"Kenzo, jangan contoh sikap kaku Jovian ya," ucap Alessa sembari masuk ke dalam mobil.Jovian menyusul Alessa sembari menggendong bayinya. Kala di dalam mobil Alessa merubah raut wajah cantiknya jadi bertampang serius kala itu. Alessa bahkan sesekali mengerutkan dahinya. "Alessa kenapa?" tanya Jovian cemas.Alessa segera menggeleng. "Bukan, apa-apa," jawab Alessa. "Alessa, kemungkinan lusa aku akan pergi keluar kota untuk rapat bersama klien, apakah kamu ingin ikut?" tanya Jovian lembut."Pergilah berkerja, Papa, dan berhenti mencemaskanku secara berlebihan," celetuk Alessa berwajah sebal. Jovian tersenyum kecil. "Alessa hebat ya, kamu memang berbeda." Jovian berucap sembari mengusap puncak kepala Alessa. "Berhenti mengelus kepalaku seperti anak kecil," ketus Alessa, padahal sedang menggendong Elio yang sudah tertidur pulas. "Baiklah, baiklah, maaf." Jovian tersenyum lembut.Angin sore itu, meniup lembut. Berhembus sepoi-sepoi, membuat surai hitam malamnya ikut bergerak kesana dan
"Pentas yang bagus sekali, Georgina." Alessa saat ini berpenampilan sebagai Pria tersenyum miring. Ia mengeluarkan kacamata dari saku celananya usai meletakkan kamera dan tape recorder pada tas selempangnya. "Kacamata akan menyamarkan penampilanku, kalau begitu lebih baik aku pulang," ucap Alessa sembari membalikkan tubuhnya.Bruk ...Alessa memengangi hidungnya karena baru saja menabrak dada bidang seseorang. "Aduh, duh, ah! maafkan aku, Tuan ...," ucap Alessa terpotong usai menanggah menatap Pria yang ditabraknya ini."Oh ya? apa kau Paparazi?" tanya Pria bermata biru itu.Alessa buru-buru menundukkan wajahnya. Gawat, kenapa malah bisa kebetulan bertemu Jovian, batin Alessa panik. Alessa mendeham kemudian berbicara dengan suara beratnya. "Ahem, maafkan aku Tuan kalau begitu permisi," ucap Alessa sembari beranjak pergi.Jovian memerhatikan sosok Alessa yang tak ia kenali itu berlari menjauhinya. "Apa-apaan Pemuda itu?" Jovian terdiam karena heran sendiri. Sementara itu Alessa berlar
Alessa yang saat ini menjadi Alexander Heide hanya duduk dengan kaku di hadapan Jovian, suaminya itu. Alessa tersenyum kikuk kala kedua mata biru Jovian yang tajam hanya menyoroti diirnya, padahal di sebelah Alessa, Charles Tio sibuk melontarkan pertanyaan untuk Jovian. Selama sesi wawancara, Alessa bergerak gelisah karena kedua mata biru Jovian memandanginya dengan tajam."Jadi Tuan Jovian, strategi apa yang Anda lakukan saat masalah dalam Perusahaan terjadi?" tanya Charles Tio."Hey, kau ... apa kau tidak mau menanyaiku?" Jovian menyambar Alessa dengan suara dinginnya. Alessa menegak salivanya sendiri. Jovian memberinya tekanan pada Alessa yang sebenarnya bersusah payah menyamarkan keberadaannya. "Anu ... Tuan, Tuan Jovian, saya anak magang," cicit Alessa pelan."Siapa namamu?" tanya Jovian."A ... Alexander, Alexander Heide," jawab Alessa gelagapan. Ah, gawat-gawat, jika ketahuan maka semua rencanaku berantakan, batin Alessa yang juga panik. Jovian menaikkan sebelah alisnya heran
Alessa tengah tersenyum lebar sembari menyerahkan tape recorder dan camera pada Simon Heide. Ia puas sudah mengetahui Georgina dan keburukannya, kini Alessa memberikan bukti itu pada Simon agar dapat disebarkan ke media sebagai Anonim. "Aku mohon, agar Paman melakukannya seperti permintaanku," ucap Alessa."Wah, buru-buru sekali, apa sudah dijemput?" tanya Simon."Benar Paman karena Jovian sebentar lagi menjemput kami," jawab Alessa.Simon tersenyum kecil, ia menerima baik Alessa selama beberapa hari ini bahkan ikut membantu mewujudkan keinginan Alessa. "Kalau begitu, aku ambil tape recorder dan cameranya," ucap Simon meraih kedua benda itu."Terima kasih Paman, atas semuanya." Alessa membungkuk memberi hormat pada Simon. "Ibu bilang di Jepang kami akan melakukan ini untuk terima kasih yang tulus." Alessa berucap sembari menegapkan punggungnya lagi. Simon tertawa seraya menepuk-nepuk pundak Alessa. "Kau tahu, Nak? saat aku meliputmu di kejuaraan Olympic bertahun-tahun lalu, kau sudah
