Part 148Ketika Dhea sampai di kediaman Lia, jam sudah menunjukan pukul empat lewat tiga puluh menit, matahari sudah condong ke barat, Dhea paling suka melihat sunset dari balkon kamarnya. Setalah mandi dan memakai pakaian santai, Dhea turun ke bawah untuk membawa camilan dibawa ke balkon, saat itu bik siti sudah siap-siap membawa tas pakaian."Mau ke mana, Bik?""Oh, anu Non. Ini kan akhir pekan, biasanya kalau akhir pekan bibik pulang ke pulau Galang menjenguk anak dan orang tua di sana.""Suami bibik ke mana?" "Oh, suami saya itu, Bang Khaidir. Kami mau pulang bersama, tadi sudah ijin sama tuan Fathan, sekarang saya mau ijin sama Non Dhea.""Oh? Pak Khaidir itu suami Bik Siti? Kok kalian tidak tinggal bersama?" tanya Dhea dengan kaget."Tinggal bersama, Non. Non Dhea tahu rumah kayu di halaman belakang rumah ini? Kami tinggal di sana selama ini.""Oh? Bukankah Bik Siti tidur di kamar atas juga?""Ya nggak mungkinlah, Non. Kamar itu kadang-kadang di huni oleh tuan Fathan."Huh, Dhe
Part 149 Ketika Dhea membuka pintu, seseorang dengan tinggi menjulang sudah berdiri di depan pintu. Orang itu memakai jaket kulit hitam dilengkapi topi hitam. Posisinya yang menunduk membuat dhea tidak dapat melihat wajah orang yang dipastikan berjenis kelamin pria. Dhea memiringkan wajahnya untuk menelisik siapa manusia yang berjarak sekitar lima meter di hadapannya ini. Tiba-tiba insting waspada menghantui perasaannya. Bagaimana tidak, pengalaman buruk yang belum lama terjadi padanya membuatnya selalu mencurugai setiap situasi dan setiap orang yang tidak dia kenal. “Siapa anda?” ujar Dhea dengan suara bergetar. Bukannya menjawab pertanyaan Dhea, lelaki itu malah bergeming, wajahnya masih menunduk dengan kedua tangan masuk ke dalam saku jaketnya. “Siapa anda? Mau apa anda ke sini!” Kini Dhea mulai bereaksi keras tatkala lelaki itu tidak meresponnya sama sekali. Kini Dhea mulai kesal, dia bermaksud menutup kembali pintunya dan mengabaikan seseorang yang mungkin memiliki niat yan
Part 150"Abang! Kenapa malah Abang tarik?""Hush, kenapa, kenapa? dari tadi brisik banget! gak tahu apa aku sudah kangen banget?"Dhea terperangah menatap wajah suaminya yang ada di bawahnya. Lelaki ini, memanglah ..."Abang berbaring seperti ini nanti lukanya sakit," bisik wanita itu."Luka itu tidak terlalu menyakitkan. Masih menyakitkan jauh dari kamu selama tiga hari ini."Bram sangat menyukai situasi seperti ini, terutama senyum istrinya yang mengembang setelah mendengar perkataannya, mata bulat wanita itu sangat jernih berbinar dengan perasaan penuh."Dasar gombal," tepis Dhea sambil mencubit pinggang istrinya."Kalau gombal mana mungkin aku bela-belain jauh-jauh datang ke sini.""Iya deh, percaya ..."Bram yang dari tadi sudah menahan hasratnya, tak lagi menunda untuk meraih wajah istrinya dan melumat bibir istrinya dengan lembut. Awalnya lembut, tetapi lama-lama ciuman itu menuntut dan intens hingga Dhea kehabisan napas baru dilepaskan.Suara lonceng kembali menggema dari ara
