***
Pertemuan para pemimpin mafia se-Asia Tenggara itu berakhir ketika Pemimpin Perhimpunan Mafia Asia, Dong Yon Ji, pergi meninggalkan ruangan tersebut.
Kuarahkan pandangan mata ini ke jam dinding besar yang berdetak dengan suara nyaring, waktu menunjukan pukul 7 malam waktu Singapura.
Kaki ini langsung menopang tubuhku yang berdiri berbarengan dengan para pemimpin lain. Nyonya Missa sedari tadi terus saja melirikku dengan tatapan vulgarnya, kurasa ia terus melakukannya ketika Dong sedang berbicara selama pertemuan.
“Apa kita akan pergi malam ini atau besok saja, Tuan Revan?” tanya Reno.
Ia berjalan dan berdiri tepat di sampingku. Aku masih memerhatikan gerak dari Nyonya Missa yang sungguh menggoda batin. Harus kuakui dia memang wanita menarik, tapi kepribadiannya membuatku muak melihatnya.
“Apa aku mengganggumu, Tuan Revan?” tanya Reno, wajahnya menyadariku yang sedari tadi terus menatap Nyonya Missa.
“Tidak, justru kau menyelamatkanku dari nenek sihir itu,” ungkapku.
Segera kuraih dokumen yang tadi diberikan selama pertemuan dan memberikan benda itu kepada Reno.
“Simpanlah. Jangan sampai hilang.”
Reno mengangguk dengan tegas, ia menggenggam benda itu dengan sekuat tenaga seolah-olah dokumen tersebut setara dengan nyawa Reno. Kulangkahkan kaki ini keluar dari ruang pertemuan dan terpancar jelas sinar rembulan yang menenangkan.
Langit biru yang begitu cerah selalu mengingatkanku akan kenangan dulu bersama dengan Tiara. Aku penasaran, apa yang sedang dia lakukan malam ini?
Reno segera menghampiriku dan mengatakan kalau mobil yang mengantarkanku ke hotel sudah siap. Ketika aku dan anak buahku hendak berjalan menuju mobil tersebut, langkah kaki ini terhenti mendengar sebuah pernyataan kasar terlontar dari seorang pria di belakangku.
“Baru saja menjadi seorang pemimpin mafia di Indonesia sudah arogan seperti itu, apa kini standar mafia di tempat itu sudah begitu rendah sehingga tidak ada orang lagi yang bisa menjadi pemimpin?” hina pria tersebut.
Ia bertubuh cukup besar, tapi tidak terlalu atletis. Aku mengenalnya dengan sebutan Mafia Tanah Tandus. Tampaknya ia terpancing dan kesal ketika Dong dengan jelas menyapa dan memujiku di depan umum.
Kubalikan tubuh ini dan menatap dengan tajam pria dengan goresan luka di dahinya. Pria itu dengan tersenyum menengadahkan kepalanya seolah-olah dialah raja di tempat ini.
“Haruskah kubunuh dia, Tuan?” tanya Reno, ia sudah bersiap untuk memegang revolver yang berada di sarung senapannya.
“Tidak, dia akan berguna satu hari nanti. Akan sangat disayangkan jika kita menyia-nyiakan nyawa dia hanya karena ejekan murahan, kan?” tanyaku.
Emosi yang sudah bergejolak di hati Reno perlahan reda ketika kupegang pundak pria tersebut. Segera kami pergi dari tempat tersebut dan mulai tak mengacuhkan apa yang pria berbadan besar itu terus katakan.
Perjalanan menuju hotel yang dituju cukup jauh dan panjang. Sembari menunggu, kuraih ponsel dari saku celana dan kubuka untuk melihat berita terbaru.
Aku hanya bisa tercengang dengan mulut menganga, rentetan berita terhangat dari salah satu media terpercaya menampilkan berita tentang pembunuhan Anggota Dewan, Lukman Sanjaya.
Banyak spekulasi liar yang muncul di laman media tersebut, mulai dari spekulasi mengenai pemilu presiden hingga bermainnya kartel mafia di belakang oligarki pemerintahan.
Apa yang sebenarnya terjadi?, batinku dengan wajah yang begitu tegang dan tak kuasa menahan perasaan sedih, kesal, dan marah.
