"Pentas yang bagus sekali, Georgina." Alessa saat ini berpenampilan sebagai Pria tersenyum miring. Ia mengeluarkan kacamata dari saku celananya usai meletakkan kamera dan tape recorder pada tas selempangnya. "Kacamata akan menyamarkan penampilanku, kalau begitu lebih baik aku pulang," ucap Alessa sembari membalikkan tubuhnya.Bruk ...Alessa memengangi hidungnya karena baru saja menabrak dada bidang seseorang. "Aduh, duh, ah! maafkan aku, Tuan ...," ucap Alessa terpotong usai menanggah menatap Pria yang ditabraknya ini."Oh ya? apa kau Paparazi?" tanya Pria bermata biru itu.Alessa buru-buru menundukkan wajahnya. Gawat, kenapa malah bisa kebetulan bertemu Jovian, batin Alessa panik. Alessa mendeham kemudian berbicara dengan suara beratnya. "Ahem, maafkan aku Tuan kalau begitu permisi," ucap Alessa sembari beranjak pergi.Jovian memerhatikan sosok Alessa yang tak ia kenali itu berlari menjauhinya. "Apa-apaan Pemuda itu?" Jovian terdiam karena heran sendiri. Sementara itu Alessa berlar
Alessa yang saat ini menjadi Alexander Heide hanya duduk dengan kaku di hadapan Jovian, suaminya itu. Alessa tersenyum kikuk kala kedua mata biru Jovian yang tajam hanya menyoroti diirnya, padahal di sebelah Alessa, Charles Tio sibuk melontarkan pertanyaan untuk Jovian. Selama sesi wawancara, Alessa bergerak gelisah karena kedua mata biru Jovian memandanginya dengan tajam."Jadi Tuan Jovian, strategi apa yang Anda lakukan saat masalah dalam Perusahaan terjadi?" tanya Charles Tio."Hey, kau ... apa kau tidak mau menanyaiku?" Jovian menyambar Alessa dengan suara dinginnya. Alessa menegak salivanya sendiri. Jovian memberinya tekanan pada Alessa yang sebenarnya bersusah payah menyamarkan keberadaannya. "Anu ... Tuan, Tuan Jovian, saya anak magang," cicit Alessa pelan."Siapa namamu?" tanya Jovian."A ... Alexander, Alexander Heide," jawab Alessa gelagapan. Ah, gawat-gawat, jika ketahuan maka semua rencanaku berantakan, batin Alessa yang juga panik. Jovian menaikkan sebelah alisnya heran
Alessa tengah tersenyum lebar sembari menyerahkan tape recorder dan camera pada Simon Heide. Ia puas sudah mengetahui Georgina dan keburukannya, kini Alessa memberikan bukti itu pada Simon agar dapat disebarkan ke media sebagai Anonim. "Aku mohon, agar Paman melakukannya seperti permintaanku," ucap Alessa."Wah, buru-buru sekali, apa sudah dijemput?" tanya Simon."Benar Paman karena Jovian sebentar lagi menjemput kami," jawab Alessa.Simon tersenyum kecil, ia menerima baik Alessa selama beberapa hari ini bahkan ikut membantu mewujudkan keinginan Alessa. "Kalau begitu, aku ambil tape recorder dan cameranya," ucap Simon meraih kedua benda itu."Terima kasih Paman, atas semuanya." Alessa membungkuk memberi hormat pada Simon. "Ibu bilang di Jepang kami akan melakukan ini untuk terima kasih yang tulus." Alessa berucap sembari menegapkan punggungnya lagi. Simon tertawa seraya menepuk-nepuk pundak Alessa. "Kau tahu, Nak? saat aku meliputmu di kejuaraan Olympic bertahun-tahun lalu, kau sudah
