejam ini. Tidak pernah terlintas di pikiran Dewa bahwa Rosalyn pergi untuk selamanya.Kini, pria itu hanya bisa menangis dalam diam di atas pusara yang masih basah. Sekelebat bayangan memenuhi kepala, Dewa teringat pertama kali bertemu Rosalyn saat usia wanita itu sembilan belas tahun. Seketika pria itu berteriak lantang, “Argh!”**Senja ini tangisan langit membasahi permukaan bumi. Angin berembus semakin dingin seiring terbenamnya matahari. Dedaunan kering berjatuhan di sepanjang jalan.Seorang pria tertatih menyusuri pematang jalan. Bibir pucat dan badannya yang gemetar menjadi pertanda bahwa
“Masih perlu bukti?” sahut Fabian diiringi tatapan sengit dan mengancam.“Ya.” Dewa berdiri tegak tidak terintimidasi dengan tatapan tajam rivalnya.Fabian memundurkan tubuh lalu keluar dari ruang investigasi. Tidak lama kemudian pria itu kembali dan menarik lengan seorang perawat muda.“Katakan saja jangan takut!” tegas Fabian memerintah perawat itu.Kepala suster menunduk dan badannya gemetar hebat. “Nona itu memberikan saya uang jika berhasil mengeluarkan bayi dari ruang perawatan.”Sedangkan Vinsensia membeliak mendengar penyataan dari bibir suster. Gadis itu langsung meraih lengan kekar Dewa sembari terisak pilu.Sigap Dewa melepaskan tangan Vinsensia dari lengannya. Ekor mata pria itu melirik tajam ke samping dan rahanganya mengetat seakan-akan siap memuntahkan amarah.“Ini namanya Fitnah!” lirih Vinsensia, “A-aku bersumpah tidak melakukannya, Dewa. Mana mungkin menculik anak dari pria yang aku cinta. Lagi pula untuk apa aku menculik bayi itu?”Suster menambahkan, “Saya tidak bo
“Fabian, apa kamu berhasil membawa anak satunya lagi?” tanya seorang wanita dengan sorot mata mengiba.Fabian menggeleng lemah dan mengembus napas dengan kasar. Pria itu menjawab, “Sekarang Dewa mengetahuinya. Sulit bagiku membawa kabur anak itu.”“Baiklah, aku mengerti,” kata wanita itu lalu mengalihkan pandangan ke ruang perawatan. “Kasihan sekali nasibmu, Nak.”Di tengah perbincangan, telepon genggam Fabian berdering. Buru-buru pria itu menerima panggilan suara.“Ya, bagaimana?”[Maaf Tuan Arnold. Kami tidak berhasil mendapatkan CCTV di ruang bayi. Sepertinya perempuan jahat itu dilindungi seseorang.]“Apa pernyataan suster tidak cukup?”[Masalahnya hanya ada satu saksi mata. Itu kurang kuat, apalagi Vinsensia mengelak dan membawa pengacara. Jika di persidangan nanti tidak ada bukti, dia pasti bebas tanpa syarat.]Fabian mendesah lelah, karena sulitnya menangkap Vinsensia sebab gadis itu sangat licin dan memiliki beragam cara untuk berkelit.“Ya sudah, kita berusaha saja dulu.”**
“Aduh … seharusnya kamu minta maaf bukan mengomel kaya gini.” Brahma memungut botol minum dari atas rumput.“Maafnya bisa nanti engga? Sekarang kamu bantu aku sembunyi, ayo!”“Hey, aku engga mau! Nanti orang tua kamu marah.” Brahma cemberut karena tangannya ditarik secara paksa. “Kamu ‘kan anak perempuan seharusnya lembut bukan kasar begini.”Sejenak Brahma merasa gadis cantik di depannya mirip dengan seseorang.Gadis kecil itu menempelkan jari telunjuk pada bibir lalu menatap horror ke suatu tempat. Bahkan anak itu memaksa Brahma bersembunyi di balik semak-semak. Rambut pigtail-nya menyapu hidung mancung Brahma sehingga bersin-bersin.Buru-buru gadis itu membekap mulut Brahma. “Jangan berisik ya. Nanti ketahuan.”“Ketahuan siapa?” bisik Brahma.Bibir tipis gadis itu menekuk lalu jari telunjuknya menunjuk lurus pada beberapa orang berpakaian serba hitam.Seolah mengerti isi pikiran Brahma, gadis itu menggelengkan kepala. “Mereka bukan penculik tapi pengawalku. Satu lagi, mamaku ada di