***
Pertemuan dengan eksekutif selesai. Aku mencatat banyak perubahan yang terjadi dan menyepakatinya, salah satu perubahan tersebut adalah penggabungan beberapa saham agar nilainya tetap stabil.
Kurapikan kembali berkas yang tadi digunakan dan memberikan semuanya kepada Violet. Wanita itu dengan senang hati menerima berkas tersebut dan membawanya ke ruang kerja dirinya.
Terbesit dalam pikiranku tentang wanita yang kuhukum siang tadi. Ia kusuruh untuk menunggu di ruanganku, semoga saja dia terus merenungi kesalahan-kesalahan yang ia perbuat.
“Bagaimana kabar anak dari Tuan Lee? Apa dia mengeluh sesuatu?” tanyaku kepad Reno.
“Tidak, Tuan. Terakhir kuperiksa, dia tengah terdiam sambil terus menundukan kepalanya. Sepertinya dia begitu bersalah atas apa yang ia lakukan," ucap Reno yang masih berada di sampingku.
“Iya, ini belum seberapa jika aku berniat menghukum wanita itu lebih jauh. Baiklah, aku akan pergi menemuinya,” tuturku.
Segera tubuh ini bangkit dari atas kursi empuk di ruang tersebut dan berjalan melewati banyak kursi kosong bekas eksekutif menuju luar ruangan. Keadaan di luar jauh lebih sibuk dari yang kuduga, lantai 30 Hotel Viscara berubah menjadi area perkantoran dengan banyak berkas yang didistribuskan.
“Lalu bagaimana dengan anggota kita, Tuan Revan? Bagaimana cara kita mengetahui pelaku pembunuhan itu siapa?” tanya Reno.
Aku kembali terpikirkan hal tersebut, anggota Cincin Hitam berjumlah jutaan dan sangat tak masuk akal jika aku harus menginterogasi satu persatu. Kupikirkan cara terbaik untuk mengungkapnya tanpa harus mengumpulkan mereka semua.
“Pembunuhan terjadi di depan rumahnya, itu terbilang sangat spesifik. Orang luar tak mungkin tahu kalau rumah itu adalah rumah Lukman.”
Aku berjalan sambil memegangi dagu dan berpikir keras, pembunuhan ini dilakukan secara rapi dan terperinci, sehingga tidak memunculkan jejak apa pun yang bisa kugunakan sebagai bukti.
“Pelakunya adalah orang Jakarta atau orang yang pernah berpergian rutin ke Jakarta,” ungkap Reno, ia begitu sigap menyimpulkan ucapanku yang baru terlontar beberapa detik saja.
“Aku penasaran. Tersangka yang mengenakan cincin hitam tersebut, siapa dia sebenarnya?” tanyaku sambil membuka pintu ruang pribadiku, terlihat seorang wanita yang tampak tertidur pulas di atas sofa.
Aku diam mematung menatap wanita tersebut. Ketiga kali, ketiga kalinya dia melakukan penghinaan terhadapku dengan enak-enakan tidur di atas sofa. Sungguh aku berpikir apa saja yang wanita ini pelajari?
Kutarik kursi dari balik meja dan duduk di depannya, kulihat matanya yang sembab dan terpejam, sepertinya dia terus menangis ketika berada di ruang ini.
Tapi setelah kulihat lebih jauh wajah wanita itu. Ia tipikal wanita yang cantik, kulitnya bening seputih salju dan tumbuh bulu-bulu halus kecil di tangannya. Rambut panjang sepunggung dengan highlight berwarna abu sontak memberikan kesan kalau ia adalah wanita kelas atas.
Jika dia tidak kasar, mungkin dia akan menjadi wanita yang sempurna, batinku ketika melihat pesona wanita tersebut yang sedang tidur dengan wajah tetap anggun.
Ponsel di sampingnya bergetar dan layarnya menyala. Kuraih benda itu dan melihat sebuah pesan masuk, kontak bernama Ayah itu mengirimi pesan kepada wanita yang tengah terlelap di depanku tersebut.
“Tidak apa-apa, Gisele. Ayah yang akan menanggung semuanya.”
Itulah isi pesan yang terkirim kepada wanita bernama Gisele tersebut. Ia pasti menangis karena tidak tega harus mengabari ayahnya yang sakit terkait kejadian siang tadi. Aku hanya terdiam seraya meletakan ponsel itu kembali.
“Reno … keluarlah dari ruangan ini,” perintahku.
Kuangkat tubuh ini dan berjalan menuju belakang meja kerjaku. Letak Hotel yang berada di daerah perkotaan membuatku mudah untuk menikmati pemandangan Ibukota Jakarta.
Reno sudah keluar dari ruangan tersebut. Aku masih membiarkan wanita itu tertidur dan enggan untuk membangunkannya.
