Aduh ... ada aja yang ganggu T_T
“Kenapa makan duluan?” Dewa tertegun menatap Rosalyn yang duduk anggun menyantap semangkuk sup.Rosalyn mengenakan piama berbahan satin berwarna ungu muda menambah aura kecantikan berkali-lipat. Apalagi di bawah cahaya terang lampu membuat wanita itu kian bersinar.“Kamu lama, perutku lapar banget.” Rosalyn membelai perutnya.Senyum tipis tersungging pada bibir Dewa. Lantas ia duduk di kursi makannya dan menjentikkan jari. Kemudian pelayan menyajikan hidangan hangat untuk tuannya.Baru saja Dewa memegang garpu dan pisau hendak mengiris daging kalkun panggang, tetapi Rosalyn telah selesai makan. Wanita hamil itu berpamitan dan beranjak dari ruangan.Seketika Dewa meremas peralatan makan di tangannya. Ini memang bukan pertama kali, sejak kembali bersama dan selama empat belas hari ini sikap Rosalyn sangat dingin. Dewa … tidak suka, ia menginginkan istrinya yang manja dan membutuhkan belaian.Selain itu, Dewa berpikir Roalyn sedang mengujinya. Sebab perempuan pemilik paras ayu dengan hid
“Pak, bagaimana kalau Nyonya Rosalyn tahu?”“Tidak akan kecuali seseorang membocorkannya.” Dewa melirik tajam pada asisten pribadi. “Tutup mulutmu, Pandu!”Pandu mereguk saliva pekat. Asisten yang sudah menemani Dewa lebih dari lima tahun itu mengangguk pasrah.Keduanya berdiri di koridor pusat medis Kota Zurich.“Sudah mencari stok ketersediaan darah?” tanya Dewa lagi.“Sudah Pak, tapi … di bank darah kota ini habis.” Pandu menunduk.Satu jam lalu Dewa memerintah Pandu memeriksa kondisi Vinsensia di kamar hotel. Pandu menemukan gadis itu sudah bersimbah darah karena mengiris pergelangan tangan. Bahkan sebelumnya Vinsensia menelan sepuluh pil obat tidur sekaligus.Bahkan Pandu melewati jalan belakang dan membungkam petugas hotel dengan biaya mahal agar skandal ini tidak merebak ke media.Sekarang gadis itu kehilangan banyak darah. Dewa dan Pandu kesulitan mencari darah dengan rhesus yang cocok.“Pak, sebenarnya saya tahu siapa pemilik golongan darah yang sesuai dengan Nona Vinsensia.
“Jadi … dia memerlukan darah?” lirih Rosalyn.“Benar Nyonya. Maaf, saya pikir Pak Dewa sudah memberitahu.” Pandu menundukkan kepala. Jantung pria itu tak karuan karena nasibnya di ujung tanduk.“Oh.” Rosalyn geleng-geleng kepala dan mata hazelnya menyorot dingin ranjang pasien Vinsensia di bangsal presidential suite. Padahal ruangan itu dikhususkan bagi para petinggi saja tetapi Dewa menggelontorkan dana dalam jumlah besar demi fasilitas Vinsensia. “Dan kalian ingin aku mendonorkan darah untuk selingkuhan suamiku?”Pandu tidak berani bersuara sebab khawatir salah berkata-kata. Tadi, asisten pribadi itu telah menghubungi Dewa untuk menyelesaikan masalah ini. Sekarang mereka menunggu Presdir Cwell Grup datang ke pusat medis Kota Zurich.“Dia di mana?” Rosalyn menoleh pada Pandu.“Pak Dewa dalam perjalanan. Sebentar lagi tiba,” kata Pandu dengan tubuh gemetar hebat.Lima belas menit kemudian, derap langkah sepatu derby hitam menggema sepanjang selasar menuju ruang rawat Vinsensia.Rosal
