Part 140"Iya nggak apa-apa. Mungkin ini sudah takdir. Kalau dia masih hidup, kini dia sudah berusia dua puluh enam tahun. Mungkin dia sudah nikah juga."Fathan menatap ke arah depan dengan pandangan kosong, mungkin dia teringat pada mendiang adiknya. Dhea sendiri juga pernah merasa kehilangan adik-adiknya, walaupun sampai saat ini ingatannya belum kembali, tetapi mendengar dua orang adiknya dan juga ayah kandungnya menjadi korban kecelakaan, tak urung dia merasa sedih. Apalagi jika sosok mereka teringat dengan jelas di kepala seperti yang dialami oleh Fathan."Bu Dhea, saya sudah mendaftar. Ini jadwal presentasi kita. Dia hari lagi di Batam." Tiba-tiba keheningan diantara mereka terpecah oleh suara Ilham yang sudah mendekat pada mereka."Oh, sudah ya, Bang? Dua hari lagi?"Walaupun Ilham sudah mengetahui status Dhea, tetapi Dhea tetap memanggilnya Abang seperti sebelumnya. Ilham sendiri sebenarnya merasa canggung, tetapi dia juga tidak mau keakraban diantara mereka menjadi memudar ha
Part 141"Ayo duduk, duduk dulu. Ayo, Nona. Saya akan buatkan makanan kesukaan Nona."Dengan langkah tergopoh-gopoh lelaki itu berjalan menuju dapur untuk menyiapkan hidangan para tamu."Kita tidak memesan menu?" tanya Ilham Lelaki itu mengedarkan pandangan dan tak satupun menemukan daftar menu di sana, dia melihat juga ke dinding juga tidak tertempel di sana."Semua menu masakan akan dikeluarkan nanti, pelanggan tinggal memilih mau makan apa," Jawa Fathan"Oh, konsepnya seperti rumah makan Padang, ya?" ujar Adi "Iya. Dulu ada salah satu makanan favorite Kamelia di sini, anak itu selalu memilih makan sop kerang, dia bisa menghabiskan tiga porsi sop kerang.""Oh ya? Aku jadi ingin tahu bagaimana rasanya."Dhea sangat penasaran dengan menu makanan yang disebutkan Fathan. Selama ini Dhea tidak pernah memakan seafood karena keadaan ekonomi, ketika menikah dengan Bram pun dia hanya menemui menu ikan dan daging, kalau seafood hanya udang dan kepiting. Tidak pernah menemukan kerang. Tidak
Part 142Dhea tercenung ketika dalam perjalanan ke Batam. Kapal yacht milik pribadi keluarga Fathan menjadi tumpangan mereka ke pulau Batam, ketika menggunakan kapal feri jarak tempuh sekitar dua jam lebih, dengan yacht bisa ditempuh kurang lebih sejam setengah. Semilir angin laut menggoyangkan jilbab pasmina nya, siang menjelang sore yang terik membuat matahari menyorot lebih tajam, untung saja Dhea sudah menyediakan kaca mata hitamnya.Duduk di geladak kapal sambil menikmati suasana membuatnya serasa mimpi, ini seperti pesiar mewah orang-orang kaya yang sering ditontonnya di sinetron televisi. Sudah dua orang hari ini yang ditemuinya mengatakan dia mirip seseorang bernama Kamelia Zahrain. Apakah memang seperti itu? Bahkan mereka yakin mengatakan jika kemiripannya mencapai sembilan puluh persen. Ini sungguh tak masuk akal, tetapi yah ... Mungkin ada keuntungan tersendiri bagi dirinya, jika tidak begitu, mana mungkin tuan muda Fathan ini mau memberi fasilitas kerjasama seperti saat
