Part 139 Entah kenapa Dhea juga tidak sungkan lagi berbincang dengan Fathan, walaupun Adi sesekali nimbrung perbincangan mereka, Fathan yang tampak luwes dan cerdas itu tentu saja sangat membuat Dhea nyaman. "Di negara mana Abang studi waktu adik Abang meninggal?" tanya Dhea dengan hati-hati. "Saat itu Abang kuliah di Jerman, langsung dilanjut S2 di Amerika, Harvard university. Abang sempat pulang, tetapi hanya menemukan kuburan Kamelia, Abang sama sekali tidak dikabari ketika Kamelia meninggal, kalau Abang nggak pulang, Abang tidak tahu kalau Kamelia sudah meninggal, dan itu sudah setahun berlalu." "Oh, apakah Abang kenal dengan suami Dhea di sana? Abang Bram juga kuliah di Harvard." "Tidak, Abang saat itu baru mengambil S2, pak Bram kan sudah tamat S2 saat itu, dia senior jauh di atas Abang." "Memang berapa usia Abang sekarang?" "Abang sudah dua puluh sembilan tahun." "Wah, ternyata masih muda, ya? Eh ... Kalau dengan adiknya Bang Bram kenal, nggak? Dia juga kuliah di Harvar
Part 140"Iya nggak apa-apa. Mungkin ini sudah takdir. Kalau dia masih hidup, kini dia sudah berusia dua puluh enam tahun. Mungkin dia sudah nikah juga."Fathan menatap ke arah depan dengan pandangan kosong, mungkin dia teringat pada mendiang adiknya. Dhea sendiri juga pernah merasa kehilangan adik-adiknya, walaupun sampai saat ini ingatannya belum kembali, tetapi mendengar dua orang adiknya dan juga ayah kandungnya menjadi korban kecelakaan, tak urung dia merasa sedih. Apalagi jika sosok mereka teringat dengan jelas di kepala seperti yang dialami oleh Fathan."Bu Dhea, saya sudah mendaftar. Ini jadwal presentasi kita. Dia hari lagi di Batam." Tiba-tiba keheningan diantara mereka terpecah oleh suara Ilham yang sudah mendekat pada mereka."Oh, sudah ya, Bang? Dua hari lagi?"Walaupun Ilham sudah mengetahui status Dhea, tetapi Dhea tetap memanggilnya Abang seperti sebelumnya. Ilham sendiri sebenarnya merasa canggung, tetapi dia juga tidak mau keakraban diantara mereka menjadi memudar ha
Part 141"Ayo duduk, duduk dulu. Ayo, Nona. Saya akan buatkan makanan kesukaan Nona."Dengan langkah tergopoh-gopoh lelaki itu berjalan menuju dapur untuk menyiapkan hidangan para tamu."Kita tidak memesan menu?" tanya Ilham Lelaki itu mengedarkan pandangan dan tak satupun menemukan daftar menu di sana, dia melihat juga ke dinding juga tidak tertempel di sana."Semua menu masakan akan dikeluarkan nanti, pelanggan tinggal memilih mau makan apa," Jawa Fathan"Oh, konsepnya seperti rumah makan Padang, ya?" ujar Adi "Iya. Dulu ada salah satu makanan favorite Kamelia di sini, anak itu selalu memilih makan sop kerang, dia bisa menghabiskan tiga porsi sop kerang.""Oh ya? Aku jadi ingin tahu bagaimana rasanya."Dhea sangat penasaran dengan menu makanan yang disebutkan Fathan. Selama ini Dhea tidak pernah memakan seafood karena keadaan ekonomi, ketika menikah dengan Bram pun dia hanya menemui menu ikan dan daging, kalau seafood hanya udang dan kepiting. Tidak pernah menemukan kerang. Tidak
