Part 142Dhea tercenung ketika dalam perjalanan ke Batam. Kapal yacht milik pribadi keluarga Fathan menjadi tumpangan mereka ke pulau Batam, ketika menggunakan kapal feri jarak tempuh sekitar dua jam lebih, dengan yacht bisa ditempuh kurang lebih sejam setengah. Semilir angin laut menggoyangkan jilbab pasmina nya, siang menjelang sore yang terik membuat matahari menyorot lebih tajam, untung saja Dhea sudah menyediakan kaca mata hitamnya.Duduk di geladak kapal sambil menikmati suasana membuatnya serasa mimpi, ini seperti pesiar mewah orang-orang kaya yang sering ditontonnya di sinetron televisi. Sudah dua orang hari ini yang ditemuinya mengatakan dia mirip seseorang bernama Kamelia Zahrain. Apakah memang seperti itu? Bahkan mereka yakin mengatakan jika kemiripannya mencapai sembilan puluh persen. Ini sungguh tak masuk akal, tetapi yah ... Mungkin ada keuntungan tersendiri bagi dirinya, jika tidak begitu, mana mungkin tuan muda Fathan ini mau memberi fasilitas kerjasama seperti saat
143 Setelah sampai rumah yang dikatakan Fathan, ternyata mobil Lamborghini lelaki itu sudah terparkir cantik di pinggir jalan. Sopir dengan pelan memarkirkan kendaraannya di dekat mobil Fathan tersebut. "Kita sudah sampai, Non." "Oh, di mana rumahnya?" Dhea celingukan melihat lingkungan sekitar, tidak banyak rumah yang dibangun di sana, tetapi perhatiannya teralih pada rumah yang paling dekat dengan parkiran mobil mereka. "Ini, Nona. Yang dekat dengan kita, yang bercat putih ini." Mata Dhea tetap mengedarkan ke segala arah ketika turun dari mobil, terutama pada rumah mungil yang berdiri cantik di hadapannya. Rumah dengan pagar papan bercat putih setinggi pinggang orang dewasa, di depannya ada lampu jalan dengan tempat lampu yang berukir cantik, ada nomor rumah menunjukkan angka 20 dan ada tulisan dari ukiran logam bertuliskan "Welcome to Lia's residence" Lia's residence? Kediaman Lia? Apa ini rumah Kamelia dulu? Pantasan Fathan begitu ingin Dhea tinggal di sini. Tentu lelaki itu
Part 144"Wah ... Ternyata ada pantai di belakang rumah ini! Pantai yang tidak jauh dari sini!" pekik wanita itu dengan senang. Suara ombak yang memecah suasana begitu terasa sangat menggoda, apalagi pasir putihnya. Pantai , tidak terlalu jauh, mungkin hanya berjarak tiga ratus meter dari rumah ini.Melihat itu, Dhea langsung bergegas turun ke lantai bawah, dia mencari pintu belakang. Setelah menemukan pintu belakang, dia sangat takjub dengan pemandangan di sini. Halaman belakang cukup luas, ada tiang jemuran di sisi kiri dan bangku panjang dengan sebuah meja berada di sisi kanan. Dari sini terlihat dengan jelas pemandangan air laut yang membiru itu."Ah, ini sangat indah!" "Apa kamu suka?" tanya Fathan yang mengikuti Dhea sampai halaman belakang."Iya, aku sangat suka. Sepertinya aku bakalan betah tinggal di sini.""Baiklah, sekarang kau mandi, bersihkan diri nanti kita makan malam bersama.""Ah iya, aku harus menghangatkan SOP kerang yang kubawa tadi."Dhea berlari masuk ke dalam
