Avanthe menahan napas menyadari di sekitar mereka telah melibatkan gairah yang bertepuk sebelah gamang. Raut wajah Hores mengatakan semua itu, sementara Avanthe harus menghadapi kenyataan kalau – kalau cengkeraman Hores di bagian rahang ... tanpa terdeteksi telah berpindah di satu sisi di dadanya. Sebuah remasan tangan yang luwes menunjukkan betapa Hores memiliki kebiasaan ekstrim. Langkah dimulai terlalu jauh, dan mulut pria itu sengaja dijatuhkan di ceruk leher Avanthe.
“Hores!”“Telinga-mu ini sebenarnya berfungsi atau tidak?” “Aku memintamu berhenti.” Sebelah kaki Avanthe menginjak kuat – kuat hingga berulang kali supaya Hores menyerah. Cukup bahaya mengetahui ... sedikitpun pria itu tidak terpengaruh. Tulang besi. Tidak ada rasa sakit yang Hores tunjukkan. Avanthe meringis ketika tangan – tangan liat itu segera merobek kain di tubuhnya. Dengan bibir setengah terbuka, dia semakin khawatir saat Hores luar biasa ahli memisahSetelah menemukan mereka di teras rumah, ternyata Hope sudah tertidur pulas dalam dekapan Nicky. Seketika Avanthe meringis diliputi pelbagai macam perasaan tidak nyaman. Ini semua disebabkan oleh ulah Hores yang memaksa, seandainya pria itu bisa lebih mengerti: tidak menitipkan bayi mereka kepada Nicky hanya karena nafsu-nya yang gila. Membayangkan Hope mungkin mencari susu sekadar benar – benar terlelap setidaknya meninggalkan golakan bersalah. Secara perlahan Avanthe mengulurkan tangan demi mengambil Hope dari Nicky. Begitu hati – hati, demikian pula dia tersenyum tipis kepada pria itu. Nicky berpamitan pergi usai Hope sudah berpindah tangan. Sambil berjalan pelan, Avanthe sesekali menimang gadis kecilnya, dan memastikan setiap gerakan Hope yang dilakukan tiba – tiba bukanlah bagian dari masalah serius. Hanya kebiasaan bayi. Avanthe mengecup puncak kepala Hope berkali – kali. Rambut hitam halus itu terasa sedikit lembap. Ntah siapa yang mengajak Hope bermain. Antara Hores dan Nick
Ternyata pernyataan tentang keputusan pulang adalah benar. Tadinya, Avanthe sudah sangat meragukan kata – kata yang terucap dari mulut Hores. Dia khawatir karena sepanjang malam ... setelah meninggalkannya berdua saja bersama Hope di kamar, Hores tidak menunjukkan wajah, yang meskipun pada akhirnya ... pria itu tetap kembali hanya untuk tidur memeluk dan meletakkan wajah di dada Avanthe. Ajaib, tetapi tangan yang tak sanggup diam selalu mencuri kesempatan meremas – remas. Ya suatu momen aneh di mana Avanthe berniat marah, sementara di waktu bersamaan dia sangat ingin mengutuk diri sendiri, yang memilih tak mengenakan bra usai menyusui Hope. Ironinya dia tak mengatakan apa – apa, selain mengambil tindakan pura – pura tidur. Ada satu desakan di benaknya ketika peristiwa itu mengungkapkan betapa Hores hanya membutuhkan waktu dalam sekejap untuk terlelap. Termasuk bagian ganjil yang dia hadapi segera ditambahkan dengan bibir Hores yang bergumam samar. Avanthe tidak tahu apa yang telah
Setelah perjalanan jauh yang disambung mobil jemputan dari orang – orang suruhan Hores. Akhirnya Avanthe dapat bernapas lega telah berada di sini. Menunjukkan sikap antusias ketika Shilom melebarkan langkah sekadar menyambutnya. Wanita itu lansung mengambil Hope, sedikit menanyakan kabar, lalu mereka berjalan lambat—saling bersisihan. Yang tidak pernah Avanthe pikirkan adalah Hores akan melewati tubuhnya dan Shilom dengan tidak mengatakan apa pun. Terakhir, dapat Avanthe amati dari cara kaki jenjang itu berjalan yakni suatu keangkuhan. Hores masuk sesuka hati, tanpa permisi, atau setidaknya berbalik badan meminta izin Shilom. Avanthe menggeram tidak tahan, tetapi percuma. Tubuh Hores telah hilang dilahap dinding pemisah. Dia yakin pria itu pasti menuju kamarnya. “Bagaimana rasanya tinggal di pulau bersama Tuan Roarke?” Sesaat benak Avanthe semacam dilimpahi ribuan kilo air galon. Sangat terkejut mendapati Shilom akan bertanya demikian. Bagaimana rasanya
