Aroma kopi semerbak harum ke seluruh penjuru ruangan. Dapur dipenuhi dengan dentingan sendok dan saringan kopi yang menambah riuh suasana pagi sepi. Rintik-rintik hujan di luar jendela menambah ketenangan di pagi yang masih terlelap.Alessa, dengan rambut yang masih berantakan tengah berjalan menuju meja makan. Dia baru selesai memanggang beberapa lembar roti dengan selai blueberry di atasnya. Sementara itu, aroma wangi roti panggang yang garing mengisi ruangan dan juga satu jar selai blueberry dan mentega diletakkan di tengah-tengah meja, siap menyempurnakan setiap suapan roti."Alessa, pagi," ucap Jovian juga baru bangun tidur. Wajah Pria tampan itu masih suntuk kemudian mengambil tempat duduk di sebelah Alessa. "Si Kembar masih tidur," ucap Jovian.Alessa mengangguk sembari menggeser satu cangkir kopi lain yang ia baru buat. "Biarkan saja mereka tidur," sahut Alessa. Semula Jovian baru meraih cangkir kopi hangat itu kemudian tersenyum saat aroma wangi kopi buatan Alessa menghampir
"Selamat siang Nyonya Heide," sapa Para Pegawai. Beberapa dari Pegawai juga mendelik sinis pada Georgina yang ikut bersama Alessa, apalagi Georgina juga menggendong Luciel sementara Alessa mengendong Elio. Pandangan penuh kebencian itu tertuju pada Georgina, mengingat reputasi buruknya dan siapa yang tak kenal Georgina?Dahulu, Georgina mantan kekasih Jovian yang sering seenaknya datang kemari, ke gedung utama perusahaan Heide. "Dia bukannya sudah jadi mantan ya? Wanita Angkuh itu," bisik Seorang Pegawai Wanita bersama teman-temannya kala Georgina melintas.Alessa melirik Georgina yang mendadak murung. Alessa bahkan mendengar cibiran dari orang-orang pada reputasi Georgina terlanjur buruk. "Gina, kemari, jangan jalan terlalu jauh dariku," ucap Alessa.Georgina tersenyum lembut seraya berjalan di samping Alessa. Sejak berjalan dengan Alessa, Georgina mendapat perlindungan karena Alessa langsung menatap tajam orang-orang yang mencibir Georgina. "Jangan di dengar ya," celetuk Alessa pad
"Haha, buatlah Jovian bertekuk lutut padaku, maka kedua anakmu akan baik-baik saja," ancam Antonio. Di tengah malam yang kelam, di atas atap gedung pencakar langit. Alessa dan Jovian saling menatap cemas. Mereka sebelumnya hanya mengalami malam romantis, tapi sekarang suasana telah berubah drastis. Terutama Alessa, waktu dan ruangnya seolah berhenti usai mendengar ancaman dari Antonio mengenai anak-anaknya. Sulit bagi Alessa percaya pada ancaman Pria itu."Omong kosong!" bentak Alessa berjalan maju mendekati Antonio."Menurutmu, apakah aku bercanda, wahai Nyonya Heide?" ledek Antonio dengan senyum kemenangannya."Satu jengkal saja menyentuh anak-anakku!" bentak Alessa terjeda oleh Jovian.Pria bermata biru itu meraih pergelangan tangan Alessa. "Percayalah padaku," kata Jovian dengan nada serius, matanya berbinar penuh ketegangan."Anak-anak kita," ucap Alessa lirih. Ia menatap suaminya itu dengan penuh kasih dan cinta kemudian sendu oleh perasaan murkanya sendiri. "Berikan anak kami
Sinar matahari yang hangat menyinari taman, menciptakan permainan warna-warni di antara bunga-bunga yang bermekaran. Dikelilingi oleh keceriaan anak-anak yang bermain, Alessa duduk di pinggir taman dengan senyum lebar di wajahnya. Rambut cokelatnya tersibak oleh angin sepoi-sepoi, dan matanya bersinar penuh kasih sayang saat memperhatikan anak-anaknya yang riang bermain.Di hadapannya, menatap Gadis Cilik itu berlarian-larian di antara rerimbunan bunga. Suara tawa riang memecah kesunyian taman, mengisi udara dengan keceriaan dan kehidupan. Alessa melihat mereka dengan penuh kebahagiaan, hatinya penuh dengan rasa syukur atas momen indah ini.Sementara anak-anaknya sibuk mengeksplorasi keindahan taman, Alessa duduk bersama Roan. Ditemani oleh aroma bunga-bunga segar, ia merasa damai sesekali memerhatikan Gadis aktif itu.“Apa aku sudah tiada?” tanya Alessa.“Seharusnya belum, Mama harus bersama adik-adik bukan?” sahut Roan. Meski Tiba-tiba, Gadis itu mendekati ibunya dengan tangannya