Part 151"Abang, Abang begitu hapal tempat ini."Dhea mendekati suaminya yang masih berdiri memegang pagar balkon, wanita itu terkejut tatkala melihat wajah suaminya sudah basah oleh air mata."Abang? Kenapa Abang menangis? Apa ada sesuatu?""Ah, tidak! Abang hanya teringat sesuatu. Ayo, kita salat dulu," jawab Bram sambil menyusut air matanya dengan ibu jarinya."Ayo kita salat magrib dulu. Waktu salat sangat mepet," ujar lelaki itu sambil mendekati Dhea "Ayo, kita ke kamarku. Kamarku ada di sebelah sana."Bram tidak menjawab ucapan istrinya, dia hanya mengikuti dari belakang. Namun langkah lelaki itu begitu berhati-hati, seolah-olah tengah memikirkan sesuatu."Masuk, Bang. Di sana kamar mandinya, Abang bisa mengambil wudhu di sana. Aku akan mengambil wudhu di kamar sebelah saja.""Oh, ternyata seperti ini suasana di dalam kamar ini? Masih bernuansa pink," gumam Bram, mata lelaki itu menelisik ke semua ruangan."Apa?" tanya Dhea yang tidak jelas mendengar perkataan suaminya."Ah, ti
Part 152"Iya, Abang kenal kan sama pak Ibrahim?""Kenal, kalau menurut pandangan Abang, Pak Ibrahim itu orang yang sangat teliti. Dia pasti tidak mudah percaya sama orang, baru ketemu denganmu kok sudah menganggapnya sebagai anak?""Yah, mungkin dia orang yang begitu. Tapi sepertinya ada alasannya, dan alasannya itu putrinya yang sudah meninggal.""Apa maksudmu?""Sejak pertama ketemu sama Fathan, lelaki itu memperhatikan diriku dengan seksama, aku risih kan? Tetapi ketika dia bilang aku sangat mirip dengan adiknya yang sudah meninggal dunia, aku jadi luluh. Maaf aku tidak memberi tahu Abang dulu kalau keluarga mereka sudah mengangkat ku jadi anak. Seharusnya sebelum mengambil keputusan itu aku ijin dulu sama Abang, cuma ya, saat itu aku terdesak, jadi ya mengiyakan saja. Apalagi pak Ibrahim begitu sedih ketika bertemu denganku, aku gak tega melihatnya.""Ya, itu terserah dengan keputusanmu, Sayang. Yang membuatku penasaran, apa benar yang mereka katakan, jika kamu itu mirip putri me
Part 153Tin ... Tin ...Kedua suami istri ini terkejut mana kala sebuah mobil menepi dan membunyikan klakson. Kaca jendela mobil terbuka menampilkan seorang lelaki tampan di balik kemudi."Hei, Pak Bram? Anda mau ke mana?""Pak Fathan? Anda sendiri mau ke mana?""Saya sebenarnya mau berkunjung ke kediaman Dek Dhea, tapi sepertinya kalian akan pergi, ya?""Iya, kami akan ke lantai, biasa ... Berburu kuliner," jawab Dhea dengan riang tanpa menyadari raut wajah suaminya sudah lain tatkala Fathan memanggil dek Dhea."Kalau begitu naik, akan saya antar ke tempat kuliner yang enak.""Oh ya? Ayo, Bang ... Kita numpang sama bang Fathan saja," ujar Dhea yang langsung mengamit dan menyeret tangan suaminya.Bram tak bisa mengelak walau rasa jengkel masih menggelayuti perasaannya apalagi ketiga Dhea memanggil Fathan dengan panggilan Abang. Dhea menempati tempat duduk di belakang, sementara Bram memilih duduk di sebelah Fathan, agar tidak terlihat tidak sopan jika dibelakang semua rasanya Fathan
Part 154"Itu sebenarnya bukan karena aku, dulu Kamelia sering berkunjung ke sini semasa hidupnya. Abang sudah beritahu, kan? Kalau Kamelia katanya mirip denganku. Lagian ada menu favorit Kamelia yang juga sangat aku sukai di sini. Walaupun baru sekali makan, aku juga sangat suka.""Apa?""Nama makanannya Sop kerang.""Sop Kerang?!""Iya, Abang tahu makanan itu?"Bram bukannya menjawab pertanyaan Dhea, lelaki itu malah tersenyum tidak jelas, ketika Dhea mau protes, Fathan datang membawa tiga gelas teh tarik yang dibawanya dengan baki."Eh, juragan sudah alih profesi jadi pelayan?" canda Dhea "Buat adik kecil apa yang nggak, sih?" Kedua insan itu tertawa dengan kelakar masing-masing, di belakang Fathan sudah berdiri dua orang pelayan yang membawakan makanan laut beraneka macam."Wuah,banyak sekali menu makanan di sini?" sambut Bram dengan tatapan mata lapar."Lah, mana makanan favorite ku?" protes Dhea setelah tidak melihat ada makanan yang kini menjadi favoritnya."Sabar, Pakcik se