143 Setelah sampai rumah yang dikatakan Fathan, ternyata mobil Lamborghini lelaki itu sudah terparkir cantik di pinggir jalan. Sopir dengan pelan memarkirkan kendaraannya di dekat mobil Fathan tersebut. "Kita sudah sampai, Non." "Oh, di mana rumahnya?" Dhea celingukan melihat lingkungan sekitar, tidak banyak rumah yang dibangun di sana, tetapi perhatiannya teralih pada rumah yang paling dekat dengan parkiran mobil mereka. "Ini, Nona. Yang dekat dengan kita, yang bercat putih ini." Mata Dhea tetap mengedarkan ke segala arah ketika turun dari mobil, terutama pada rumah mungil yang berdiri cantik di hadapannya. Rumah dengan pagar papan bercat putih setinggi pinggang orang dewasa, di depannya ada lampu jalan dengan tempat lampu yang berukir cantik, ada nomor rumah menunjukkan angka 20 dan ada tulisan dari ukiran logam bertuliskan "Welcome to Lia's residence" Lia's residence? Kediaman Lia? Apa ini rumah Kamelia dulu? Pantasan Fathan begitu ingin Dhea tinggal di sini. Tentu lelaki itu
Part 144"Wah ... Ternyata ada pantai di belakang rumah ini! Pantai yang tidak jauh dari sini!" pekik wanita itu dengan senang. Suara ombak yang memecah suasana begitu terasa sangat menggoda, apalagi pasir putihnya. Pantai , tidak terlalu jauh, mungkin hanya berjarak tiga ratus meter dari rumah ini.Melihat itu, Dhea langsung bergegas turun ke lantai bawah, dia mencari pintu belakang. Setelah menemukan pintu belakang, dia sangat takjub dengan pemandangan di sini. Halaman belakang cukup luas, ada tiang jemuran di sisi kiri dan bangku panjang dengan sebuah meja berada di sisi kanan. Dari sini terlihat dengan jelas pemandangan air laut yang membiru itu."Ah, ini sangat indah!" "Apa kamu suka?" tanya Fathan yang mengikuti Dhea sampai halaman belakang."Iya, aku sangat suka. Sepertinya aku bakalan betah tinggal di sini.""Baiklah, sekarang kau mandi, bersihkan diri nanti kita makan malam bersama.""Ah iya, aku harus menghangatkan SOP kerang yang kubawa tadi."Dhea berlari masuk ke dalam
Part 145 Pak Ibrahim juga langsung menyambut uluran tangan Adi dan Ilham, namun ketika Dhea akan menyalaminya juga, mendadak tangan lelaki itu berhenti untuk mengulur, tampak sekali wajah Pak walikota itu terkejut bukan kepalang. "Eh, ini?" tanya pak Ibrahim dengan tatapan terkejut. "Ini Bu Dhea, Ayah! Istrinya Pak Bramantyo dari Jakarta. Pemborong proyek pembangunan pabrik elektronik kita," ujar Fathan memperkenalkan. "Fathan ... Kamu tahu, kan?" tatapan mata pak Ibrahim yang mengintimidasi Fathan menyiratkan sesuatu, tentu saja Fathan tahu maksud ucapan ayahnya. "Iya, akupun terkejut, aku baru kemarin ketemu dengannya di balai kota tanjung pinang," ujar Fathan berbisik pada ayahnya. "Oh ... Perkenalkan, saya Ibrahim kemal Zahrain, orang tuanya Fathan." "Saya sudah tahu, anda wali kota di kota yang indah ini," jawab Dhea menyambut uluran tangan lelaki paruh baya itu. Jabatan hangat lelaki itu tampak begitu lain, tangan lelaki itu terasa bergetar. Tatapan mata Ibrahim berulang
Part 146 Hari ini membuat Dhea cukup lelah, tim yang dikirim perusahaan sudah datang kemarin, semua bekerja dengan teliti, sementara Dhea yang tidak paham dengan kerjaan proyek hanya bisa mengawasi. Sementara Adi sendiri sudah disuruh pulang oleh Bram, ini hari ketiga Dhea berada di kota ini. Suasana kota yang terasa begitu akrab ini membuat Dhea semakin betah disini, apalagi jika sore menjelang, dia akan meminta Bik Siti menemaninya jalan-jalan ke pantai yang hanya ditempuh sekitar sepuluh menit dari rumahnya. Dhea sudah satu kali diundang makan oleh keluarga Zahrain di kediamannya. Makan malam di hari keduanya tinggal di kota ini. Saat itu, Pak Ibrahim sendiri yang secara khusus mengundangnya, dia datang ke rumah kediaman keluarga Zahrain dijemput oleh Fathan. Ketika sampai di rumah besar itu, Dhea cukup kagum dengan bangunan tersebut. Rumah ini tidak seperti rumah keluarga Aditama keluarganya Bram, apalagi rumah kakeknya. Rumah keluarga Zahrain sangat artistik, pak Ibrahim mem
