Setelah perjalanan jauh yang disambung mobil jemputan dari orang – orang suruhan Hores. Akhirnya Avanthe dapat bernapas lega telah berada di sini. Menunjukkan sikap antusias ketika Shilom melebarkan langkah sekadar menyambutnya. Wanita itu lansung mengambil Hope, sedikit menanyakan kabar, lalu mereka berjalan lambat—saling bersisihan.
Yang tidak pernah Avanthe pikirkan adalah Hores akan melewati tubuhnya dan Shilom dengan tidak mengatakan apa pun. Terakhir, dapat Avanthe amati dari cara kaki jenjang itu berjalan yakni suatu keangkuhan. Hores masuk sesuka hati, tanpa permisi, atau setidaknya berbalik badan meminta izin Shilom. Avanthe menggeram tidak tahan, tetapi percuma. Tubuh Hores telah hilang dilahap dinding pemisah. Dia yakin pria itu pasti menuju kamarnya. “Bagaimana rasanya tinggal di pulau bersama Tuan Roarke?” Sesaat benak Avanthe semacam dilimpahi ribuan kilo air galon. Sangat terkejut mendapati Shilom akan bertanya demikian. Bagaimana rasanyaDengan kata lain, Avanthe memutuskan untuk terlibat di mana pun Hores berlabuh. Mereka berada di rumah sakit setelah perdebatan tak berujung, yang sungguh menguras tenaga hingga Shilom pun nyaris tak dapat berkata – kata. Hanya bisa setuju, itulah mengapa Avanthe berada di sini, mengambil jarak paling jauh supaya tidak merasakan kengerian saat seorang dokter telah siap mengarahkan alat tembak di salah satu telinga Hope, sementara Hores sedang mendekap bayi itu dengan lembut.“Jika sampai dia menangis, aku akan meledakkan kepalamu.”Sambil menyingkirkan salah satu jari yang menutup di wajah, Avanthe mengintip Hores yang menatap luar biasa tajam ke arah dokter. Itu tidak akan menambahkan situasi lebih baik. Hores tidak sepatutnya mengancam dokter yang hampir melubangi telinga Hope—dan tiba – tiba berhenti sejenak hanya untuk mengamati wajah pria itu dengan tegang.Mungkin di dalam hati, dokter melakukan protes keras, tetapi apa pun yang mungkin terungkap di benaknya, tidak
“Berikan kue buntal padaku.”Hanya itu. Kenyataan ... Avanthe tak dapat membantah kata – kata Hores, dia terpaksa mengikuti langkah lebar tersebut. Ada banyak rentetan perhiasaan tertata di etalase. Avanthe melirik Hores yang terlihat sibuk memilah, sementara Hope dengan gemar memainkan kain di kerah pakaian ayahnya.“Kau ingin memilih atau biar aku sendiri?”Baru kali ini Hores menawarkan. Avanthe tidak tahu mengapa secara mendadak dia disergap perasaan bingung. Pelbagai macam mode anting sedikit menyulitkan saat Avanthe harus menyerahkan pilihan. Bimbang apakah Hope akan cocok dengan yang bulat atau sumbat? Setelah menunduk lamat, dan berusaha menemukan yang sedikit mengagumkan. Iris mata Avanthe akhirnya berhenti pada sepasang anting jepit dengan hiasan bandul lucu. Dia melirik Hores, barangkali pria itu akan setuju. Seolah mengerti, Hores memerintahkan karyawan wanita untuk mengeluarkan anting yang dimaksud. Warna emas mencolok indah sepertinya tidak akan m
Setelah menginjakkan kaki ke dalam rumah, Avanthe langsung disambut Shilom dengan antusiame besar. Tampaknya wanita itu ingin sekali meneliti penampilan baru Hope, karena hanya si bayi-lah yang benar – benar diberi kehangatan, bahkan Shilom mengambil alih tubuh montok Hope dari gendongan Avanthe.“Anak siapa ini? Cantik sekali.”Wajah sumringah Shilom saat menggoda Hope hanya sangup menuntut senyum tipis Avanthe. Selebihnya dia memilih diam mengamati percakapan – percakapan lain yang Shilom lakukan, dan Hope yang akan menanggapi dengan ocehan ringan.Perlahan Avanthe mengambil posisi duduk di sofa sambil menatap lurus – lurus ke depan. Pandangannya setengah kosong. Nyaris tidak menyadari Shilom sedang memperhatikan setiap tindakan yang dilakukan hingga wanita itu bersuara.“Ada apa denganmu, Ava?”Secara naluri kelopak mata Avanthe mengerjap. Ada apa dengannya? Dia baik – baik saja, tetapi tidak jika membahas Hores. Pria itu benar – benar terlihat bermasalah. Ses
Makan siang yang lahap, Avanthe merasa luar biasa bahagia menghadapi putri kecilnya gemar terhadap makanan. Semua disajikan di hadapan Hope selalu habis tak bersisa, dari menu inti hingga cemilan – cemilan ringan yang rasanya tak akan pernah selesai jika Avanthe tidak mengambil tindakan. Sekarang dia sedang mencuci perangkat makan Hope sambil menggendong putri kecilnya dari samping. Hores benar, Hope begitu semok dan padat dalam dekapannya. Sesekali dia akan mengajak gadis kecil itu bicara, sementara Hope akan menanggapi dengan pukulan – pukulan ringan di dadanya. Avanthe terkejut ketika tiba – tiba Hope ingin mencondong tubuh pada percikan air di hadapannya. Hores paling sereing membiasakan diri membawa Hope pergi bermain di pantai, bisa jadi itu adalah alasan mengapa antusiasme sang bayi begitu kentara ingin menyerbukan tangan di sana. “Hentikan, Hope – Hope. Di sini tidak ada ayahmu. Tidak ada yang akan memberimu kebebasan bermain air.”