"Jo, Alessa sudah sadar," ucap Mina memberitahu Pria itu. Jovian mendapati Alessa sudah terlelap di ruang perawatan biasa, bedanya Alessa lebih hidup dalam tidurnya. Tiada alat bantu penunjang hidup, dan yang paling aneh adalah perubahan tubuh Alessa. Bibirnya jadi merah alami, kedua matanya berbulu mata lentik masih terlelap, dan rambut hitamnya terurai bebas. Alessa seperti Putri Tidur dalam dongeng yang dulu saat kecil Jovian baca."Tuan Heide, komplikasi dari sedasi jangka pendek bisa saja terjadi dan Nyonya Heide juga mengalami perdarahan di otak meski tidak berat namun resiko tetap bisa kemungkinan terjadi," ucap dokter pada Jovian."Apa yang Anda coba katakan?" gertak Jovian tak sabaran."Nyonya Heide bisa saja mengalami amnesia sementara," jawab dokter.Jovian membiarkan dirinya tenggelam dalam perasaan kehilangan yang menghantamnya begitu keras. Wanita yang sangat ia cintai bisa melupakan kenangan bersama mereka dan paling menyulitkan kedua anak kembarnya. "Ya Tuhan, ini sal
"Uhm, Tuan, apakah aku akan pulang ke rumahmu?" tanya Alessa canggung. Baginya Pria berambut pirang yang tengah mengemasi pakaiannya ke dalam tas itu adalah orang asing.Jovian menoleh sejenak menatap Alessa yang duduk di pinggiran ranjang kasurnya. "Benar, kamu pulang ke rumah kita," jawab Jovian.Alessa mengangguk patuh, menurutnya Jovian tampan dan tegas. Bukan, tapi lebih ke arah Pria yang dingin. Jadi Alessa jarang berbicara dengannya karena takut. Meskipun Alessa hari ini sudah bisa beristirahat di rumah. Alessa sudah pulih dari sehabis operasi dan belum tahu kenyataan yang sebenarnya terjadi. Di perjalanan pulang dalam mobil hitam metalik yang Jovian kendarai. Alessa terdiam sembari sesekali menoleh Jovian."Anu ... Tuan," ucap Alessa canggung. Hidup bersama bukan tanpa ujian, tetapi cinta mereka adalah api yang tak pernah padam dan di tengah-tengah semua perjalanan itu Jovian menepikan mobilnya pada sebuah jalan di pinggiran hamparan pantai. Dia membuka pintu mobil dan menun
Ingatan Alessa tak kunjung kembali sejak setahun sudah berlalu, namun Alessa tidak menolak kehadiran Luciel dan Elio yang sudah tumbuh menggemaskan. Kedua bocah itu sangat aktif bahkan berjalan-jalan dan bermain. Kehadiran anak-anak itu tidak membohongi ikatan yang Alessa rasakan namun Alessa tetap berusaha untuk menerima Jovian.Jovian pria yang datang dan pulang ke rumah besar yang kini Alessa tinggali, banyak pajangan foto kebersamaan mereka dan Alessa bisa melihat itu semua. Pagi ini Jovian hendak pergi ke kantor seperti biasanya namun Jovian heran menatap Alessa yang sedang termangun di depan meja kerjanya. Alessa memengang sebuah surat salinan yang seharusnya tak pernah ia ketahui, mungkin akibat hilang ingatan yang masih belum kunjung usai itu.Jovian menghela napas kala Alessa menatapnya dengan mata berkaca-kaca. "Alessa, kamu hilang ingatan jadi kita dulu memang menikah kontrak," ucap Jovian."Tapi ... ini artinya kamu terpaksa denganku?" tanya Alessa.Jovian tidak mahir unt
Di pagi yang cerah, aroma kopi segar melingkupi dapur mereka. Alessa meski masih hilang ingatan, namun ia seorang istri yang berdedikasi, tersenyum lembut sambil menyiapkan sarapan untuk suaminya, Jovian. Setiap langkahnya diatur dengan penuh perhatian, menciptakan kehangatan di ruang dapur. Alessa pagi-pagi sudah sibuk di dapur. Pagi ini dia baru membuatkan sarapan untuk Si Kembar dan suaminya, Alessa sengaja melakukan semua pekerjaan ini karena Jovian harus beristirahat di rumah. Kemarin baru saja suaminya itu boleh pulang meski dengan lengan kanannya menggunakan gips. Jovian, duduk di meja makan dengan koran pagi, tersenyum saat Alessa meletakkan secangkir kopi di depannya. "Terima kasih, sayang," ucapnya dengan lembut. Alessa pun mengangguk sambil duduk di sebelah suaminya. "Tuan, akan istirahat selamat sebulan bukan?" tanya Alessa, ingat dengan perkataan dokter sebelum mereka pulang ke rumah. "Alessa, aku tetap bekerja tapi dari rumah," ucap Jovian sembari meraih cangkir deng