Part 51"Yah, Abang memang harus mengatakan semua ini, kemarilah. Duduk dipangkuan Abang, Abang ingin Dhea mendengarnya dengan jelas."Lengan kekar lelaki itu meraih pinggang ramping Dhea dan memeluk wanita itu dipangkuannya. Dhea yang mendapat perlakuan itu tidak dapat menolak, tetapi rasa tak nyaman, takut dan merasa deg degan tak bisa dia tepis dari perasaannya. "Sepuluh tahun yang lalu, Abang baru menduduki jabatan sebagai wakil Presdir di perusahaan kakek, HG group. Abang menghadiri pesta peresmian sebuah gedung yang Abang garap. Tetapi di pesta itu, Abang diracun oleh seseorang, minuman yang Abang minum sengaja dimasukan racun. Abang dilarikan ke rumah sakit, untung saja Pak Seto, ayah Adi sigap menyelamatkan Abang. Saat itu, Adi belum bekerja dengan Abang, Pak Seto itu pengawal kakek, tapi hari itu dia mengawal Abang. Nyawa Abang bisa diselamatkan ketika melalui operasi yang panjang, mengeluarkan semua jenis racun dan memotong usus yang terkontaminasi parah. Tetapi ternyata r
Part 52"Ngomong apa kamu, Sayang? Jangan ngaco deh! Selamanya Abang hanya akan menikah sekali, hanya kamu istri Abang, gak ada yang lain. Abang hanya mau menolong dia saja."Bram jelas terkejut mendengar perkataan Dhea, enak saja minta pisah setelah dia memberikan kecanduan ini? Jangan ngimpi!Suara Bram yang meningkat beberapa oktaf itu membuat Dhea terjengit, kenapa nada bicara lelaki ini seperti orang yang posesif gitu? Gak masuk akal! "Dengar, Sayang ... Mengertilah, Abang minta pengertian Dhea tentang masalah ini. Abang hanya ingin menolong Lia. Hanya itu niat Abang, demi kebaikannya di masa lalu. Bukan untuk apa-apa, jiwa raga Abang semuanya sudah Abang serahkan untuk Dhea, please ... Dengar itu, Sayang? Hanya Dhea yang berhak menjadi istri Abang, bukan yang lain," ujar Bram dengan tatapan sendu, memandang manik mata istrinya dengan serius. "Yah, mungkin hanya aku yang berhak menjadi istri Abang, tetapi siapapun bisa menjadi kekasih Abang, apalagi perempuan itu," ujar Dhea mas
Part 53"Pak Adi, boleh saya tanya sesuatu?" tanya Dhea ketika dalam perjalanan. "Iya, apa, Bu?" "Hari itu, saya mendapati Pak Adi dan suami saya dalam keadaan yang ambigu, sebenarnya apa yang kalian lakukan? Apa kalian melakukan itu?" Adi menatap Dhea dari kaca spion tengah, seulas senyum dia berikan pada wanita di belakangnya. "Ibu jangan berpikir yang tidak-tidak. Saya hanya sedang mengobati punggung Pak Bram yang terkilir," jawab Adi. "Terkilir? Kok dia kayak orang yang gak terluka gitu?" Dhea bermonolog, dia merasa aneh saja, jika lelaki itu terluka tentu tidak akan menggaulinya sampai berkali-kali seperti itu. "Tapi kenapa Pak Adi juga buka baju?" "Oh, itu saya juga terluka di punggung. Pak Bram habis mengobati saya, hanya saja saya luka luar, sedang pak Bram luka dalam." Dhea jadi teringat ucapan Lingga, apa mereka berdua terluka karena berantem dengan Lingga? "Apa kalian waktu itu berantem dengan Lingga?" tanya Dhea dengan tatapan tajam. Tentu saja Adi kaget mendenga
