“Cerai katamu?!” ucap Dewa. Seketika pria itu langsung memutar tubuh menghadap Rosalyn dan memancarkan aura dingin yang menyelimuti kamar.
“Apa yang harus dipertahankan, Dewa?" Rosalyn menahan sesak dalam dada. Ia mengepalkan tangan dengan kuat hingga kuku cantik menusuk telapaknya. "Kamu tidak mencintaiku. Kamu juga tidak menginginkan anak di pernikahan ini." Pria itu berjalan mendekati Rosalyn, lalu duduk di tepi ranjang. Jemari lentik Dewa menyapu halus kulit lengan seputih susu istrinya. Meskipun lembut, tidak ada kehangatan pada sentuhan itu. Rosalyn merinding dibuatnya. Ia tahu sentuhan ini pertanda suaminya sedang marah besar bukan sebuah ungkapan kasih sayang. Satu sudut bibir Dewa terangkat. Ia berkata, “Sepertinya kamu mulai gila, Rosalyn.” Sepersekian detik, Rosalyn terkesiap. Bukankah seharusnya Dewa senang atas permintaan cerai ini? Lagipula, mungkin pernyataan Dewa ada benarnya. Dia mungkin sudah gila. Orang waras mana yang akan terus mengejar cinta suami hasil dari perjodohan sepihak? Hanya Rosalyn. Dan pada hari ini, Rosalyn ditampar kenyataan pahit. Bahwa sebesar apa pun usahanya mendapatkan cinta Dewa, ia tetap tidak akan pernah bisa menggantikan posisi Vinsensia di hati suaminya. “Benar, aku memang gila. Katakan saja itu pada keluargamu sebagai dalih perceraian kita." Rosalyn berkata dengan suara yang terdengar begitu pilu. Namun, pria itu tetap bergeming, membuat Rosalyn menambah amunisi kalimatnya agar permintaan cerai itu tak hanya dianggap gertakan saja. “Aku tidak menuntut apa pun,” kata Rosalyn. Ia menjeda ucapannya lantas duduk menyandar di kepala ranjang. Ia berkata lirih, “Aku akan pergi dari rumah ini. Kamu bisa membawa kekasihmu.” Sorot mata Dewa menggelap, lalu tangan pria itu meraih bahu Rosalyn dan menariknya perlahan. Tubuh kurus nan lemas Rosalyn bagai kapas tersapu angin. Sekarang, jarak di antara keduanya hanya sejengkal. Dewa menegaskan, “Jadi, kamu sedang cemburu padanya? Bukankah kamu sudah menang, Nyonya Caldwell?” Ia membuang pandangan ke sisi lain. “Apa hakku untuk cemburu?” tanya Rosalyn seakan menegaskan siapa dirinya. “Aku juga tidak mau gelar palsu itu!” Dewa mencondongkan tubuh, sehingga kening dan hidung keduanya saling menempel. Rosalyn bisa merasakan embusan hangat dari napas suaminya. “Kamu tidak akan bisa bertahan hidup, jika tanpa status Nyonya Caldwell." Dewa berkata santai, tetapi sorot matanya begitu meremehkan. Rosalyn mengepalkan tangannya, kesal. “Aku bukan wanita lemah yang menunggu dibiayai siapa pun.” Rosalyn yakin, dia bisa membiayai kehidupannya sendiri. Hanya saja, karena perkuliahannya yang tidak selesai akibat dipaksa menikah muda … tentu saja ia sedikit khawatir kesulitan mendapatkan pekerjaan yang pas. Namun tekad Rosalyn telah bulat berpisah dari suaminya. “Aku baru sadar kalau kamu sangat percaya diri.” Dewa menyahut dengan nada pelan, “Tapi agaknya kamu lupa kalau dunia kerja adalah dunia yang kejam.” “Bukankah kehidupan di rumah ini juga kejam? Kamu tidak perlu mengkhawatirkanku.” Rosalyn menatap