"Tentu ada, tapi jika sampai menjadi Adik dari Si Kembar, aku belum siap karena aku merasa kita belum terbebas dari segala ancaman," gumam Alessa."Baiklah, aku akan menantikannya," ucap Jovian. Alessa pun kembali seorang diri bersama kedua anak-anaknya yang sudah terlelap tidur itu. Pertemuannya tidak lama bersama Jovian karena sebuah panggilan dari telepon Pria Pirang itu membuat Alessa berpisah sementara waktu dengannya. Semua ini karena kondisi Tuan Sebastian yang memburuk dan Julia yang maladaptif terhadap orang-orang dilingkungannya, atau mengamuk dan murka. "Melihat Jovian kelimpungan seperti itu, apakah pilihan ini sudah benar?" tanya Alessa seorang diri.Alessa dalam keheningan malam di rumah besar yang baru ia tempati. Hari ini juga hujan deras membuat Alessa semakin tenggelam dalam lamunannya, ia berbaring di ranjang kasur yang besar sembari menatap langit-langit kamar. Tok ... tok ..."Hm? kenapa Jovian cepat kembali?" tanya Alessa heran. Alessa beranjak berdiri dari ra
Sebelumnya ..."Mengenai hal itu, Kenzo ada di kediaman Heide karena mengawasi Ayah," "Kenapa membiarkan Kenzo mengawasi ibumu? apa sesuatu sudah terjadi?" "Maaf, sepertinya aku harus segera membawa Ibu ke Mental Hospital karena dia selalu berniat mencelakaimu dan keliru saat menatap ayahku."Jovian tak menyangkal jika pikiran Pria bermata biru ini berkecamuk, antara Alessa dan ibunya. Pilihan yang sulit yang harus Pria itu pikirkan namun Alessa, bukanlah seperti wanita-wanita yang terbuai oleh ketampanan dan hartanya. Alessa yang sembari menggendong Anak berambut pirangnya tampak menciumi puncak kepala Anak itu, menjadi perhatian yang tak luput dari seorang Jovian. Pemandangan ini tak pernah Jovian duga-duga selama hidupnya, ia memang senang bermain ranjang dengan perempuan manapun namun sebelum bertemu Alessa membuat semuanya berubah. Jika saja ini bukan Alessa, apa aku sanggup? batin Jovian.Usai menyetir dan membawa Alessa kembali ke Rumah mereka. Jovian langsung bergegas kemba
"Alessa, kamu sudah aman, kamu sudah aman bersamaku," ucap Jovian.Pria bermata biru itu mendekap Alessa. Ia berusaha cepat kembali ke rumah ini usai tahu jika Alessa dalam bahaya tapi Jovian merasa gagal karena ia terlambat menyelamatkan hati Alessa yang kembali terluka. "Alessa, maafkan aku, maafkan aku," ucap Jovian mendeap Alessa dengan erat. Jovian memejamkan kedua matanya sembari meremat kedua tangannya yang sedang memeluk Alessa.Alessa lumayan merasa tenang berkat Jovian. Saat Alessa menanggahkan kepala untuk melihat Jovian. Ia lihat tatapan Jovian yang terpejam erat. Keningnya mengkerut dan tak lama membukakan kedua mata biru yang indah itu. Lautan terdalam, biru yang dingin namun beku yang tak usai namun semuanya berkaca-kaca. Jovian yang selama ini Alessa tahu hanya datar sedang terisak samar. Kedua mata biru itu jelas tampak sedih tapi Alessa meraih rahang Jovian sembari tersenyum."Kupikir kaulah es abadi yang tak akan pernah meleleh namun ternyata dirimu, bisa sedih," uc
"Selamat pagi Alessa," ucap Jovian. "Ya, bawa Si Kembar kemari Kak, mereka harus sarapan." Alessa berucap sembari setengah sibuk membalikkan telur yang ia goreng. Alessa memasak makanan untuk pagi ini dan juga mulai membuat bubur saring untuk Si Kembar. Setahun sudah usia Si Kembar. Mereka berdua aktif dan tak jarang merepotkan Alessa dan Jovian selama mengasuh putra-putra mereka ini. Alessa kini sedang menyiapkan makanan tapi terkekeh geli karena kedua anaknya itu sedang bergelayut di kedua lengan kekarnya Jovian. Bagi Jovian tak akan sulit membawa dua anak kecil ini dalam tubuh besar dan kekarnya itu. "Kak Jo, aku bawa anak-anak ke gelanggang ya, karena aku mau latihan mumpung hari sabtu," ucap Alessa membujuk suaminya itu. Jovian mengangguk kecil seraya menduduki Luciel dan Elio pada bangku khusus bayi. "Alessa, aku bisa menjemput kalian siang setelah meeting, apa tidak masalah?" tanya Jovian sembari menduduki dirinya di bangku. "Tentu saja, Ibu juga akan menemani Si Kembar