Part 54Dhea menarik napas berkali-kali, mencoba melonggarkan dadanya yang terasa sesak, dua sosok manusia itu sudah pergi dari sana, tetapi Dhea masih mematung memandangi jalanan walaupun mobil mereka tidak terlihat lagi. Dhea menjadi ragu untuk membeli rumah di kawasan ini, apakah Bram ke sini untuk membelikan rumah perempuan itu? Dhea sudah menduga semua itu. Suaminya itu begitu royal, melihat kisah masa lalu mereka tak bisa dipungkiri pasti Bram melakukan itu semua, mungkin bukan hanya rumah, bisa jadi mobil, perhiasan, tanah, dan semua properti kekayaan rela lelaki itu berikan untuk seseorang yang bernama Lia.Dengan memberanikan diri Dhea masuk ke kantor pemasaran tersebut, selain untuk bertanya-tanya soal rumah, dia harus mendapatkan info tentang kedatangan dua pasang manusia tadi."Selamat sore, selamat datang, Nona?" ucapan yang begitu ramah didapat dari seorang wanita berambut pendek fengan wajah putih bersih, usia wanita ini dapat di tebak akhir tiga puluhan."Selamat sore
Part 55Dhea tidak tahu musti berbuat apa, tetapi Bram selalu jujur dengan apa yang dia lakukan. Dia mengaku membelikan rumah, lelaki itu juga membelikan rumah sederhana yang disubsidi pemerintah, bukan rumah yang berlebihan. Kisahnya dengan Lia juga diceritakan dengan sederhana, apa Dhea harus membuka hati dengan tangan terbuka agar bisa menjalin hubungan dengan Lia, untuk mengontrol kedekatan wanita itu dengan suaminya?Entahlah, apa Dhea sanggup melakukan itu? Berteman dengan wanita yang jelas istimewa kedudukannya di sisi suaminya, mana bisa dia mengendalikan rasa cemburu. Cemburu? Apa Dhea sudah mencintai suaminya sekarang? Bisa jadi, bagaimana dia tidak mencintai jika seluruh jiwa raganya sudah dia serahkan pada lelaki itu, setiap sentuhan halal suaminya dia juga menikmati.Pagi ini Dhea membuat sarapan yang cukup berat, memasak lauk ayam semur dan sayur capcay bakso dan brokoli, ditambah sambel bawang. Selain untuk sarapan nasi dan lauk pauk itu akan dibuat bekal makan siang,
Part 56Sudah cukup, berita yang dibawa Mario sudah cukup membuat Dhea mengerti posisi perempuan itu di hati suaminya. Lelaki itu rela mengesampingkan egonya selama ini yang membuat Dhea sedikit bangga, tidak ingin bekerja dengan sekretaris wanita?Huh, terus ini apa? Apa hanya wanita tertentu dan istimewa baginya yang boleh mendekat? Jadi si Lia itu begitu ya posisinya di hati lelaki yanv bergelar suaminya itu? Mulai saat ini, Dhea harus berusaha menekan sikap peduli, mengikis sedikit demi sedikit perasaannya. Kesakitan ini terjadi karena dia sudah main hati, sudah memberikan tempat istimewa untuk lelaki itu, jika dia tidak memakai perasaan cinta, mungkin tidak akan sesakit ini, tidak akan ada kecemburuan yang menyiksanya sampai seperti ini.Dhea menghembuskan napasnya kuat-kuat, mulai sekarang dia hanya akan memfokuskan dirinya pada pekerjaan dan melampaui pencapaiannya saat ini. Dia harus sukses dalam karier sebagai pengalihan dan pelipur laranya. Makanya dia dengan sekuat hati me
Part 57Dhea tidak tahu harus berkata apa. Sebisa mungkin dia menelan makanan yang ada di meja sedangkan Aryan masih memasang wajah yang sama. Selesai makan, Dhea berpamitan pergi duluan, sementara Nilam yang masih girang makan dengan lambat sehingga belum mau beranjak."Mbak Nilam, aku balik dulu, ya? Kerjaan ku masih banyak.""Dhea, ya ampun! Aku belum selesai, Dhe!""Maaf, mbak. Aku harus kembali dulu, ya? Have fun dulu, mbak. Nggak usah buru-buru. Pak Ilham, maaf saya harus kembali, kerjaan saya masih banyak."Tanpa menunggu tanggapan Ilham, Dhea langsung beranjak dari tempat yang membuatnya sangat tidak nyaman itu."Kenapa Dhea balik buru-buru? Istirahat masih setengah jam lagi?" keluh Ilham."Kerjaannya memang masih banyak, dia biasanya akan ke mushola dulu, jadi dia memang memburu waktu, maklum ini akhir bulan, kerjaan Dhea itu merekap data gaji karyawan," jawab Nilam membela temannya itu, dia memang melihat akhir-akhir ini Dhea banyak sekali pekerjaan, walau dia tidak tahu apa