Part 147 "Eh anu ... Itu ...," Dhea bingung mau bicara apa.Kegugupan dan kebingungan bergabung menjadi satu, entah apa yang akan dia jawab, padahal waktu dilamar Bram saat itu tidak segugup ini. "Bagaimana?" kejar Ibrahim. Dhea menatap Ibrahim dan Fathan bolak-balik, Fathan sendiri hanya mengangguk dan tersenyum meyakinkan wanita itu, sementara Dhea hanya bisa mendesah lirih. "Kamu dan Fathan juga sudah begitu cocok menjadi kakak beradik, Fathan ini kakak yang baik, dia pasti bisa menjagamu." "Eh, anu ... Ini bukan masalah yang mudah bagi saya, hal seperti ini baru saya alami. Hal ini harus dipikirkan terlebih dahulu." Dhea tentu harus mempertimbangkan semua hal, apalagi melihat reaksi Sovia yang tidak bersahabat, tentu dia tidak ingin membuat ada orang yang kembali tidak menyukainya. "Kamu tidak perlu banyak berpikir, terima saja. Lagi pula mas Ibrahim ini tulus mengangkat kamu jadi anaknya." Dhea terkejut mendengar perkataan Sovia yang tiba-tiba, apa maksud orang ini mengat
Sebulan yang lalu ..... "Kakak yakin mau melakukan ini? kalau kita lakukan ini, Amel bisa celaka, Kak." "Kita tabrak dari depan, jadi kemungkinan kecelakaan untuk penumpang belakang tidaklah terlalu fatal." "Baiklah, ini hanya kita saja yang tahu, jika ada yang tahu selain kita berdua, tidak bisa dibayangkan berapa orang yang akan tersakiti." "Makanya kau rahasiakan!" Hari itu, dengan truk pengangkut pasir yang dia beli bekas, dengan kendaraan yang sarat muatan, Viyatan mengendarai mobil itu dengan kecepatan rendah, setelah mendapat telpon dari Fathan jika mobil target dia sedang mendekat, maka dia memacu kendaraan sarat muatan itu dengan kecepatan tinggi, akibatnya mobil oleng dan langsung menabrak mobil sedan di depannya. Viyatan langsung melompat dari dalam mobil, dengan modal kunci inggris di tangan, dia memecahkan kaca jendela mobil sedan itu, dan menghantamkan kunci inggris itu pada dua pria yang duduk di depan, dan menutup hidung pria di bangku belakang dengan saputa
"Acara apa memangnya?" "Lihat itu, dekorasi itu untuk apa?" "Seperti pelaminan ya, Bang?" "Ya, hari ini jam sepuluh kita akan menikah lagi." "Ha? Apa nggak apa-apa?" "Nggak, pernikahan kita dulu kurang sempurna, karena tidak diwali nikahkan ayahmu, padahal ayahmu masih hidup. lagipula aku menikahimu dengan identitas orang lain, sekarang aku akan mengucapkan ijab kabul dengan mengucapkan namamu sendiri." "Apa tidak apa-apa menikah ulang?" "Aku sudah bertanya di KUA, mereka bilang tidak apa-apa. Mereka akan menerbitkan buku nikah yang baru atas namamu yang asli." "Iya, karena ingatanku sudah kembali, aku juga ingin kembali menjadi diriku yang sesungguhnya, nama Dhea akan ku kembalikan pada pemilik aslinya." "Baiklah, jadi ... apakah aku bisa memanggil istriku dengan nama Lia?" "Maaf, Bang ... karena nama itu sudah pernah dipakai orang lain, aku jadi tidak mau lagi. Panggil nama kecilku seperti ayah dan saudaraku memanggil, yaitu Amel." "Baiklah, Amel. siapapun nama
