Desember akan selalu jadi yang istimewa untuk Alessa, selain karena anak-anaknya yang ulang tahun di Bulan ini juga kemarin saja baru dirayakan kini Alessa sedang memakaikan baju tebal untuk kedua balita lucu itu. Alessa berencana membawa keluar kedua bayi lucu ini bersama Jovian."Kak, aku bawa sepatu skate juga ya," ucap Alessa. "Iya, nanti biar aku yang menjaga Si Kembar," sahut Jovian dari kamar mandi. Pria itu baru membersihkan diri usai mereka berdua tiba di Amsterdam. Padahal perjalanan panjang ini melelahkan tapi Alessa ingin berselancar di musim dingin.Kedatangan mereka tak lain semulanya untuk menemani Jovian melakukan perjalanan bisnis. Alessa yang sedang senggang tentu saja hendak ikut Jovian. Tak lama Kenzo masuk ke dalam apartemen membawa satu box kardus berisi vas bunga. "Bos, ini mau letakkan di mana?" tanya Kenzo. Pria itu menatap Alessa yang sedang memasukkan Si Kembar ke dalam kereta bayi. "Hallo, Luci, Eli," ucap Kenzo gemas. Biar badan kekar tapi Kenzo senang b
Semula Alessa berjalan sembari memengang tangan Jovian di sekitar trotoar. Jovian sangat kekar untuk menggendong Luciel sementara Alessa mendorong kereta bayi berisi Elio yang pulas tidur, alasan Luciel digendong Sang Ayah karena bocah kecil itu tampak antusias berceloteh melihat keramaian kota, berbeda denga Elio yang terlelap pulas dengan tidurnya. Jovian senantiasa melirik Alessa yang sama antusiasnya dengan Luciel. Alessa tersenyum sumringan menatap pertokoan yang ada di pinggir kota, apalagi saat ini perayaan natal jadi banyak pasar rakyat yang sedang buka di setiap jalanan termasuk jajanan lokal."Kak, Kak," ucap Alessa sembari menggoyang tangan Jovian. Ibu dua anak ini malah seperti anak kecil, selain tampilannya yang mendukung, Alesa itu kecil saat berdampingan dengan Jovian belum lagi Alessa berwajah manis dan cantik alami. "Aku mau itu, seperti odading ya?" tanya Alessa sembari menunjuk sebuah stand kecil yang sedang memasak roti goreng yang ditaburi gula.Jovian terkekeh k
"Haha, apakah aku cengeng sepertimu?" canda Jovian dengan tangan terluka dan cairan merah yang masih mengucur itu. Alessa langsung tersenyum kecil. Ia pun mulai menguyur tangan Jovian dengan cairan saline, beruntung Gadis ini sudah menyiapkan berbagai obat-obatan dan perlengkapan darurat. Alessa tidak mengatakan apapun selain sibuk membersihkan serpihan kaca dengan pinset."Kamu ... tidak mengatakan apapun sejak tadi," tegur Jovian yang sibuk memerhatikan raut wajah serius Alessa. Usai Jovian berucap Alessa tidak menyahutinya, Jovian melihat Alessa yang serius itu mengoles Povidone iodine meski Jovian begitu tahan sakit dan tidak berekspresi apa pun saat Alessa membasuh lukanya dengan Povidone iodine. Alessa menoleh menatap wajah Jovian yang rupawan itu, ternyata kedua mata birunya hanya menatap pada Alessa. "Apa tidak sakit?" tanya Alessa akhirnya bersuara."Tidak," jawab Jovian singkat.Alessa mengangguk. Padahal lukanya lumayan juga sih, kalau aku sudah menjerit, batin Alessa mel
"Kau merasa benar padahal istrimu dan dirimu berawal dari nikah kontrak, akui saja Jovian kita sama-sama licik," ungkap Antonio dengan ujung bibir sobeknya. "Ya, benar, kau juga sama liciknya dengan kami, kita tak beda Jo," sahut Gerogina.Jovian jadi semakin murka. Ia melayangkan pukulan pada Antonio kemudian terakhir memukur cermin mobil tepat disebelah Georgina berdiri. "Jangan samakan aku dengan kalian." Jovian berucap sembari beranjak pergi.Georgina masih syok, ia terkejut usai melihat pertengkaran Jovian dan Antonio di basement apartemen barunya. Ia menatap kaca mobil yang pecah dan serpihan kacanya berserakan. "Alessa, Alessa, Alessa! Wanita sialan!" teriak Georgina karena rasa dendamnya semakin menumpuk. Malam itu, ketegangan di antara mereka menciptakan bayang-bayang gelap di dinding kamar tidur. Suasana yang dulu penuh dengan keintiman kini tertutup oleh dinding dingin keheningan. Rintihan hati yang tak terucapkan terasa begitu nyata di udara.Georgina duduk di ujung temp