Lukman Sanjaya dulu adalah teman dari ayahku. Ia sering mampir ke rumah hanya untuk sekedar berbincang hangat hingga membicarakan hal-hal berbau politik. Aku teringat dengan kata-kata beliau yang mengatakan kalau pemerintah sudah “rusak”.
“Reno … kita pulang ke Indonesia sekarang,” perintahku.
Reno tanpa banyak membantah, segera ia alihkan arah mobil itu menuju bandara, untungnya posisi mobilku kini begitu dekat dengan bandara sehingga bisa sampai dengan cepat.
Aku menunggu di ruang lobi bandara ketika Reno pergi untuk memesan tiket. Aku masih membuka dan membaca berita tentang pembunuhan anggota dewan satu persatu, hingga bisa kutarik benang merah kalau ada seseorang yang menjebak Cincin Hitam seolah-olah organisasiku dalang pembunuhan tersebut.
Reno datang dan menyerahkan tiket penerbangan kepadaku, “Pesawat take off 30 menit lagi.”
“Baiklah, sebaiknya kita bergegas.” Aku langsung berdiri dan berjalan menuju garbarata yang menghubungkan bandara dengan pesawat.
Kulihat tiket tersebut, Reno sengaja memilihkan tiket kelas satu kepadaku, dan tampaknya seluruh anggotaku justru berada di kelas ekonomi ketika kulihat satu persatu dari mereka mulai duduk.
First class menjadi hal yang istimewa bagi sebuah maskapai, bisa dibilang penumpang tersebut adalah orang penting atau orang kaya yang menjadi prioritas istimewa maskapai. Aku sudah terbiasa dengan suguhan pelayanan ekstra dari kelas utama ini.
Kukira perjalanan ini hanya akan ditemani oleh seorang pelayan bar wanita saja, terkejutnya aku melihat seorang wanita yang duduk berdampingan denganku. Ia dengan cuek meminta minuman beralkohol kepada pelayan bar tersebut.
“Apa kau tidak memesan? Pria yang membosankan!” ketus wanita tersebut.
“Tidak sopan!” bentakku dengan suara datar, ternyata ucapanku terdengar oleh wanita tersebut yang justru berkata dan bertindak lebih galak daripadaku.
“Apa kau bilang?! Beraninya kamu bicara seperti itu padaku!” ancam wanita tersebut, matanya tampak seperti tengah teler berat karena minuman alkohol yang ia tengguk.
Tiba-tiba, tubuhnya terjatuh dan bersandar padaku. Matanya terpejam dan terdengar celotehan tentang ibunya dan sebagainya, pasti ini efek dari alkohol yang disajikan bartender.
“Minuman apa yang kamu berikan padanya?” tanyaku kepada bartender tersebut.
“Eh, itu hanya vodka biasa,” ujar bartender tersebut.
Ingin sekali kutertawakan wanita malang yang berada dalam dekapanku ini, tetapi wajah dan keharumannya membuatku tak tega untuk mencelanya lebih jauh. Setidaknya aku perlu ruangan khusus untuk dia bisa beristirahat dengan tenang.
Untungnya, benefit menjadi penumpang first class di maskapai itu adalah berhak menggunakan kamar kecil berukuran 2x1 yang hanya memuat satu orang saja. Aku letakan wanita itu di atas kasur dan mulai menyelimutinya agar tidak kedinginan.
“Yaampun, kau ceroboh sekali!” gumamku.
Cukup bingung dengan apa yang terjadi di depanku, seorang wanita yang berlagak kuat minum alkohol dan pada akhirnya terjatuh karena keangkuhannya sendiri.
“Ada apa dengannya?” tanya salah satu pramugari.
“Dia mabuk alkohol,” ucapku singkat.
Aku berusaha untuk meminta data mengenai wanita tersebut dan dengan siapa dia kemari kepada pramugari, tetapi mereka tidak bisa memberikannya dengan alasan kerahasiaan penumpang.
Mau tidak mau, karena hanya ada aku di kelas satu. Aku harus menjaga wanita itu agar tidak terjadi apa-apa, akan berbahaya juga jika kutinggalkan dalam keadaan seperti itu.
