Part 157Semua orang sudah berkumpul di ruang keluarga, ternyata bukan hanya keluarga inti, tetapi para sepupu juga diundang ke sana. Bram yang datang terakhir berjalan mengambil tempat yang memang sudah disediakan oleh para pelayan di rumah ini. Arjuna yang datang duluan tersenyum sumringah melihat Dhea yang sudah lama tak terlihat."Dhea, duduk di sini," ujar Arjuna sambil menunjuk sofa yang masih kosong di sebelahnya. sebelum Dhea duduk di sebelah lelaki itu, Bram yang sangat tidak senang melihat kelakuan adiknya ini menyerobot duduk di sebelah Arjuna, membuat pemuda itu menampilkan raut cemberut kepadanya."Sayang, duduk di sini," ujar Bram sambil meraih tangan istrinya secara posesif."Dhea, bagaimana kabarmu? kenapa lama sekali di Batam?" tanya Arjuna."Disana langsung mengerjakan proyek, Kak. jadi cukup lama.""Aku dengar ada yang nggak sabar sampai menyusul ke sana," sindir Arjuna."Kamu kenapa? ya wajar lah namanya kangen sama istri sendiri," jawab Bram sambil menatap pemuda
Dhea menatap air mancur yang berada di halaman belakang rumah besar nenek Hartina. Sang Nenek sudah memintanya untuk tinggal di rumah ini selagi berada di Jakarta, sebenarnya Bram ingin tinggal di rumahnya sendiri, tetapi mengingat neneknya yang sudah tua, sakit-sakitan dan kesepian paska kematian kakeknya membuat Bram tidak tega meninggalkan nenek Hartina. "Ikan mas koi, dalam legenda China, ini menjadi ikan keberuntungan."Dhea yang sedang melamun terkejut mendengar suara yang ternyata begitu dekat di sampingnya. Mata wanita ini mengernyit mana kala melihat seseorang yang berada di kursi roda tengah serius memperhatikan ikan berwarna orange, hitam dan putih ini berenang ke sana kemari."Apa yang kamu pikirkan? Aku perhatikan dari tadi kamu melamun terus," ujar lelaki itu sambil menoleh kearah Dhea, senyum manis lelaki itu berikan pada wanita ini. "Emm, maaf ...." Dhea yang diperhatikan sedemikian dengan lelaki asing membuatnya sedikit gugup dan tidak nyaman."Aku Abimanyu. Biasa
Part 159 "Pendapat? Bukankah aku sudah bilang pada Abang jika dulu, aku pernah mengalami kecelakaan hebat yang merenggut nyawa ayahdan kedua adikku?" "Ya." "Bukan hanya adik dan ayahku saja yang terengut nyawanya, ingatanku juga terenggut." "Apa? Jadi kau amnesia?" "Iya." Bram cukup terkejut mendengar pengakuan istrinya, wajahnya bahkan sudah pias, tentu saja dia tahu apa yang tengah dipikirkannya, mungkinkah? "Kapan kamu mengalami kecelakaan itu, Sayang?" "Yah, sekitar delapan tahun yang lalu. Saat aku bangun dari koma, selama dua bulan komanya. aku hanya mendapati ibu yang duduk di sampingku sambil menanagis. Perawat di sana mengatakan jika ibu selama dua bulan ini hanya menangis dan terus menunggui di depan ruang ICU. ternyata, setelah aku pulih, kesedihan ibu tidak juga berkurang, sepertinya beliau sangat shock kehilangan dua anak lelaki dan juga suaminya. sekarang tinggal aku keluarganya." Bram hanya termangu mendengar penuturan istrinya, ada nada kesedihan di dalam perka