“Kau belum menjawabku, Ava.” Suara Kai kembali menarik Avanthe kembali ke permukaan. Dia mengerjap—sesaat melakukan kontak mata bersama pria di sampingnya, kemudian ... apa lagi? Hanya percakapan yang mereka miliki saat ini. Perlahan Avanthe menarik napas dalam dan mengembukannya sedikit putus asa. “Kemarin. Kami tiba di rumah sedikit siang—ya, kurang lebih begitu.” Sebelah alis Kai terangkat tinggi seperti sedang memikirkan sesuatu. Mungkin pria itu tidak sanggup menggapai pemikiran paling masuk akal. Hanya decakan, lantas Kai memindahkan Hope ke atas pangkuannya. “Aku sudah takut bajingan itu tidak akan membawamu pulang. Ponselmu selalu tidak aktif.” Meskipun Kai mengucapkan semua pernyataan tersebut dengan perasaan setengah kesal. Pria itu tetap menunjukkan ekspresi lega tak tertahan—akhirnya mungkin karena mereka bertemu. Avanthe hanya mengendikkan bahu p
“Seperti permintaan, Anda, Yang Mulia. Para prajurit sudah memblokir seluruh sudut area kerajaan agar ibu suri tidak bisa melewati perbatasan. Saya mendapat informasi bahwa sempat terjadi perselisihan sengit, tetapi pasukan kita bisa menyelesaikan para pemberontak.” “Mungkin, jika ada informasi terbaru. Saya akan memberitahu Anda, Yang Mulia.” Mata gelap Hores tertuju penuh pada pengunungan batu yang menjorok ke arah istana bawah tanah. Sesuatu sedang bersarang di benaknya untuk memikirkan bagaimana ini akan berakhir dengan buruk. Ibu suri tahu satu kelemahan yang dia miliki, wanita itu mencoba menyerang dari pelbagai sudut berdatangan, ntah saat Hores sedang berada di istana bawah tanah atau di bumi manusia. Wanita di toko perhiasan hari itu merupakan pelayan istana yang pergi meningalkan kerajaan bersama ibu suri dan adik laki - lakinya. Bahkan Hores lebih sering menghabiskan waktu bersama sang pelayan, alih – alih bersama seorang ibu yang telah mengandung dan melahirkan. Dia
Perangkat makan Hope telah disiapkan dengan baik. Hari ini Avanthe memilih umbi – umbian yang direbus dan sudah dilumatkan untuk diberikan kepada putri kecilnya. Dia berjalan tentatif menuju tempat terakhir meletakkan Hope duduk dengan tenang. Suara ocehan si kecil sejak tadi sudah membuat Avanthe tidak sabar. Rasanya benar – benar tenang selama bukan keheningan yang meliputi mereka.“Hope – Hope, ayo ma—“Langkah Avanthe dalam sekejap berhenti. Dia membeku menyadari kemunculan tak berbunyi. Tanpa diundang, tetapi juga tak perlu diantar pulang.Hores.Avanthe hanya meninggalkan Hope beberapa saat, dan tahu – tahu pria itu sudah ada di sini. Sedang mendekap putri kecilnya, hingga yang paling serius adalah keputusan Hores menyerahkan kertas undangan pemberian Kai kepada Hope. Undangan tersebut sudah teremuk—terlihat sedikit basah, tetapi masih menyentuh di mulut mungil Hope. Napas Avanthe tercekat. Segera meletakkan perangkat makan, lalu mendekati Hores sekadar be
Betapa terkejutnya Avanthe menyaksikan sebuah pemandangan mengerikan. Dia langsung menghampiri pinggir keranjang, sedikit membulatkan mata melihat tumpukan bola yang penuh tetapi tidak menemukan putri kecilnya di mana pun. “Hope ....” Setengah panik, ujung jari Avanthe menyingkirkan beberapa bola. Hampir tak dapat menemukan Hope, andai si bayi tidak memberi petunjuk. Syukurlah, tetapi suara Hope serupa nada takut. Avanthe menahan napas tanpa sadar. Hores yang mengambil tubuh montok itu naik, lalu memeluk Hope yang menangis dan benar – benar bersandar nyaman di bahu kokoh ayahnya. “Aku baru menitipkan Hope sebentar denganmu. Tapi lihat apa yang kau lakukan?!” Kebutuhan untuk mengomentari Hores menjadi sesuatu yang tak dapat Avanthe cegah. Pria itu membuatnya hampir jantungan. Sialan, malah hanya menatap dengan mata gelap yang mendelik sebentar, kemudian bibir Hores mendesis berusaha menenangkan si bayi sembari menepuk – nepuk lembut bokong dala