Share

Baku tembak

Penulis: Rafaiir
last update Terakhir Diperbarui: 2021-04-05 14:10:51

Pelayan hotel datang sesuai dengan permintaanku. Ia membawa pakaian staf dan resepsionis dengan harapan pakaian ini bisa mengelabui para polisi yang mengejar.

Kedua orang di belakangku masih terduduk dengan bingung di atas kasur, mereka menutup tubuh toples mereka dengan selimut tebal kasur tersebut.

“Terima kasih, berkat kalian kita tertolong,” ucapku, mereka memiringkan kepala dan memandangku dengan tatapan aneh.

Segera kuajak wanita di sampingku, Gisele, keluar dari ruang tersebut. Kulihat di persimpangan depanku, beberapa polisi dengan pelindung tubuh dan senjata laras panjang menatapku dengan ramah.

Untungnya mereka tidak tahu identitasku yang sebenarnya siapa. Mereka bisa bersikap baik karena mereka melihat aku hanya staf dan Gisele hanya seorang resepsionis.

Ia berhenti di depan kami dan menatapku dengan tajam, “Apa kamu melihat seseorang yang turun dari lantai atas itu?”

Ia menunjukan jari telunjuk kearah langit-langit lorong, mengisyaratkan lantai teratas dari hotel. Gisele menggelengkan kepalanya, sedangkan aku mencoba mengecoh mereka dengan membuat keterangan palsu.

“Kulihat dua orang pria berpakaian jas hitam pergi ke arah kiri di persimpangan itu, apa mereka yang kalian cari?” tanyaku.

Aku menunjuk arah persimpangan tempat polisi itu bertemu denganku. Polisi itu mengangguk dan segera berlari sesuai dengan arah yang kutunjukan. Sangat mudah ternyata mengelabui mereka semua.

“Tidak apa-apa membohongi mereka?” tanya Gisele.

“Asalkan kamu bersikap biasa dan tidak mencurigakan. Aku pikir mereka akan langsung percaya,” ujarku.

Segera kulangkahkan kembali kaki ini melewati persimpangan tersebut dan turun hingga ke lantai dasar. Beberapa kali kami bertemu dengan polisi di dalam elevator. Namun, penyamaran yang kami buat tampaknya berhasil.

Sampailah kami di lantai dasar. Sungguh tak terduga, banyak aparat penegak hukum dan beberapa organisasi masyarakat yang datang ke hotel ini. Mereka berkerumun di depan hotel dengan berbaris rapi layaknya tengah upacara.

“Ada apa ini?” tanyaku kepada salah satu resepsionis.

Wanita itu berbicara santai padaku, karena mungkin dia melihat aku yang hanya mengenakan pakaian staf. Ia mengatakan kalau mereka datang untuk menangkap perampok-perampok yang berada di lantai 30.

“Perampok katamu?” tanyaku dengan nada cukup tegas dan meninggi.

Wanita yang berada di depanku sontak terkejut, ia melihatku dengan wajah ketakutan. Aku sangat kesal ketika anak buahku sendiri, pekerja di hotel ini mengatakan kalau Cincin Hitam adalah perampok, meskipun itu tidak ada yang salah sama sekali.

“Kenapa kamu marah? Apa kamu salah satu dari mereka?” tanya wanita itu dengan penuh telisik.

Aku segera memalingkan pandangan dan wajahku darinya. Sangat berbahaya jika ia sampai berteriak dan mengatakan yang sebenarnya tentang diriku.

“Aku … tentu saja tidak, aku hanya pelayan di sini,” ujarku dengan tegas.

Wanita itu tertawa keras setelah mendengar apa yang kukatakan. Ia duduk santai di belakang meja resepsionis sambil memainkan ponselnya, sedangkan aku berdiri dan terus memerhatikan kerumunan polisi yang seolah-olah tengah menunggu mangsa.

“Kalau begitu, ambilkan saya kopi di vending machine di sana. Jangan pakai lama,” tegas wanita itu seraya menunjuk mesin penyedia minuman.

Matanya fokus pada layar ponsel sedangkan mulut dan sikapnya begitu angkuh dan semena-mena padaku, yang notabene atasannya sendiri. Aku terdiam, aku tentunya tersentak dengan perintah darinya. Apa ia sama sekali tidak mengenaliku?

“Apa? Kopi di vending machine?” tanyaku memastikan kembali.