“Kau … apa kau pangeranku?” tanya wanita itu mengigau.
“Aku bukan pangeranmu,” ujarku dengan tegas.
Aku masih berdiri di samping kasur tersebut, aku terus membuka ponselku dan membaca berita yang berkaitan dengan pembunuhan Dewan Lukman Sanjaya. Aku perlu memeriksa anggotaku setibanya di Indonesia, karena hanya itulah aku bisa mengambil kesimpulan dari apa yang terjadi.
Aku terus terfokuskan kepada tersangka yang ditangkap oleh kepolisian, pria itu mengenakan cincin berwarna hitam yang identik dengan organisasiku. Aku tidak bisa mengenalinya dengan jelas mengingat wajah pria itu yang tertutup topeng tersangka.
Siapa sebenarnya dia ini? Apa dia salah satu dari anggotaku?, batinku terus bertanya-tanya maksud dan tujuan dari pria itu apa untuk membunuh Lukman Sanjaya.
Tak lama, wanita di sampingku mulai tersadar. Ia menatapku dengan tatapan yang kaget dan menghinakan, seolah-olah aku adalah penjahat kelamin yang sewaktu-waktu siap menerkam.
“PERGI DARI SINI!” teriak wanita itu dengan kencang, ia melempariku dengan barang-barang yang ada di sekitarnya.
Aku terpaksa keluar dan menjauh dari wanita tersebut, dan sebaiknya memang begitu. Aku bisa terlibat masalah besar jika terus berdekatan dengannya, setidaknya dia sudah siuman sehingga wanita itu bukan lagi tanggung jawabku untuk terus menemaninya.
Landing di Bandara Soekarno-Hatta. Beberapa orang berpakaian bebas mendatangiku yang baru saja keluar dari garbarata. Mereka semua menundukan kepalanya ketika aku memandang satu persatu wajah dari mereka. Seorang wanita datang memberikan laporan terbaru selama aku tidak berada di Indonesia. Aku bisa melihat hasil dari laporan tersebut, saham yang dimiliki oleh beberapa petinggi Cincin Hitam jatuh dengan drastis. Kuduga ini pasti akan terjadi, karena kejadian pembunuhan yang menimpa Anggota Dewan Lukman sangat mempengaruhi harga saham. Kubanting dokumen tersebut dengan kesal, kuperhatikan wajah seluruh orang di depanku, mereka tidak bisa berkata apa-apa selain diam dan mematung. Kupijat pelipis kanan seraya memejamkan mata, “Sudahlah, biar aku yang memikirkannya nanti. Kalian boleh pergi.” Mereka dengan sigap langsung membalikan badan, berjalan meninggalkanku dan dua orang di sampingku. “Siapa sebenarnya yang bermain-main denga
***Pertemuan dengan eksekutif selesai. Aku mencatat banyak perubahan yang terjadi dan menyepakatinya, salah satu perubahan tersebut adalah penggabungan beberapa saham agar nilainya tetap stabil.Kurapikan kembali berkas yang tadi digunakan dan memberikan semuanya kepada Violet. Wanita itu dengan senang hati menerima berkas tersebut dan membawanya ke ruang kerja dirinya.Terbesit dalam pikiranku tentang wanita yang kuhukum siang tadi. Ia kusuruh untuk menunggu di ruanganku, semoga saja dia terus merenungi kesalahan-kesalahan yang ia perbuat.“Bagaimana kabar anak dari Tuan Lee? Apa dia mengeluh sesuatu?” tanyaku kepad Reno.“Tidak, Tuan. Terakhir kuperiksa, dia tengah terdiam sambil terus menundukan kepalanya. Sepertinya dia begitu bersalah atas apa yang ia lakukan," ucap Reno yang masih berada di sampingku.“Iya, ini belum seberapa jika aku berniat menghukum wanita itu lebih jauh. Baiklah, aku akan pergi menemuinya,&
Pelayan hotel datang sesuai dengan permintaanku. Ia membawa pakaian staf dan resepsionis dengan harapan pakaian ini bisa mengelabui para polisi yang mengejar.Kedua orang di belakangku masih terduduk dengan bingung di atas kasur, mereka menutup tubuh toples mereka dengan selimut tebal kasur tersebut.