Part 145 Pak Ibrahim juga langsung menyambut uluran tangan Adi dan Ilham, namun ketika Dhea akan menyalaminya juga, mendadak tangan lelaki itu berhenti untuk mengulur, tampak sekali wajah Pak walikota itu terkejut bukan kepalang. "Eh, ini?" tanya pak Ibrahim dengan tatapan terkejut. "Ini Bu Dhea, Ayah! Istrinya Pak Bramantyo dari Jakarta. Pemborong proyek pembangunan pabrik elektronik kita," ujar Fathan memperkenalkan. "Fathan ... Kamu tahu, kan?" tatapan mata pak Ibrahim yang mengintimidasi Fathan menyiratkan sesuatu, tentu saja Fathan tahu maksud ucapan ayahnya. "Iya, akupun terkejut, aku baru kemarin ketemu dengannya di balai kota tanjung pinang," ujar Fathan berbisik pada ayahnya. "Oh ... Perkenalkan, saya Ibrahim kemal Zahrain, orang tuanya Fathan." "Saya sudah tahu, anda wali kota di kota yang indah ini," jawab Dhea menyambut uluran tangan lelaki paruh baya itu. Jabatan hangat lelaki itu tampak begitu lain, tangan lelaki itu terasa bergetar. Tatapan mata Ibrahim berulang
Part 146 Hari ini membuat Dhea cukup lelah, tim yang dikirim perusahaan sudah datang kemarin, semua bekerja dengan teliti, sementara Dhea yang tidak paham dengan kerjaan proyek hanya bisa mengawasi. Sementara Adi sendiri sudah disuruh pulang oleh Bram, ini hari ketiga Dhea berada di kota ini. Suasana kota yang terasa begitu akrab ini membuat Dhea semakin betah disini, apalagi jika sore menjelang, dia akan meminta Bik Siti menemaninya jalan-jalan ke pantai yang hanya ditempuh sekitar sepuluh menit dari rumahnya. Dhea sudah satu kali diundang makan oleh keluarga Zahrain di kediamannya. Makan malam di hari keduanya tinggal di kota ini. Saat itu, Pak Ibrahim sendiri yang secara khusus mengundangnya, dia datang ke rumah kediaman keluarga Zahrain dijemput oleh Fathan. Ketika sampai di rumah besar itu, Dhea cukup kagum dengan bangunan tersebut. Rumah ini tidak seperti rumah keluarga Aditama keluarganya Bram, apalagi rumah kakeknya. Rumah keluarga Zahrain sangat artistik, pak Ibrahim mem
Part 147 "Eh anu ... Itu ...," Dhea bingung mau bicara apa.Kegugupan dan kebingungan bergabung menjadi satu, entah apa yang akan dia jawab, padahal waktu dilamar Bram saat itu tidak segugup ini. "Bagaimana?" kejar Ibrahim. Dhea menatap Ibrahim dan Fathan bolak-balik, Fathan sendiri hanya mengangguk dan tersenyum meyakinkan wanita itu, sementara Dhea hanya bisa mendesah lirih. "Kamu dan Fathan juga sudah begitu cocok menjadi kakak beradik, Fathan ini kakak yang baik, dia pasti bisa menjagamu." "Eh, anu ... Ini bukan masalah yang mudah bagi saya, hal seperti ini baru saya alami. Hal ini harus dipikirkan terlebih dahulu." Dhea tentu harus mempertimbangkan semua hal, apalagi melihat reaksi Sovia yang tidak bersahabat, tentu dia tidak ingin membuat ada orang yang kembali tidak menyukainya. "Kamu tidak perlu banyak berpikir, terima saja. Lagi pula mas Ibrahim ini tulus mengangkat kamu jadi anaknya." Dhea terkejut mendengar perkataan Sovia yang tiba-tiba, apa maksud orang ini mengat
Part 148Ketika Dhea sampai di kediaman Lia, jam sudah menunjukan pukul empat lewat tiga puluh menit, matahari sudah condong ke barat, Dhea paling suka melihat sunset dari balkon kamarnya. Setalah mandi dan memakai pakaian santai, Dhea turun ke bawah untuk membawa camilan dibawa ke balkon, saat itu bik siti sudah siap-siap membawa tas pakaian."Mau ke mana, Bik?""Oh, anu Non. Ini kan akhir pekan, biasanya kalau akhir pekan bibik pulang ke pulau Galang menjenguk anak dan orang tua di sana.""Suami bibik ke mana?" "Oh, suami saya itu, Bang Khaidir. Kami mau pulang bersama, tadi sudah ijin sama tuan Fathan, sekarang saya mau ijin sama Non Dhea.""Oh? Pak Khaidir itu suami Bik Siti? Kok kalian tidak tinggal bersama?" tanya Dhea dengan kaget."Tinggal bersama, Non. Non Dhea tahu rumah kayu di halaman belakang rumah ini? Kami tinggal di sana selama ini.""Oh? Bukankah Bik Siti tidur di kamar atas juga?""Ya nggak mungkinlah, Non. Kamar itu kadang-kadang di huni oleh tuan Fathan."Huh, Dhe