"Luar biasa, luar biasa, aku baru tahu jika kau memang Skater legendaris yang Indah," ucap Pria bermata obisidan itu.Alessa menerjabkan kedua matanya, yang membuatnya berselancar menepi dengan cepat. "Kak Eidar, bagaimana Kakak bisa kemari?" tanya Alessa.Eidar beranjak dari bangku penonton, ia berjalan menuruni anak tangga kemudian menghampiri Alessa yang kala itu sedang terdiam menatapnya. "Bagaimana kabarmu?" tanya Eidar bernada lembut sembari menyentuh pipi kanan Alessa."Aku baik-baik saja," jawab Alessa tak bergeming.Eidar tersenyum meski kedua pandang matanya sendu pada Alessa. "Syukurlah, syukurlah." Eidar menurunkan tangannya menuju helaian rambut Alessa yang sudah memanjang. "Apa kamu makan dengan baik? bagaimana kabar Luciel dan Elio?" tanya Eidar.Alessa tersenyum lebar ketika menyadari jika Eidar mengingat dan menanyakan hal yang seperti ini, padahal Alessa justru menduga hal lain. "Mereka baik-baik saja," jawab Alessa singkat sembari memalingkan wajah sendunya yang tak
Alessa baru saja memasak nasi goreng, dia merasa sedikit nasi gorengnya kemudian dirasa kurang cukup jika tak ditaburi oleh bawang goreng. Lantas, dia pun menjinjit untuk menggapai lemari atas yang lumayan tinggi dari tinggi badannya. “Ah~ kenapa tinggi tubuhku ini.” Alessa menggerutu berusaha menggapai lemari atas itu. Sebuah tangan kanan meraih wadah berisi bawang goreng kemudian memberikannya kepada Alessa. “Mama, mau mengambil bawang goreng bukan?” tanya Seorang remaja pria bersurai pirang yang baru berusia lima belas tahun itu tersenyum kepadanya. Putera Jovian Arsenio Heide dan Alessa Camelia Amarei. Si mata Aquamarine, Elio Heide. “Elio, membantu banyak!” Alessa meraih wadah itu dari Elio kemudian mengusap-usap puncak kepalanya, walaupun Elio harus menunduk agar sang Mommy bisa menggapainya. Elio tersenyum dengan lembut, sifatnya yang tenang dan serius menuruni sang ayah. Omong-omong, Elio ini terlahir lahir lima menita setelah saudara kembarnya. “MAMA! Lihat, Ayah membelika
Gugup. Tentu saja, itulah yang dirasakan Mina Harun saat ini. Gaun putih yang dikenakannya itu begitu pas pada tubuh langsingnya, Mina ini masih bersiap-siap di ruang rias, selagi dirias di sampingnya Alessa tersenyum-senyum sendiri.“Kak Mina cantik," puji Alessa sembari tersenyum.Sebaliknya Mina juga mengangumi kecantikannya Alessa. Tak tampak seperti ibu dengan dua anak. “A-ah itu, terima kasih.” Mina berucap sembari mengangguk gugup. Dia bukan seseorang yang pandai menguasai situasi berbeda dengan si mata lelehan madu yang ceria dan lemah lembut.Mina tak lama merasa jika tangannya terasa digenggam. “Tenang saja, Kenzo itu benar-benar mencintaimu juga. Terus ... dia itu pencemburu akut loh~” Gadis itu mengedipkan matanya, dia tersenyum dengan ringan."Aku kadang iri padamu Alessa, dibandingkan aku, kamu lebih hebat bahkan sudah jadi sosok ibu yang baik bahkan aku takut menikah karena aku takut jika aku tak bisa jadi ibu yang baik," ucap Mina gusar.Alessa mengangguk paham, kini