“Terima kasih, berkat kalian kita tertolong,” ucapku, mereka memiringkan kepala dan memandangku dengan tatapan aneh.Segera kuajak wanita di sampingku, Gisele, keluar dari ruang tersebut. Kulihat di persimpangan depanku, beberapa polisi dengan pelindung tubuh dan senjata laras panjang menatapku dengan ramah.Untungnya mereka tidak tahu identitasku yang sebenarnya siapa. Mereka bisa bersikap baik karena mereka melihat aku hanya staf dan Gisele hanya seorang resepsionis.Ia berhenti di depan kami dan menatapku dengan tajam, “Apa kamu melihat seseorang yang turun dari lantai atas itu?”Ia menunjukan jari telunjuk kearah lang
*** Setelah situasi dirasa cukup kondusif. Aku berpamitan dan tak lupa berterima kasih pada keramahan pemilik rumah yang telah menerimaku. Mereka hanya terdiam dengan wajah yang kaget, itu terjadi setelah aku menjelaskan apa yang terjadi belakangan ini pada organisasi Cincin Hitam. Tanpa sepatah kata pun, mereka membiarkanku pergi dan segera menutup pintu rumah mereka rapat-rapat. Aku menyadari sikap mereka, sudah cukup buruk tinggal dan hidup di tempat kumuh seperti ini, mereka enggan berurusan dengan polisi terkait diriku. Aku berjalan sempoyongan, seragam staf hotelku lusuh. Ini diakibatkan pertempuran dengan polisi yang banyak membuatku kerepotan. Malam hari semakin gelap dan dinginnya malam semakin terasa menyeruak masuk ke setiap rongga tubuhku. “Akh … aku sangat lelah,” keluhku. Kususuri setiap jalan di daerah tersebut, hanya ada satu tempat yang bisa aku tuju, persembunyianku di rumah kecil. Di sana biasanya Tiara sudah
*** Setelah mendengarkan penjelasan dari mereka, aku mulai memfokuskan agenda hari ini untuk mengunjungi beberapa orang, salah satunya Lucas, anak dari Anggota Dewan Luqman. Kuraih pakaian sederhana di dalam lemari kayu, sebuah setelan sweater berwarna abu dengan celana jeans hitam, ditambah topi dan kaca mata membuatku seolah-olah bertransformasi menjadi orang yang berbeda. Aku dengan Lucas sudah beberapa kali bertemu di berbagai kesempatan, umurnya yang tidak terpaut terlalu jauh denganku membuat perbincangan kami terasa mengalir layaknya anak muda. Kini, fasilitas seperti mobil, penjagaan, dan senjata tidak kumiliki. Semuanya aku tinggalkan agar identitasku tidak diketahui dengan mudah oleh kepolisian, hal yang sama juga kuperintahkan kepada seluruh jajaranku di Cincin Hitam. Setelah dirasa semua rapi, kulangkahkan kaki ini menjauhi kamar dan membuka pintu rumah sederhana tersebut. Cuaca di siang hari itu begitu terik, bahkan panas
Tak kuduga kalau Tiara akan berpapasan denganku di rumah Luqman. Ia tengah berjongkok di depan noda darah seraya memegang sebuah plastik dengan tangan yang terbalut sarung tangan plastik berwarna putih.Ia seketika menghentikan aktivitas pemeriksaan itu dan berjalan dengan lenggang melewati garis polisi menghampiriku. Aku sama sekali tidak menemukan raut kecurigaan dari Tiara, ia bersikap ramah layaknya seorang kekasih menyapa pasangannya.“Kukira kamu pergi bekerja, Revan. Apa kamu sedang mengunjungi Lucas?” tanya Tiara, ia tersenyum membuat hatiku cukup lega.“Iya, aku sedang istirahat makan siang, karena lokasi yang berdekatan, aku sekalian mampir ke rumahnya,” ucapku.Baik Lucas atau Tiara tidak ada yang mengetahui identitasku yang sebenarnya. Mereka hanya mengetahui kalau aku adalah pekerja kantoran yang mendapatkan gaji standar UMR.Tiara juga tidak berniat mengulik kehidupanku lebih jauh, karena kita berpegang teguh p