Kutatap wajah wanita itu dengan tajam, tak lama ia berbalas menatapku dengan hal serupa. Wajahnya berubah kesal ketika aku tidak meladeni keinginannya.

“Yaampun! Kamu itu pelayan tapi sikapmu layaknya seorang raja! Dasar keras kepala!” bentak wanita cantik nan anggun yang berubah menjadi sombong dan menjijikan.

Salah satu rekan kerjanya menghampiri wanita tersebut dan berbisik di telinganya, rekan kerja itu sesekali memandangku takut. Sepertinya dia mengetahui siapa aku sebenarnya.

“Jadi … kamu adalah Revan?” Atensi wanita tersebut sontak langsung berpaling menatapku.

“Kamu takut sekarang, hah?!” ketusku.

Wanita itu berjalan pelan menghampiriku dan menundukan kepalanya, ia berjongkok dan berkali-kali mengucapkan banyak permintaan maaf.

“Kumohon maafkan dia, dia rekanku dan masih baru di sini.” Rekan kerjanya ikut menundukan kepala dan membantu temannya agar segera kumaafkan.

Sialnya lagi, ketika mereka berjongkok dan menundukan kepala. Salah satu polisi melihat apa yang keduanya lakukan. Ia segera bersiap memegang senapannya dan berjalan kearahku.

“Tuan! Jangan bergerak,” tegas polisi tersebut sambil mencoba mendekatiku.

Gawat! Ini bisa berbahaya jika ia terus mendekat dan memeriksa kalau aku membawa revolver. Kulirik Gisele yang berada di ruang lobby tersebut dan menatapku dengan tatapan takut.

Aku tidak bisa membiarkannya tertinggal di sini. Terpaksa harus kugunakan senapan tersebut dan menembak polisi itu dengan cepat.

Kusuruh kedua resepsionis itu untuk pergi dan menghampiri polisi tersebut, mereka segera patuh dan berjalan meninggalkanku. Perhatian polisi itu teralihkan kepada kedua wanita tersebut yang begitu ahli dalam menggoda pria.

“Cepat menyingkir! Kalian bertiga bertingkah sangat aneh, apa kalian ada kaitannya dengan Cincin Hitam?” tanya polisi tersebut.

“Tentu….”

Kutodongkan revolver tersebut kearah kepala polisi, sangat dekat bahkan kupikir tembakanku tidak akan meleset. Kedua wanita yang memeluk polisi tersebut sontak terdiam dengan wajah pucat, melihat sebuah senapan mengacung ke kepala pria yang mereka peluk.

“Apa kamu berani menembakku? Silakan saja, tapi nyawamu akan segera berakhir di sini!” ancam pria tersebut, ia mengangkat kedua tangannya dan menjatuhkan senapan laras panjang yang ia kalungkan di leher.

“Tentu saja, lagi pula membunuh seorang polisi bukan hal sulit bagiku.” Kutarik pelatuk senapan itu dan sebuah peluru tajam menembus dan melubangi kepala pria tersebut.

Suara yang sangat keras dan nyaring membuat polisi dan orang-orang yang berkerumun di depan hotal Viscara terkejut, mereka sontak memeriksa ke arah sumber suara tersebut dengan bergerombol.

“Kita tidak punya waktu, kalian berdua larilah dan jangan berbicara apa pun, ajak Gisele bersama kalian.” Aku segera mengambil senapan laras panjang milik polisi tersebut, jenis M-16 yang sering digunakan oleh kepolisian itu sangat familiar bagiku.

Kulepas pengaman dan kujalan berlari menuju pintu belakang yang terhubung kepada gang kecil di luar hotel. Kurasa mereka tidak akan mengetahui pintu tersebut.

Malang tidak dapat dielakan. Kulihat dari ujung gang, beberapa polisi yang mulai mengarahkan senapan mereka kearahku. Tampaknya mereka mengenakan peredam suara sehingga tembakan-tembakan mereka tidak terdengar jelas.

Posisiku begitu terdesak, pilihan terakhir aku hanya bisa menggunakan bom kilau yang kuambil dari polisi tadi dan melemparkan jauh ke polisi tersebut.

Kilau cahaya putih yang mengejutkan membuat mereka semua tak bisa melihat dengan jelas apa yang ada di depan mereka. Kugunakan momen ini untuk membunuh mereka semua dan menembaki dengan membabi buta.