pilu ke arah Dewa. Senyuman lebar di bibir wanita itu berbanding terbalik dengan sorot matanya yang menahan tangis. “Kembalikan saja aku kepada keluargaku.” Sebenarnya perasaan Rosalyn hancur ketika mengatakan kalimat itu. Ia … tidak rela melepaskan Dewa, tetapi dipertahankan pun jika hanya terus memberinya luka, untuk apa? Dalam pernikahan ini hanya Rosalyn yang mencintai Dewa sepenuh hati, tapi kini … ia sudah lelah. Dewa mendengus kasar. “Dalam mimpimu, Rosalyn.” Pria itu memundurkan kepala lalu mengeluarkan ponsel dari saku jas. Tidak lama kemudian Dewa menunjukkan layar ponselnya. [Transfer 100.000.000 berhasil dikirim ke Rosalyn Keller] “Kebebasanmu sudah kubeli!” tegas pria itu. Setelahnya, dalam sekejap, Dewa meraih tengkuk Rosalyn dan memaksa menyatukan bibirnya dengan wanita itu. Rosalyn langsung mendorong dada bidang Dewa dengan sekuat tenaga. Sial, ia tidak mampu menandingi kekuatan suaminya. Rosalyn menggigit kuat bibir bawah pria itu hingga berdarah dan akhirnya membuat tautan bibir mereka terlepas. Dewa mengumpat sembari menyeka mulut dari noda darah, “Sial!” Sedangkan Rosalyn meracau sambil berlinang air mata, “Jangan sentuh aku lagi!” Ia beringsut mundur ke kepala ranjang, lalu menekuk dan memeluk lututnya. “Aku tidak mau lagi hidup denganmu!” Kata-kata Rosalyn terdengar lemah di tengah isak tangisnya. Rahang tegas Dewa mengetat dan jakunnya berkedut. Pria itu menatap Rosalyn dengan sorot mata yang sulit diartikan. Ia menegaskan, “Sekali lagi meminta cerai, bersiaplah ayahmu akan menerima akibatnya!” Setelah itu Dewa berdiri lalu melenggang pergi meninggalkan Rosalyn. Dari atas tempat tidur, Rosalyn yang terisak hanya bisa menatap nanar punggung kekar Dewa yang semakin menjauh. Ia menangis hingga siang, melewatkan makan dan menolak minum sedikit pun. Rasanya percuma tetap hidup, karena Dewa hanya menjadikannya sasaran balas dendam. Di kala ia bersedih, ponselnya berdenting. Sebuah pesan dari rumah sakit tempat ayahnya dirawat mengatakan, jika tagihan biaya perawatan sang ayah belum dibayarkan. Dan inilah ancaman yang Dewa maksud tadi. Rosalyn adalah tulang punggung untuk ayah dan ibu sambungnya. Jika Rosalyn tidak ingin lagi bergantung pada sang suami, maka wanita itu harus berupaya sendiri. Meskipun tubuhnya terasa remuk, Rosalyn beranjak dari tempat tidur. Ia mencari ijazah sekolah serta sertifikat keahlian yang pernah diikuti. Wanita itu memasukkan semua berkas penting ke dalam tas. “Akan kubuktikan, jika aku bisa bertahan meski tanpa bantuanmu!” gumam wanita cantik pemilik surai hitam nan panjang itu. Selama satu jam Rosalyn sibuk mencari pekerjaan melalui ponsel. Namun baru satu jam, tubuhnya sudah membungkuk lemas. Ternyata mencari pekerjaan tidak segampang itu. Saat dalam keadaan frustrasi, satu pesan singkat masuk ke ponselnya, dari Sekretaris Dewa. [Nyonya, tolong antar bekal makan siang Pak Dewa tepat waktu.] Rosalyn tersenyum menerima perintah dari asisten Dewa itu. Setidaknya, kesempatan ini bisa ia gunakan untuk mencari pekerjaan dengan melakukan