Part 149 Ketika Dhea membuka pintu, seseorang dengan tinggi menjulang sudah berdiri di depan pintu. Orang itu memakai jaket kulit hitam dilengkapi topi hitam. Posisinya yang menunduk membuat dhea tidak dapat melihat wajah orang yang dipastikan berjenis kelamin pria. Dhea memiringkan wajahnya untuk menelisik siapa manusia yang berjarak sekitar lima meter di hadapannya ini. Tiba-tiba insting waspada menghantui perasaannya. Bagaimana tidak, pengalaman buruk yang belum lama terjadi padanya membuatnya selalu mencurugai setiap situasi dan setiap orang yang tidak dia kenal. “Siapa anda?” ujar Dhea dengan suara bergetar. Bukannya menjawab pertanyaan Dhea, lelaki itu malah bergeming, wajahnya masih menunduk dengan kedua tangan masuk ke dalam saku jaketnya. “Siapa anda? Mau apa anda ke sini!” Kini Dhea mulai bereaksi keras tatkala lelaki itu tidak meresponnya sama sekali. Kini Dhea mulai kesal, dia bermaksud menutup kembali pintunya dan mengabaikan seseorang yang mungkin memiliki niat yan
Menjelang waktu yang direncanakan, para anggota organisasi Gir sudah berdatangan ke Indonesia memakai paspor turis, dengan penerbangan berbeda. mereka sudah memesan hotel yang sama dengan rekomendasi Adi melalui online. Sampai pukul satu delapan malam, semua sudah berdatangan. Adi sendiri menyewa aula diskotik untuk party umum yang pesertanya hanya diundang tamu-tamu hotel yang memiliki tiket masuk, dan mereka yang masuk hanya anggota Gir. Sehingga party ini tidak dicurigai sebagai pertemuan rahasia yang berpotensi membahayakan keamanan, karena party diadakan secara natural untuk menyambut turis asing. Adi tersenyum lega melihat orang-orang yang dulu menjadi rekan kerjanya, mereka berpelukan seperti layaknya teman sudah lama tidak bertemu. "Kami datang semua untuk mendukungmu, Di," ujar Michael dengan bahasa Inggris. Michael kini menjadi ketua organisasi, mantan tentara Amerika itu masih aktif di organisasi tersebut. "Aku juga membawa semua anggota baru, perkenalkan ...." Mich
Bram menghela napas berat, dibelainya rambut istrinya yang kusut karena lama hanya melakukan aktifitas berbaring. "Sayang, Abang akan secepatnya datang menjemputmu. Sekarang masih belum bisa, Abang hanya menjengukmu, kuatir dengan keadaanmu. Apa kamu baik-baik saja?" tanya Bram dengan hati-hati. Dhea hanya diam menatap wajah suaminya dengan kecewa, matanya bahkan sudah berkaca-kaca. Apanya yang baik-baik saja? situasinya bahkan lebih kejam dari ketika dia dipenjara dulu. Rasa kangennya yang tidak tertahan pada putranya membuatnya sulit memejamkan matanya setiap malam. Perasaan ditinggalkan oleh suaminya mengikis rasa kepercayaannya sedikit demi sedikit, sudah seminggu lebih, tetapi apakah Bram tidak bisa mengatasi masalah di perusahan? apakah pria di depannya ini sengaja memilih kekuasaan dan hartanya daripada dia? Dhea menggeleng pelan untuk menghilangkan prasangkanya. "Percayalah pada Abang, doakan Abang agar cepat membawa Dhea dari tempat ini. Abang sangat merindukan Dhea, b
