“Sebenarnya ada apa?” tanya Rosalyn pada Dewa.
Saat ini keduanya sedang berdiri di lantai dua, kompak memusatkan perhatian ke lantai satu. Rosalyn ingin tahu penyebab temannya memecahkan gelas kristal. Bahkan Anna masih diam saja meskipun Feli berusaha menggali keterangan.“Kok kamu diam?” Manik hazel Rosalyn berubah haluan ke samping.Sungguh Dewa dibuat mati kutu lantaran mendengar pertanyaan menjebak itu. Keharmonisan rumah tangga yang baru saja berjalan seumur jagung dipertaruhkan. Ia tersenyum kaku menanggapi Rosalyn.“Kamu mengetahuinya tapi menutupi dariku.” Bibir merah muda cemberut.Dewa menghela napas, batinnya menggerutu, ‘Akibat mulut Fabian, sekarang jadi rumit.’“Sayang … percayakan pada Fabian. Dia bisa menyelesaikan permasalahannya. Kamu tenang saja.” Dewa mengusap lembut punggung Rosalyn.“Apa yang kalian bicarakan sampai Anna syok? Kita ini sedang mendekatkan Anna dan Fabian, kenapa jadi begini?”<Rosalyn menghubungi nomor telepon Anna, tetapi tidak aktif. Pikiran bertambah gusar kala beberapa orang tetangga mengatakan bahwa penghuni rumah sejak semalam pergi membawa tas besar.“Rosalyn bagaimana ini? Aku merasa bersalah karena melibatkanmu dalam pendekatan ini. Hubunganmu bersama Anna jadi rusak. Maaf.” Feli merangkul bahu Rosalyn.Sedangkan istri Antakadewa Caldwell tersenyum tipis, dan jemarinya sibuk menari-nari di atas layar telepon genggam. Paska mengetahui Anna kabur, Rosalyn juga menanyakan keberadaan gadis itu pada HDR Mauer Corp.Rupanya apa yang dipikirkan Rosalyn terjadi.“Bu ….” Rosalyn menghela napa berat lantas meraih kedua tangan Feli dan menggenggam dengan erat. Menjadikan Feli memandang lekat ke arahnya. “Anna mengundurkan diri dari Mauer Corp.” Seketika Feli menggeram dan membawa Rosalyn ke kantor Mauer. Wanita paruh baya itu tidak habis pikir dengan tingkah Fabian menyakiti banyak perempuan karena menginginkan
“Besok jangan pergi sendirian. Aku temani,” kata Dewa sembari meremas lembut jemari tangan Rosalyn.“Baiklah.” Rosalyn mengangguk.Dewa tersenyum puas karena istrinya sangat patuh. Ia membenamkan kepala pada ceruk leher harum. Pria itu menyapukan lidah, membuat Rosalyn melentingkan punggung sekaligus menyampirkan dua tangan pada bahu kekar.Pergerakan Dewa semakin tak terkendali, dari leher turun menyusuri setiap jengkal kulit mulus. Sebelum menyesap nektar yang menjadi candunya, pria itu tersenyum nakal.Mendadak telepon genggam Rosalyn berpendar dan berdering nyaring. Terpaksa Dewa menghentikan kegiatan, termasuk Rosalyn menggeser pinggul menjauhi kepala pria itu.“Siapa yang mengganggu?!” geram pria itu sambil mengacak-acak rambut. “Abaikan saja!” titahnya.Rosalyn patuh, ia kembali fokus pada Dewa. Sial, panggilan masuk terus mengganggu sampai Dewa dibuat frustrasi.“Kenapa telepon jam segini?!” gerutu pria itu. Dewa tidak mengizinkan Rosalyn menerima panggilan suara, ia langsung
“Bisa lepaskan aku sebentar?” Rosalyn menyeka peluh yang mengucur dari kening. Ia juga mendorong dada bidang berambut halus dengan pelan.“Memangnya kamu mau ke mana? Jangan pergi Rosalyn.” Dewa mempertontonkan wajah memelas.Senyum manis mengembang, paras cantik Rosalyn kian memesona ditambah rona merah pada pipi membuat Dewa tak henti memandangnya. Wanita itu berkata lemah lembut, “Baiklah. Fabian juga mau pergi sendirian. Hari ini aku di rumah saja, kebetulan ada meeting daring.” Sementara di lain tempat, seorang pria tampan berambut cepak sedang mondar-mandir dalam ruang kerja. Sedari tadi tidak fokus bekerja, bahkan salah membubuhkan tanda tangan.Ia menghembus napas kasar lantas melepas dua kancing kemeja dan mengempas bokong pada kursi kerja. Sepuluh jemarinya disatukan menjadi penopang dagu yang bersih tanpa rambut halus.“Kurang ajar Dewa!” geramnya.Ketukan pintu dari luar mengambil perhatian, Fabian menoleh dan mengizinkan orang itu masuk. Asistennya memberitahu telah memb
“Apa-apaan ini?!” Rosalyn membeliak menatap dua orang pria di depannya.Perempuan cantik pemilik perusahaan furniture itu menolehkan kepala mengamati situasi. Rosalyn khawatir anak-anak bangun dan melihat kondisi memalukan ini.“Fabian mabuk, Sayang. Aku tidak mungkin bawa dia pulang ke Mansion Arnold.” Dewa meringis sambil memegangi pinggang rival, lebih tepatnya mantan pesaing.Tadi setelah menghabiskan beberapa cangkir kopi dan sesi curhat antar pria, Dewa pikir teman kecil Rosalyn itu akan pulang. Rupanya Fabian berjalan kaki, sempat duduk di trotoar lalu menyambangi kelab.Khawatir terjadi sesuatu pada Fabian, Dewa mengurungkan niat pulang lebih awal. Ia mengikuti pria putus asa itu lalu mengawasi dari jarak jauh. Setelah Fabian jatuh pingsan, barulah ia membawa ke Vila Caldwell.“Apa yang harus kulakukan?” racau Fabian.“Kalau melihat keadaan Fabian sehancur ini, bisa-bisa penyakit Bibi Feli kumat lagi.” Dewa menghempas tubuh Fabian ke atas sofa.“Cepat bawa dia ke kamar tamu! Ja