walk-in-interview. Rosalyn yang biasanya mengemis untuk diizinkan masuk ke ruangan, kini begitu puas hanya menitipkan kotak makan siangnya pada resepsionis. Senyumnya bahkan tersungging lebar kala ia meninggalkan Cwell Grup. Menyusuri pematang jalan, ia mencoba melamar pekerjaan ke salah satu restoran. Namun, niat baik wanita itu diabaikan. "Kami tidak berani mempekerjakan Nyonya Caldwell sebagai pelayan restoran." "Maaf, Nyonya Caldwell ... Tapi, posisi staf agaknya bukan posisi yang pantas untuk Anda." Begitulah kiranya penolakan yang Rosalyn terima beberapa kali. Semua tempat yang Rosalyn datangi menolaknya hanya karena ia adalah istri Antakadewa Caldwell. Pebisnis muda bertangan dingin dan kejam, yang juga disegani oleh para petinggi dan eksekutif di Kota Zurich. Sekarang, Rosalyn benar-benar putus asa dan kepalanya berdenyut nyeri. Ia menundukkan kepala dan berjalan keluar dari restoran. Tanpa sengaja, ia menabrak seseorang hingga tubuhnya terhuyung. Beruntung orang itu menahan lengannya. Rosalyn terkejut ketika melihat sosok itu. “Kamu Rosalyn Keller?” kata orang itu. Rosalyn menunjuk seseorang itu. “Kamu ....”"Kamu ... Fabian?!" Rosalyn nyaris tidak percaya melihat sosok pria yang dulu begitu dekat dengannya, kini muncul di hadapannya setelah sekian lama tak berjumpa. Fabian tersenyum lebar. “Kebetulan sekali kita bertemu. Bagaimana kabarmu?” Wajah tampan pria itu tampak menyejukkan di bawah sinar matahari musim semi. “Aku baik-baik saja. Bagaimana denganmu?” Rosalyn tersenyum hangat, sejenak melupakan rasa lelahnya. Fabian menyahut dengan suara lembut, “Secara fisik aku sehat.” Sesaat kemudian Rosalyn merasakan Fabian memperhatikannya. Ia tahu pria itu sedang menunjukkan ketertarikan dan kekaguman yang tidak berubah sedari dulu. Tiba-tiba Fabian mengeluarkan kartu nama dan memberikannya kepada Rosalyn. Membuat wanita itu mengerutkan alis serta bertanya, “Ini untuk apa?” “Aku tahu kamu sangat berbakat. Kebetulan perusahaan kami sedang mencari seorang arsitek andal.” Sorot mata Fabian terlihat tulus ketika mengucapkannya. Pria itu menambahkan, “Datanglah besok, kami mengadakan wawacar
Sementara Rosalyn telah menghilang dari pandangannya, Dewa justru kini sedang dirundung perasaan aneh. Pria itu langsung mengajak sang kekasih meninggalkan kafe tersebut. "Ayo pulang, Vinsensia. Kamu harus beristirahat." Vinsensia mengangguk pelan. "Kamu tidak ingin menemui istrimu dulu?" Gadis itu menyeringai tipis, karena upayanya sebentar lagi membuahkan hasil. Namun, Dewa hanya terdiam, memasang wajah dingin dengan tatapan menghujam ke arah Rosalyn menghilang. “Biasanya sikap perempuan berubah karena memiliki pria idaman lain.” Wajah Vinsensia tampak seperti berpikir, tetapi kemudian berubah menjadi sedikit berempati. “Aku pikir, Rosalyn bisa menjadi istri yang baik.” Dewa menggeram sembari mengepalkan tangan. Kalimat yang diutarakan Vinsensia saat ini sungguh cocok dengan perubahan istrinya yang drastis kemarin. Melihat ekspresi marah Dewa, Vinsensia semakin menjadi-jadi merendahkan Rosalyn. “Seandainya itu benar, citramu bisa rusak andai kata media mengetahuinya. Menurutku
