part 156"Kita mau ke mana dulu?" tanya Fathan ketika mereka dalam perjalanan setelah mengunjungi makam Kamelia."Terserah Kak Fathan saja," ujar Dhea dengan lesu. Wanita dari tadi hanya memandang bukit pemakaman, walaupun tempat itu kini tidak terlihat lagi, tetapi pandangannya masih mengarah ke sana."Pak Bram? kita mau ke mana?""Terserah anda saja, Pak Fathan.""Eh? kalian suami istri kompak sekali. kenapa kalian jadi lesu seperti ini setalah dari pemakaman, apa kalian lapar? kita cari restoran dulu, ya?""Terserah saja," jawab Dhea dan Bram kompak tanpa disengaja.Menyadari semua itu, Bram dan Dhea saling berpandangan, keduanya akhirnya tersenyum simpul."Apa kau lapar, Sayang?""Tidak begitu, aku justru ngantuk.""Kita makan dulu, baru kita ke pantai, snorkeling, berenang ... sudah itu baru cari hotel buat menginap," ujar Bram.Sebenarnya kalau dituruti Bram juga tidak bergairah, dia sedang dilanda kesedihan yang hanya dia sendiri yang tahu rasanya. Tetapi bagaimanapun istriny
Part 157Semua orang sudah berkumpul di ruang keluarga, ternyata bukan hanya keluarga inti, tetapi para sepupu juga diundang ke sana. Bram yang datang terakhir berjalan mengambil tempat yang memang sudah disediakan oleh para pelayan di rumah ini. Arjuna yang datang duluan tersenyum sumringah melihat Dhea yang sudah lama tak terlihat."Dhea, duduk di sini," ujar Arjuna sambil menunjuk sofa yang masih kosong di sebelahnya. sebelum Dhea duduk di sebelah lelaki itu, Bram yang sangat tidak senang melihat kelakuan adiknya ini menyerobot duduk di sebelah Arjuna, membuat pemuda itu menampilkan raut cemberut kepadanya."Sayang, duduk di sini," ujar Bram sambil meraih tangan istrinya secara posesif."Dhea, bagaimana kabarmu? kenapa lama sekali di Batam?" tanya Arjuna."Disana langsung mengerjakan proyek, Kak. jadi cukup lama.""Aku dengar ada yang nggak sabar sampai menyusul ke sana," sindir Arjuna."Kamu kenapa? ya wajar lah namanya kangen sama istri sendiri," jawab Bram sambil menatap pemuda
Dhea menatap air mancur yang berada di halaman belakang rumah besar nenek Hartina. Sang Nenek sudah memintanya untuk tinggal di rumah ini selagi berada di Jakarta, sebenarnya Bram ingin tinggal di rumahnya sendiri, tetapi mengingat neneknya yang sudah tua, sakit-sakitan dan kesepian paska kematian kakeknya membuat Bram tidak tega meninggalkan nenek Hartina. "Ikan mas koi, dalam legenda China, ini menjadi ikan keberuntungan."Dhea yang sedang melamun terkejut mendengar suara yang ternyata begitu dekat di sampingnya. Mata wanita ini mengernyit mana kala melihat seseorang yang berada di kursi roda tengah serius memperhatikan ikan berwarna orange, hitam dan putih ini berenang ke sana kemari."Apa yang kamu pikirkan? Aku perhatikan dari tadi kamu melamun terus," ujar lelaki itu sambil menoleh kearah Dhea, senyum manis lelaki itu berikan pada wanita ini. "Emm, maaf ...." Dhea yang diperhatikan sedemikian dengan lelaki asing membuatnya sedikit gugup dan tidak nyaman."Aku Abimanyu. Biasa