“Sial! Ada berapa banyak orang yang datang kemari sebenarnya?” gumamku.

Setelah dirasa aman, aku segera berlari dengan kencang menghindari kejaran polisi tersebut. Mereka terlalu sibuk mengurusi teman mereka yang tumbang setelah kuhujani beberapa peluru tajam di tubuh mereka.

Pilihan buruk, aku mengambil jalan buntu di gang tersebut. Kanan dan kiri tubuhku hanya ada rumah-rumah yang sudah sunyi karena penghuni mereka yang tertidur.

Aku tidak punya pilihan lain, aku harus melawan mereka dan mengakhiri semuanya di sini. Setidaknya itu yang terbaik dari pada harus tertangkap karena kasus yang tidak kulakukan.

Tiba-tiba, pintu rumah di kananku terbuka, seorang pria menatapku dan mengajakku untuk masuk. Tak kusia-siakan apa yang ia berikan, aku langsung masuk dan bersembunyi di dalam.

Pria itu langsung menutup pintu dan menguncinya. Aku sama sekali tidak mengenal siapa pria itu dan alasan kenapa ia menyelamatkanku.

“Kenapa kalian menyelamatkanku?” tanyaku kepada beberapa orang yang duduk satu lantai sama denganku.

“Entahlah, tapi sebaiknya kamu tetap di sini dan berlindung,” ungkap pria tersebut, ia menyuguhkan secangkir teh hangat padaku.

“Kenapa kamu dikejar oleh banyak polisi? Apa yang sudah kamu perbuat?”

Bab terkait

  • Partner In Crime   Suasana Pengasingan

    *** Setelah situasi dirasa cukup kondusif. Aku berpamitan dan tak lupa berterima kasih pada keramahan pemilik rumah yang telah menerimaku. Mereka hanya terdiam dengan wajah yang kaget, itu terjadi setelah aku menjelaskan apa yang terjadi belakangan ini pada organisasi Cincin Hitam. Tanpa sepatah kata pun, mereka membiarkanku pergi dan segera menutup pintu rumah mereka rapat-rapat. Aku menyadari sikap mereka, sudah cukup buruk tinggal dan hidup di tempat kumuh seperti ini, mereka enggan berurusan dengan polisi terkait diriku. Aku berjalan sempoyongan, seragam staf hotelku lusuh. Ini diakibatkan pertempuran dengan polisi yang banyak membuatku kerepotan. Malam hari semakin gelap dan dinginnya malam semakin terasa menyeruak masuk ke setiap rongga tubuhku. “Akh … aku sangat lelah,” keluhku. Kususuri setiap jalan di daerah tersebut, hanya ada satu tempat yang bisa aku tuju, persembunyianku di rumah kecil. Di sana biasanya Tiara sudah

    Terakhir Diperbarui : 2021-05-06
  • Partner In Crime   Kesaksian dari sang Anak

    *** Setelah mendengarkan penjelasan dari mereka, aku mulai memfokuskan agenda hari ini untuk mengunjungi beberapa orang, salah satunya Lucas, anak dari Anggota Dewan Luqman. Kuraih pakaian sederhana di dalam lemari kayu, sebuah setelan sweater berwarna abu dengan celana jeans hitam, ditambah topi dan kaca mata membuatku seolah-olah bertransformasi menjadi orang yang berbeda. Aku dengan Lucas sudah beberapa kali bertemu di berbagai kesempatan, umurnya yang tidak terpaut terlalu jauh denganku membuat perbincangan kami terasa mengalir layaknya anak muda. Kini, fasilitas seperti mobil, penjagaan, dan senjata tidak kumiliki. Semuanya aku tinggalkan agar identitasku tidak diketahui dengan mudah oleh kepolisian, hal yang sama juga kuperintahkan kepada seluruh jajaranku di Cincin Hitam. Setelah dirasa semua rapi, kulangkahkan kaki ini menjauhi kamar dan membuka pintu rumah sederhana tersebut. Cuaca di siang hari itu begitu terik, bahkan panas