“Apa dia hidup dengan baik?” tanya Dewa pada anak buahnya. Ia menatap beberapa gambar di layar tablet. Senyum samar terbit pada bibir sensual pria itu. Bahkan ia membelai bibir merah Rossalyn yang tertawa riang bersama rekan kerja wanita.“Ya, Tuan. Belakangan ini Nyonya sangat sibuk.”“Biarkan seperti ini, jangan usik istriku,” kata Dewa.**Dari hari berubah ke minggu lalu menjadi bulan dan musim telah berganti. Kini dedaunan merah bata serta kekuningan berguguran. Orang-orang menggunakan baju hangat di pagi, sore dan malam hari karena suhu mulai dingin.“Menurutmu jaket ini bagus tidak? Aku baru membelinya dan ini edisi terbatas.”Vinsensia melepas kemeja panjangnya tepat di depan seorang pria lalu mengenakan baju hangat dengan gerakan lamban. Tatapan mata gadis itu tertuju pada pria yang duduk di kursi sambil menatap ke luar jendela.“Dewa?!” panggil Vinsensia.Diam. Tidak ada tanggapan apa pun dari pria itu.“Sepertinya kamu merindukan Rosalyn,” cibir Vinensia, “Dia tidak mau kemb
“Aku mau ke rumah sakit,” ucap Rosalyn sambil menoleh pada Fabian. Tanpa menatap wajah Rosalyn atau bertanya apa kepentingannya, Fabian menyahut, “Ya, aku antar.” Pria itu merasa tidak ingin hubungannya melampaui batas mengingat status Rosalyn masih istri sah Antakadewa. Tiba di pelataran rumah sakit, Rosalyn berpamitan dengan Fabian tetapi sabuk pengamannya macet. Ia kesulitan melepas ikatan itu hingga Fabian turun tangan. “Kamu diam ya, aku bantu.” Fabian mencondongkan tubuh lalu tangannya menggapai sabuk pengaman. Berulang kali berusaha melepas, pria itu tetap gagal. “Maaf, kamu jadi terlambat,” sambung Fabian. “Tidak apa.” Senyum canggung memenuhi wajah Rosalyn sebab posisi ini sangat dekat dan nyaris menempel. Seadainya orang lain melihat dari luar kaca mobil sudah pasti mengira mereka sedang bermesraan. Beberapa saat kemudian Fabian berhasil melepaskan sabuk pengaman. Rosalyn mengembus napas lega lantas tersenyum dan bibir merahnya terbuka hendak mengucap kata terima ka
“Sekarang ayah engga sakit lagi. Sampaikan salamku untuk ibu,” lirih Rosalyn memeluk foto Dorian. Ia tidak menangis di atas pusara Dorian.Hingga matahari terbenam, Rosalyn masih betah duduk di area pemakaman sang ayah. Ia tidak sendirian, melainkan ditemani Mathilda yang sama terpukul. Wanita paruh baya itu histeris dan sulit ditenangkan.Rosalyn menolehkan kepala. “Bu, ayo pulang.”“Pulang saja sendiri! Aku mau menemani Dorian,” ketus Mathilda.Sejujurnya, Rosalyn ingin berbincang empat mata bersama ibu sambungnya. Ia penasaran kenapa Dorian tidak menggunakan uang pemberian darinya untuk membiayai operasi. Akan tetapi, melihat situasi tak memungkinkan, Rosalyn mengurungkan niat. Ia terpaksa berjalan sendirian meninggalkan Mathilda yang menangis. Lagi pula, perut Rosalyn terasa sakit dan memerlukan bantuan dokter.Iris hazel Rosalyn melihat satu unit mobil sport berwarna gelap di depan gerbang pemakaman. Ia mengernyit sebab mengenali kendaraan itu. Ia juga sempat berpikir mengapa Dew
“Rosalyn ….” Dewa memejamkan mata dan berlutut di atas tanah kuburan. Kepalan tangannya bergetar tatkala peti jenazah telah tertutup rapat oleh tanah.Beberapa orang mulai meninggalkan Dewa sendirian di pemakaman, termasuk sanak keluarga.“Maaf,” lirih pria itu sembari menatap kosong ke arah batu nisan.Kedua tangan kekar Dewa meremas kuat rambutnya. Ia menggelengkan kepala menolak kenyataan kejam ini. Tidak pernah terlintas di pikiran Dewa bahwa Rosalyn pergi untuk selamanya.Kini, pria itu hanya bisa menangis dalam diam di atas pusara yang masih basah. Sekelebat bayangan memenuhi kepala, Dewa teringat pertama kali bertemu Rosalyn saat usia wanita itu sembilan belas tahun. Seketika pria itu berteriak lantang, “Argh!”**Senja ini tangisan langit membasahi permukaan bumi. Angin berembus semakin dingin seiring terbenamnya matahari. Dedaunan kering berjatuhan di sepanjang jalan.Seorang pria tertatih menyusuri pematang jalan. Bibir pucat dan badannya yang gemetar menjadi pertanda bahwa