Dhea hanya bisa berbaring di tempat tidur yang cukup besar dan mewah, kasurnya empuk, kamarnya luas dengan kamar mandi yang juga cukup mewah. Tidak kalah dengan kondisi di rumah Bram dulu. Dia hanya bisa berbaring dan tidak banyak melakukan aktifitas sepanjang hari untuk menghemat tenaga. Dua butir telur rebus dan setengah liter air mineral yang dijatah kepadanya sekarang sungguh benar-benar tidak akan cukup untuk melakukan aktivitas yang lebih dari itu. Apalagi awal-awal dia hanya mengkonsumsi tiga butir telur, rasanya hampir tiga malam dia tidak bisa tidur karena kelaparan. Semakin ke sini, tubuhnya sudah terbiasa, tetapi dia juga harus menghemat energi. Sedang hari ini, dia hanya menerima jatah dua butir telur. Ini baru hari ke tujuh, tetapi rasanya sudah sangat menyiksa. Lebih tersiksa dari kondisinya di penjara dulu, padahal dulu dia sama sekali menempati kamar yang tidak layak sama sekali. Dulu dalam satu ruangan hanya ada satu buah kasur singel, yang dihuni oleh enam orang
Niko dengan serius memantau dua komputer sekaligus, rute pelacak yang ada pada Bram, serta navigasi robot kecilnya yang terus terbang di udara. Dalam dua puluh menit, robot itu sudah menyusul mobil yang membawa Bram ke arah barat daerah Banten."Cepat sekali dia menyusul," ujar Fikri i yang juga ikut memantau gerakan robot itu."Dia terbang, bukan jalan. dalam waktu satu menit sudah mencapai belasan kilometer," ujar Adi mengkomentari omongan Fikri, sementara Niko tetap serius menggerakkan kursor mouse untuk mengendalikan robot kecilnya."Kita keluarkan cengkeraman pada robot itu agar menempel di mobil itu, untuk menghemat baterai," ujar Niko."Emang cengkeramannya sekuat apa? tidak takut diterbangkan angin?" tanya Fikri yang antusias seperti mendapat mainan baru "Dia ditempatkan di belakang mobil agar bisa terlindungi angin. Cengkeramannya tidak kuat, hanya dilapisi lem seperti lem alteco.""Loh, kalau tidak bisa lepas bagaimana?" tanya Adi yang mengernyit heran, pasalnya lem itu ter
"Kau terlalu banyak mengeluh, harusnya kondisi istrimu bisa menjadi motivasi untukmu. Atau kuhadirkan juga anakmu yang masih bayi?" ancam Abimanyu. "Aku tidak akan tergerak kalau belum melihat secara langsung bagaimana kondisi istriku, juga tidak akan termotivasi kalau belum berbincang dengannya," ujar Bram dengan keras kepala. "aish! baiklah!" dengus Abimanyu akhirnya mengalah. "Sakti, Ijal ... Bawa dia bertemu istrinya, biar dia puas melihat keadaan istrinya. Ketika pergi ke sana pastikan tangan dan kakinya terikat biar tidak kabur, matanya juga ditutup biar tidak tahu kondisi jalan!" perintah Abimanyu yang tidak sabar mendengar rengekan Bram. Setelah mengatakan itu, Abimanyu kembali lagi ke ruang pribadinya, sementara Bram tersenyum. Ternyata hanya sebatas ini kemampuan Abimanyu dalam mendengarkan keluhannya, dia hanya mengikuti saja pengaturan lelaki itu ketika para pengawal itu langsung meraih tangannya untuk memasang borgol dan menutup matanya dengan kain hitam. Para pengawa
"Sakti?!" ujar Abimanyu yang melihat siapa yang mengetuk ruang pribadinya ini. "Selamat sore, Pak?" sapa Sakti yang melihat Abimanyu tengah bersantai duduk di sofa sambil bermain game di ponselnya. "Ada apa?" tanya lelaki itu masih fokus dengan ponselnya. "Pak Bram memaksa untuk bertemu dengan anda, Pak." Mendengar perkataan Sakti, Abimanyu berhenti menggerakkan jemarinya di atas layar ponsel, spontan lelaki itu menatap Sakti dengan tatapan garang. "Bukankah sudah kukatakan? kalau dia tidak boleh menemui ku kalau tugasnya dalam menstabilkan harga saham sudah berhasil, ini apa? belum ada kemajuan apa-apa," ujar Abimanyu dengan marah. "Justru itu yang akan dikatakan dan didiskusikan oleh pak Bram kepada anda, Pak." "Tidak ada negosiasi apalagi diskusi. Usir dia dari sini. Kenapa kau bawa dia ke sini tanpa bilang padaku dulu, Ha? kamu ini terlalu lancang, Sakti!" Abimanyu bertambah marah mendengarnya. "Situasi di perusahaan terlalu rumit, Pak. Bapak tidak bisa membuat hal