    Terakhir Diperbarui : 2021-05-07
  • Partner In Crime   Identitas

    Tak kuduga kalau Tiara akan berpapasan denganku di rumah Luqman. Ia tengah berjongkok di depan noda darah seraya memegang sebuah plastik dengan tangan yang terbalut sarung tangan plastik berwarna putih.Ia seketika menghentikan aktivitas pemeriksaan itu dan berjalan dengan lenggang melewati garis polisi menghampiriku. Aku sama sekali tidak menemukan raut kecurigaan dari Tiara, ia bersikap ramah layaknya seorang kekasih menyapa pasangannya.“Kukira kamu pergi bekerja, Revan. Apa kamu sedang mengunjungi Lucas?” tanya Tiara, ia tersenyum membuat hatiku cukup lega.“Iya, aku sedang istirahat makan siang, karena lokasi yang berdekatan, aku sekalian mampir ke rumahnya,” ucapku.Baik Lucas atau Tiara tidak ada yang mengetahui identitasku yang sebenarnya. Mereka hanya mengetahui kalau aku adalah pekerja kantoran yang mendapatkan gaji standar UMR.Tiara juga tidak berniat mengulik kehidupanku lebih jauh, karena kita berpegang teguh p

    Terakhir Diperbarui : 2021-05-10
  • Partner In Crime   Informasi terbaru

    Pria misterius itu masih berdiri di depanku, memegangi revolver yang tampak begitu nyata dan menatapku tajam. Reno dan Violet berada di belakang mengawasi dengan seksama.“Ikutlah denganku, kita bicara di pojok ruangan sebelah sana,” pinta pria tersebut.Aku mengangguk, kulangkahkan kaki ini bersamaan dengan pria itu yang mulai pergi. Tak hanya dia, hampir setengah dari pengunjung kedai kecil itu tampak misterius, mereka menatapku dan tak sedikit yang berdiskusi.“Apa kalian lakukan di sini sebenarnya?” tanyaku.Pria itu berhenti, ia segera mengeluarkan revolver dari dalam saku celana dan menodongkan benda itu tepat di depan dahiku.“SIALAN KAU!”“Jika kau maju, kepala bosmu akan berlubang saat ini juga,” ujar pria tersebut.Aku menyadari, mereka tidak bisa bertindak gegabah saat ini, semua yang mereka lakukan bisa menyebabkan nyawaku hilang di tangan para sialan ini.Namun, dari

    Terakhir Diperbarui : 2021-05-11
  • Partner In Crime   Momen Berdua

    Seperti dugaanku, ketika mobil kami sampai di depan rumah kepala kepolisian. Tampak kosong dan sepi penghuni, hanya ada beberapa orang yang berjaga seperti petugas keamanan.“Sepertinya mereka sedang tidak ada di sini,” ucap Reno.Aku mengangguk, ingin sekali aku melabrak dan menanyakan tentang semua yang tidak kuketahui padanya. Namun, aku juga tidak bisa terus berdiam diri di sini dengan harapan kedatangan kepala Kepolisian dengan segera.Kulirik jam tangan di tanganku, waktu sudah menunjukan pukul lima sore. Sudah waktunya aku pulang ke kontrakan kumuh nan kecil di pinggiran kota, begitu juga dengan Reno dan Violet yang pasti mempunyai kehidupannya sendiri.“Kita lanjutkan besok hari, sebaiknya kalian berdua beristirahat,” ucapku.Mereka mengangguk, apa pun yang keluar dari mulutku selalu mereka patuhi, meski pun perintah itu buruk bagi mereka. Kesetiaan kedua orang itu tak perlu diragukan lagi, mereka masih berutang budi

    Terakhir Diperbarui : 2021-05-15
  • Partner In Crime   Pendanaan Terlarang

    ***Violet, ia datang melihatku bangun tanpa sehelai benang apa pun yang menempel. Wanita maniak pria atletis itu pasti sangat berhasrat ketika melihat tubuhku yang ia dambakan sejak lama.“Aku … biasa tidur dengan bertelanjang,” ucapku.“Oh apa itu kebiasaan atau memang suhu di ruangan ini cukup panas?” tanya Violet.Aku bangkit dari atas kasur dan memakai celana dalam dan celana pendek untuk menutupi daerah privasiku. Violet masih menunggu di ruang tengah dengan kedua lirikan mata yang masih memandang ke arah tonjolan di antara selangkanganku.“Apa kamu mau aku membantumu?” tanya Violet, dengan wajah malu-malu menunjuk kearah selangkanganku.“Tidak perlu. Apa ada urusan penting sampai kamu datang kemari?” tanyaku.“Oh iya, Aku datang ingin membawakanmu dokumen terkait identitas dari Budi. Ada beberapa hal yang mungkin bisa kamu lihat di dalamnya,” ucap Violet sambil