Part 142Dhea tercenung ketika dalam perjalanan ke Batam. Kapal yacht milik pribadi keluarga Fathan menjadi tumpangan mereka ke pulau Batam, ketika menggunakan kapal feri jarak tempuh sekitar dua jam lebih, dengan yacht bisa ditempuh kurang lebih sejam setengah. Semilir angin laut menggoyangkan jilbab pasmina nya, siang menjelang sore yang terik membuat matahari menyorot lebih tajam, untung saja Dhea sudah menyediakan kaca mata hitamnya.Duduk di geladak kapal sambil menikmati suasana membuatnya serasa mimpi, ini seperti pesiar mewah orang-orang kaya yang sering ditontonnya di sinetron televisi. Sudah dua orang hari ini yang ditemuinya mengatakan dia mirip seseorang bernama Kamelia Zahrain. Apakah memang seperti itu? Bahkan mereka yakin mengatakan jika kemiripannya mencapai sembilan puluh persen. Ini sungguh tak masuk akal, tetapi yah ... Mungkin ada keuntungan tersendiri bagi dirinya, jika tidak begitu, mana mungkin tuan muda Fathan ini mau memberi fasilitas kerjasama seperti saat
143 Setelah sampai rumah yang dikatakan Fathan, ternyata mobil Lamborghini lelaki itu sudah terparkir cantik di pinggir jalan. Sopir dengan pelan memarkirkan kendaraannya di dekat mobil Fathan tersebut. "Kita sudah sampai, Non." "Oh, di mana rumahnya?" Dhea celingukan melihat lingkungan sekitar, tidak banyak rumah yang dibangun di sana, tetapi perhatiannya teralih pada rumah yang paling dekat dengan parkiran mobil mereka. "Ini, Nona. Yang dekat dengan kita, yang bercat putih ini." Mata Dhea tetap mengedarkan ke segala arah ketika turun dari mobil, terutama pada rumah mungil yang berdiri cantik di hadapannya. Rumah dengan pagar papan bercat putih setinggi pinggang orang dewasa, di depannya ada lampu jalan dengan tempat lampu yang berukir cantik, ada nomor rumah menunjukkan angka 20 dan ada tulisan dari ukiran logam bertuliskan "Welcome to Lia's residence" Lia's residence? Kediaman Lia? Apa ini rumah Kamelia dulu? Pantasan Fathan begitu ingin Dhea tinggal di sini. Tentu lelaki itu
Part 144"Wah ... Ternyata ada pantai di belakang rumah ini! Pantai yang tidak jauh dari sini!" pekik wanita itu dengan senang. Suara ombak yang memecah suasana begitu terasa sangat menggoda, apalagi pasir putihnya. Pantai , tidak terlalu jauh, mungkin hanya berjarak tiga ratus meter dari rumah ini.Melihat itu, Dhea langsung bergegas turun ke lantai bawah, dia mencari pintu belakang. Setelah menemukan pintu belakang, dia sangat takjub dengan pemandangan di sini. Halaman belakang cukup luas, ada tiang jemuran di sisi kiri dan bangku panjang dengan sebuah meja berada di sisi kanan. Dari sini terlihat dengan jelas pemandangan air laut yang membiru itu."Ah, ini sangat indah!" "Apa kamu suka?" tanya Fathan yang mengikuti Dhea sampai halaman belakang."Iya, aku sangat suka. Sepertinya aku bakalan betah tinggal di sini.""Baiklah, sekarang kau mandi, bersihkan diri nanti kita makan malam bersama.""Ah iya, aku harus menghangatkan SOP kerang yang kubawa tadi."Dhea berlari masuk ke dalam
Part 145 Pak Ibrahim juga langsung menyambut uluran tangan Adi dan Ilham, namun ketika Dhea akan menyalaminya juga, mendadak tangan lelaki itu berhenti untuk mengulur, tampak sekali wajah Pak walikota itu terkejut bukan kepalang. "Eh, ini?" tanya pak Ibrahim dengan tatapan terkejut. "Ini Bu Dhea, Ayah! Istrinya Pak Bramantyo dari Jakarta. Pemborong proyek pembangunan pabrik elektronik kita," ujar Fathan memperkenalkan. "Fathan ... Kamu tahu, kan?" tatapan mata pak Ibrahim yang mengintimidasi Fathan menyiratkan sesuatu, tentu saja Fathan tahu maksud ucapan ayahnya. "Iya, akupun terkejut, aku baru kemarin ketemu dengannya di balai kota tanjung pinang," ujar Fathan berbisik pada ayahnya. "Oh ... Perkenalkan, saya Ibrahim kemal Zahrain, orang tuanya Fathan." "Saya sudah tahu, anda wali kota di kota yang indah ini," jawab Dhea menyambut uluran tangan lelaki paruh baya itu. Jabatan hangat lelaki itu tampak begitu lain, tangan lelaki itu terasa bergetar. Tatapan mata Ibrahim berulang