Pria misterius itu masih berdiri di depanku, memegangi revolver yang tampak begitu nyata dan menatapku tajam. Reno dan Violet berada di belakang mengawasi dengan seksama.“Ikutlah denganku, kita bicara di pojok ruangan sebelah sana,” pinta pria tersebut.Aku mengangguk, kulangkahkan kaki ini bersamaan dengan pria itu yang mulai pergi. Tak hanya dia, hampir setengah dari pengunjung kedai kecil itu tampak misterius, mereka menatapku dan tak sedikit yang berdiskusi.“Apa kalian lakukan di sini sebenarnya?” tanyaku.Pria itu berhenti, ia segera mengeluarkan revolver dari dalam saku celana dan menodongkan benda itu tepat di depan dahiku.“SIALAN KAU!”“Jika kau maju, kepala bosmu akan berlubang saat ini juga,” ujar pria tersebut.Aku menyadari, mereka tidak bisa bertindak gegabah saat ini, semua yang mereka lakukan bisa menyebabkan nyawaku hilang di tangan para sialan ini.Namun, dari
Seperti dugaanku, ketika mobil kami sampai di depan rumah kepala kepolisian. Tampak kosong dan sepi penghuni, hanya ada beberapa orang yang berjaga seperti petugas keamanan.“Sepertinya mereka sedang tidak ada di sini,” ucap Reno.Aku mengangguk, ingin sekali aku melabrak dan menanyakan tentang semua yang tidak kuketahui padanya. Namun, aku juga tidak bisa terus berdiam diri di sini dengan harapan kedatangan kepala Kepolisian dengan segera.Kulirik jam tangan di tanganku, waktu sudah menunjukan pukul lima sore. Sudah waktunya aku pulang ke kontrakan kumuh nan kecil di pinggiran kota, begitu juga dengan Reno dan Violet yang pasti mempunyai kehidupannya sendiri.“Kita lanjutkan besok hari, sebaiknya kalian berdua beristirahat,” ucapku.Mereka mengangguk, apa pun yang keluar dari mulutku selalu mereka patuhi, meski pun perintah itu buruk bagi mereka. Kesetiaan kedua orang itu tak perlu diragukan lagi, mereka masih berutang budi
Kamis, 21 Oktober 2021 Setelah menghabiskan kurang lebih lima bulan menulis –terkendala tugas perkuliahan dan sebagainya. Serial PARTNER IN CRIME resmi tamat kemarin malam, rasanya begitu lega dan menyenangkan bisa memberikan hasil akhir yang sesuai dengan keinginanku. Namun, cerita ini masih menyimpan beberapa kekurangan dan plothole di berbagai sisi. Oleh karena itu, penulis meminta maaf sebesar-besarnya jika ada cerita atau scene yang tidak dijelaskan secara detail. Tentu hal ini berkaitan dengan alur cerita agar tidak melenceng dan tetap di jalur utama kisah Revan dan Tiara. Dasar dari ide saya membuat cerita perselisihan ditambah dengan romansa antara Mafia dan Polisi tak lain adalah nuansa yang baru, menciptakan kisah baru yang segar dan anti mainstream di kalangan pembaca yang banyak didominasi oleh cerita-cerita CEO, silat, dan sebagainya. Saya memang tipikal orang yang menyukai perbedaan dalam suatu perkumpulan, platform membaca online adalah perkum
*** Satu minggu kemudian Pergantian kepemimpinan di Cincin Hitam terjadi. Tanpa hadirnya aku, dewan komite yang sudah kubentuk mengesahkan Violet sebagai penerus organisasi Cincin Hitam yang terselubung sebagai organisasi masyarakat pembela rakyat kecil. Mereka katanya menyambut dengan baik pergantian kepemimpinan tersebut, bersuka cita dan membuat pesta meriah untuk merayakannya. Itulah yang kudengar dari Nathan yang belakangan sering mengunjungiku, lebih sering ketimbang Violet. “Baguslah. Keadaan pemerintah juga semakin