“Masih perlu bukti?” sahut Fabian diiringi tatapan sengit dan mengancam.“Ya.” Dewa berdiri tegak tidak terintimidasi dengan tatapan tajam rivalnya.Fabian memundurkan tubuh lalu keluar dari ruang investigasi. Tidak lama kemudian pria itu kembali dan menarik lengan seorang perawat muda.“Katakan saja jangan takut!” tegas Fabian memerintah perawat itu.Kepala suster menunduk dan badannya gemetar hebat. “Nona itu memberikan saya uang jika berhasil mengeluarkan bayi dari ruang perawatan.”Sedangkan Vinsensia membeliak mendengar penyataan dari bibir suster. Gadis itu langsung meraih lengan kekar Dewa sembari terisak pilu.Sigap Dewa melepaskan tangan Vinsensia dari lengannya. Ekor mata pria itu melirik tajam ke samping dan rahanganya mengetat seakan-akan siap memuntahkan amarah.“Ini namanya Fitnah!” lirih Vinsensia, “A-aku bersumpah tidak melakukannya, Dewa. Mana mungkin menculik anak dari pria yang aku cinta. Lagi pula untuk apa aku menculik bayi itu?”Suster menambahkan, “Saya tidak bo
“Bagaimana kondisi Lily, Kak?” tanya Rosalyn sesampainya di rumah sakit.“Air ketubannya pecah. Dia kesakitan.” Kevin tampak gelisah, pria itu masih mengenakan piama dan menutupi tubuh dengan selimut.Rosalyn menuntun Kevin supaya duduk di bangku logam depan ruang bersalin. “Kita berdoa saja semoga Lily dan bayinya selamat.”Ketiga orang itu menanti dengan gelisah. Setelah hampir setengah jam berjalan, seorang dokter menghampiri Kevin dan menjelaskan, “Bayi Nyonya Lily sebentar lagi lahir, jika suaminya ingin melihat proses persalinan, kami persilakan.”Kevin menggeleng. Justru ia mendorong Rosalyn supaya menemani Lily di dalam sana. Sebagai wanita yang pernah melahirkan, ia mencebik melihat dua pria duduk gelisah di kursi. Ia pun mendampingi Lily di ruang bersalin.Rosalyn segera menggenggam tangan iparnya. Lily sedang kesakitan setelah pembukaan jalan lahir melebar sempurna.“Semangat Lily, kamu pasti bisa,” bisik Rosalyn diangguki iparnya.Dengan bimbingan dokter spesialis kandungan
“Kenapa, Bro?” sapa Fabian sambil menyodorkan sekaleng minuman. “Orang bilang ini bagus dan tahan lama,” kata pria itu.Dewa memelotot dan menyambar kaleng, lalu membuangnya ke tempat sampah.“Tidak butuh!” sentak Dewa dengan tatapan menghunus tajam.Fabian menepuk bahu temannya dan berujar, “Jangan marah-marah, kamu bisa darah tinggi!”Dewa mendengkus kasar, baginya kalimat Fabian bukan menenangkan melainkan sebuah ejekan. Pria itu menepis kasar tangan temannya, lalu berjalan mencari Rosalyn ke dalam mansion.Pagi ini, keluarga kecil itu sengaja mengunjungi Mansion Arnold. Tentu saja, karena Tuan Jack dan Feli menitipkan beberapa hadiah untuk Lily dan calon bayinya.Akan tetapi, kening Dewa mengerut dalam ketika melihat Rosalyn berjalan sendirian tanpa keempat anak mereka.“Di mana Brahma, Arimbi, Devendra dan Daneswara?” tanya Dewa dengan tatapan menyelidik.Mendengar pertanyaan itu tentunya Rosalyn mengulum senyum. Ah, ia memang sengaja menyiapkan kejutan istimewa ini untuk suami p