Part 160"Apa? Dhea pernah memainkan piano itu?" Asep sungguh bingung melihat raut wajah majikannya ini, bagaimana sebagai suami Pak Bram tidak tahu bakat terpendam istrinya ini.Dengan tidak sabaran Bram menerobos pagar yang baru saja dibuka oleh mang Asep, dengan terburu-buru lelaki memasuki rumah dan berlari ke arah kamar atas, kamar yang selama ini tidak sembarangan dimasuki orang selain dirinya.sampai depan pintu kamar, ruangan itu terbuka, terlihat masih mengenakan gaun tidur istrinya tengah duduk di depan piano, jari jemarinya dengan lincah bermain diatas tuts. Bram berjalan perlahan menghampiri wanita yang duduk membelakanginya. "Hmmm ... Hmmmm." Sesekali wanita itu bergumam mengikuti irama piano. Bram hanya terperangah, dadanya berdegup dengan kuat, tanpa dia sadari, lelaki itu memejamkan matanya, pikirannya sepenuhnya tertuju pada irama piano yang begitu akrab di telinganya.Druammm!!Suara di nada terakhir itu tampak sembarangan, Bram segera membuka matanya. Ketika mata
Part 161"Ibu, ada yang ingin Bram tanyakan, apa ibu tidak keberatan?" Bram sungguh tidak bisa menunda rasa penasaran yang sudah menumpuk di kelapanya."Apa? Kalau bisa jawab akan ibu jawab," ujar Paramitha dengan pelan "Apa benar Dhea itu anak kandung ibu?""Apa?!" Wajah Paramitha yang sudah pucat bertambah pucat pasi, wanita ini tidak menyangka pertanyaan menantunya seperti ini. "Ya, apa Dhea itu benar anak kandung Ibu?" ulang Bram dengan nada bicara yang lembut agar mertuanya tidak terkejut.Tetapi selembut apapun ucapan Bram, perkataan lelaki ini tetap membuat jantung Paramitha seperti dihantam palu. Wanita tua itu menatap Bram dengan mata membola, tiba-tiba perutnya melilit dan terasa sangat sakit, perempuan tua itu menahan kesakitan itu beberap detik hingga wajah pucatnya mengeluarkan butir keringat sebesar biji jagung."Ibu, Ibu kenapa?" Bram yang melihat itu menjadi sangat panik, kenapa tiba-tiba mertuanya ini meringis memegangi perutnya."Aduh, perut ibu sakit sekali," rint
Part 162Dhea sungguh tidak memahami hubungan Sania dan Lingga, mereka selalu tidak akur. Dhea sendiri tidak bisa memihak, pasalnya antara dia dan Lingga juga bisa dibilang berteman baik. Ketika dia diculik, dia juga memberi nomor telpon Lingga dan Bram kepada Alamsyah. ah, ingat dengan Alamsyah, syukurlah lelaki itu sudah Dhea tranfer uangnya, lelaki itu juga mengabarkan jika dia sudah kembali ke kampung halamannya dan berhasil mengambil alih tanah yang tergadai itu.Dhea dan Sania berjalan beriringan di lorong rumah sakit menuju ruangan ICU."Kalau melihat ibumu yang sakit begini, aku jadi ingat dengan ibuku," ujar Sania "Memangnya ibumu sakit apa? Abang tidak pernah mau menceritakan semua itu," tanya Dhea dengan nada prihatin."Ibu tiba-tiba pingsan, kata dokter tekanan darahnya tinggi sehingga pecah pembuluh darahnya. Dokter bilang itu karen ibu bnyak pikiran. Saat itu aku masih kecil, masih berumur sepuluh tahun, tapi Kak Bram sudah berumur delapan belas tahun, dia sudah tahu ap
Part 163 "Bu, ibu belum salat ashar. ini sudah jam lima lewat," bisik suster Halimah. Dhea yang masih memeluk tubuh ibunya dan menangis tersedu kini tersentak mendengar perkataan perawat ibunya itu. Suster Halimah tentu paham dengan kebiasaan Dhea yang selalu rajin melakukan kewajibannya kepada Tuhan itu, karena setiap menjenguk ibunya, wanita itu selalu tepat waktu menjalankan ibadah. "Biar Jenazah ibu saya yang menunggunya," ujar suster Halimah lagi. "Iya, Bik. Tolong hubungi lagi suami saya, kalau tidak, hubungi Om Muchtar. pakai saja ponsel saya, tidaj dikunci, kok." Dhea bergegas ke mushola. Ibadah kali ini benar-benar membuatnya sangat sedih, dia mengadukan semua kesedihannya pada sang pencipta, selama hidup dengan ibunya, hanya kenangan menyedihkan yang dia ingat. Ibunya tidak pernah memperhatikan dirinya seperti layaknya ibu normal lainnya, karena sebagian besar waktu Paramitha dihabiskan di pusat rehabilitasi. Dhea menyesalkan kepergian ibunya karena selama ini dia belum
