"Kau merasa benar padahal istrimu dan dirimu berawal dari nikah kontrak, akui saja Jovian kita sama-sama licik," ungkap Antonio dengan ujung bibir sobeknya. "Ya, benar, kau juga sama liciknya dengan kami, kita tak beda Jo," sahut Gerogina.Jovian jadi semakin murka. Ia melayangkan pukulan pada Antonio kemudian terakhir memukur cermin mobil tepat disebelah Georgina berdiri. "Jangan samakan aku dengan kalian." Jovian berucap sembari beranjak pergi.Georgina masih syok, ia terkejut usai melihat pertengkaran Jovian dan Antonio di basement apartemen barunya. Ia menatap kaca mobil yang pecah dan serpihan kacanya berserakan. "Alessa, Alessa, Alessa! Wanita sialan!" teriak Georgina karena rasa dendamnya semakin menumpuk. Malam itu, ketegangan di antara mereka menciptakan bayang-bayang gelap di dinding kamar tidur. Suasana yang dulu penuh dengan keintiman kini tertutup oleh dinding dingin keheningan. Rintihan hati yang tak terucapkan terasa begitu nyata di udara.Georgina duduk di ujung temp
"Kak, tidakkah orang-orang itu seperti memerhatikan kita?" tanya Alessa pada Eidar. Ia cukup tahu dan memahami situasi mengancam seperti ini, orang yang mencurigakan dengan gelagat yang aneh."Ya, benar, padahal tadi mereka tidak ada," jawab Eidar. Pria itu melirik ke kiri dan kanannya. Lorong koridor Rumah Sakit menjadi sepi saat malam, apalagi tempat yang mereka duduki saat ini merupakan Unit Intensive Care sehingg hanya beberapa petugas di dalam namun tiada orang lain selain mereka dan lima orang Pria misterius itu.Alessa mulai gusar karena mengingatkannya dengan penculikan yang pernah ia rasakan, belum lagi pengalaman buruk ini akan membuka luka lama bagi Alessa tapi Alessa jadi tahu jika Georgina memang bukan sembarangan orang."Kak, aku ingin memanggil Security," ucap Alessa namun enggan beranjak karena mencemaskan Eidar yang pasti tidak beranjak juga. Eidar mengangguk. "Pergilah, aku akan tetap di sini," sahut Eidar menajam.Alessa sudah menerka jawabannya. "Kau gila?" sahut
"Kak ... sebenarnya siapa dirimu yang sebenarnya?" tanya Alessa sembari menggeleng kecil. Alessa menepis dugaan buruknya yang kini memutar di benaknya sendiri. Alessa tetap mempercayai jika Jovian Pria yang baik, Pria yang berasal dari keluarga yang terpandang dan Pria yang memiliki hidup yang positif. Semua itu Alessa lakukan karena Alessa sudah mulai mencintai Jovian."Kita bicarakan nanti," ucap Jovian dingin.Ini yang tak Alessa sukai. Ia selalu merasakan sikap Jovian yang lembut padanya jadi ketika Jovian berucap dengan nada dingin seperti dulu, membuat ujung perasaan Alessa jadi terasa sakit. Alessa hanya mengangguk kemudian lebih mengutamakan membereskan kekacauan ini.Alessa menghampiri Eidar dan tangannya hampir hendak menyentuh Eidar untuk sekedar memeriksa kondisi Pria itu tapi pergelangan tangan Alessa di raih oleh Jovian lebih dulu. "Kenapa Kak?' tanya Alessa heran."Biar aku yang membereskan semua ini, kamu pulang saja," ucap Jovian seperti perintah."Apa sih masalahmu
Saat itu angin sepoi-sepoi malam mengusik dedaunan di tepi jendela kamar rumah sakit. Di dalam ruangan yang sunyi itu, Georgina masih damai dengan lelapnya. Matanya yang perlahan terpejam menunjukkan tanda-tanda kelelahan. Hidupnya yang penuh ambisi, kini hanya terlihat dalam kenangan yang hilang.Georgina pembenci Alessa yang hangat, kini terjebak dalam dunia sunyi yang hanya bisa dirasakannya. Kecelakaan tragis yang menimpanya telah merenggut semua kebebasannya. Ia kini terperangkap dalam tubuh yang tak mampu bergerak, hanya bisa menyaksikan dunia melalui sudut pandang yang terbatas.Kala itu pintu perawatan terbuka, terbatas bagi satu orang penjenguk. Alessa terdiam namun pasti mengamati Georgina yang terbaring dengan monitor yang terus berbunyi seiras dengan denyut jantungnya. Alessa duduk di pinggiran ranjang kasur. Mungkin hanya dialah satu-satunya pengunjung yang rutin melihat Georgina, musuhnya yang hanya sudi menatap Alessa terpuruk namun kini kebalikan."Gina, betah sekali y
"Kak, apakah malam ini bisa makan malam bersama?" tawar Alessa yang baru memanggang ayam herbal.Jovian tak mengubris istrinya itu. Ia baru saja keluar dari kamar usai berpakaian rapi dan formal. Pria bermata biru itu masih sempat mencium pipi gempal Si Kembar yang sedang anteng di dalam kereta bayi. "Maaf, malam ini aku ada meeting di Munich," sahut Jovian dingin. "Munich, Jerman, bukan? kenapa Kakak tidak bilang jika berangkat ke Jerman hari ini?" tanya Alessa.Jovian tak menoleh pada Alessa. "Maaf, aku sudah terlambat datang ke penerbangan," jawab Jovian sembari melesat pergi, meninggalkan keheningan di apartemen yang mereka tinggali. Alessa terdiam menatap pintu yang ditutup oleh Pria itu kemudian sepi yang melanda. Jovian sudah seperti ini padanya sejak dua minggu lalu, hingga bulan berikutnya. Alessa merasa Jovian terus menghindarinya padahal setiap hari Alessa memasak untuknya seperti saat ini. Alessa menatap hampa sajian piring dan masakan yang sudah ia kerjakan sejak subuh.