    Terakhir Diperbarui : 2021-06-01
  • Partner In Crime   Berkas

    ***“Apa hubunganmu dengan mereka?” tanya pria tersebut, dengan wajah yang cukup memar karena beberapa kali kupukul dengan keras.“Kurasa kau tidak perlu tahu urusanku dengan mereka. Kau hanya perlu menjawab apa kau berada di balik pendanaan ilegal ini?”Aku tidak perlu bertanya lebih jauh lagi, ototku lebih banyak bereaksi dibandingkan otakku. Jika ia masih enggan menjawab, aku bisa saja menghantam wajah pria busuk itu dengan kepalan tanganku.“Aku tidak perlu memberitahumu tentang itu, lagi pula kalian tidak akan bisa pulang ketika menginjakan kaki di rumah ini.” Pria itu mengancam dengan wajah yang menegang, kedua matanya melotot tajam kearahku mencoba mengintimidasi hati nuraniku untuk mengampuninya.“Tuan Revan, ini percuma.”Violet datang setelah mendengar keriuhan di balik pintu ruang kerja Budi. Wanita itu menduga kalau orang di tempat ini mulai curiga karena Budi yang tak lekas datang

    Terakhir Diperbarui : 2021-06-09
  • Partner In Crime   Penjaga Para Tetua

    ***Mereka membawaku masuk ke sebuah gang sempit, di dekat pertokoan besar yang tersambung dengan rute jalan utama Ibukota. Mereka berjalan dibelakang dengan beraturan, tak ada satu orang pun yang kukenali dari mereka semua.“Siapa kalian?” tanyaku berkali-kali. Namun, mereka masih diam membisu seolah-olah mengacuhkanku.Beberapa langkah dari gerbang awal gang tersebut, mataku berjumpa dengan sebuah rumah kecil, sempit dan kumuh tepat di belakang pertokoan megah Jakarta. Rumah itu tampak kosong dan sunyi, seperti tak ada tanda kehidupan di dalamya.“Tunggu di sini.”Dua dari lima orang di belakangku mulai masuk ke rumah tersebut, mereka menyalakan senter dan mulai mencari sesuatu yang tak kuketahui.Datang setelah 5 menit berlalu, mereka membawa sepucuk surat yang tampak berdebu. Surat tanpa tujuan pengirim, hanya ada prangko kuno yang terpasang dan diduga berasal dari tahun 90-an.“Ia menitipkan ini pada

    Terakhir Diperbarui : 2021-06-10

Bab terbaru

  • Partner In Crime   Tentang PARTNER IN CRIME

    Kamis, 21 Oktober 2021 Setelah menghabiskan kurang lebih lima bulan menulis –terkendala tugas perkuliahan dan sebagainya. Serial PARTNER IN CRIME resmi tamat kemarin malam, rasanya begitu lega dan menyenangkan bisa memberikan hasil akhir yang sesuai dengan keinginanku. Namun, cerita ini masih menyimpan beberapa kekurangan dan plothole di berbagai sisi. Oleh karena itu, penulis meminta maaf sebesar-besarnya jika ada cerita atau scene yang tidak dijelaskan secara detail. Tentu hal ini berkaitan dengan alur cerita agar tidak melenceng dan tetap di jalur utama kisah Revan dan Tiara. Dasar dari ide saya membuat cerita perselisihan ditambah dengan romansa antara Mafia dan Polisi tak lain adalah nuansa yang baru, menciptakan kisah baru yang segar dan anti mainstream di kalangan pembaca yang banyak didominasi oleh cerita-cerita CEO, silat, dan sebagainya. Saya memang tipikal orang yang menyukai perbedaan dalam suatu perkumpulan, platform membaca online adalah perkum

  • Partner In Crime   Lembar baru kehidupan

    *** Satu minggu kemudian Pergantian kepemimpinan di Cincin Hitam terjadi. Tanpa hadirnya aku, dewan komite yang sudah kubentuk mengesahkan Violet sebagai penerus organisasi Cincin Hitam yang terselubung sebagai organisasi masyarakat pembela rakyat kecil. Mereka katanya menyambut dengan baik pergantian kepemimpinan tersebut, bersuka cita dan membuat pesta meriah untuk merayakannya. Itulah yang kudengar dari Nathan yang belakangan sering mengunjungiku, lebih sering ketimbang Violet. “Baguslah. Keadaan pemerintah juga semakin membaik, meski Yudha tidak naik menjadi Plt Presiden, tetapi ia tetap memegang kendali parlemen menggantikan Stefano,” balasku. Perkembangan tubuhku semakin membaik dari hari ke hari, Dokter sudah memperbolehkanku makan-makanan keras dengan syarat harus dikunyah secara halus. Bahkan dengan kondisiku yang seperti ini, dalam beberapa hari ke depan aku mungkin diperbolehkan untuk pulang. Pagi itu, udara hangat m