Part 164Setelah adzan isya, mereka sudah bersiap-siap pergi. Suster Halimah ikut mobil Sania yang dikemudikan anak buah Lingga sementara Sania duduk di bangku depan, Dhea yang duduk sendirian membawa bantal agar bisa tidur selonjoran. Ketika semuanya sedang mempersiapkan mobil, jenazah Paramitha juga sudah masuk ambulance, seseorang datang terburu-buru menghampiri mereka."Dhea?! kamu mau berangkat malam ini?" tanya lelaki itu dengan terburu-buru.Dhea memandang Sania sebelum menjawab pertanyaan lelaki itu, sania hanya mengangguk mendukungnya."Iya, yah! agar jenazah ibu lekas di makamkan.""Besok saja, nanti ayah caterin helikopter biar cepat sampai. Lagian Bram juga belum datang, kan?""Tidak perlu, Yah. lagian pemakaman keluarga kami berda di pelosok, sangat mengundanh perhatian kalau ada helikopter parkir di sana, aku tidak suka dengan cara seperti itu," jawab Dhea."Lagian Kak Bram ke mana, sih? Dari tadi kicariin gak ketemu, ponselnya juga gak bisa dihubungi," ketus Sania."Dia
Menjelang waktu yang direncanakan, para anggota organisasi Gir sudah berdatangan ke Indonesia memakai paspor turis, dengan penerbangan berbeda. mereka sudah memesan hotel yang sama dengan rekomendasi Adi melalui online. Sampai pukul satu delapan malam, semua sudah berdatangan. Adi sendiri menyewa aula diskotik untuk party umum yang pesertanya hanya diundang tamu-tamu hotel yang memiliki tiket masuk, dan mereka yang masuk hanya anggota Gir. Sehingga party ini tidak dicurigai sebagai pertemuan rahasia yang berpotensi membahayakan keamanan, karena party diadakan secara natural untuk menyambut turis asing. Adi tersenyum lega melihat orang-orang yang dulu menjadi rekan kerjanya, mereka berpelukan seperti layaknya teman sudah lama tidak bertemu. "Kami datang semua untuk mendukungmu, Di," ujar Michael dengan bahasa Inggris. Michael kini menjadi ketua organisasi, mantan tentara Amerika itu masih aktif di organisasi tersebut. "Aku juga membawa semua anggota baru, perkenalkan ...." Mich
Bram menghela napas berat, dibelainya rambut istrinya yang kusut karena lama hanya melakukan aktifitas berbaring. "Sayang, Abang akan secepatnya datang menjemputmu. Sekarang masih belum bisa, Abang hanya menjengukmu, kuatir dengan keadaanmu. Apa kamu baik-baik saja?" tanya Bram dengan hati-hati. Dhea hanya diam menatap wajah suaminya dengan kecewa, matanya bahkan sudah berkaca-kaca. Apanya yang baik-baik saja? situasinya bahkan lebih kejam dari ketika dia dipenjara dulu. Rasa kangennya yang tidak tertahan pada putranya membuatnya sulit memejamkan matanya setiap malam. Perasaan ditinggalkan oleh suaminya mengikis rasa kepercayaannya sedikit demi sedikit, sudah seminggu lebih, tetapi apakah Bram tidak bisa mengatasi masalah di perusahan? apakah pria di depannya ini sengaja memilih kekuasaan dan hartanya daripada dia? Dhea menggeleng pelan untuk menghilangkan prasangkanya. "Percayalah pada Abang, doakan Abang agar cepat membawa Dhea dari tempat ini. Abang sangat merindukan Dhea, b