"Kak, tidakkah orang-orang itu seperti memerhatikan kita?" tanya Alessa pada Eidar. Ia cukup tahu dan memahami situasi mengancam seperti ini, orang yang mencurigakan dengan gelagat yang aneh."Ya, benar, padahal tadi mereka tidak ada," jawab Eidar. Pria itu melirik ke kiri dan kanannya. Lorong koridor Rumah Sakit menjadi sepi saat malam, apalagi tempat yang mereka duduki saat ini merupakan Unit Intensive Care sehingg hanya beberapa petugas di dalam namun tiada orang lain selain mereka dan lima orang Pria misterius itu.Alessa mulai gusar karena mengingatkannya dengan penculikan yang pernah ia rasakan, belum lagi pengalaman buruk ini akan membuka luka lama bagi Alessa tapi Alessa jadi tahu jika Georgina memang bukan sembarangan orang."Kak, aku ingin memanggil Security," ucap Alessa namun enggan beranjak karena mencemaskan Eidar yang pasti tidak beranjak juga. Eidar mengangguk. "Pergilah, aku akan tetap di sini," sahut Eidar menajam.Alessa sudah menerka jawabannya. "Kau gila?" sahut
"Kak ... sebenarnya siapa dirimu yang sebenarnya?" tanya Alessa sembari menggeleng kecil. Alessa menepis dugaan buruknya yang kini memutar di benaknya sendiri. Alessa tetap mempercayai jika Jovian Pria yang baik, Pria yang berasal dari keluarga yang terpandang dan Pria yang memiliki hidup yang positif. Semua itu Alessa lakukan karena Alessa sudah mulai mencintai Jovian."Kita bicarakan nanti," ucap Jovian dingin.Ini yang tak Alessa sukai. Ia selalu merasakan sikap Jovian yang lembut padanya jadi ketika Jovian berucap dengan nada dingin seperti dulu, membuat ujung perasaan Alessa jadi terasa sakit. Alessa hanya mengangguk kemudian lebih mengutamakan membereskan kekacauan ini.Alessa menghampiri Eidar dan tangannya hampir hendak menyentuh Eidar untuk sekedar memeriksa kondisi Pria itu tapi pergelangan tangan Alessa di raih oleh Jovian lebih dulu. "Kenapa Kak?' tanya Alessa heran."Biar aku yang membereskan semua ini, kamu pulang saja," ucap Jovian seperti perintah."Apa sih masalahmu
Saat itu angin sepoi-sepoi malam mengusik dedaunan di tepi jendela kamar rumah sakit. Di dalam ruangan yang sunyi itu, Georgina masih damai dengan lelapnya. Matanya yang perlahan terpejam menunjukkan tanda-tanda kelelahan. Hidupnya yang penuh ambisi, kini hanya terlihat dalam kenangan yang hilang.Georgina pembenci Alessa yang hangat, kini terjebak dalam dunia sunyi yang hanya bisa dirasakannya. Kecelakaan tragis yang menimpanya telah merenggut semua kebebasannya. Ia kini terperangkap dalam tubuh yang tak mampu bergerak, hanya bisa menyaksikan dunia melalui sudut pandang yang terbatas.Kala itu pintu perawatan terbuka, terbatas bagi satu orang penjenguk. Alessa terdiam namun pasti mengamati Georgina yang terbaring dengan monitor yang terus berbunyi seiras dengan denyut jantungnya. Alessa duduk di pinggiran ranjang kasur. Mungkin hanya dialah satu-satunya pengunjung yang rutin melihat Georgina, musuhnya yang hanya sudi menatap Alessa terpuruk namun kini kebalikan."Gina, betah sekali y
"Kak, apakah malam ini bisa makan malam bersama?" tawar Alessa yang baru memanggang ayam herbal.Jovian tak mengubris istrinya itu. Ia baru saja keluar dari kamar usai berpakaian rapi dan formal. Pria bermata biru itu masih sempat mencium pipi gempal Si Kembar yang sedang anteng di dalam kereta bayi. "Maaf, malam ini aku ada meeting di Munich," sahut Jovian dingin. "Munich, Jerman, bukan? kenapa Kakak tidak bilang jika berangkat ke Jerman hari ini?" tanya Alessa.Jovian tak menoleh pada Alessa. "Maaf, aku sudah terlambat datang ke penerbangan," jawab Jovian sembari melesat pergi, meninggalkan keheningan di apartemen yang mereka tinggali. Alessa terdiam menatap pintu yang ditutup oleh Pria itu kemudian sepi yang melanda. Jovian sudah seperti ini padanya sejak dua minggu lalu, hingga bulan berikutnya. Alessa merasa Jovian terus menghindarinya padahal setiap hari Alessa memasak untuknya seperti saat ini. Alessa menatap hampa sajian piring dan masakan yang sudah ia kerjakan sejak subuh.