Setelah sampai di rumah nenek, halaman rumah nenek yang luas sudah terpasang tenda dengan dekorasi yang sangat mewah, dengan dominasi warna biru laut, biru muda dan putih. Perpaduan warna-warna itu tampak begitu indah dan elegan, bahkan ada bunga-bunga segar sebagai dekorasi. "Ini, dekorasi acara peringatan kematian apa kawinan, sih? kok mewah banget begini?" tanya Dhea yang membuka jendela mobil dan menatap ke arah halaman rumah nenek. "Sebentar, aku keluar dulu. Kamu jangan keluar dulu." "Eh, kenapa?" Bram tidak menjawab pertanyaan istrinya, dia bergegas turun dan membuka pintu istrinya, dengan sigap lelaki itu langsung menggendong istrinya ala putri. "Eh, kenapa di bopong? itu Kruk aku ketinggalan di mobil," seru Dhea yang langsung mengalungkan kedua lengannya di leher suaminya takut terjatuh. "Selamat datang, Pak Bram, Bu Kamelia ...." Dhea menatap semua orang yang menyambut kedatangannya di gerbang masuk rumah. Mereka memakai seragam batik yang sama, seperti pelayan di
Setelah seminggu, Dhea dan Bram kembali dari ke tanah suci. Mereka segera kembali ke kediaman Bram, Dhea yang belum bisa berjalan, dengan kekuatan lengan Bram masih dibopong menuju ke kamarnya yang kini berada di lantai bawah. "Sayang, Istirahatlah. Besok kita akan kembali menerapi kakimu agar lebih kuat untuk berjalan. Sania akan bulan madu selama sepuluh hari lagi, nanti setelah dia pulang, kita jiga pulang ke Batam." "Iya, Bang. Aku harus semangat berlatih jalan." Hanya memikirkan Angga membuat Dhea semakin semangat berlatih jalan, seminggu kemudian dia sudah bisa memakai satu Kruk untuk berjalan, dia tidak mau lagi memakai kursi roda. "Dhea! Aku sudah pulang!" teriak Sania sambil berlari memeluk wanita yang tengah berdiri disangga Kruk. "Loh, kok sudah pulang? katanya sepuluh hari di sana? ini baru tujuh hari." "Iya, aku sudah kangen sama tanah air." "Ish, basi banget alasanmu." Sania malah tertawa lebar, kerudung warna hitamnya yang terpasang di kepalanya membuat
"Bang, aku kangen banget sama Angga, kapan aku akan bertemu dengannya?" keluh Dhea ketika malam tiba, dia benar-benar tidak bisa tidur memikirkan anaknya itu. "Sabar, Sayang. Keberadaan Abimanyu belum diketahui, lagian pendukungnya mafia Antonio juga melarikan diri ke Colombia." "Apa Abimanyu juga ikut melarikan diri ke sana?" "Belum bisa dipastikan. Orang-orang GIR akan menyelidikinya. Kamu sabar, ya? Sekalian sembuhkan dulu kaki dan bahumu, biar bisa menggendong Angga." "Ayah nanyain terus, kapan kita ke sana. Mereka akan menyiapkan pesta resepsi pernikahan kita." "Menunggu kepastian dari GIR, ya? kalau memang Abimanyu pergi ke Colombia, tentu situasi akan lebih aman. Kalau dia masih di sini, aku takut terjadi apa-apa pada kalian." "Iya, baik, Bang. Aku akan menuruti apa yang kamu katakan, tapi tolong pikirkan apa yang aku rasakan." "Setiap saat, yang dipikiran Abang hanya kebahagiaan dan keselamatan kamu dan anak kita, Sayang. Maaf, ya? Abang belum bisa memberi kebaha
Sudah sebulan berlalu, luka Dhea sudah mulai sembuh. Wanita itu sudah belajar berjalan satu dua langkah, hanya saja masih terasa sakit akibat patah tulang itu. Dia lebih banyak bergerak dengan kursi roda, jadwal terapi jalan dilakukan seminggu dua kali. Perusahaan juga sudah stabil, dua hari setelah tragedi penyerangan itu, Niko segera memulihkan saham perusahaan, Arjuna kini menjabat sebagai direktur utamanya dan Bram mengambil alih komisaris. Arjuna yang dulu sering menolak diberi wewenang puncak jabatan, kini terpaksa mengambil alih demi keluarga kakaknya yang memang butuh banyak perhatian. Bram juga ke kantor hanya dua kali seminggu, dia lebih banyak menghabiskan waktu untuk menemani istrinya berobat, Arjuna yang masih belajar hanya menghubunginya untuk berkonsultasi jika mengenai pekerjaan dan keputusan yang harus diambil. Kedua keluarga pamannya juga kini tidak meributkan kembali mengenai perusahaan, apalagi Siska sepupunya juga kini sibuk mengurus pernikahannya dengan seora