membaik, meski Yudha tidak naik menjadi Plt Presiden, tetapi ia tetap memegang kendali parlemen menggantikan Stefano,” balasku. Perkembangan tubuhku semakin membaik dari hari ke hari, Dokter sudah memperbolehkanku makan-makanan keras dengan syarat harus dikunyah secara halus. Bahkan dengan kondisiku yang seperti ini, dalam beberapa hari ke depan aku mungkin diperbolehkan untuk pulang. Pagi itu, udara hangat m
***Sudah dua hari aku terbaring di kasur rumah sakit. Dokter yang memeriksaku sudah melakukan CT-scan dan mendapatkan hasil yang sesuai dengan perkiraan dokter pribadi yang kupanggil tempo hari.Tukak lambung, penyakit yang terjadi karena adanya infeksi di dinding lambung akibat bakteri. Ia menjelaskan penyebab terjadinya penyakit tersebut, salah satunya adalah konsumsi minuman beralkohol.Aku sadar. Belakangan ini, aku banyak minum-minuman beralkohol, aku kira aku baik-baik saja hingga kejadian ini terjadi.Untuk menjaga kesehatanku agar semakin membaik, Violet terus menemaniku di ruang perawatan ini, terkadang Nathan yang berjaga menggantikannya.“Parlemen sedang sibuk-sibuknya saat ini,” ucapku tatkala melihat pemberitaan di tv yang banyak mengulas seputar penunjukan Presiden pengganti David.Hingga saat ini, mereka masih belum menemukan keberadaan pria tua itu. Jika pun mereka berhasil, mereka hanya akan menemukan jasadnya y
“Mengorbankan hidup kalian untuk orang lain? Apa semudah itu kalian menyerahkan nyawa pemberian dari tuhan?!” bentakku.Aku benar-benar marah saat ini, tak hanya keluarga David tetapi Tiara juga ikut memohon ampun untuk nyawa pria tua penjahat tersebut.Aku berpikir, apa bagusnya dia dibandingkan dengan nyawanya? Dia juga tidak akan mengingat Tiara yang sudah menyelamatkan nyawanya.Sungguh sia-sia.Tiba-tiba kepalaku begitu pusing, telingaku berdengung dan pandanganku mulai berat. Tanganku bertumpu pada sudut meja untuk menahan agar badanku tidak ikut terjatuh.Sontak aku melepaskan senapan dari genggamanku dan langsung diraih oleh Tiara, wanita yang tadi memohon ampun kepadaku, kini berbalik mengacungkan senapannya padaku, mengancamku atas kejahatan yang jauh lebih banyak dibandingkan David.“Semua kejahatan di negeri ini berawal darimu. Aku tidak akan keberatan membunuhmu saat ini juga,” ancam Tiara.Wanita
“Kenapa aku harus pergi dari sini?” tanya David, bingung.“Aku tidak ingin orang-orang mengira kamu masih hidup. Aku akan memalsukan kematianmu dan kamu bebas hidup dengan identitas yang baru,” balasku. David terdiam mendengar penjelasanku, hanya itu satu-satunya pilihan yang kuberikan padanya jika dia ingin tetap hidup.Aku ajak dirinya keluar dari ruang tersebut dan berjalan menuju meja makan yang berada di lantai dasar. Namun, ketika hendak menuruni tangga, ia menolak ajakanku dan meminta waktu untuk memikirkan itu sendiri.Itu yang ia pinta dan aku menghargai keputusannya, lagi pula aku juga banyak berterima kasih atas pengakuannya di siaran tadi, tidak banyak orang berani yang mampu melakukan dan mengakui kesalahannya sendiri.Ia berjalan ditemani seorang pengawal yang sudah kutugaskan untuk tetap bersama David. Ketika aku tengah fokus memandang pria tua itu dari bawah, Nathan tiba-tiba mengejutkanku dengan ditemani beberapa o