Waktu terus bergulir hingga malam hari. Ketika seluruh anggota sudah pulang, di lantai tersebut hanya menyisakan aku dan Gisele saja. Wanita itu ternyata seseorang yang bisa tidur cukup lama.
Aku tidak bisa membiarkannya tidur semalaman di atas sofa, bisa masuk angin dia di pagi hari nanti. Segera kuangkat tubuh Gisele yang terbilang ringan menuju kamar khusus yang sering kugunakan untuk beristirahat.
Kasur dengan ukuran super king size pasti akan membuatnya nyaman jika tubuhnya meronta-ronta di malam hari. Aku juga akan tidur di kamar tersebut tapi tidak satu ranjang dengan Gisele.
Ketika selesai menyelimuti wanita tersebut, ponselku berdering cukup keras. Aku segera melangkah keluar dan mengangkat panggilan tersebut.
“Halo … Sayang. Apa kamu sudah pulang dari perjalanan bisnismu?” tanya seorang wanita yang begitu kurindukan beberapa hari terakhir, Tiara.
“Halo … aku masih berada di Singapura, mungkin besok aku akan pulang. Ada apa?” tanyaku.
“Tidak ada apa-apa, aku hanya sedikit kesepian karena tidak ada kamu di sini,” ucap Tiara, suaranya sedikit mendesah entah karena dia sedang terangsang atau memang kelelahan bekerja.
“Aku akan datang besok, kita lepaskan kerinduan yang terpendam selama ini,” godaku, membuat Tiara tertawa kencang.
Ketika tengah asik berbincang dengan Tiara, pintu di belakangku berderit dan dengan refleks kuputar balikan tubuh ini, memandang Gisele yang terbangun dengan mata yang sedikit teler karena mengantuk.
“Aku ada urusan, nanti kutelepon balik.”
Kumatikan panggilan tersebut dan langsung menanyakan keadaan wanita tersebut. Ia kembali menundukan kepala dan menangis dengan kencang, Gisele langsung memeluk dan mendekapku dengan erat.
“Ada apa?” tanyaku singkat.
“Kumohon … jangan hukum ayahku,” ungkap Giselse.
Ia masih membenamkan wajahnya di depan dadaku, tangannya ia rangkul untuk memeluk dan mencengkeram punggungku. Bisa kurasakan kehangatan, wangi dan halusnya tubuh Gisele malam itu.
“Bagaimana pun juga aku harus menghukummu,” tegasku.
Segera kulepaskan pelukan tubuh Gisele dan memegang kedua pipi wanita tersebut, wajahnya masih menangis dan matanya memandangku dengan tatapan dan ekspresi sayu.
“Aku akan melakukan apa yang kau inginkan, meskipun harus merelakan tubuhku. Tapi jangan hukum ayahku … kumohon,” pinta Gisele.
Ia berjongkok di depanku dan kedua tangannya mencengkeram pinggangku dengan erat, wajahnya tertunduk dan lagi-lagi ia menangis.
“Baiklah, aku terima tawaranmu.” Kulepaskan setiap pakaian dan celana yang melekat ditubuhku, hanya menyisakan boxer saja.
Sesuai dengan apa yang ia tawarkan. Aku menunjukan tubuh atletis dan benda paling berharga kepada Gisele. Bisa kulihat pandangan wanita itu tidak lepas dari tonjolan besar di tempat paling sensitifku.
“Jika kamu tidak mau, aku bisa memikirkan hukuman lain yang cocok untukmu. Aku punya banyak ide untuk hukumanmu, dan kamu tertarik mendengarnya satu persatu?” tanyaku, kupandang langit kamar seraya sesekali melirik tajam kearah Gisele yang terdiam terpaku.
“A-Aku akan melakukannya….” Gisele dengan wajah yang malu-malu mulai melepaskan satu persatu kancing kemejanya dan menarik rasleting di roknya. Kini aku bisa melihat keindahan tubuh Gisele dibalik bikini ketat miliknya.
Kudorong tubuh Gisele hingga terjatuh dan telentang di atas kasur. Sungguh pemandangan yang menggoda iman bagi siapa pun pria yang melihatnya.
Sudah beberapa hari aku tidak berhubungan badan. Jadi akan kuputuskan malam ini, di kasur ini. Dia akan mengingat seberapa besar dan kuatnya diriku.
“Tolong lakukan dengan pelan….” Gisele memalingkan wajahnya dari tatapanku, ia terus menutupi dua buah bukit yang menjadi keindahan besar dirinya.
Aku sudah berada di atas Gisele, menindih wanita itu dengan keras membuat Gisele sempat melenguh panjang. Tak seperti dugaanku, dia ternyata memiliki tingkat sensitifitas yang tinggi di area-area tertentu.