  • Partner In Crime   Ketulusan untuk melepas

    ***Sudah dua hari aku terbaring di kasur rumah sakit. Dokter yang memeriksaku sudah melakukan CT-scan dan mendapatkan hasil yang sesuai dengan perkiraan dokter pribadi yang kupanggil tempo hari.Tukak lambung, penyakit yang terjadi karena adanya infeksi di dinding lambung akibat bakteri. Ia menjelaskan penyebab terjadinya penyakit tersebut, salah satunya adalah konsumsi minuman beralkohol.Aku sadar. Belakangan ini, aku banyak minum-minuman beralkohol, aku kira aku baik-baik saja hingga kejadian ini terjadi.Untuk menjaga kesehatanku agar semakin membaik, Violet terus menemaniku di ruang perawatan ini, terkadang Nathan yang berjaga menggantikannya.“Parlemen sedang sibuk-sibuknya saat ini,” ucapku tatkala melihat pemberitaan di tv yang banyak mengulas seputar penunjukan Presiden pengganti David.Hingga saat ini, mereka masih belum menemukan keberadaan pria tua itu. Jika pun mereka berhasil, mereka hanya akan menemukan jasadnya y

  • Partner In Crime   Kesehatan yang memburuk

    “Mengorbankan hidup kalian untuk orang lain? Apa semudah itu kalian menyerahkan nyawa pemberian dari tuhan?!” bentakku.Aku benar-benar marah saat ini, tak hanya keluarga David tetapi Tiara juga ikut memohon ampun untuk nyawa pria tua penjahat tersebut.Aku berpikir, apa bagusnya dia dibandingkan dengan nyawanya? Dia juga tidak akan mengingat Tiara yang sudah menyelamatkan nyawanya.Sungguh sia-sia.Tiba-tiba kepalaku begitu pusing, telingaku berdengung dan pandanganku mulai berat. Tanganku bertumpu pada sudut meja untuk menahan agar badanku tidak ikut terjatuh.Sontak aku melepaskan senapan dari genggamanku dan langsung diraih oleh Tiara, wanita yang tadi memohon ampun kepadaku, kini berbalik mengacungkan senapannya padaku, mengancamku atas kejahatan yang jauh lebih banyak dibandingkan David.“Semua kejahatan di negeri ini berawal darimu. Aku tidak akan keberatan membunuhmu saat ini juga,” ancam Tiara.Wanita

  • Partner In Crime   Ampunan

    “Kenapa aku harus pergi dari sini?” tanya David, bingung.“Aku tidak ingin orang-orang mengira kamu masih hidup. Aku akan memalsukan kematianmu dan kamu bebas hidup dengan identitas yang baru,” balasku. David terdiam mendengar penjelasanku, hanya itu satu-satunya pilihan yang kuberikan padanya jika dia ingin tetap hidup.Aku ajak dirinya keluar dari ruang tersebut dan berjalan menuju meja makan yang berada di lantai dasar. Namun, ketika hendak menuruni tangga, ia menolak ajakanku dan meminta waktu untuk memikirkan itu sendiri.Itu yang ia pinta dan aku menghargai keputusannya, lagi pula aku juga banyak berterima kasih atas pengakuannya di siaran tadi, tidak banyak orang berani yang mampu melakukan dan mengakui kesalahannya sendiri.Ia berjalan ditemani seorang pengawal yang sudah kutugaskan untuk tetap bersama David. Ketika aku tengah fokus memandang pria tua itu dari bawah, Nathan tiba-tiba mengejutkanku dengan ditemani beberapa o