Hal seperti ini seolah jadi peristiwa deja vu sendiri untuk seorang Alessa. Dia menatap hampa dokter di depannya yang sedang menjelaskan kondisi mengenai dirinya, padahal Alessa mati-matian menyembunyikan hal ini dari Jovian karena hubungan mereka yang tidak baik-baik saja itu."Mal nutrisi, dehidrasi dan stres akan membahayakan kandungan istri Anda, Tuan," ucap dokter. "Jadi istri saya hamil?" tanya Jovian tak menyangka."Benar hamil, sudah menuju tiga minggu, memang terbilang usia kandungan muda," jawab dokter. Sementara Alessa hanya hening saja sembari menggendong Elio namun Luciel di luar bersama Kenzo. Elio anak yang anteng dan lucu seperti boneka porselen, kadangkala Elio lebih mampu membuat Alessa tenang sementara Luciel mahir menghibur Alessa dengan celotehannya."Saya akan meresepkan asam folat dan multivitamin, jika berkenan saya akan anjurkan menemui ahli gizi dan perawat pendamping untuk Istri Anda ...," ucap dokter terpotong karena Alessa menyahut."Tidak perlu dokter,
Alessa menggeleng. "Kemungkinan kami akan pisah," ucap Alessa sendu sendiri. "Apa maksudmu Alessa? kalian bahkan hampir seperti pasangan ideal, apa Si Jovian itu bermain wanita lagi?" tanya Georgina, Wanita itu benar-benar mendukung Alessa kali ini. "Gina, ini masalah mereka biarkan tenang dulu," sahut Eidar memahami Alessa, sosok yang akan hilang saat riuh untuk menenangkan diri. Georgina menghela napas dengan wajah masih pucatnya itu. "Alessa, jika dia kembali mempermainkan hatimu, belajarlah untuk melawan dan memarahinya," ucap Georgina. Perkataan Georgina memang benar, Alessa selalu mengalah dan menghindari pertikaian dengan lari dari masalah sementara Jovian keras kepala dan cuek pada masalah. "Akan aku pertimbangkan." Alessa berucap sambil membuka pintu rumah lebar-lebar menyambut Georgina. Georgina tertegun menatap Luciel dan Elio yang sudah tumbuh jadi bocah yang menggemaskan. Sayangnya Georgina saat ini tak bisa mempertahankan kandungannya karena kondisinya saat itu. Men
"Bagaimana Keparat itu bisa tahu?" geram Georgina sembari mengepalkan kedua tangannya usai menatap isi pesan dari ponsel dia pun mematikan ponselnya, kemudian membuang kartu gsm dari ponsel yang ia buka."Tidak, jangan sampai dia berhasil melacak keberadaanku kemudian membahayakan Alessa dan anak-anaknya," gumam Georgina.Georgina pun kembali masuk ke kamar kemudian mendengar salah satu anak dari Alessa menangis. Ketika Georgina masuk ia mendapati salah satu Si Kembar menangis sembari mengucek matanya. "Kenapa kamu bangun? Ibu kalian sedang sibuk dengan Ayah kalian," ucap Georgina lembut.Georgina pun tergerak untuk menggendong Luciel. Georgina menimang anak kecil itu sembari mengelus puncak kepalanya. Anak kecil itu, dengan tangan kecilnya, memeluk leher Georgina kemudian dia mulai merasakan sentuhan lembut dan hangat itu. Tak lama Georgina menurunkan Luciel yang mulai tenang. "Anak yang baik." Georgina mengusap pipi gempal. Di ambang pintu Alessa menatap Georgina bersama Jovian. Al