Dhea hanya bisa berbaring di tempat tidur yang cukup besar dan mewah, kasurnya empuk, kamarnya luas dengan kamar mandi yang juga cukup mewah. Tidak kalah dengan kondisi di rumah Bram dulu. Dia hanya bisa berbaring dan tidak banyak melakukan aktifitas sepanjang hari untuk menghemat tenaga. Dua butir telur rebus dan setengah liter air mineral yang dijatah kepadanya sekarang sungguh benar-benar tidak akan cukup untuk melakukan aktivitas yang lebih dari itu. Apalagi awal-awal dia hanya mengkonsumsi tiga butir telur, rasanya hampir tiga malam dia tidak bisa tidur karena kelaparan. Semakin ke sini, tubuhnya sudah terbiasa, tetapi dia juga harus menghemat energi. Sedang hari ini, dia hanya menerima jatah dua butir telur. Ini baru hari ke tujuh, tetapi rasanya sudah sangat menyiksa. Lebih tersiksa dari kondisinya di penjara dulu, padahal dulu dia sama sekali menempati kamar yang tidak layak sama sekali. Dulu dalam satu ruangan hanya ada satu buah kasur singel, yang dihuni oleh enam orang
Niko dengan serius memantau dua komputer sekaligus, rute pelacak yang ada pada Bram, serta navigasi robot kecilnya yang terus terbang di udara. Dalam dua puluh menit, robot itu sudah menyusul mobil yang membawa Bram ke arah barat daerah Banten."Cepat sekali dia menyusul," ujar Fikri i yang juga ikut memantau gerakan robot itu."Dia terbang, bukan jalan. dalam waktu satu menit sudah mencapai belasan kilometer," ujar Adi mengkomentari omongan Fikri, sementara Niko tetap serius menggerakkan kursor mouse untuk mengendalikan robot kecilnya."Kita keluarkan cengkeraman pada robot itu agar menempel di mobil itu, untuk menghemat baterai," ujar Niko."Emang cengkeramannya sekuat apa? tidak takut diterbangkan angin?" tanya Fikri yang antusias seperti mendapat mainan baru "Dia ditempatkan di belakang mobil agar bisa terlindungi angin. Cengkeramannya tidak kuat, hanya dilapisi lem seperti lem alteco.""Loh, kalau tidak bisa lepas bagaimana?" tanya Adi yang mengernyit heran, pasalnya lem itu ter
"Kau terlalu banyak mengeluh, harusnya kondisi istrimu bisa menjadi motivasi untukmu. Atau kuhadirkan juga anakmu yang masih bayi?" ancam Abimanyu. "Aku tidak akan tergerak kalau belum melihat secara langsung bagaimana kondisi istriku, juga tidak akan termotivasi kalau belum berbincang dengannya," ujar Bram dengan keras kepala. "aish! baiklah!" dengus Abimanyu akhirnya mengalah. "Sakti, Ijal ... Bawa dia bertemu istrinya, biar dia puas melihat keadaan istrinya. Ketika pergi ke sana pastikan tangan dan kakinya terikat biar tidak kabur, matanya juga ditutup biar tidak tahu kondisi jalan!" perintah Abimanyu yang tidak sabar mendengar rengekan Bram. Setelah mengatakan itu, Abimanyu kembali lagi ke ruang pribadinya, sementara Bram tersenyum. Ternyata hanya sebatas ini kemampuan Abimanyu dalam mendengarkan keluhannya, dia hanya mengikuti saja pengaturan lelaki itu ketika para pengawal itu langsung meraih tangannya untuk memasang borgol dan menutup matanya dengan kain hitam. Para pengawa
"Sakti?!" ujar Abimanyu yang melihat siapa yang mengetuk ruang pribadinya ini. "Selamat sore, Pak?" sapa Sakti yang melihat Abimanyu tengah bersantai duduk di sofa sambil bermain game di ponselnya. "Ada apa?" tanya lelaki itu masih fokus dengan ponselnya. "Pak Bram memaksa untuk bertemu dengan anda, Pak." Mendengar perkataan Sakti, Abimanyu berhenti menggerakkan jemarinya di atas layar ponsel, spontan lelaki itu menatap Sakti dengan tatapan garang. "Bukankah sudah kukatakan? kalau dia tidak boleh menemui ku kalau tugasnya dalam menstabilkan harga saham sudah berhasil, ini apa? belum ada kemajuan apa-apa," ujar Abimanyu dengan marah. "Justru itu yang akan dikatakan dan didiskusikan oleh pak Bram kepada anda, Pak." "Tidak ada negosiasi apalagi diskusi. Usir dia dari sini. Kenapa kau bawa dia ke sini tanpa bilang padaku dulu, Ha? kamu ini terlalu lancang, Sakti!" Abimanyu bertambah marah mendengarnya. "Situasi di perusahaan terlalu rumit, Pak. Bapak tidak bisa membuat hal