"Baiklah, besok pagi kita jemput Si Kembar ya, karena sebenarnya lusa Mina dan Kenzo akan menikah," ucap Jovian. Malamnya Alessa dan Jovian masih bersantai di hotel. Alessa menatap Jovian yang saat itu sedang berkutat dengan laptopnya. Alessa mendekati suaminya dan memeluk Jovian. Alessa menyandarkan kepalanya pada dada bidang Jovian kemudian berbaring dengan santai di sana.Jovian sama sekali tak terganggu dengan kehadiran Alessa yang lebih manja itu. Jovian melirik jam dinding yang menunjukkan pukul delapan malam. Ia melirik Alessa kemudian mematikan laptopnya. "Kamu sedang mau makan apa?" tanya Jovian."Kakak sungguhan bertanya padaku?" Alessa balik bertanya heran karena suaminya yang super kaku itu bisa bertanya padanya. Alessa tersenyum kecil karena menatap wajah heran Jovian.Alessa tampak menimbang sebentar isi kepalanya. "Aku pengen makan burger, fries dan ayam, apa boleh?" "Ayo, kita pergi cari makanan yang kamu mau," ajak Jovian. Malam itu Alessa dan Jovian sama-sama perg
Alessa tengah duduk di sebuah sofa, dia tampak kesulitan mengikat tali sepatu heels rendah itu. Alessa pun menghela napas dan menyerah, ia memilih bersandar pada sofa yang empuk itu sembaru mengusap-usap perutnya yang bundar."Lelahnya," gumam Alessa.Jovian baru masuk ke dalam ruang tamu, sedang mengancingi ujung lengan kemeja putihnya. Ia tersenyum melihat ibu hamil yang sedang menyerah itu. Jovian menatap kedua sepatu heels Alessa yang sudah dipasang cuman belum diikat. "Kamu padahal bisa memakai sepatu lain, Alessa," ucap Jovian sembari berlutut untuk mengikatkan kedua tali sepatu Alessa. Alessa mengerucutkan bibirnya. Tidak senang dengan ucapan suaminya itu. "Kan aku sedang mau memakai sepatu itu, ish Kak Jovian tahu memberi anak saja," celetuk Alessa sebal. "Baiklah, maaf," sahut Jovian usai mengikat tali sepatunya Alessa kemudian duduk di sebelahnya. Jovian langsung melihat Alessa yang mendekati tubuh kekarnya dan melingkari kedua tangannya di dada Jovian. Alessa kini bersan
"Selamat pagi Alessa, selamat kamu hamil enam minggu," ucap Mina."Kakak bercanda," elak Alessa masih tak menyangka.Mina menggeleng. "Benar Lessa, rahimmu yang terkena luka peluru ternyata belum diangkat namun hanya dijahit tapi tampaknya ada kesalahan saat penyampaian mengenai prosedur ini, tapi beruntungnya rahimmu bertahun-tahun lamanya pulih dan bisa mengandung bayi lagi meski nanti kamu harus operasi caesar agar mengurangi resikonya," ucap Mina menjelaskan. "Ini keajaiban Alessa, selamat untuk kalian berdua," ucap Mina tersenyum. Mina terhanyut menatap Alessa yang menangis dengan pelukan Jovian yang menyambutnya. Ia pun beranjak keluar dari ruangan itu untuk memberi waktu luang bagi Alessa dan Jovian.Mina Harun, dokter berdedikasi tinggi teman dekatnya Jovian dan Eidar sejak remaja. Mina jadi satu-satunya perempuan yang menjaga persahabatan kedua Pria itu. Mina bahkan masih rela membantu urusan Alessa dan Georgina dalam urusan kehamilan. Usai menyelesaikan visite dari ruangan
"Alessa, kaukah itu?"Alessa menoleh mendapati seorang Wanita sedang menggengam tangan mungil gadis cilik yang cantik jelita. Wanita itu menatap Alessa dengan tatapan berkaca-kaca. Ia hendak mendekati Alessa namun mengurungkan niatnya. Alessa tersenyum kecil dan berlari kecil mendatangi Wanita itu. "Apa kabarmu, Gina?" tanya Alessa riang.Georgina tersentak kaget. Ia sangka Alessa akan menolak menyapanya, mengingat dosa dan kesalahannya pada Alessa begitu fatal. Georgina tersenyum kecil kemudian mengangguk. "Aku baik-baik saja, kamu semakin cantik," puji Georgina. "Haha jadi malu dipuji oleh seorang model," kekeh Alessa. Alessa pun melirik pada sosok gadis cilik yag malu-malu menatapnya, Alessa pun menunduk untuk menyetarakan tingginya. Ia pun tersenyum pada Anak Kecil itu. "Kamu mirip seseorang, siapa namamu, Cantik?" tanya Alessa."Emily," gumam Anak itu.Alessa pun tersenyum sembari mengusap puncak kepala Anak itu. "Anakmu dan Kak Eidar ya?" tanya Alessa. Georgina pun mengangguk