“Tunggu! Itu terlalu besar, tak akan muat di dalamku,” ucap Gisele, ia mencoba mendorong tubuhku yang kekar, tapi usahanya sia-sia ketika aku berhasil mendaratkan bendaku di dalam tubuhnya.
Sangat terasa kehangatan yang diberikan oleh Gisele, belum pernah kurasakan hal seperti ini sebelumnya. Ia begitu manis ketika menahan sesak seraya mencengkeram sprei kasur dengan keras.
“Apa perlu kuhentikan?”
“Tidak! Lanjutkan ... tolong,” pinta Gisele, suaranya begitu merdu membuat hasratku kembali naik untuk bersenang-senang semalaman dengannya.
Cukup lama kami bersenang-senang malam itu, hingga waktu menunjukan pukul 1 malam. Gisele sudah tertidur, sedangkan aku pergi ke balkon luar kamar tersebut dan menikmati udara malam seraya menyesap sebatang rokok.
“Apa yang telah kulakukan?” gumamku.
Aku dengan sengaja telah mengkhianati perasaan Tiara yang ia percayakan padaku, aku bermain dengan wanita lain, beralasan karena aku menghukumnya. Hukuman macam apa itu?
Udara malam semakin menyengat masuk ke setiap pori-pori, pilihan burukku hanya mengenakan jubah tidur tanpa mengenakan apa-apa di dalamnya.
Aku masih menikmati rokok yang kuhisap dengan perlahan, hingga kedua mata ini terfokus kepada rentetan mobil polisi yang parkir di depan hotel.
Mereka masuk dengan mengenakan pakaian dan senjata lengkap. Gawat! Sepertinya ada yang membocorkan markas besar Cincin Hitam di sini.
Segera kubangunkan Gisele dan mengatakan hal yang terjadi, wanita itu tak bisa menyembunyikan kepanikannya. Ia segera mengenakan pakaiannya kembali dan berjalan bersamaku menuju lantai bawah menggunakan tangga darurat.
Kubawa juga revolver yang tersimpan di ruanganku, hal ini akan kugunakan jika sewaktu-waktu terjadi baku tembak antara aku dengan polisi.
Untungnya aku berada di lantai 30, sehingga polisi cukup lama untuk sampai ke tempat ini, segera kuajak wanita itu turun dan masuk ke lantai 27.
Kubuka salah satu kamar hotel dan melihat dua orang tengah bersenang-senang, tentu saja mereka terkejut dan langsung menutup tubuh mereka masing-masing.
“Apa yang kalian lakukan, sialan?!” bentak pria tua bertubuh gendut seraya membelitkan jubah mandi menutupi dirinya.
“Diamlah atau kepalamu berlubang!” ancamku, kutodong revolver itu kepadanya dan ia terdiam layaknya seekor anak anjing.
“Kami hanya membutuhkan teleponmu. Panggil layanan kamar!” ancamku, pria itu segera meraih telepon tersebut dan memberikannya kepadaku.
“Halo, anda tersambung dengan layanan hotel Viscara. Apa ada yang bisa kubantu?” tanya seorang wanita.
“Bawakan satu seragam staf pria dan satu seragam resepsionis kemari, lantai 27 kamar 401!” tegasku.
Wanita itu hanya terdiam ketika mendengar perintahku. Segera ia mulai bertanya maksud dari permintaanku.
“Cepatlah lakukan, ini aku Revan!"