  • Partner In Crime   Kejujuran dan kebohongan

    ***Pagi itu, terpaksa aku harus membawa Tiara ikut bersamaku. Ia tidak bisa memberikanku jaminan pasti kalau dia tidak akan memberikan pernyataan tersebut. Alhasil, semua rencana yang sudah kususun sejak awal tak berjalan lancar.“Kamu membawa lagi orang kemari?” tanya Nathan, pria itu datang menghampiri tatkala melihatku berjalan seraya menggendong seorang wanita, Tiara di dekapanku.“Kamu pasti mengenalnya,” ujarku.Pria itu tak bisa menyembunyikan keterkejutannya, wajahnya menegang dan kedua bola matanya membulat tajam. Ia melihat kehadiran Tiara yang tak sadarkan diri di hadapan wajahnya, ia mengingat betul kalau aku tidak ingin bertemu dengan Tiara secara langsung.“Apa dia mengetahui identitasmu?” tanya Nathan, kesal menatapku tajam.“Ya begitulah, aku perlu melakukannya untuk membungkan mulut Tiara,” jawabku, lirih.“Apa kamu gila?! Dia bisa saja membocorkan keberadaan Pres

  • Partner In Crime   Rencana gagal

    ***Kedua mata Tiara membelalak tajam, mulutnya tak henti menutup tatkala mendapati aku muncul hidup-hidup di depan matanya. Kucoba raih lengan Violet dan membantu wanita itu untuk kembali bangkit dan berdiri.“R-Revan … apakah itu kamu?” tanya Tiara, ia menjatuhkan selang air yang sedari tadi ia genggam dan menumpahkan aliran air itu terbuang sia-sia.“Aku senang bisa melihatmu lagi, Tiara,” ungkapku.Kudekati pagar rumah Tiara, wanita itu tersentak kaget dan segera mengambil sebuah sapu untuk membela diri. Melihat responnya yang demikian, membuat diriku kebingungan, apakah dia benar-benar merindukanku atau tidak?“Jangan sekali-kali mencoba membodohiku! Aku tidak akan tertipu dengan wajah palsunya,” erang Violet, ia bersikap aneh menganggap aku adalah orang lain yang memakai wajah palsu di mukanya.Tidak pernah terpikirkan aku akan melakukan hal seperti itu, bahkan aku sendiri tidak memiliki alat

  • Partner In Crime   Tiara dan Revan

    “Bawa mereka menjauh dari sini.” Aku langsung memerintahkan beberapa anggotaku untuk membawa mereka berpisah, wajah David sudah dipenuhi oleh lebam, begitu juga sama dengan Jayakarta.Mereka, kedua orang yang sudah bekerja sama selama beberapa tahun, hancur seketika oleh sebuah kepercayaan yang terkhianati. Mereka bertengkar, bergaduh layaknya anak kecil yang memperebutkan layangan.Keluarga Jayakarta, istri dan anak-anaknya begitu ketakutan dan sedih melihat suami dan ayah bagi anak-anaknya babak belur dihajar secara brutal oleh David, yang notabene mereka kenal sebagai rekan kerja Jayakarta.“Apa yang akan kamu lakukan pada suami saya?” tanya istri Jayakarta, menangis tersedu-sedu dalam dekapanku.Kulepaskan wanita paruh baya tersebut dan menyuruhnya untuk tidak ikut campur. Nasib mereka bergantung pada sikap dan ucapan Jayakarta, jika Jayakarta mati, maka mereka juga demikian.“Jika begitu, kalian juga harus menangk

  • Partner In Crime   Musuh dalam selimut

    ***David terus terdiam, terus menatap lurus ke arah jalanan dengan pandangan yang kosong. Sikapnya berubah tepat ketika aku sudah menjelaskan tentang ambisi tersembunyi dari Jayakarta, David mungkin masih syok mendengarnya.“Apa dia baik-baik saja?” tanya Nathan, ia kini memegang kendali kemudi dan aku duduk tepat di sebelahnya.“Sebelum dia mati, aku pikir dia baik-baik saja.”“Pasti mengejutkan baginya, orang yang bersama-sama sejak dulu malah mengkhianatinya,” jelas Nathan, aku hanya berdeham seraya terus memerhatikan jalanan di depanku.Setengah perjalanan menuju Ibukota sudah terlewati. Mobil kami melaju dengan kecepatan stabil di ruas jalan tol yang cukup lengang malam itu, kuperhatikan melalui kaca spion depan, Larissa dan anggota lain yang duduk di belakang sudah tertidur dengan pulas.Begitu juga dengan David, ia tak lagi termenung dalam pikirannya yang kalut. Matanya terpejam dan kepalanya bersa

DMCA.com Protection Status