"Apa Dewa sudah pulang?" Rosalyn pulang ke vila ketika langit mulai gelap. Langkahnya untuk mengajukan cerai semakin matang setelah mengetahui Dewa menahannya hanya karena alasan ibunya yang sakit. Jadi, setelah bertemu Vinsensia di hotel wanita itu, Rosalyn mengunjungi pengacaranya untuk mendapatkan surat gugatan. "Tuan Caldwell belum pulang, Nyonya." Wajah-wajah pelayan itu menatap Rosalyn dengan wajah khawatir. Senyum yang biasa muncul di bibirnya yang merah, kini menghilang. Wajahnya pun terlihat pucat dan lelah. Belum lagi, suara wanita itu yang terdengar tidak begitu bersemangat. Menghela napas panjang, Rosalyn kemudian bergegas ke kamar. Ia berencana pergi malam ini juga. Tidak lupa, ia menaruh surat gugatan perceraian yang telah ia tanda tangani di atas nakas, agar Dewa mudah menemukannya. Bukan hanya itu, wanita itu juga mengembalikan seluruh pemberian Dewa, termasuk kartu, juga cincin pernikahan mereka. Wanita itu hanya membawa sedikit pakaian ke dalam koper kecilnya
“Rosalyn?” panggil Dewa dalam tidurnya. Saat ini, ia sedang terbaring di atas ranjang pasien. Sudah lima jam paska mendapat perawatan tetapi pria itu belum siuman.“Dewa, ini aku. Buka matamu!” Seorang wanita menangis sembari menggenggam tangan Dewa.Ketika membuka mata, samar-samar Dewa melihat wanita cantik sedang menatap ke arahnya. Pria itu berpikir bahwa Rosalyn telah berubah pikiran. Ia tersenyum kecil karena wanita manja itu hanya merajuk.Setelah penglihatanya berubah jelas seketika Dewa tertegun. Ternyata ….“Vinsensia … kamu di sini?” Dewa memperhatikan tangannya yang digenggam oleh perempuan itu. Kemudian ia mengedarkan pandangan ke penjuru ruangan lalu bertanya, “Di mana Rosalyn?”Vinsensia menangis tersedu-sedu. “Tidak ada Rosalyn di sini. “Bukankah kehadiranku juga sudah cukup?” Vinsensia mencondongkan tubuhnya mendekati Dewa. “Aku bisa merawatmu … menggantikan Rosalyn.”“Jangan menangis lagi,” kata Dewa dengan lemah lembut. Pria itu menyeka air mata Vinsensia. “Kalau be
‘Katakan kamu memilihku!’ Jiwa Rosalyn bergejolak.Bagaimanapun Rosalyn menginginkan kelak anaknya memiliki keluarga utuh dan mendapat kasih sayang dari kedua orang tua. Namun … melihat keterdiaman Dewa, ia tertawa miris. Bahkan melalui bahasa tubuh pria itu Rosalyn sudah mendapat jawaban.“Kenapa diam? Apa pertanyaanku salah?” Suara Rosalyn bergetar karena menahan tangis.Lagi, tidak ada jawaban dari mulut Dewa. Pria itu hanya menatap lekat wajah Rosalyn yang terlihat mengenaskan.Awalnya ia sempat tersentuh dengan kelembutan suaminya, merasa pria itu telah berubah setelah mengetahui kehamilannya. Ternyata … Rosalyn terlalu percaya diri. Ia mendorong pelan dada bidang Dewa untuk memberi jarak.“Rosalyn ….” Tatapan Dewa yang semula hangat berubah dingin. “Itu tidak mungkin.”“Kamu tidak bisa menjadi ayah yang baik karena mendahulukan orang lain dibanding darah dagingmu sendiri!”Sesudah mengatakan itu Rosalyn beranjak dari hadapan Dewa. Di saat bersamaan, telepon genggam miliknya berde