“Halo, Sayang … Papa datang. Janeta sudah mandi, ya? Harum banget.” Kevin menggendong putri kecilnya yang menyambut di balik pintu. Pria itu menciumi puncak kepala Janeta dan mengayun tubuhnya, membuat putri kecil tertawa riang. Namun, di ujung lorong, seorang wanita sedang cemberut menatap ke arah Kevin.“Terima ka—” Ucapan Kevin menggantung karena wanita itu melengos saja ke dapur tanpa mengelurkan sepatah kata.Kevin menurunkan tubuh Janeta dan membiarkannya bermain, lalu ia menyusul pujaan hati yang entah kenapa memasang wajah ketus.“Kamu kenapa?” tanya Kevin.“Menurutmu, kenapa?” ketusnya.“Aku tidak tahu, Lily. Ayo, bilang,” ucap Kevin lagi.Lily menatap tajam ke arah Kevin dan berujar, “Aku bosan seharian di rumah. Aku ini biasa kerja, bukan diam di rumah. Apalagi … ka-mu lebih memperhatikan Janeta dibanding aku.” Pascadinyatakan hamil, Lily diberhentikan oleh Dewa. Wanita itu pun ikut tinggal di Milan. Dia tidak lagi sibuk mengurusi peternakan, karena Dewa berhasil mencari
“Astaga apa-apaan mereka ini?!” geram Fabian. Ia menatap layar ponsel yang tidak berhenti berpendar sedari tadi. Itu bukan masalah pekerjaan kantor, tetapi … masalah rumah tangga, terutama ranjang. Demi kelangsungan masa depannya. Meskipun sudah mengetahui isinya, tetap saja Kevin mengintip melalui pop up. Dia terbelalak ketika satu pesan kembali masuk dari adik ipar. [Tutorial posisi hubungan intim untuk memiliki keturunan secepatnya.] “Dia pikir aku pria polos? Aku ini lebih berpengalaman darinya!” Kevin melempar telepon genggam ke atas sofa, lantas berdiri sambil memandangi foto pernikahan di atas meja. Lagi, Kevin tetap membaca pesan adik iparnya. Sebagai seorang pria berpengalaman, tentu saja posisi itu tidak asing lagi. Ia pun mereguk saliva, pikirannya berfantasi liar membayangkan Lily. Gairah pria itu tersulut. Hanya saja, ia bingung menyalurkannya, sebab Lily tidak ada di sini. Pasangan itu menjalani hubungan jarak jauh. Terpaksa Kevin bertahan sampai Dewa menemukan p
“Kevin … anakku apa kabar? Ibu selalu menunggumu setiap hari, Nak. Kenapa baru datang sekarang?” berondong Mathilda dari balik partisi kaca tebal.Wanita paruh baya itu menempelkan tangannya pada penghalang, lalu menggerakkan jemari—seolah membelai pipi putra tunggalnya.“Aku datang ke sini ada perlu. Kuharap Ibu menerimanya,” kata Kevin dengan intonasi dingin dan ekspresi datar.Mathilda mengangguk dan menyahut penuh kasih, “Pasti, Nak. Ibu menerima apa pun yang terbaik untukmu.”Kulit keriput Mathilda tertarik ke atas, ia tersenyum merekah sambil meneteskan bulir bening.Lebih dari semenit keduanya terdiam saling memandangi. Entah apa yang dipikirkan kedua orang itu. Hanya saja Mathila tidak menjauhkan tangannya dari kaca tebal. Kevin pun bisa melihat tangan ibunya berkeringat.“Aku sudah menikah.”Sorot mata Mathilda berbinar. “Benarkah? Siapa gadis beruntung itu? B