Part 58 What? Bram akan meninjau proyek di luar kota? Kok dia tidak memberi tahu Dhea? "Pak bos pergi sendiri? Tidak bersama sekretarisnya?" "Ya sama sekretarisnya, lah!" "Dia pergi sama siapa?" "Yang jelas sama sekretaris pribadinya, Pak Fikri. Kalau si Adel itu gak tahu diajak atau tidak, kalau rapat-rapat di dalam kota sering diajak sih, entah kalau di luar kota sampai berhari-hari begini." Dhea hanya menghela napas berat, dia tidak mungkin menanyakan tentang suaminya pada Mario secara detail. Jadi serba salah, sih. Dia bisa memanfaatkan Mario sebagai mata-matanya di sana, tetapi dia juga belum siap jika statusnya sebagai istri bos diketahui oleh rekan kerjanya. ***** Hari sudah jam empat sore, Dhea harus cepat pulang. Sejak dia jadi karyawan tetap, jam pulangnya selalu on time karena tidak ada lagi senior yang memanfaatkan tenaganya. Dia juga berusaha tidak mengambil jam lembur karena tugasnya dia lakukan dengan serius sehingga selesai tepat waktu. Biasanya dia akan mena
Jangan takut, Bu Dhea ada lembur malam ini, mungkin akan pulang sedikit malam, karena ada pekerjaan penting yang tidak bisa ditunda. Jadi, mari kita makan dulu, ini juga ada kopi gingseng yang dipesan dari cafe, sangat cocok untuk bapak-bapak yang berkerja sebagai pengawal biar tidak ngantuk," bujuk Anita. Secara diam-diam Anita mengirim pesan kalau para pengawal sudah berada di meja kopi dekat pantai, Dhea bisa bebas menyelinap. Dengan sedikit berlari, Dhea menuju lift, untuk lift belum penuh karena baru setengah jam lagi waktunya pulang kerja.. Sampai parkiran, Dhea menekan kunci mobil untuk menemukan di mana mobil Anita. Dengan cepat Dhea memasuki mobil Anita, dia mengamati pintu keluar dari tempat parkir. Setelah jam empat sore, bnyak orang yang sudah keluar dari kantor sehingga mencari keberadaan Adi sedikit banyaknya ada gangguan. "Ah, itu dia? kenapa dia berjalan dengan terburu-buru?!" seru Dhea bicara sendiri. Dhea segera menghidupkan mesin, melihat Adi memasuki mobil
Anita langsung menjalankan perintah Dhea. Dia sudah bersiap menuju ruang staf dan disambut oleh seseorang yang memperhatikannya. Dia adalah seorang lelaki yang selama dua hari ini selalu mengajaknya bicara dan selalu mencari kesempatan untuk bertemu. "Dek Anita? Kenapa ke sini?" "Eh, Mas Heru. Apa ini lantai ruangan pak Malik, ya? maklum saya baru di sini jadi belum hapal semua ruangan." "Oh, bukan. Ini lantai ruangan direktur utama, lantai ruangan pak Malik ada di lantai tiga. Pak Malik direktur pemasaran, kan?" "Iya. Maaf kalau begitu, saya akan mencari ke lantai tiga." "Ini sudah masuk jam makan siang, kenapa tidak makan siang dulu? bagimana kalau kita ke kantin dulu, makanan di kantin juga enak-enak, kok." "Oh, baik kalau begitu." Memang itu yang dimau Anita. Dia tidak mungkin mengawasi Adi sendirian, dia harus memanfaatkan sumberdaya, apalagi dilihat dari gelagatnya Heru purwanto, staf ahli direktur utama ini tertarik padanya dari pandangan pertama. "Dek Anita ken