Part 155Part 155Terus, jika Lia sudah meninggal, siapa Adelia? Tangan Bram mengepal dengan erat. Dia jadi tidak sabaran untuk menyelidiki hal yang sebenarnya terjadi. Setelah makan, dia akan membujuk Fathan mengantarkan mereka ke makam Kamelia.Setelah sarapan yang sudah cukup kesiangan itu, ternyata Dhea sudah berinisiatif pada Fathan untuk mengunjungi makam Kamelia, Bram sedikit lega karena dia tidak perlu mengatakannya. Bagaimanapun, dia sungguh ingin menjaga perasaan istrinya, seandainya memang Kamelia adalah Lia yang sebenarnya, dia harus cukup mengikhlaskan kepergiannya. Mungkin ini bentuk kasih sayang Allah, disaat gadis cinta pertamanya kembali ke sisi-Nya, Allah memberikan istri yang katanya wajahnya mirip wanita itu.Jika benar Lia mirip dengan Dhea, ah ... alangkah cantiknya gadis itu. Suaranya yang ceria dan penuh tawa, dipadukan dengan wajah cantik dengan mata bulat Dhea, tentu akan sangat membuatnya hangat dan bahagia. Bram kembali mengusap wajahnya, sudah berapa kali
Sebulan yang lalu ..... "Kakak yakin mau melakukan ini? kalau kita lakukan ini, Amel bisa celaka, Kak." "Kita tabrak dari depan, jadi kemungkinan kecelakaan untuk penumpang belakang tidaklah terlalu fatal." "Baiklah, ini hanya kita saja yang tahu, jika ada yang tahu selain kita berdua, tidak bisa dibayangkan berapa orang yang akan tersakiti." "Makanya kau rahasiakan!" Hari itu, dengan truk pengangkut pasir yang dia beli bekas, dengan kendaraan yang sarat muatan, Viyatan mengendarai mobil itu dengan kecepatan rendah, setelah mendapat telpon dari Fathan jika mobil target dia sedang mendekat, maka dia memacu kendaraan sarat muatan itu dengan kecepatan tinggi, akibatnya mobil oleng dan langsung menabrak mobil sedan di depannya. Viyatan langsung melompat dari dalam mobil, dengan modal kunci inggris di tangan, dia memecahkan kaca jendela mobil sedan itu, dan menghantamkan kunci inggris itu pada dua pria yang duduk di depan, dan menutup hidung pria di bangku belakang dengan saputa
"Acara apa memangnya?" "Lihat itu, dekorasi itu untuk apa?" "Seperti pelaminan ya, Bang?" "Ya, hari ini jam sepuluh kita akan menikah lagi." "Ha? Apa nggak apa-apa?" "Nggak, pernikahan kita dulu kurang sempurna, karena tidak diwali nikahkan ayahmu, padahal ayahmu masih hidup. lagipula aku menikahimu dengan identitas orang lain, sekarang aku akan mengucapkan ijab kabul dengan mengucapkan namamu sendiri." "Apa tidak apa-apa menikah ulang?" "Aku sudah bertanya di KUA, mereka bilang tidak apa-apa. Mereka akan menerbitkan buku nikah yang baru atas namamu yang asli." "Iya, karena ingatanku sudah kembali, aku juga ingin kembali menjadi diriku yang sesungguhnya, nama Dhea akan ku kembalikan pada pemilik aslinya." "Baiklah, jadi ... apakah aku bisa memanggil istriku dengan nama Lia?" "Maaf, Bang ... karena nama itu sudah pernah dipakai orang lain, aku jadi tidak mau lagi. Panggil nama kecilku seperti ayah dan saudaraku memanggil, yaitu Amel." "Baiklah, Amel. siapapun nama