Tit .... tit ... tit .... Suara monitor terdengar teratur, sepasang mata tiba-tiba membuka, menatap lurus ke arah plafon. Bunyi monitor itu terdengar begitu mengganggu. "Masyaallah! kamu sudah bangun, Sayang?!" Suara itu mengagetkannya, dia menoleh dan mendapati seorang lelaki berpenampilan kuyu dengan sepasang mata yang memerah. di mana ini? "Alhamdulillah, kamu sudah sadar. Aku benar-benar cemas!" Perlahan-lahan kesadaran muncul pada diri wanita ini, bayangan terakhir sebelumnya. Dia berada di dalam mobil bersama lelaki brengsek Abimanyu. Perdebatan di dalam mobil itu membuat lelaki itu murka dan menodongkan pistol ke arahnya, namun belum sempat peluru itu dimuntahkan, mobil tiba-tiba terguncang hebat, seperti terbentur dengan kuat sehingga dia kehilangan keseimbangan dan terpental ke depan dengan kuat, kepalanya bahkan membentur dasbor mobil membuatnya tidak sadarkan diri. "Di mana ini?" akhirnya dengan susah payah dia mengeluarkan suara. "Kamu di rumah sakit, Sayang. Sud
"Niko, cepat kacak ke mana perginya mobil yang membawa Dhea!" perintah Bram melalui sambungan telepon. Untung saja Bram mengingat nomor plat mobil yang membawa Dhea tadi, jadi bisa sekalian meminta Niko untuk melacaknya. "Baik, Bos!" Niko yang selalu stanby di markas langsung melaksanakan perintah Bram. dalam beberapa menit dia sudah mengetahui nomor plat tersebut. "Bos, nomor plat mobil ini palsu. Ini nomor plat mobil keluaran tahun 1978, mobilnya bahkan sudah jadi rongsokan. Plat aslinya mungkin sudah dicopot." "Mobilnya BMW, apa tidak bisa dilacak?" "Iya, mobil keluaran 1978 ini juga BMW. bahkan nama pemiliknya sudah mati." Bram mendengus kesal, sungguh sial sekali nasibnya. Adi yang ada di sampingnya hanya bisa terdiam dan fokus menyetir, semntara Lingga yang duduk di kursi belakang sibuk menjaga Frans. Mobil yang dikendarai Adi dengan cepat sampai di rumah sakit terdekat, paramedis segera membawa blankar dan membawa tubuh Frans ke ruang gawat darurat, ketiga orang
"Sini, Kamu!" Dhea meringkuk ketakutan mana kala tiga orang lelaki mendatangi kamarnya dengan wajah beringas. Dengan kasar tangannya dicengkeram dan ditarik paksa, agar mengikuti langkah lelaki itu. "Mau ke mana?" tanya Dhea dengan suara keras yang dipaksakan. "Jangan banyak tanya!" Dhea hanya pasrah mengikuti langkah cepat lelaki itu, tubuhnya sedikit goyah karena kurang tenaga. Dulu dia mudah saja melawan lelaki seperti ini walaupun hanya sendirian. Tetapi efek tidak diberi makan cukup selama dua Minggu cukup melumpuhkan semua tenaganya, mana bisa dia melawan lagi. Lelaki yang mencekeram tangannya juga tidak peduli apakah dia kesusahan mengikuti langkahnya atau tidak, dia terus saja diseret walaupun kepayahan. Apalagi ketika menuruni tangga, tubuhnya hampir saja terjerembab ke bawah jika saja cengkeraman lelaki itu tidak kuat. "BERHENTI!!!" lelaki itu berteriak ketika sampai di bawah anak tangga. Dhea melebarkan matanya melihat pemandangan di lantai satu, bukan kar