Pekerjaan Dhea sangat terbantu dengan keberadaan Anita di sampingnya. Adi yang baru datang dari Palembang juga hanya sesekali menemui Dhea untuk melihat dan membimbing pekerjaannya. Setiap ada kesempatan Dhea langsung melakukan video call dengan Naima. Sepertinya Bram juga meminta Ibrahim untuk mengirim Bik Siti dan Mang Khaidir membantu Naima mengasuh Angga membuat Dhea sedikit lega. Ini sudah hari ketiga suaminya ke luar kota, Bram hanya menghubunginya ketika malam tiba, alasannya karena kesibukan jadi tidak sempat untuk menghubungi. Dhea sebenarnya juga melakukan video call, tetapi Bram selalu menolak, dia bilang sedang bersama rekan kerja dari luar kota sehingga tidak enak jika melakukan panggilan video. Awalnya Dhea percaya saja, hingga di hari ketiga dia tidak sengaja melihat Fikri yang buru-buru keluar dari kantor dan memasuki mobil kijang Innova pada jam kantor, mobil yang tidak pernah dikendarainya sehingga tidak membuat siapapun akan menduga kalau itu adalah Fikri, tanga
Di vidio terlihat Angga yang sedang tertidur dipangkuan Naima, sementara Azka tidur di bangku belakang. "Dia sudah tidur?" ujar Dhea sambil tersenyum mengamati putranya yang tertidur dengan lelap. "Iya, Bu. Baby Angga pinter banget, diperjalanan dia langsung tertidur. Ibu jangan kuatir, baby Angga akan saya rawat dengan baik. Ibu fokus dengan pekerjaan ibu, kalau di perusahaan sudah stabil, baru saya bawa kembali baby Angga ke jakarta, Bu. Kalau ibu kangen ibu bisa video call, ibu juga bisa berkunjung ke Palembang." Suster Naima tidak tega melihat Dhea yang sudah meleleh air matanya, bagaimana bisa tahan dipisahkan dengan anaknya yang masih bayi, apalagi Angga juga masih menyusui. "Baiklah, jaga baik-baik anak saya ya, Suster. Saya akan memerah ASI saya di sini, dan saya akan membayar orang untuk mengantar ke Palembang. Saya tidak ingin anak saya tidak diberi ASI saya, walaupun kini saya jauh, saya tidak bisa membiarkan dia tidak mendapatkan kasih sayang ibunya." Dhea mengak
Dhea datang membawa segelas jus mangga yang masih penuh, belum diminum sama sekali, rencananya setelah dia duduk baru dia akan menikmati jus tersebut. "Minuman ini belum kamu minum kan, Sayang?" tanya Bram. "Belum." "Ayo, kita pulang!" "Ha? kok cepat nian, aku belum makan, belum minum." Dhea terkejut mendengar ajakan suaminya yang tampak terburu-buru, melihat jus mangga yang baru saja dia bawa membuatnya sangat sayang jika tidak diminum. "Jangan meminum jus itu, kita beli di luar saja!" Tanpa menghiraukan tatapan protes istrinya, Bram langsung mengamit tangan istrinya dan beranjak untuk pergi dari lokasi pesta. Dia tidak lupa berpamitan pada semua orang, terutama direksi yang menjadi panitia penyelenggara. "Saya pamit dulu, putra saya sedang kurang sehat dan terpaksa kami tinggal. Istri saya juga harus menyusuinya." Semua orang mengangguk dengan maklum keputusan Bram yang pergi terlebih dahulu meninggalkan lokasi pesta, semntara mendengar alasan suaminya Dhea juga m
Akhirnya di sinilah Dhea, memakai gaun hitam panjang dengan hiasan sulam benang emas, jilbab berwarna emas dan sepatu high heel hitam, pakaian yang dipesan khusus oleh Bram pada disainer busana muslimah terkenal tanah air. Gaun berharga puluhan juta itu rasanya sangat sayang uangnya, tapi demi menghormati suaminya, dia terpaksa memakainya. Memang ada harga, ada rupa, memakai gaun itu, Dhea benar-benar terlihat seperti seorang ratu dengan penampilan elegan, berwibawa dan benar-benar menjadi bintang yang bersinar malam ini. Pesta yang diadakan di sebuah hotel mewah di jakarta ini, tentunya juga menghabiskan budget yang tidak sedikit, untungnya hotel ini salah satu usaha milik Aditama grup. "Halo, Bu Dhea? selamat atas diangkatnya menjadi komisaris utama HG Aditama grup, Semoga perusahaan ini semakin maju dan semakin banyak menyumbang pajak untuk kontribusi terhadap pembangunan bangsa," sapa seorang gubernur DKI dengan senyum yang cerah menyambut kedatangan Dhea. "Wah, terima k