***Pagi itu, terpaksa aku harus membawa Tiara ikut bersamaku. Ia tidak bisa memberikanku jaminan pasti kalau dia tidak akan memberikan pernyataan tersebut. Alhasil, semua rencana yang sudah kususun sejak awal tak berjalan lancar.“Kamu membawa lagi orang kemari?” tanya Nathan, pria itu datang menghampiri tatkala melihatku berjalan seraya menggendong seorang wanita, Tiara di dekapanku.“Kamu pasti mengenalnya,” ujarku.Pria itu tak bisa menyembunyikan keterkejutannya, wajahnya menegang dan kedua bola matanya membulat tajam. Ia melihat kehadiran Tiara yang tak sadarkan diri di hadapan wajahnya, ia mengingat betul kalau aku tidak ingin bertemu dengan Tiara secara langsung.“Apa dia mengetahui identitasmu?” tanya Nathan, kesal menatapku tajam.“Ya begitulah, aku perlu melakukannya untuk membungkan mulut Tiara,” jawabku, lirih.“Apa kamu gila?! Dia bisa saja membocorkan keberadaan Pres
***Kedua mata Tiara membelalak tajam, mulutnya tak henti menutup tatkala mendapati aku muncul hidup-hidup di depan matanya. Kucoba raih lengan Violet dan membantu wanita itu untuk kembali bangkit dan berdiri.“R-Revan … apakah itu kamu?” tanya Tiara, ia menjatuhkan selang air yang sedari tadi ia genggam dan menumpahkan aliran air itu terbuang sia-sia.“Aku senang bisa melihatmu lagi, Tiara,” ungkapku.Kudekati pagar rumah Tiara, wanita itu tersentak kaget dan segera mengambil sebuah sapu untuk membela diri. Melihat responnya yang demikian, membuat diriku kebingungan, apakah dia benar-benar merindukanku atau tidak?“Jangan sekali-kali mencoba membodohiku! Aku tidak akan tertipu dengan wajah palsunya,” erang Violet, ia bersikap aneh menganggap aku adalah orang lain yang memakai wajah palsu di mukanya.Tidak pernah terpikirkan aku akan melakukan hal seperti itu, bahkan aku sendiri tidak memiliki alat
“Bawa mereka menjauh dari sini.” Aku langsung memerintahkan beberapa anggotaku untuk membawa mereka berpisah, wajah David sudah dipenuhi oleh lebam, begitu juga sama dengan Jayakarta.Mereka, kedua orang yang sudah bekerja sama selama beberapa tahun, hancur seketika oleh sebuah kepercayaan yang terkhianati. Mereka bertengkar, bergaduh layaknya anak kecil yang memperebutkan layangan.Keluarga Jayakarta, istri dan anak-anaknya begitu ketakutan dan sedih melihat suami dan ayah bagi anak-anaknya babak belur dihajar secara brutal oleh David, yang notabene mereka kenal sebagai rekan kerja Jayakarta.“Apa yang akan kamu lakukan pada suami saya?” tanya istri Jayakarta, menangis tersedu-sedu dalam dekapanku.Kulepaskan wanita paruh baya tersebut dan menyuruhnya untuk tidak ikut campur. Nasib mereka bergantung pada sikap dan ucapan Jayakarta, jika Jayakarta mati, maka mereka juga demikian.“Jika begitu, kalian juga harus menangk
***David terus terdiam, terus menatap lurus ke arah jalanan dengan pandangan yang kosong. Sikapnya berubah tepat ketika aku sudah menjelaskan tentang ambisi tersembunyi dari Jayakarta, David mungkin masih syok mendengarnya.“Apa dia baik-baik saja?” tanya Nathan, ia kini memegang kendali kemudi dan aku duduk tepat di sebelahnya.“Sebelum dia mati, aku pikir dia baik-baik saja.”“Pasti mengejutkan baginya, orang yang bersama-sama sejak dulu malah mengkhianatinya,” jelas Nathan, aku hanya berdeham seraya terus memerhatikan jalanan di depanku.Setengah perjalanan menuju Ibukota sudah terlewati. Mobil kami melaju dengan kecepatan stabil di ruas jalan tol yang cukup lengang malam itu, kuperhatikan melalui kaca spion depan, Larissa dan anggota lain yang duduk di belakang sudah tertidur dengan pulas.Begitu juga dengan David, ia tak lagi termenung dalam pikirannya yang kalut. Matanya terpejam dan kepalanya bersa