Pulang kerja, seperti hari kemarin Bram dikawal oleh beberapa orang dan disupiri oleh supir baru yang juga tidak Bram kenal. Apalagi selama beberapa hari ini mereka juga tidak berinteraksi, Bram juga malas untuk bertegur sapa dengan mereka. "Antarkan saya ke tempat Abimanyu!" perintah Bram. "Bukankah Pak Abimanyu mengatakan dengan jelas, Pak Bram boleh menemuinya jika pekerjaan pak Bram selesai. Ini belum ada apa-apanya jadi pak Bram tidak berhak bertemu pak Abimanyu," ujar supir itu dengan tegas. "Kamu itu hanya sekedar supir, jadi tidak perlu mendikte saya. Saya tidak akan menyelesaikan tugas dari Abimanyu. Terserah dia sekarang, saya juga sudah buntu! saya mana bisa bekerja sendiri, saya akan bilang sama dia untuk memberi saya tim." "Ingat, Pak. Bapak harus keluarkan semua potensi dan usaha. Karena taruhannya nyawa istri dan anak bapak." "Keluarkan potensi dan usaha apa? sementara saya tidak boleh menghubungi siapapun. Memangnya saya bisa menyulap dengan sendiri nilai sah
Mang Giman selalu membersihkan ruangan Bram pukul tujuh pagi sebelum semua karyawan datang ke kantor. Dia membersihkan ruangan Bram seperti biasa dan tidak mencurigakan, ketika dia sedang mengelap-elap meja dan merapikan dokumen diatas meja, dia segera meletakkan surat ber amplop putih itu di atas meja dekat kotak tissue. Lelaki itu menahan napas ketika melakukan itu semua, segera dia cepat-cepat keluar dan masuk toilet, di sana dia menghela napas sekuat-kuatnya, sangat ketakutan karena dia merasa gerak-geriknya dipantau dari jarak jauh oleh orang yang tidak diketahui siapa. Sungguh misterius dan menakutkan untuk orang awam seperti dia. Jam menunjukan pukul delapan pagi, semua karyawan sudah berdatangan dan sudah masuk ke ruangan kerja masing-masing. Bram sendiri datang sekitar jam setengah sembilan pagi. Ketika masuk ruangan, dia terus berkutat pada dokumen, sungguh tidak ada pegawai atau orang suruhan yang kompeten yang dia percaya sekarang. "Pak Bram, ini sudah seminggu, tetapi
Sudah tiga hari Bram bekerja mengurus perusahannya, tetapi tidak ada perubahan sama sekali pada peningkatan nilai saham. Abimanyu sendiri mengatakan jika semua pegawai dan kolega Bram sudah dimutasi bahkan sudah dipecat dari perusahaan. Bram sendiri yang terpaksa menandatangani surat pemecatan mereka, pasalnya Abimanyu mengancam tidak akan memberikan makanan apapun pada Dhea jika dia tidak mengikuti semua perintah lelaki itu. Bram memang masuk ke kantor tetapi tetap saja rasanya seperti dipenjara. Dia tidak bisa mengontak siapapun dan meminta bantuan siapapun. Semua pekerja yang ada di kantor ini diduduki oleh orang-orang baru atau orang lama memang sudah bersekongkol dengan Abimanyu. Bram duduk dengan frustasi dengan semua kondisi ini, bahkan Adi orang kanannya sekarang tidak tahu di mana. Abimanyu memberi batas sampai tiga Minggu untuk menstabilkan nilai saham dan melakukan peralihan pemilik perusahaan dalam waktu tiga bulan. Abimanyu juga tidak bisa terburu-buru agar apa yang t