“Begitu juga aku, aku ingin melindungi Alessa,” ucap Jovian kala itu.Jovian saat itu baru keluar dari kamar kedua orang tuanya. Ia baru berdiri di luar kemudian mendapati Georgina tengah terdiam menatapnya. Gadis itu masih memiliki tatapan ambisius terhadap dirinya. Tatapan yang bahkan tak kenal akan kekalahan oleh kedua matanya itu. "Ibumu menyerah tapi aku tidak akan sudi menyerah," celetuk Georgina."Hentikan semua ini, kau sudah tahu sendiri jika jawabannya bukan dirimu, kenapa memaksakan?" ucap Jovian dingin. Tatapan datar dan raut yang serasi itu. Tentu saja tidak mentoleransi perkataan yang hendak Georgina ucapkan.Georgina terkekeh seolah menyukai raut wajah Jovian saat ini. "Haha, benarkah? kau tetap milikku sampai kapan pun," ucap Georgina lantang.Jovian menghela napas kemudian berjalan melintasinya. "Terserah kau saja." Jovian berucap tanpa menghiraukan tatapan murka Georgina. Georgina menumpuk rasa kekesalannya. Gadis itu menghentakkan kaki kemudian berlari menuruni an
"Kenzo, jangan contoh sikap kaku Jovian ya," ucap Alessa sembari masuk ke dalam mobil.Jovian menyusul Alessa sembari menggendong bayinya. Kala di dalam mobil Alessa merubah raut wajah cantiknya jadi bertampang serius kala itu. Alessa bahkan sesekali mengerutkan dahinya. "Alessa kenapa?" tanya Jovian cemas.Alessa segera menggeleng. "Bukan, apa-apa," jawab Alessa. "Alessa, kemungkinan lusa aku akan pergi keluar kota untuk rapat bersama klien, apakah kamu ingin ikut?" tanya Jovian lembut."Pergilah berkerja, Papa, dan berhenti mencemaskanku secara berlebihan," celetuk Alessa berwajah sebal. Jovian tersenyum kecil. "Alessa hebat ya, kamu memang berbeda." Jovian berucap sembari mengusap puncak kepala Alessa. "Berhenti mengelus kepalaku seperti anak kecil," ketus Alessa, padahal sedang menggendong Elio yang sudah tertidur pulas. "Baiklah, baiklah, maaf." Jovian tersenyum lembut.Angin sore itu, meniup lembut. Berhembus sepoi-sepoi, membuat surai hitam malamnya ikut bergerak kesana dan
"Pentas yang bagus sekali, Georgina." Alessa saat ini berpenampilan sebagai Pria tersenyum miring. Ia mengeluarkan kacamata dari saku celananya usai meletakkan kamera dan tape recorder pada tas selempangnya. "Kacamata akan menyamarkan penampilanku, kalau begitu lebih baik aku pulang," ucap Alessa sembari membalikkan tubuhnya.Bruk ...Alessa memengangi hidungnya karena baru saja menabrak dada bidang seseorang. "Aduh, duh, ah! maafkan aku, Tuan ...," ucap Alessa terpotong usai menanggah menatap Pria yang ditabraknya ini."Oh ya? apa kau Paparazi?" tanya Pria bermata biru itu.Alessa buru-buru menundukkan wajahnya. Gawat, kenapa malah bisa kebetulan bertemu Jovian, batin Alessa panik. Alessa mendeham kemudian berbicara dengan suara beratnya. "Ahem, maafkan aku Tuan kalau begitu permisi," ucap Alessa sembari beranjak pergi.Jovian memerhatikan sosok Alessa yang tak ia kenali itu berlari menjauhinya. "Apa-apaan Pemuda itu?" Jovian terdiam karena heran sendiri. Sementara itu Alessa berlar
Alessa yang saat ini menjadi Alexander Heide hanya duduk dengan kaku di hadapan Jovian, suaminya itu. Alessa tersenyum kikuk kala kedua mata biru Jovian yang tajam hanya menyoroti diirnya, padahal di sebelah Alessa, Charles Tio sibuk melontarkan pertanyaan untuk Jovian. Selama sesi wawancara, Alessa bergerak gelisah karena kedua mata biru Jovian memandanginya dengan tajam."Jadi Tuan Jovian, strategi apa yang Anda lakukan saat masalah dalam Perusahaan terjadi?" tanya Charles Tio."Hey, kau ... apa kau tidak mau menanyaiku?" Jovian menyambar Alessa dengan suara dinginnya. Alessa menegak salivanya sendiri. Jovian memberinya tekanan pada Alessa yang sebenarnya bersusah payah menyamarkan keberadaannya. "Anu ... Tuan, Tuan Jovian, saya anak magang," cicit Alessa pelan."Siapa namamu?" tanya Jovian."A ... Alexander, Alexander Heide," jawab Alessa gelagapan. Ah, gawat-gawat, jika ketahuan maka semua rencanaku berantakan, batin Alessa yang juga panik. Jovian menaikkan sebelah alisnya heran