Dengan kata lain, Avanthe memutuskan untuk terlibat di mana pun Hores berlabuh. Mereka berada di rumah sakit setelah perdebatan tak berujung, yang sungguh menguras tenaga hingga Shilom pun nyaris tak dapat berkata – kata. Hanya bisa setuju, itulah mengapa Avanthe berada di sini, mengambil jarak paling jauh supaya tidak merasakan kengerian saat seorang dokter telah siap mengarahkan alat tembak di salah satu telinga Hope, sementara Hores sedang mendekap bayi itu dengan lembut.“Jika sampai dia menangis, aku akan meledakkan kepalamu.”Sambil menyingkirkan salah satu jari yang menutup di wajah, Avanthe mengintip Hores yang menatap luar biasa tajam ke arah dokter. Itu tidak akan menambahkan situasi lebih baik. Hores tidak sepatutnya mengancam dokter yang hampir melubangi telinga Hope—dan tiba – tiba berhenti sejenak hanya untuk mengamati wajah pria itu dengan tegang.Mungkin di dalam hati, dokter melakukan protes keras, tetapi apa pun yang mungkin terungkap di benaknya, tidak
“Berikan kue buntal padaku.”Hanya itu. Kenyataan ... Avanthe tak dapat membantah kata – kata Hores, dia terpaksa mengikuti langkah lebar tersebut. Ada banyak rentetan perhiasaan tertata di etalase. Avanthe melirik Hores yang terlihat sibuk memilah, sementara Hope dengan gemar memainkan kain di kerah pakaian ayahnya.“Kau ingin memilih atau biar aku sendiri?”Baru kali ini Hores menawarkan. Avanthe tidak tahu mengapa secara mendadak dia disergap perasaan bingung. Pelbagai macam mode anting sedikit menyulitkan saat Avanthe harus menyerahkan pilihan. Bimbang apakah Hope akan cocok dengan yang bulat atau sumbat? Setelah menunduk lamat, dan berusaha menemukan yang sedikit mengagumkan. Iris mata Avanthe akhirnya berhenti pada sepasang anting jepit dengan hiasan bandul lucu. Dia melirik Hores, barangkali pria itu akan setuju. Seolah mengerti, Hores memerintahkan karyawan wanita untuk mengeluarkan anting yang dimaksud. Warna emas mencolok indah sepertinya tidak akan m
Setelah menginjakkan kaki ke dalam rumah, Avanthe langsung disambut Shilom dengan antusiame besar. Tampaknya wanita itu ingin sekali meneliti penampilan baru Hope, karena hanya si bayi-lah yang benar – benar diberi kehangatan, bahkan Shilom mengambil alih tubuh montok Hope dari gendongan Avanthe.“Anak siapa ini? Cantik sekali.”Wajah sumringah Shilom saat menggoda Hope hanya sangup menuntut senyum tipis Avanthe. Selebihnya dia memilih diam mengamati percakapan – percakapan lain yang Shilom lakukan, dan Hope yang akan menanggapi dengan ocehan ringan.Perlahan Avanthe mengambil posisi duduk di sofa sambil menatap lurus – lurus ke depan. Pandangannya setengah kosong. Nyaris tidak menyadari Shilom sedang memperhatikan setiap tindakan yang dilakukan hingga wanita itu bersuara.“Ada apa denganmu, Ava?”Secara naluri kelopak mata Avanthe mengerjap. Ada apa dengannya? Dia baik – baik saja, tetapi tidak jika membahas Hores. Pria itu benar – benar terlihat bermasalah. Ses
Makan siang yang lahap, Avanthe merasa luar biasa bahagia menghadapi putri kecilnya gemar terhadap makanan. Semua disajikan di hadapan Hope selalu habis tak bersisa, dari menu inti hingga cemilan – cemilan ringan yang rasanya tak akan pernah selesai jika Avanthe tidak mengambil tindakan. Sekarang dia sedang mencuci perangkat makan Hope sambil menggendong putri kecilnya dari samping. Hores benar, Hope begitu semok dan padat dalam dekapannya. Sesekali dia akan mengajak gadis kecil itu bicara, sementara Hope akan menanggapi dengan pukulan – pukulan ringan di dadanya. Avanthe terkejut ketika tiba – tiba Hope ingin mencondong tubuh pada percikan air di hadapannya. Hores paling sereing membiasakan diri membawa Hope pergi bermain di pantai, bisa jadi itu adalah alasan mengapa antusiasme sang bayi begitu kentara ingin menyerbukan tangan di sana. “Hentikan, Hope – Hope. Di sini tidak ada ayahmu. Tidak ada yang akan memberimu kebebasan bermain air.”
“Kau belum menjawabku, Ava.” Suara Kai kembali menarik Avanthe kembali ke permukaan. Dia mengerjap—sesaat melakukan kontak mata bersama pria di sampingnya, kemudian ... apa lagi? Hanya percakapan yang mereka miliki saat ini. Perlahan Avanthe menarik napas dalam dan mengembukannya sedikit putus asa. “Kemarin. Kami tiba di rumah sedikit siang—ya, kurang lebih begitu.” Sebelah alis Kai terangkat tinggi seperti sedang memikirkan sesuatu. Mungkin pria itu tidak sanggup menggapai pemikiran paling masuk akal. Hanya decakan, lantas Kai memindahkan Hope ke atas pangkuannya. “Aku sudah takut bajingan itu tidak akan membawamu pulang. Ponselmu selalu tidak aktif.” Meskipun Kai mengucapkan semua pernyataan tersebut dengan perasaan setengah kesal. Pria itu tetap menunjukkan ekspresi lega tak tertahan—akhirnya mungkin karena mereka bertemu. Avanthe hanya mengendikkan bahu p