Part 159 "Pendapat? Bukankah aku sudah bilang pada Abang jika dulu, aku pernah mengalami kecelakaan hebat yang merenggut nyawa ayahdan kedua adikku?" "Ya." "Bukan hanya adik dan ayahku saja yang terengut nyawanya, ingatanku juga terenggut." "Apa? Jadi kau amnesia?" "Iya." Bram cukup terkejut mendengar pengakuan istrinya, wajahnya bahkan sudah pias, tentu saja dia tahu apa yang tengah dipikirkannya, mungkinkah? "Kapan kamu mengalami kecelakaan itu, Sayang?" "Yah, sekitar delapan tahun yang lalu. Saat aku bangun dari koma, selama dua bulan komanya. aku hanya mendapati ibu yang duduk di sampingku sambil menanagis. Perawat di sana mengatakan jika ibu selama dua bulan ini hanya menangis dan terus menunggui di depan ruang ICU. ternyata, setelah aku pulih, kesedihan ibu tidak juga berkurang, sepertinya beliau sangat shock kehilangan dua anak lelaki dan juga suaminya. sekarang tinggal aku keluarganya." Bram hanya termangu mendengar penuturan istrinya, ada nada kesedihan di dalam perka
Part 160"Apa? Dhea pernah memainkan piano itu?" Asep sungguh bingung melihat raut wajah majikannya ini, bagaimana sebagai suami Pak Bram tidak tahu bakat terpendam istrinya ini.Dengan tidak sabaran Bram menerobos pagar yang baru saja dibuka oleh mang Asep, dengan terburu-buru lelaki memasuki rumah dan berlari ke arah kamar atas, kamar yang selama ini tidak sembarangan dimasuki orang selain dirinya.sampai depan pintu kamar, ruangan itu terbuka, terlihat masih mengenakan gaun tidur istrinya tengah duduk di depan piano, jari jemarinya dengan lincah bermain diatas tuts. Bram berjalan perlahan menghampiri wanita yang duduk membelakanginya. "Hmmm ... Hmmmm." Sesekali wanita itu bergumam mengikuti irama piano. Bram hanya terperangah, dadanya berdegup dengan kuat, tanpa dia sadari, lelaki itu memejamkan matanya, pikirannya sepenuhnya tertuju pada irama piano yang begitu akrab di telinganya.Druammm!!Suara di nada terakhir itu tampak sembarangan, Bram segera membuka matanya. Ketika mata
Part 161"Ibu, ada yang ingin Bram tanyakan, apa ibu tidak keberatan?" Bram sungguh tidak bisa menunda rasa penasaran yang sudah menumpuk di kelapanya."Apa? Kalau bisa jawab akan ibu jawab," ujar Paramitha dengan pelan "Apa benar Dhea itu anak kandung ibu?""Apa?!" Wajah Paramitha yang sudah pucat bertambah pucat pasi, wanita ini tidak menyangka pertanyaan menantunya seperti ini. "Ya, apa Dhea itu benar anak kandung Ibu?" ulang Bram dengan nada bicara yang lembut agar mertuanya tidak terkejut.Tetapi selembut apapun ucapan Bram, perkataan lelaki ini tetap membuat jantung Paramitha seperti dihantam palu. Wanita tua itu menatap Bram dengan mata membola, tiba-tiba perutnya melilit dan terasa sangat sakit, perempuan tua itu menahan kesakitan itu beberap detik hingga wajah pucatnya mengeluarkan butir keringat sebesar biji jagung."Ibu, Ibu kenapa?" Bram yang melihat itu menjadi sangat panik, kenapa tiba-tiba mertuanya ini meringis memegangi perutnya."Aduh, perut ibu sakit sekali," rint
Part 162Dhea sungguh tidak memahami hubungan Sania dan Lingga, mereka selalu tidak akur. Dhea sendiri tidak bisa memihak, pasalnya antara dia dan Lingga juga bisa dibilang berteman baik. Ketika dia diculik, dia juga memberi nomor telpon Lingga dan Bram kepada Alamsyah. ah, ingat dengan Alamsyah, syukurlah lelaki itu sudah Dhea tranfer uangnya, lelaki itu juga mengabarkan jika dia sudah kembali ke kampung halamannya dan berhasil mengambil alih tanah yang tergadai itu.Dhea dan Sania berjalan beriringan di lorong rumah sakit menuju ruangan ICU."Kalau melihat ibumu yang sakit begini, aku jadi ingat dengan ibuku," ujar Sania "Memangnya ibumu sakit apa? Abang tidak pernah mau menceritakan semua itu," tanya Dhea dengan nada prihatin."Ibu tiba-tiba pingsan, kata dokter tekanan darahnya tinggi sehingga pecah pembuluh darahnya. Dokter bilang itu karen ibu bnyak pikiran. Saat itu aku masih kecil, masih berumur sepuluh tahun, tapi Kak Bram sudah berumur delapan belas tahun, dia sudah tahu ap