Pulang kerja, seperti hari kemarin Bram dikawal oleh beberapa orang dan disupiri oleh supir baru yang juga tidak Bram kenal. Apalagi selama beberapa hari ini mereka juga tidak berinteraksi, Bram juga malas untuk bertegur sapa dengan mereka. "Antarkan saya ke tempat Abimanyu!" perintah Bram. "Bukankah Pak Abimanyu mengatakan dengan jelas, Pak Bram boleh menemuinya jika pekerjaan pak Bram selesai. Ini belum ada apa-apanya jadi pak Bram tidak berhak bertemu pak Abimanyu," ujar supir itu dengan tegas. "Kamu itu hanya sekedar supir, jadi tidak perlu mendikte saya. Saya tidak akan menyelesaikan tugas dari Abimanyu. Terserah dia sekarang, saya juga sudah buntu! saya mana bisa bekerja sendiri, saya akan bilang sama dia untuk memberi saya tim." "Ingat, Pak. Bapak harus keluarkan semua potensi dan usaha. Karena taruhannya nyawa istri dan anak bapak." "Keluarkan potensi dan usaha apa? sementara saya tidak boleh menghubungi siapapun. Memangnya saya bisa menyulap dengan sendiri nilai sah
Mang Giman selalu membersihkan ruangan Bram pukul tujuh pagi sebelum semua karyawan datang ke kantor. Dia membersihkan ruangan Bram seperti biasa dan tidak mencurigakan, ketika dia sedang mengelap-elap meja dan merapikan dokumen diatas meja, dia segera meletakkan surat ber amplop putih itu di atas meja dekat kotak tissue. Lelaki itu menahan napas ketika melakukan itu semua, segera dia cepat-cepat keluar dan masuk toilet, di sana dia menghela napas sekuat-kuatnya, sangat ketakutan karena dia merasa gerak-geriknya dipantau dari jarak jauh oleh orang yang tidak diketahui siapa. Sungguh misterius dan menakutkan untuk orang awam seperti dia. Jam menunjukan pukul delapan pagi, semua karyawan sudah berdatangan dan sudah masuk ke ruangan kerja masing-masing. Bram sendiri datang sekitar jam setengah sembilan pagi. Ketika masuk ruangan, dia terus berkutat pada dokumen, sungguh tidak ada pegawai atau orang suruhan yang kompeten yang dia percaya sekarang. "Pak Bram, ini sudah seminggu, tetapi
Sudah tiga hari Bram bekerja mengurus perusahannya, tetapi tidak ada perubahan sama sekali pada peningkatan nilai saham. Abimanyu sendiri mengatakan jika semua pegawai dan kolega Bram sudah dimutasi bahkan sudah dipecat dari perusahaan. Bram sendiri yang terpaksa menandatangani surat pemecatan mereka, pasalnya Abimanyu mengancam tidak akan memberikan makanan apapun pada Dhea jika dia tidak mengikuti semua perintah lelaki itu. Bram memang masuk ke kantor tetapi tetap saja rasanya seperti dipenjara. Dia tidak bisa mengontak siapapun dan meminta bantuan siapapun. Semua pekerja yang ada di kantor ini diduduki oleh orang-orang baru atau orang lama memang sudah bersekongkol dengan Abimanyu. Bram duduk dengan frustasi dengan semua kondisi ini, bahkan Adi orang kanannya sekarang tidak tahu di mana. Abimanyu memberi batas sampai tiga Minggu untuk menstabilkan nilai saham dan melakukan peralihan pemilik perusahaan dalam waktu tiga bulan. Abimanyu juga tidak bisa terburu-buru agar apa yang t