Bram dan Dhea tentu terkejut mendengar perkataan Sayuti yang bernada menghina itu, Bram begitu geram mendengarnya, tadi waktu rapat tidak ada bersuara setelah rapat baru berani berkoar-koar. "Apa ini rencana kalian? suami istri menguasai hampir semua saham, apa perusahan juga tidak akan kenapa-napa dipimpin oleh bocah ingusan seperti ini, mana dia perempuan pula. bisa apa perempuan muda seperti dia?" serang Sayuti dengan nada tidak senang. "Ini juga bukan keinginan kami, Om! ini keinginan nenek. kalau aku boleh memilih lebih baik istriku tinggal di rumah menjadi ibu rumah tangga dan merawat anak kami," balas Bram tak kalah kesal pula. "Halah, munafik kamu! sejak kamu menikahinya, dia sudah kamu beri kedudukan sebagai direktur di anak cabang perusahan padahal pendidikan dan kemampuannya tidak kualified." Bram ingin membalas kembali perkataan pamannya ini, tetapi Dhea sudah mencekal lengannya dan dengan gelengan dia mengisyaratkan agar suaminya ini menghentikan perdebatan. "
"Tidak bisa! apa tidak ada kandidat yang lain? masih banyak orang yang kompeten selain wanita yang masih muda itu. Lagipula, dia juga punya riwayat pernah di penjara, dia juga sudah sangat lama absen dan telah mengundurkan diri dari perusahaan." "Pak Sayuti, jaga bicara anda!" Bram yang sudah membuka mulut, ternyata kalah cepat dengan ucapan Samsudin, pengacara itu menatap Sayuti dengan tajam seperti malaikat pencabut nyawa yang diutus di ruangan itu, segala apa yang dikatakan Samsudin berlindung dari hukum, ada juga petugas pengadilan dan kejaksaan yang menyaksikan jalannya rapat. "Pak sekretaris, putar lagi vidionya!" perintah Samsudin. "Demikianlah pesan dan wasiatku, saya ingatkan buat semuanya, patuhilah semua yang saya katakan ini, jika ada salah satu pihak menentang ataupun tidak patuh dan tidak menuruti semua yang saya katakan, saya sudah mengajukan perkara hukum dengan pengacara saya, dan menuntut untuk hukuman yang tidak main-main." "Ha!" Beberapa orang mendeng
"Sebelum Nyonya Hartina wafat, beliau meminta saya menjadi pengacaranya, untuk mengurus semua harta benda yang dia tinggalkan dan meninggalkan surat wasiat untuk dibacakan di depan semua anggota direksi perusahaan HG Aditama grup." Semua orang memusatkan perhatian pada Samsudin, lelaki itu memang pandai berbicara hingga membius semua orang, pantasan saja menjadi pengacara top dalam waktu enam tahun. "Saudara sekalian lihat? ini adalah surat yang ditulis tangan sendiri oleh Nyonya Hartina, ada tanda tangan beliau dan cap tiga jari di sini. Tetapi selain itu, beliau juga membuat rekaman vidio, karena jika dengan surat menurut beliau tidak kuat, jadi setelah bangun dari koma, beliau langsung menghubungi saya dan meminta rekaman vidio, coba tolong putar vidionya," pinta pengacara itu pada Fikri yang sudah siap di depan laptop. Di hadapan mereka sudah terpajang layar monitor dengan sorot ini infokus yang mulai memutarkan sebuah tayangan vidio, kemudian sosok nenek Hartina yang tenga