Part 163 "Bu, ibu belum salat ashar. ini sudah jam lima lewat," bisik suster Halimah. Dhea yang masih memeluk tubuh ibunya dan menangis tersedu kini tersentak mendengar perkataan perawat ibunya itu. Suster Halimah tentu paham dengan kebiasaan Dhea yang selalu rajin melakukan kewajibannya kepada Tuhan itu, karena setiap menjenguk ibunya, wanita itu selalu tepat waktu menjalankan ibadah. "Biar Jenazah ibu saya yang menunggunya," ujar suster Halimah lagi. "Iya, Bik. Tolong hubungi lagi suami saya, kalau tidak, hubungi Om Muchtar. pakai saja ponsel saya, tidaj dikunci, kok." Dhea bergegas ke mushola. Ibadah kali ini benar-benar membuatnya sangat sedih, dia mengadukan semua kesedihannya pada sang pencipta, selama hidup dengan ibunya, hanya kenangan menyedihkan yang dia ingat. Ibunya tidak pernah memperhatikan dirinya seperti layaknya ibu normal lainnya, karena sebagian besar waktu Paramitha dihabiskan di pusat rehabilitasi. Dhea menyesalkan kepergian ibunya karena selama ini dia belum
"Menghubungi siapa Bram?" tanya Abimanyu setelah memonitor cctv sekarang Bram tengah mengotak-atik ponselnya. "Dia tidak senang chating dengan siapapun, Pak," ujar anak buahnya yang bertugas menyadap ponsel Bram. "Terus sedang apa dia sibuk mengetik di ponsel?" Abimanyu tidak percaya setelah melihat rekaman itu, seperti seseorang yang tengah berjalan chat. "Dia mungkin sedang memakai aplikasi lain, atau sedang searching di laman berita atau sedang menghitung dengan kalkulator." "Kok bisa, ya? coba perhatikan ponselnya! "Ponselnya masih merek dan seri yang sama, Pak." "Coba kau hubungi dia!" Lelaki itu langsung menekan nomor Bram, untung saja Bram sudah meletakkan ponselnya di laci meja, ketika mendengar ponselnya berdering, dia segera mengambil ponsel yang berada di sebelah ponsel barunya, melihat siapa yang menelpon, dia langsung menjawabnya. "Halo? ada apa?" ujar Bram dengan malas. "Bram, kau bekerja yang benar, malah sibuk main ponsel. bagaimna mau menyelesaikan t
"Pak Bram, silahkan ...," ujar pengawal yang membukakan pintu untuk Bram. "Mulai saat ini, kami berlima adalah pengawal anda sementara. Sampai misi selesai," ujar seseorang yang terlihat seperti pemimpin tadi. "Baiklah, terima kasih. Bagaimana saya akan memanggil kalian?" tanya Bram yang merasa tidak nyaman tidak mengenal mereka sama sekali. "Panggil saya sulung, dia tengah satu, tengah dua, tengah tiga, dan panggil yang ini bungsu." "Ha? apa tidak ada nama dan julukan yang lebih mudah diingat?" ujar Bram merasa tidak nyaman "Kalau begitu terserah pak Bram mau memanggil kami apa." "Bagaimana kalau saya memanggil anda kapten, dia letnan, dia kolonel, dia sersan dan dia kopral?" "Itu terserah anda," ujar mereka dengan senyuman dengan julukan itu. Bukan tanpa sebab, Bram tahu betul kalau mereka sebenarnya adalah mantan tentara yang kini sebagai tentara bayaran yang biasa disewa untuk berbagai keperluan. Tetapi mereka biasanya bekerja karena pihak berwajib tidak mampu men