"Tentu ada, tapi jika sampai menjadi Adik dari Si Kembar, aku belum siap karena aku merasa kita belum terbebas dari segala ancaman," gumam Alessa."Baiklah, aku akan menantikannya," ucap Jovian. Alessa pun kembali seorang diri bersama kedua anak-anaknya yang sudah terlelap tidur itu. Pertemuannya tidak lama bersama Jovian karena sebuah panggilan dari telepon Pria Pirang itu membuat Alessa berpisah sementara waktu dengannya. Semua ini karena kondisi Tuan Sebastian yang memburuk dan Julia yang maladaptif terhadap orang-orang dilingkungannya, atau mengamuk dan murka. "Melihat Jovian kelimpungan seperti itu, apakah pilihan ini sudah benar?" tanya Alessa seorang diri.Alessa dalam keheningan malam di rumah besar yang baru ia tempati. Hari ini juga hujan deras membuat Alessa semakin tenggelam dalam lamunannya, ia berbaring di ranjang kasur yang besar sembari menatap langit-langit kamar. Tok ... tok ..."Hm? kenapa Jovian cepat kembali?" tanya Alessa heran. Alessa beranjak berdiri dari ra
Sebelumnya ..."Mengenai hal itu, Kenzo ada di kediaman Heide karena mengawasi Ayah," "Kenapa membiarkan Kenzo mengawasi ibumu? apa sesuatu sudah terjadi?" "Maaf, sepertinya aku harus segera membawa Ibu ke Mental Hospital karena dia selalu berniat mencelakaimu dan keliru saat menatap ayahku."Jovian tak menyangkal jika pikiran Pria bermata biru ini berkecamuk, antara Alessa dan ibunya. Pilihan yang sulit yang harus Pria itu pikirkan namun Alessa, bukanlah seperti wanita-wanita yang terbuai oleh ketampanan dan hartanya. Alessa yang sembari menggendong Anak berambut pirangnya tampak menciumi puncak kepala Anak itu, menjadi perhatian yang tak luput dari seorang Jovian. Pemandangan ini tak pernah Jovian duga-duga selama hidupnya, ia memang senang bermain ranjang dengan perempuan manapun namun sebelum bertemu Alessa membuat semuanya berubah. Jika saja ini bukan Alessa, apa aku sanggup? batin Jovian.Usai menyetir dan membawa Alessa kembali ke Rumah mereka. Jovian langsung bergegas kemba
"Alessa, kamu sudah aman, kamu sudah aman bersamaku," ucap Jovian.Pria bermata biru itu mendekap Alessa. Ia berusaha cepat kembali ke rumah ini usai tahu jika Alessa dalam bahaya tapi Jovian merasa gagal karena ia terlambat menyelamatkan hati Alessa yang kembali terluka. "Alessa, maafkan aku, maafkan aku," ucap Jovian mendeap Alessa dengan erat. Jovian memejamkan kedua matanya sembari meremat kedua tangannya yang sedang memeluk Alessa.Alessa lumayan merasa tenang berkat Jovian. Saat Alessa menanggahkan kepala untuk melihat Jovian. Ia lihat tatapan Jovian yang terpejam erat. Keningnya mengkerut dan tak lama membukakan kedua mata biru yang indah itu. Lautan terdalam, biru yang dingin namun beku yang tak usai namun semuanya berkaca-kaca. Jovian yang selama ini Alessa tahu hanya datar sedang terisak samar. Kedua mata biru itu jelas tampak sedih tapi Alessa meraih rahang Jovian sembari tersenyum."Kupikir kaulah es abadi yang tak akan pernah meleleh namun ternyata dirimu, bisa sedih," uc
"Selamat pagi Alessa," ucap Jovian. "Ya, bawa Si Kembar kemari Kak, mereka harus sarapan." Alessa berucap sembari setengah sibuk membalikkan telur yang ia goreng. Alessa memasak makanan untuk pagi ini dan juga mulai membuat bubur saring untuk Si Kembar. Setahun sudah usia Si Kembar. Mereka berdua aktif dan tak jarang merepotkan Alessa dan Jovian selama mengasuh putra-putra mereka ini. Alessa kini sedang menyiapkan makanan tapi terkekeh geli karena kedua anaknya itu sedang bergelayut di kedua lengan kekarnya Jovian. Bagi Jovian tak akan sulit membawa dua anak kecil ini dalam tubuh besar dan kekarnya itu. "Kak Jo, aku bawa anak-anak ke gelanggang ya, karena aku mau latihan mumpung hari sabtu," ucap Alessa membujuk suaminya itu. Jovian mengangguk kecil seraya menduduki Luciel dan Elio pada bangku khusus bayi. "Alessa, aku bisa menjemput kalian siang setelah meeting, apa tidak masalah?" tanya Jovian sembari menduduki dirinya di bangku. "Tentu saja, Ibu juga akan menemani Si Kembar