Part 146 Hari ini membuat Dhea cukup lelah, tim yang dikirim perusahaan sudah datang kemarin, semua bekerja dengan teliti, sementara Dhea yang tidak paham dengan kerjaan proyek hanya bisa mengawasi. Sementara Adi sendiri sudah disuruh pulang oleh Bram, ini hari ketiga Dhea berada di kota ini. Suasana kota yang terasa begitu akrab ini membuat Dhea semakin betah disini, apalagi jika sore menjelang, dia akan meminta Bik Siti menemaninya jalan-jalan ke pantai yang hanya ditempuh sekitar sepuluh menit dari rumahnya. Dhea sudah satu kali diundang makan oleh keluarga Zahrain di kediamannya. Makan malam di hari keduanya tinggal di kota ini. Saat itu, Pak Ibrahim sendiri yang secara khusus mengundangnya, dia datang ke rumah kediaman keluarga Zahrain dijemput oleh Fathan. Ketika sampai di rumah besar itu, Dhea cukup kagum dengan bangunan tersebut. Rumah ini tidak seperti rumah keluarga Aditama keluarganya Bram, apalagi rumah kakeknya. Rumah keluarga Zahrain sangat artistik, pak Ibrahim mem
"Berhenti kau betina jalang!" "Dasar perempuan sialan! Mau lari ke mana lagi kau, ha?" "Mau kabur? Kamu pikir bisa, ha?" "Arrhg! Lepaskan! Lepaskan!" "Bang, jangan sakiti perempuan itu." "Diaam kamu Rais!" Penggalan dialog-dialog itu terlintas di kepala Dhea membuat kepalanya sangat sakit. Tetapi tekadnya yang kuat membuatnya terus berlari Jangan sampai tertangkap oleh penculik itu. DOR!!! Suara tembakan itu terdengar jelas. "ABANG, JANGAN TINGGALKAN DHEA, BANG!" teriak Dhea berbalik memeluk suaminya dengan tubuh gemetar dan air mata yang menetes deras. "Abang, Abang ...." "Dhea, Abang tidak apa-apa." Bram merasakan betapa istrinya ini sangat ketakutan, wanita ini memeluk tubuhnya erat dan meraba punggungnya dengan gerakan acak dan gemetar. "Abang nggak apa-apa," bisik Bram memenangkan istrinya. "Terdengar suara tembakan, punggung Abang tertembak." "Tidak, punggung Abang tidak tertembak." "Aku melihatnya sendiri orang itu menembak punggung Abang! Abang, Abang
"Akh!" Bram memekik tertahan mana kala kakinya kesandung akar pohon membuatnya terjatuh, Dhea yang memegang tangannya otomatis juga ikut terjatuh. "Bang, Abang nggak apa-apa? ada yang terluka? sakit?" tanya wanita itu dengan kuatir. Ponsel yang dipegang Dhea dipakai sebagai senter terjatuh. wanita itu segera bangkit dan mengambil ponselnya dan mengarahkan senter pada suaminya yang tengah berusaha bangkit. "Nggak apa-apa. Hanya tersandung saja," lelaki itu berjalan meraba-raba. Dhea segera meraih tangan suaminya, lelaki itu hanya bisa mempercayai Dhea pada saat seperti ini. "Pegang tangan Dhea erat-erat, Bang. Dhea akan menjadi mata Abang. Jalan yang Dhea tempuh ini sedikit sulit karena masih semak belukar. Kalau kita melewati jalan setapak, para penjahat itu pasti bisa dengan mudah menyusul kita." "Iya, Dhea tidak perlu mengkuatirkan Abang. Sekarang ayo cepat kita jalan." Walaupun langkah mereka terseok-seok, tetapi mereka berusaha berjalan dengan cepat, untuk berlari tentu s