Serangan ini membuat Sakti tidak siap, tetapi lelaki pemberani itu langsung turun dari mobil dan melakukan serangan jarak dekat, karena peluru di pistolnya sudah habis dia tembakkan. Dua lawan satu, Bram benar-benar kagum melihat pertempuran sengit itu. Memang tidak salah jika lelaki itu dijuluki Sakti, karena kepiawaiannya dalam bertarung, sungguh tangguh! dia dengan mudah bisa menumbangkan dua orang itu dengan jurus-jurus kungfu dengan kecepatan yang luar biasa. Tetapi dua orang itu juga petarung yang handal dan terlatih juga tidak gampang menyerah. Mereka juga memakai pakaian pelindung dan helm yang masih bertengger di kepala. Mereka bangkit lagi dan menyerang lagi, walaupun lagi-lagi mereka tumbang mendapat bogem mentah dari Sakti.DorTiba-tiba suara tembakan terdengar dan tubuh Sakti langsung limbung ke tanah."Kenapa buang-buang energi bertempur cara kuno seperti itu. Cepat kalian bereskan mereka, jangan ada yang terlihat sisa pertempuran di sini!" Seorang lelaki dengan mata
"Maaf pak Bram, anda tidak bisa menemui siapapun. Silahkan fokus bekerja agar istri anda cepat dibebaskan," ujar Sakti dengan tegas. "Mereka keluargaku, mereka juga pemegang saham dan juga orang tua Abimanyu!" Bram tidak bisa tidak mengajukan protes, dia sendiri tak habis pikir, apakah Abimanyu bekerja sendiri tidak melibatkan orang tuanya? secara saat Ajisaka masih hidup, ayah mereka begitu berambisi untuk menguasai perusahaan. "Mereka tidak ada hubungannya dengan pak Abi. jadi anda tidak perlu menggubrisnya." "Kau yakin?" Bram menatap Sakti dengan tatapan tidak percaya. "Hubungi Abimanyu. Jangan-jangan ini hanya akal-akalan kamu saja!" Sakti hanya bisa mengeluarkan ponsel dari sakunya dengan malas. Segera telepon tersambung dan laki-laki itu mengeraskan suaranya. "Halo, Pak Abi. Ini ada pak Sayuti dan pak Hanafi mencari pak Bram, apakah boleh mereka menemui pak Bram?" tanya Sakti to the point "Kau gila? apa kau ingin mereka bersekongkol melawanku?" ujar Abimanyu de
Menjelang waktu yang direncanakan, para anggota organisasi Gir sudah berdatangan ke Indonesia memakai paspor turis, dengan penerbangan berbeda. mereka sudah memesan hotel yang sama dengan rekomendasi Adi melalui online. Sampai pukul satu delapan malam, semua sudah berdatangan. Adi sendiri menyewa aula diskotik untuk party umum yang pesertanya hanya diundang tamu-tamu hotel yang memiliki tiket masuk, dan mereka yang masuk hanya anggota Gir. Sehingga party ini tidak dicurigai sebagai pertemuan rahasia yang berpotensi membahayakan keamanan, karena party diadakan secara natural untuk menyambut turis asing. Adi tersenyum lega melihat orang-orang yang dulu menjadi rekan kerjanya, mereka berpelukan seperti layaknya teman sudah lama tidak bertemu. "Kami datang semua untuk mendukungmu, Di," ujar Michael dengan bahasa Inggris. Michael kini menjadi ketua organisasi, mantan tentara Amerika itu masih aktif di organisasi tersebut. "Aku juga membawa semua anggota baru, perkenalkan ...." Mich
Bram menghela napas berat, dibelainya rambut istrinya yang kusut karena lama hanya melakukan aktifitas berbaring. "Sayang, Abang akan secepatnya datang menjemputmu. Sekarang masih belum bisa, Abang hanya menjengukmu, kuatir dengan keadaanmu. Apa kamu baik-baik saja?" tanya Bram dengan hati-hati. Dhea hanya diam menatap wajah suaminya dengan kecewa, matanya bahkan sudah berkaca-kaca. Apanya yang baik-baik saja? situasinya bahkan lebih kejam dari ketika dia dipenjara dulu. Rasa kangennya yang tidak tertahan pada putranya membuatnya sulit memejamkan matanya setiap malam. Perasaan ditinggalkan oleh suaminya mengikis rasa kepercayaannya sedikit demi sedikit, sudah seminggu lebih, tetapi apakah Bram tidak bisa mengatasi masalah di perusahan? apakah pria di depannya ini sengaja memilih kekuasaan dan hartanya daripada dia? Dhea menggeleng pelan untuk menghilangkan prasangkanya. "Percayalah pada Abang, doakan Abang agar cepat membawa Dhea dari tempat ini. Abang sangat merindukan Dhea, b