“I-ini masih siang,” gugup Lily. Perempuan itu mengedarkan pandangan ke penjuru kamar. Ada ranjang besar yang disiapkan khusus pengantin baru, sofa panjang serta meja kaca dan cermin besar menggantung di depannya. Sekilas, ini kamar hotel pada umumnya. Namun, Lily dibuat asing dengan status baru ini.Sejak masuk kamar, Kevin memeluk erat tubuh sang istri dari belakang. Pria itu menggesek puncak hidungnya pada tengkuk harum. “Memangnya kenapa kalau siang? Bukahkah itu bagus, kita bisa menikmati siang dan malam di hari yang sama?” Lily mereguk saliva. Walaupun bukan pengalaman pertama berhubungan intim, tetapi … ini pertama kali bersama pria berstatus sebagai suami.“Tapi—”Ucapan Lily tertahan karena Kevin memutar tubuh wanita itu dengan cepat. “Tidak ada tapi. Kamu milikku sekarang dan selamanya.” Lily hendak menunduk, tetapi Kevin mencegahnya. Pria itu menahan dagu sang istri, lalu meraup bibir tipis yang ia rinduka
Kevin menghela napas melihat tanggapan Lily. Haruskan ia menyerah dan tenggelam ke dasar lautan patah hati? Ya, mungkin … karena ini bukanlah kali pertama gadis itu menolaknya. Pria itu menarik tangannya. Namun ….“Cincinya kebesaran. Enggak sesuai ukuran jariku,” kata gadis itu menggunakan bahasa informal . Lily mengulurkan tangan kanan, yang menampilkan jemari ramping dan mungil.Seketika Kevin memperhatikan jemari gadis itu, dan pikirannya mencerna maksud ucapan Lily barusan. Bagi seorang pria, tentunya ini merupakan teka-teki. “Umm … maksudmu?” Alis tebal Kevin terangkat.Lily tersenyum jengah mendengar pertanyaan itu. Tanpa banyak bicara, gadis itu mengambil cincin dari tangan Kevin, lalu menyematkan sendiri pada jari manisnya.“Ini kebesaran, lihat bukan?” keluh gadis itu dengan bibir merengut yang sangat menggoda.Melihat cincin pilihannya melingkar pada jari manis sang gadis pujaan hati, membuat pria itu kegirangan. Kevi
Untuk sesaat keduanya membeku di tempat. Tidak ada aksi apa pun selain saling memandang lekat-lekat dengan isi pikiran masing-masing.Lily mereguk saliva karena saat ini tubuhnya hanya tertutupi sehelai handuk putih saja. Ia meremas kain handuk dengan erat, khawatir terjadi hal yang tidak seharusnya.“Maaf, aku lancang ….” Kevin berbalik badan dan menutup pintu.Pria itu bersandar pada pintu sambil mengatur napas. Melihat kemolekan seorang wanita, ditambah memiliki kenangan ranjang membuat nalurinya sebagai lelaki tersulut gairah. Ia ingin menyentuh, membelai dan mengecup setiap jengkal kulit mulus itu. Hanya saja, tidak! Kevin melawan egonya.Pria itu kembali ke kamar. Ia menemani Janeta, dan berupaya menenangkan batita itu.Sedangkan Lily masih berdiri di depan pintu kamar mandi. Namun, napasnya tidak tegang lagi. Ada kelegaan setelah Kevin pergi.“Dia …,” gumam gadis itu sambil mengangguk.Lily menggunakan pakaian serba panjang. Entah mengapa ia teringat pada tatapan Kevin tadi. Set
Beberapa hari berlalu, Lily tampak kesulitan berpamitan dengan Janeta. Gadis itu selalu menahan diri untuk pulang ke peternakan. Pada akhirnya ia menemani Janeta di vila atau rawat jalan ke rumah sakit. Seperti hari ini, Lily mengantar Janeta bertemu dokter.Akan tetapi, gadis itu tidak menduga Kevin datang menjemputnya. Bahkan mereka makan bertiga di restoran.Setelahnya Kevin membawa Lily dan Janeta pulang.“Kamu yakin bisa sendirian? Janeta berat. Biar aku saja yang gendong,” ujar Kevin.“Saya kuat, Pak.” Lily tidak menggubris ucapan Kevin. Gadis itu merengkuh tubuh batita yang terlelap tidur dari jok belakang, menggendongnya dan membawa ke kamar.Dengan hati-hati, Lily membaringkan Janeta, lantas mengecup kening batita itu. Ia tersenyum sambil menatap wajah polos bocah kecil yang agak mirip dengan Vinsensia.“Mama sayang kamu, Janeta,” gumam Lily.Hingga derit pintu terbuka membuat Lily menoleh