Dhea dan Bram makan malam di villa itu, Dhea tidak menyangka masakan hari ini dibuat oleh pemuda dua puluhan bernama Soleh ini. Dengan sayang Dhea menyuapi suaminya, hal ini mengingatkan mereka saat Bram pertama datang di kediaman Lia di rumah tepi pantai. Saat itu lelaki ini hanya bisa melamun dan tidak memiliki gairah hidup, akhirnya Kamelia lah yang terus membujuknya makan dan menyuapinya. "Sudah, Abang sudah kenyang," ujar Bram menolak suapan yang sudah berapa kalinya dari tangan Dhea. "Kalau Abang ke Jerman, Dhea tetap di jakarta, ya? menghandle semua bisnis di sini." "Bagimana bisa suami sedang berobat aku malah sibuk mengurusi bisnis." "Ini demi kebaikan kita, Sayang. Kita baru saja memimpin perusahaan, rasanya tidak bertanggung jawab kalau kita tinggalkan." "Bang, bagiku Abang lebih penting dari perusahaan ini. Bagaimana kalau aku resign saja, biar saja perusahaan ini dikelola oleh orang lain. Kita juga tidak kekurangan uang." "Nenek sudah berpesan agar kita yang m
"Adi__" Suara Bram tercekat, lelaki itu menyadari jika seseorang yang datang bukanlah Adi. Adi baru saja datang menyapanya sekitar lima menit yang lalu, karena dia banyak melamun tidak terlalu menanggapi. Lagipula setelah tiga hari ini dia kehilangan penglihatan, pendengaran dan penciumannya jauh lebih sensitif, setiap gerakan dan aroma seseorang akan dikenali dengan mudah. Orang yang berjalan ke arahnya dengan perlahan ini bukan Adi. Dhea yang melihat lelaki itu tampak bingung hanya bisa menahan napas dan perasaannya, tetapi tetap saja air mata lolos ke pipinya, pertahannya juga jebol, Isak tangisnya tidak bisa dia tahan lagi. Mendnegar isakan itu membuat Bram terkejut, mata lelaki itu melebar terbelalak. Otaknya memutar, memindai suara isakan kecil itu, tanpa berpikir lama dia sudah bisa mengenali suara itu. "Dhea ...," panggil lelaki itu lirih. Mendnegar panggilan itu, jebol sudah pertahan Dhea, wanita itu menangis histeris melihat keadaan suaminya seperti ini. Bram y
Jangan takut, Bu Dhea ada lembur malam ini, mungkin akan pulang sedikit malam, karena ada pekerjaan penting yang tidak bisa ditunda. Jadi, mari kita makan dulu, ini juga ada kopi gingseng yang dipesan dari cafe, sangat cocok untuk bapak-bapak yang berkerja sebagai pengawal biar tidak ngantuk," bujuk Anita. Secara diam-diam Anita mengirim pesan kalau para pengawal sudah berada di meja kopi dekat pantai, Dhea bisa bebas menyelinap. Dengan sedikit berlari, Dhea menuju lift, untuk lift belum penuh karena baru setengah jam lagi waktunya pulang kerja.. Sampai parkiran, Dhea menekan kunci mobil untuk menemukan di mana mobil Anita. Dengan cepat Dhea memasuki mobil Anita, dia mengamati pintu keluar dari tempat parkir. Setelah jam empat sore, bnyak orang yang sudah keluar dari kantor sehingga mencari keberadaan Adi sedikit banyaknya ada gangguan. "Ah, itu dia? kenapa dia berjalan dengan terburu-buru?!" seru Dhea bicara sendiri. Dhea segera menghidupkan mesin, melihat Adi memasuki mobil
Anita langsung menjalankan perintah Dhea. Dia sudah bersiap menuju ruang staf dan disambut oleh seseorang yang memperhatikannya. Dia adalah seorang lelaki yang selama dua hari ini selalu mengajaknya bicara dan selalu mencari kesempatan untuk bertemu. "Dek Anita? Kenapa ke sini?" "Eh, Mas Heru. Apa ini lantai ruangan pak Malik, ya? maklum saya baru di sini jadi belum hapal semua ruangan." "Oh, bukan. Ini lantai ruangan direktur utama, lantai ruangan pak Malik ada di lantai tiga. Pak Malik direktur pemasaran, kan?" "Iya. Maaf kalau begitu, saya akan mencari ke lantai tiga." "Ini sudah masuk jam makan siang, kenapa tidak makan siang dulu? bagimana kalau kita ke kantin dulu, makanan di kantin juga enak-enak, kok." "Oh, baik kalau begitu." Memang itu yang dimau Anita. Dia tidak mungkin mengawasi Adi sendirian, dia harus memanfaatkan sumberdaya, apalagi dilihat dari gelagatnya Heru purwanto, staf ahli direktur utama ini tertarik padanya dari pandangan pertama. "Dek Anita ken