Alessa tengah tersenyum lebar sembari menyerahkan tape recorder dan camera pada Simon Heide. Ia puas sudah mengetahui Georgina dan keburukannya, kini Alessa memberikan bukti itu pada Simon agar dapat disebarkan ke media sebagai Anonim. "Aku mohon, agar Paman melakukannya seperti permintaanku," ucap Alessa."Wah, buru-buru sekali, apa sudah dijemput?" tanya Simon."Benar Paman karena Jovian sebentar lagi menjemput kami," jawab Alessa.Simon tersenyum kecil, ia menerima baik Alessa selama beberapa hari ini bahkan ikut membantu mewujudkan keinginan Alessa. "Kalau begitu, aku ambil tape recorder dan cameranya," ucap Simon meraih kedua benda itu."Terima kasih Paman, atas semuanya." Alessa membungkuk memberi hormat pada Simon. "Ibu bilang di Jepang kami akan melakukan ini untuk terima kasih yang tulus." Alessa berucap sembari menegapkan punggungnya lagi. Simon tertawa seraya menepuk-nepuk pundak Alessa. "Kau tahu, Nak? saat aku meliputmu di kejuaraan Olympic bertahun-tahun lalu, kau sudah
"Tentu ada, tapi jika sampai menjadi Adik dari Si Kembar, aku belum siap karena aku merasa kita belum terbebas dari segala ancaman," gumam Alessa."Baiklah, aku akan menantikannya," ucap Jovian. Alessa pun kembali seorang diri bersama kedua anak-anaknya yang sudah terlelap tidur itu. Pertemuannya tidak lama bersama Jovian karena sebuah panggilan dari telepon Pria Pirang itu membuat Alessa berpisah sementara waktu dengannya. Semua ini karena kondisi Tuan Sebastian yang memburuk dan Julia yang maladaptif terhadap orang-orang dilingkungannya, atau mengamuk dan murka. "Melihat Jovian kelimpungan seperti itu, apakah pilihan ini sudah benar?" tanya Alessa seorang diri.Alessa dalam keheningan malam di rumah besar yang baru ia tempati. Hari ini juga hujan deras membuat Alessa semakin tenggelam dalam lamunannya, ia berbaring di ranjang kasur yang besar sembari menatap langit-langit kamar. Tok ... tok ..."Hm? kenapa Jovian cepat kembali?" tanya Alessa heran. Alessa beranjak berdiri dari ra
Sebelumnya ..."Mengenai hal itu, Kenzo ada di kediaman Heide karena mengawasi Ayah," "Kenapa membiarkan Kenzo mengawasi ibumu? apa sesuatu sudah terjadi?" "Maaf, sepertinya aku harus segera membawa Ibu ke Mental Hospital karena dia selalu berniat mencelakaimu dan keliru saat menatap ayahku."Jovian tak menyangkal jika pikiran Pria bermata biru ini berkecamuk, antara Alessa dan ibunya. Pilihan yang sulit yang harus Pria itu pikirkan namun Alessa, bukanlah seperti wanita-wanita yang terbuai oleh ketampanan dan hartanya. Alessa yang sembari menggendong Anak berambut pirangnya tampak menciumi puncak kepala Anak itu, menjadi perhatian yang tak luput dari seorang Jovian. Pemandangan ini tak pernah Jovian duga-duga selama hidupnya, ia memang senang bermain ranjang dengan perempuan manapun namun sebelum bertemu Alessa membuat semuanya berubah. Jika saja ini bukan Alessa, apa aku sanggup? batin Jovian.Usai menyetir dan membawa Alessa kembali ke Rumah mereka. Jovian langsung bergegas kemba
"Alessa, kamu sudah aman, kamu sudah aman bersamaku," ucap Jovian.Pria bermata biru itu mendekap Alessa. Ia berusaha cepat kembali ke rumah ini usai tahu jika Alessa dalam bahaya tapi Jovian merasa gagal karena ia terlambat menyelamatkan hati Alessa yang kembali terluka. "Alessa, maafkan aku, maafkan aku," ucap Jovian mendeap Alessa dengan erat. Jovian memejamkan kedua matanya sembari meremat kedua tangannya yang sedang memeluk Alessa.Alessa lumayan merasa tenang berkat Jovian. Saat Alessa menanggahkan kepala untuk melihat Jovian. Ia lihat tatapan Jovian yang terpejam erat. Keningnya mengkerut dan tak lama membukakan kedua mata biru yang indah itu. Lautan terdalam, biru yang dingin namun beku yang tak usai namun semuanya berkaca-kaca. Jovian yang selama ini Alessa tahu hanya datar sedang terisak samar. Kedua mata biru itu jelas tampak sedih tapi Alessa meraih rahang Jovian sembari tersenyum."Kupikir kaulah es abadi yang tak akan pernah meleleh namun ternyata dirimu, bisa sedih," uc