Setelah sampai di rumah nenek, halaman rumah nenek yang luas sudah terpasang tenda dengan dekorasi yang sangat mewah, dengan dominasi warna biru laut, biru muda dan putih. Perpaduan warna-warna itu tampak begitu indah dan elegan, bahkan ada bunga-bunga segar sebagai dekorasi. "Ini, dekorasi acara peringatan kematian apa kawinan, sih? kok mewah banget begini?" tanya Dhea yang membuka jendela mobil dan menatap ke arah halaman rumah nenek. "Sebentar, aku keluar dulu. Kamu jangan keluar dulu." "Eh, kenapa?" Bram tidak menjawab pertanyaan istrinya, dia bergegas turun dan membuka pintu istrinya, dengan sigap lelaki itu langsung menggendong istrinya ala putri. "Eh, kenapa di bopong? itu Kruk aku ketinggalan di mobil," seru Dhea yang langsung mengalungkan kedua lengannya di leher suaminya takut terjatuh. "Selamat datang, Pak Bram, Bu Kamelia ...." Dhea menatap semua orang yang menyambut kedatangannya di gerbang masuk rumah. Mereka memakai seragam batik yang sama, seperti pelayan di
Setelah seminggu, Dhea dan Bram kembali dari ke tanah suci. Mereka segera kembali ke kediaman Bram, Dhea yang belum bisa berjalan, dengan kekuatan lengan Bram masih dibopong menuju ke kamarnya yang kini berada di lantai bawah. "Sayang, Istirahatlah. Besok kita akan kembali menerapi kakimu agar lebih kuat untuk berjalan. Sania akan bulan madu selama sepuluh hari lagi, nanti setelah dia pulang, kita jiga pulang ke Batam." "Iya, Bang. Aku harus semangat berlatih jalan." Hanya memikirkan Angga membuat Dhea semakin semangat berlatih jalan, seminggu kemudian dia sudah bisa memakai satu Kruk untuk berjalan, dia tidak mau lagi memakai kursi roda. "Dhea! Aku sudah pulang!" teriak Sania sambil berlari memeluk wanita yang tengah berdiri disangga Kruk. "Loh, kok sudah pulang? katanya sepuluh hari di sana? ini baru tujuh hari." "Iya, aku sudah kangen sama tanah air." "Ish, basi banget alasanmu." Sania malah tertawa lebar, kerudung warna hitamnya yang terpasang di kepalanya membuat
"Bang, aku kangen banget sama Angga, kapan aku akan bertemu dengannya?" keluh Dhea ketika malam tiba, dia benar-benar tidak bisa tidur memikirkan anaknya itu. "Sabar, Sayang. Keberadaan Abimanyu belum diketahui, lagian pendukungnya mafia Antonio juga melarikan diri ke Colombia." "Apa Abimanyu juga ikut melarikan diri ke sana?" "Belum bisa dipastikan. Orang-orang GIR akan menyelidikinya. Kamu sabar, ya? Sekalian sembuhkan dulu kaki dan bahumu, biar bisa menggendong Angga." "Ayah nanyain terus, kapan kita ke sana. Mereka akan menyiapkan pesta resepsi pernikahan kita." "Menunggu kepastian dari GIR, ya? kalau memang Abimanyu pergi ke Colombia, tentu situasi akan lebih aman. Kalau dia masih di sini, aku takut terjadi apa-apa pada kalian." "Iya, baik, Bang. Aku akan menuruti apa yang kamu katakan, tapi tolong pikirkan apa yang aku rasakan." "Setiap saat, yang dipikiran Abang hanya kebahagiaan dan keselamatan kamu dan anak kita, Sayang. Maaf, ya? Abang belum bisa memberi kebaha
Sudah sebulan berlalu, luka Dhea sudah mulai sembuh. Wanita itu sudah belajar berjalan satu dua langkah, hanya saja masih terasa sakit akibat patah tulang itu. Dia lebih banyak bergerak dengan kursi roda, jadwal terapi jalan dilakukan seminggu dua kali. Perusahaan juga sudah stabil, dua hari setelah tragedi penyerangan itu, Niko segera memulihkan saham perusahaan, Arjuna kini menjabat sebagai direktur utamanya dan Bram mengambil alih komisaris. Arjuna yang dulu sering menolak diberi wewenang puncak jabatan, kini terpaksa mengambil alih demi keluarga kakaknya yang memang butuh banyak perhatian. Bram juga ke kantor hanya dua kali seminggu, dia lebih banyak menghabiskan waktu untuk menemani istrinya berobat, Arjuna yang masih belajar hanya menghubunginya untuk berkonsultasi jika mengenai pekerjaan dan keputusan yang harus diambil. Kedua keluarga pamannya juga kini tidak meributkan kembali mengenai perusahaan, apalagi Siska sepupunya juga kini sibuk mengurus pernikahannya dengan seora