Pekerjaan Dhea sangat terbantu dengan keberadaan Anita di sampingnya. Adi yang baru datang dari Palembang juga hanya sesekali menemui Dhea untuk melihat dan membimbing pekerjaannya. Setiap ada kesempatan Dhea langsung melakukan video call dengan Naima. Sepertinya Bram juga meminta Ibrahim untuk mengirim Bik Siti dan Mang Khaidir membantu Naima mengasuh Angga membuat Dhea sedikit lega. Ini sudah hari ketiga suaminya ke luar kota, Bram hanya menghubunginya ketika malam tiba, alasannya karena kesibukan jadi tidak sempat untuk menghubungi. Dhea sebenarnya juga melakukan video call, tetapi Bram selalu menolak, dia bilang sedang bersama rekan kerja dari luar kota sehingga tidak enak jika melakukan panggilan video. Awalnya Dhea percaya saja, hingga di hari ketiga dia tidak sengaja melihat Fikri yang buru-buru keluar dari kantor dan memasuki mobil kijang Innova pada jam kantor, mobil yang tidak pernah dikendarainya sehingga tidak membuat siapapun akan menduga kalau itu adalah Fikri, tanga
Di vidio terlihat Angga yang sedang tertidur dipangkuan Naima, sementara Azka tidur di bangku belakang. "Dia sudah tidur?" ujar Dhea sambil tersenyum mengamati putranya yang tertidur dengan lelap. "Iya, Bu. Baby Angga pinter banget, diperjalanan dia langsung tertidur. Ibu jangan kuatir, baby Angga akan saya rawat dengan baik. Ibu fokus dengan pekerjaan ibu, kalau di perusahaan sudah stabil, baru saya bawa kembali baby Angga ke jakarta, Bu. Kalau ibu kangen ibu bisa video call, ibu juga bisa berkunjung ke Palembang." Suster Naima tidak tega melihat Dhea yang sudah meleleh air matanya, bagaimana bisa tahan dipisahkan dengan anaknya yang masih bayi, apalagi Angga juga masih menyusui. "Baiklah, jaga baik-baik anak saya ya, Suster. Saya akan memerah ASI saya di sini, dan saya akan membayar orang untuk mengantar ke Palembang. Saya tidak ingin anak saya tidak diberi ASI saya, walaupun kini saya jauh, saya tidak bisa membiarkan dia tidak mendapatkan kasih sayang ibunya." Dhea mengak
Dhea datang membawa segelas jus mangga yang masih penuh, belum diminum sama sekali, rencananya setelah dia duduk baru dia akan menikmati jus tersebut. "Minuman ini belum kamu minum kan, Sayang?" tanya Bram. "Belum." "Ayo, kita pulang!" "Ha? kok cepat nian, aku belum makan, belum minum." Dhea terkejut mendengar ajakan suaminya yang tampak terburu-buru, melihat jus mangga yang baru saja dia bawa membuatnya sangat sayang jika tidak diminum. "Jangan meminum jus itu, kita beli di luar saja!" Tanpa menghiraukan tatapan protes istrinya, Bram langsung mengamit tangan istrinya dan beranjak untuk pergi dari lokasi pesta. Dia tidak lupa berpamitan pada semua orang, terutama direksi yang menjadi panitia penyelenggara. "Saya pamit dulu, putra saya sedang kurang sehat dan terpaksa kami tinggal. Istri saya juga harus menyusuinya." Semua orang mengangguk dengan maklum keputusan Bram yang pergi terlebih dahulu meninggalkan lokasi pesta, semntara mendengar alasan suaminya Dhea juga m