“Apa Pak Dewa tidak ada di vila?” Anna memindai penjuru Vila Caldwell.Gadis itu trauma menginjakkan kaki di hunian megah, tapi hari ini Anna mengulang lagi. Padahal sepuluh hari lalu ia bertekad tidak ingin ikut andil dalam kehidupan orang-orang kaya.“Ya suamiku sedang perjalanan bisnis ke Interlaken. Besok malam atau lusa baru pulang. Kamu tenang saja.” Rosalyn mengelus pelan bahu Anna yang menggunakan baju kerah sabrina.Susah payah Rosalyn membujuk Anna supaya ikut ke Kota Zurich. Ia terpaksa mengatakan dusta pada temannya tentang keberadaan Dewa. Tadi sesampainya di vila, Anna membersihkan diri dan makan malam berdua bersama Rosalyn.Tanpa sepengetahuan Anna, sedari tadi Rosalyn diam-diam bertukar pesan dengan suami. Ia bertanya di mana posisi Dewa dan Fabian. Senyum manis terbit ketika pria itu mengirim gambar Fabian sedang menggunakan jas.“Tapi kenapa anak-anak tidak ada?” Anna celingukan, sebab tidak biasanya berkunjung dalam keadaan sepi seperti kuburan.Bahkan pelayan di vi
“Lepaskan saya, Pak!” Anna mendorong kuat tubuh Fabian sampai pria itu mundur beberapa langkah.Tidak kehilangan akal, Anna berlari menuju jendela. Gadis itu tidak peduli walau harus memecah kaca. Ia bisa mengganti rugi pada Rosalyn nanti.Ketika Anna hendak melemparkan tas ranselnya, detik itu juga Fabian memeluk erat dari belakang. Tangan lebar pria itu melingkari perut rata Anna.Fabian bergumam, “Anna, aku minta maaf.”“Maaf Anda saya terima. Tapi saya tidak bisa memaafkan!” tegas Anna sambil meronta-ronta.Ia berhasil melepaskan diri dari Fabian. Sial, listrik di vila mendadak padam. Anna terpekik karena kaget tetapi berhasil menguasai diri hingga akhirnya ia menyalakan senter pada ponsel.“Tolong Pak Fabian jangan ganggu saya lagi. Jika ingin bermain-main, Anda salah orang!” Anna tidak gentar untuk melarikan diri.Kaca jendela pun pecah, Anna bergegas meninggalkan vila terkutuk. Ia tidak peduli lagi dengan Rosalyn serta kerugian atas kerusakan ini. Anggap saja orang-orang kaya i
“Papa cepat dong lama banget!” “Ayo Pa! Aku engga mau terlambat.” Suara dua anak saling bersahutan, tidak hanya mulut yang bersisik tetapi tangan mereka mengetuk pintu sejak sepuluh menit lalu. Belum ada respon apa pun dari kedua orang tuanya yang mengurung diri dalam kamar, membuat Brahma dan Arimbi mengomel. “Papa dan Mama lama banget sih, Kak.” Arimbi bertolak pinggang. Brahma menggeleng kepala sambil menatap geram pada pintu yang tertutup rapat. “Aku juga engga tahu. Jangan-jangan—” Arimbi menyela, “Ada apa Kak?” “Mama sakit! Dan Papa engga kasih tahu karena takut kita sedih,” pekik Brahma. Wajah galak anak laki-laki itu berubah sendu membayangkan Rosalyn tergolek lemah tidak berdaya. Dugaan Brahma benar! Rosalyn berbaring tidak berdaya tetapi bukan di atas kasur, melainkan meja kaca dalam ruang pakaian. Ya, pagi ini sepasang suami istri berbagi peluh dan saling melenguhkan nama belahan jiwa. Tentu saja ide gila ini tercetus dari seorang Dewa. Menilik pengalaman sebelumnya,
Bagi Roslayn pertemuan ini terasa canggung padahal ia telah mengenal nenek dari suaminya. Bersama dengan Dewa, keduanya menghampiri wanita senja itu lalu mencium punggung tangan.“Ne—”Belum sempat Dewa bicara, Ajeng memukuli punggung cucunya dengan keras. Dewa meringis kesakitan, tetapi malaikat penolong ada di sampingnya. Sigap Rosalyn menahan kedua tangan Nenek dan melindungi sang suami.“Nenek jangan lakukan itu. Di sini ada anak-anak, dan … punggung Dewa masih sakit paska operasi.” Suara lemah lembut Rosalyn membuat Ajeng tenang lalu Dewa bersembunyi di balik punggung istri.Pria itu menyembulkan kepala menatap wajah keriput sang nenek. Kesempatan ini tidak disia-siakan, Dewa bersandar pada bahu Rosalyn.“Seharusnya aku memukul kepalanya bukan punggung. Kamu juga jangan membela laki-laki nakal itu lagi! Biarkan dia menerima hukuman!” cerca Ajeng sambil mengacungkan jari.“Nenek, jan