Tit .... tit ... tit .... Suara monitor terdengar teratur, sepasang mata tiba-tiba membuka, menatap lurus ke arah plafon. Bunyi monitor itu terdengar begitu mengganggu. "Masyaallah! kamu sudah bangun, Sayang?!" Suara itu mengagetkannya, dia menoleh dan mendapati seorang lelaki berpenampilan kuyu dengan sepasang mata yang memerah. di mana ini? "Alhamdulillah, kamu sudah sadar. Aku benar-benar cemas!" Perlahan-lahan kesadaran muncul pada diri wanita ini, bayangan terakhir sebelumnya. Dia berada di dalam mobil bersama lelaki brengsek Abimanyu. Perdebatan di dalam mobil itu membuat lelaki itu murka dan menodongkan pistol ke arahnya, namun belum sempat peluru itu dimuntahkan, mobil tiba-tiba terguncang hebat, seperti terbentur dengan kuat sehingga dia kehilangan keseimbangan dan terpental ke depan dengan kuat, kepalanya bahkan membentur dasbor mobil membuatnya tidak sadarkan diri. "Di mana ini?" akhirnya dengan susah payah dia mengeluarkan suara. "Kamu di rumah sakit, Sayang. Sud
"Niko, cepat kacak ke mana perginya mobil yang membawa Dhea!" perintah Bram melalui sambungan telepon. Untung saja Bram mengingat nomor plat mobil yang membawa Dhea tadi, jadi bisa sekalian meminta Niko untuk melacaknya. "Baik, Bos!" Niko yang selalu stanby di markas langsung melaksanakan perintah Bram. dalam beberapa menit dia sudah mengetahui nomor plat tersebut. "Bos, nomor plat mobil ini palsu. Ini nomor plat mobil keluaran tahun 1978, mobilnya bahkan sudah jadi rongsokan. Plat aslinya mungkin sudah dicopot." "Mobilnya BMW, apa tidak bisa dilacak?" "Iya, mobil keluaran 1978 ini juga BMW. bahkan nama pemiliknya sudah mati." Bram mendengus kesal, sungguh sial sekali nasibnya. Adi yang ada di sampingnya hanya bisa terdiam dan fokus menyetir, semntara Lingga yang duduk di kursi belakang sibuk menjaga Frans. Mobil yang dikendarai Adi dengan cepat sampai di rumah sakit terdekat, paramedis segera membawa blankar dan membawa tubuh Frans ke ruang gawat darurat, ketiga orang
"Sini, Kamu!" Dhea meringkuk ketakutan mana kala tiga orang lelaki mendatangi kamarnya dengan wajah beringas. Dengan kasar tangannya dicengkeram dan ditarik paksa, agar mengikuti langkah lelaki itu. "Mau ke mana?" tanya Dhea dengan suara keras yang dipaksakan. "Jangan banyak tanya!" Dhea hanya pasrah mengikuti langkah cepat lelaki itu, tubuhnya sedikit goyah karena kurang tenaga. Dulu dia mudah saja melawan lelaki seperti ini walaupun hanya sendirian. Tetapi efek tidak diberi makan cukup selama dua Minggu cukup melumpuhkan semua tenaganya, mana bisa dia melawan lagi. Lelaki yang mencekeram tangannya juga tidak peduli apakah dia kesusahan mengikuti langkahnya atau tidak, dia terus saja diseret walaupun kepayahan. Apalagi ketika menuruni tangga, tubuhnya hampir saja terjerembab ke bawah jika saja cengkeraman lelaki itu tidak kuat. "BERHENTI!!!" lelaki itu berteriak ketika sampai di bawah anak tangga. Dhea melebarkan matanya melihat pemandangan di lantai satu, bukan kar