“Lessa, apakah kau bahagia bersamaku?”Alessamenoleh, pada pria yang ada disampingnya itu. Mereka baru saja mengantri membeli Poffertjes pada sebuah restoran cepat saji, Alessa masih memengang Poffertjes yang dibungkus kertas cokelat itu. Bahkan dia baru saja mengigit Poffertjes. “Ha?! Kau berbicara apa, kak Jev?”Sebelah alis Alessamenaik.“Tidak, bukan apa-apa.” Pria pirang itu menoleh, dia mengelap ujung bibir Alessa yang terdapat gula halus dari Poffertjes yang tengah dimakannya itu “Mau kemana lagi?”Ujar Jovian dengan lembut.Alessa tampak berpikir sejenak “Aku sukanya pantai sih, tapi kalau mengunjungi pantai saat malam hari rasanya tidak enak. Apa kau memiliki rekomendasi?”“Nonton?”“Tch. Film yang Kak Jo pasti pilih film-filem yang temanya serius.”Jovian terkekeh pelan, dia mengakui hal itu. “Jarang-jarang bisa santai seperti ini tanpa Si Kembar bukan?”Alessa mengangguk saja tanpa menggubris Jovian karena sibuk mengunyah makanan manisnya. Sulit bagi Alessa berpaling dari mak
Alessa termangun, sejak kemarin duduk menemani Aji Santoso yang terbaring tak sadarkan diri. Kedua tangannya yang di perban kini sudah diganti dengan perban yang lebih kecil. Alessa menunggui Aji menemui keajaibannya, meski rasanya percuma karena alat-alat penunjang hidup Pria itu sudah memeluk hidupnya sejak kemarin.Alessa melamun dengan tatapan datar yang sendu, dia tak menangis karena air matanya terasa sudah terkuras habis. Alessa hanya diam duduk di samping Aji Santoso, bapaknya kemudian mengingat momen-momen ketika ia kecil, remaja hingga dewasa. Alessa menghela napas cukup panjang usai mendengar bunyi monitor disampingnya berbunyi setiap detik seiras dengan pernapasannya yang juga harus ditunjang. Alessa tahu hidup bapaknya bisa saja berakhir sebentar atau di waktu yang tidak ia duga-duga jadi Alessa memilih tidak beranjak sama sekali. Alessa menyentuh permukaan punggung tangan bapaknya itu. Tangan yang dulu Pria itu gunakan untuk memukulnya bahkan buah karya tangannya menye
"Tuan, Pak Aji Santoso pingsan dan kini sedang gawat," beritahu Kenzo. Alessa terperanjat kaget begitu juga dengan Jovian. Keduanya buru-buru mendatangi ruang gawat darurat. Alessa tak menyangka bapaknya menderita congestive heart failure. Selama ini yang Alessa tahu bapaknya yang hobi judi dan mabuk-mabukan itu terlepas dari semua penyakit."Pak AJi Santoso menderita gagal jantung, kami berhasil memberi perawatan intensif namun tampaknya membutuhkan perawatan yang maksimal," ucap Dokter.Alessa hanya mengangguk sementara ibunya, Rinka sudah terisak oleh tangisnya. Alessa gantian menatap Jovian kemudian Pria itu mengelus puncak kepalanya. Memberi ketennangan dan kehangatan di sana."Alessa, semuanya akan baik-baik saja," ucap Jovian menenangkan Alessa.Bukan itu yang jadi alasan Alessa terdiam pada perasaannya sendiri, melainkan masa lalu yang terus terbayang-bayang olehnya. Alessa segera menggeleng kemudian membalikkan tubuhnya membiarkan sosok Aji Santoso yang terbaring di atas ran