Dhea hanya bisa berbaring di tempat tidur yang cukup besar dan mewah, kasurnya empuk, kamarnya luas dengan kamar mandi yang juga cukup mewah. Tidak kalah dengan kondisi di rumah Bram dulu. Dia hanya bisa berbaring dan tidak banyak melakukan aktifitas sepanjang hari untuk menghemat tenaga. Dua butir telur rebus dan setengah liter air mineral yang dijatah kepadanya sekarang sungguh benar-benar tidak akan cukup untuk melakukan aktivitas yang lebih dari itu. Apalagi awal-awal dia hanya mengkonsumsi tiga butir telur, rasanya hampir tiga malam dia tidak bisa tidur karena kelaparan. Semakin ke sini, tubuhnya sudah terbiasa, tetapi dia juga harus menghemat energi. Sedang hari ini, dia hanya menerima jatah dua butir telur. Ini baru hari ke tujuh, tetapi rasanya sudah sangat menyiksa. Lebih tersiksa dari kondisinya di penjara dulu, padahal dulu dia sama sekali menempati kamar yang tidak layak sama sekali. Dulu dalam satu ruangan hanya ada satu buah kasur singel, yang dihuni oleh enam orang
Niko dengan serius memantau dua komputer sekaligus, rute pelacak yang ada pada Bram, serta navigasi robot kecilnya yang terus terbang di udara. Dalam dua puluh menit, robot itu sudah menyusul mobil yang membawa Bram ke arah barat daerah Banten."Cepat sekali dia menyusul," ujar Fikri i yang juga ikut memantau gerakan robot itu."Dia terbang, bukan jalan. dalam waktu satu menit sudah mencapai belasan kilometer," ujar Adi mengkomentari omongan Fikri, sementara Niko tetap serius menggerakkan kursor mouse untuk mengendalikan robot kecilnya."Kita keluarkan cengkeraman pada robot itu agar menempel di mobil itu, untuk menghemat baterai," ujar Niko."Emang cengkeramannya sekuat apa? tidak takut diterbangkan angin?" tanya Fikri yang antusias seperti mendapat mainan baru "Dia ditempatkan di belakang mobil agar bisa terlindungi angin. Cengkeramannya tidak kuat, hanya dilapisi lem seperti lem alteco.""Loh, kalau tidak bisa lepas bagaimana?" tanya Adi yang mengernyit heran, pasalnya lem itu ter
"Kau terlalu banyak mengeluh, harusnya kondisi istrimu bisa menjadi motivasi untukmu. Atau kuhadirkan juga anakmu yang masih bayi?" ancam Abimanyu. "Aku tidak akan tergerak kalau belum melihat secara langsung bagaimana kondisi istriku, juga tidak akan termotivasi kalau belum berbincang dengannya," ujar Bram dengan keras kepala. "aish! baiklah!" dengus Abimanyu akhirnya mengalah. "Sakti, Ijal ... Bawa dia bertemu istrinya, biar dia puas melihat keadaan istrinya. Ketika pergi ke sana pastikan tangan dan kakinya terikat biar tidak kabur, matanya juga ditutup biar tidak tahu kondisi jalan!" perintah Abimanyu yang tidak sabar mendengar rengekan Bram. Setelah mengatakan itu, Abimanyu kembali lagi ke ruang pribadinya, sementara Bram tersenyum. Ternyata hanya sebatas ini kemampuan Abimanyu dalam mendengarkan keluhannya, dia hanya mengikuti saja pengaturan lelaki itu ketika para pengawal itu langsung meraih tangannya untuk memasang borgol dan menutup matanya dengan kain hitam. Para pengawa