‘Dewa sudah membawanya ke sini.' Hati Rosalyn tercubit perih. Bahkan harga dirinya sebagai Nyonya Caldwell tidak dihargai lagi.Meskipun dadanya terasa sesak, ia tidak mau memperlihatkannya. Rosalyn bersikap tak acuh menatap kemesraan dua insan menjijikkan di hadapannya.Ekspresi wajah Rosalyn sangat tenang Ketika Dewa memandang sekilas ke arahnya. Ia melihat bagaimana pria itu menepuk pelan tangan wanita lain yang bergelayut manja pada lengan kekar.“Kenapa tidak istirahat di hotel?” Suara lembut Dewa terdengar menggelikan di telinga Rosalyn.Sebelum menjawab, Vinsensia menempelkan kepalanya ke bahu kokoh Dewa. Gadis itu mendongak dan berkata manja, “Aku takut terjadi sesuatu denganmu. Kamu tidak menjawab teleponku.”Dewa mengernyit kemudian memeriksa ponselnya. Manik abu-abu pria itu mendapati beberapa panggilan tak terjawab dari Vinsensia.“Tentu saja dia tidak menerima teleponmu. Memangnya kamu tidak lihat kami sedang bersama?” Rosalyn menunjukkan senyum lebar membuat Vinsensia t
“Kamu bisa sendirian?” Fabian mencemaskan Rosalyn.“Hu’ um. Tenang saja, aku bisa menyajikan materinya dengan baik.” Rosalyn tersenyum riang. Walaupun dadanya berdegup hebat.“Kalau begitu aku pergi dulu. Semoga berhasil, Rosalyn.” Fabian memberi semangat menggunakan kepalan tangan.Hari ini, Rosalyn harus menghadapi klien seorang diri. Sebab Fabian mendadak menerima kabar bahwa ibunya dilarikan ke rumah sakit.Setelah Fabian pergi, suasana hati Rosalyn semakin tak menentu. Denyut nadi dan napas wanita pemilik mata almond itu berubah cepat, mulut dan tenggorokannya terasa kering. Ia memutuskan ke toilet untuk mencuci muka menghilangkan efek demam panggung.Bersamaan dengan Rosalyn memasuki toilet, seseorang menabraknya dari belakang. Bahkan orang itu mengunci pintu dari dalam.“Jadi ini kelakukanmu?! Wanita murahan!” bentak sosok itu sambil melayangkan tatapan bengis.Rosalyn terperanjat melihat sosok yang dikenali. “Apa maksudmu Vinsensia?”Ia tidak mengerti apa yang dikatakan keka
“Apa Rosalyn sudah pulang?” Dewa bertanya kepada pelayan.Setengah jam lalu selepas menenangkan dan mengantar Vinsensia ke dalam kamar hotel, Dewa langsung pulang ke rumah. Pria itu mencari tahu apakah Rosalyn telah kembali atau belum.“Nyonya belum pulang.” Pelayan ketakutan karena ekspresi wajah Dewa sangat menyeramkan.Tidak lama sekretaris menelepon.[Pak Dewa, Nyonya Rosalyn masuk rumah sakit.]Sesaat menerima kabar mencengangkan, Dewa langsung mengemudikan mobilnya ke pusat medis. Pria itu memikirkan nasib calon penerusnya di dalam rahim Rosalyn.**“Anakku?” Suara Rosalyn tercekat di tenggorokan. Ia memejamkan mata yang terasa panas lalu mengeratkan giginya.Batin wanita itu berkata lirih, ‘Ya, dia hanya memedulikan anaknya bukan aku!’Dewa mendekati ranjang pasien, lalu duduk di samping Rosalyn. Pria itu menyibak selimut dan mengulurkan tangan ke perut wanita itu.Kelopak mata Rosalyn terbuka pelan-pelan. Ia bisa merasakan sentuhan lembut suaminya. Meskipun enggan tetapi ini