Pelayan hotel datang sesuai dengan permintaanku. Ia membawa pakaian staf dan resepsionis dengan harapan pakaian ini bisa mengelabui para polisi yang mengejar.Kedua orang di belakangku masih terduduk dengan bingung di atas kasur, mereka menutup tubuh toples mereka dengan selimut tebal kasur tersebut.“Terima kasih, berkat kalian kita tertolong,” ucapku, mereka memiringkan kepala dan memandangku dengan tatapan aneh.Segera kuajak wanita di sampingku, Gisele, keluar dari ruang tersebut. Kulihat di persimpangan depanku, beberapa polisi dengan pelindung tubuh dan senjata laras panjang menatapku dengan ramah.Untungnya mereka tidak tahu identitasku yang sebenarnya siapa. Mereka bisa bersikap baik karena mereka melihat aku hanya staf dan Gisele hanya seorang resepsionis.Ia berhenti di depan kami dan menatapku dengan tajam, “Apa kamu melihat seseorang yang turun dari lantai atas itu?”Ia menunjukan jari telunjuk kearah lang
*** Setelah situasi dirasa cukup kondusif. Aku berpamitan dan tak lupa berterima kasih pada keramahan pemilik rumah yang telah menerimaku. Mereka hanya terdiam dengan wajah yang kaget, itu terjadi setelah aku menjelaskan apa yang terjadi belakangan ini pada organisasi Cincin Hitam. Tanpa sepatah kata pun, mereka membiarkanku pergi dan segera menutup pintu rumah mereka rapat-rapat. Aku menyadari sikap mereka, sudah cukup buruk tinggal dan hidup di tempat kumuh seperti ini, mereka enggan berurusan dengan polisi terkait diriku. Aku berjalan sempoyongan, seragam staf hotelku lusuh. Ini diakibatkan pertempuran dengan polisi yang banyak membuatku kerepotan. Malam hari semakin gelap dan dinginnya malam semakin terasa menyeruak masuk ke setiap rongga tubuhku. “Akh … aku sangat lelah,” keluhku. Kususuri setiap jalan di daerah tersebut, hanya ada satu tempat yang bisa aku tuju, persembunyianku di rumah kecil. Di sana biasanya Tiara sudah
*** Setelah mendengarkan penjelasan dari mereka, aku mulai memfokuskan agenda hari ini untuk mengunjungi beberapa orang, salah satunya Lucas, anak dari Anggota Dewan Luqman. Kuraih pakaian sederhana di dalam lemari kayu, sebuah setelan sweater berwarna abu dengan celana jeans hitam, ditambah topi dan kaca mata membuatku seolah-olah bertransformasi menjadi orang yang berbeda. Aku dengan Lucas sudah beberapa kali bertemu di berbagai kesempatan, umurnya yang tidak terpaut terlalu jauh denganku membuat perbincangan kami terasa mengalir layaknya anak muda. Kini, fasilitas seperti mobil, penjagaan, dan senjata tidak kumiliki. Semuanya aku tinggalkan agar identitasku tidak diketahui dengan mudah oleh kepolisian, hal yang sama juga kuperintahkan kepada seluruh jajaranku di Cincin Hitam. Setelah dirasa semua rapi, kulangkahkan kaki ini menjauhi kamar dan membuka pintu rumah sederhana tersebut. Cuaca di siang hari itu begitu terik, bahkan panas
Tak kuduga kalau Tiara akan berpapasan denganku di rumah Luqman. Ia tengah berjongkok di depan noda darah seraya memegang sebuah plastik dengan tangan yang terbalut sarung tangan plastik berwarna putih.Ia seketika menghentikan aktivitas pemeriksaan itu dan berjalan dengan lenggang melewati garis polisi menghampiriku. Aku sama sekali tidak menemukan raut kecurigaan dari Tiara, ia bersikap ramah layaknya seorang kekasih menyapa pasangannya.“Kukira kamu pergi bekerja, Revan. Apa kamu sedang mengunjungi Lucas?” tanya Tiara, ia tersenyum membuat hatiku cukup lega.“Iya, aku sedang istirahat makan siang, karena lokasi yang berdekatan, aku sekalian mampir ke rumahnya,” ucapku.Baik Lucas atau Tiara tidak ada yang mengetahui identitasku yang sebenarnya. Mereka hanya mengetahui kalau aku adalah pekerja kantoran yang mendapatkan gaji standar UMR.Tiara juga tidak berniat mengulik kehidupanku lebih jauh, karena kita berpegang teguh p
Pria misterius itu masih berdiri di depanku, memegangi revolver yang tampak begitu nyata dan menatapku tajam. Reno dan Violet berada di belakang mengawasi dengan seksama.“Ikutlah denganku, kita bicara di pojok ruangan sebelah sana,” pinta pria tersebut.Aku mengangguk, kulangkahkan kaki ini bersamaan dengan pria itu yang mulai pergi. Tak hanya dia, hampir setengah dari pengunjung kedai kecil itu tampak misterius, mereka menatapku dan tak sedikit yang berdiskusi.“Apa kalian lakukan di sini sebenarnya?” tanyaku.Pria itu berhenti, ia segera mengeluarkan revolver dari dalam saku celana dan menodongkan benda itu tepat di depan dahiku.“SIALAN KAU!”“Jika kau maju, kepala bosmu akan berlubang saat ini juga,” ujar pria tersebut.Aku menyadari, mereka tidak bisa bertindak gegabah saat ini, semua yang mereka lakukan bisa menyebabkan nyawaku hilang di tangan para sialan ini.Namun, dari
Seperti dugaanku, ketika mobil kami sampai di depan rumah kepala kepolisian. Tampak kosong dan sepi penghuni, hanya ada beberapa orang yang berjaga seperti petugas keamanan.“Sepertinya mereka sedang tidak ada di sini,” ucap Reno.Aku mengangguk, ingin sekali aku melabrak dan menanyakan tentang semua yang tidak kuketahui padanya. Namun, aku juga tidak bisa terus berdiam diri di sini dengan harapan kedatangan kepala Kepolisian dengan segera.Kulirik jam tangan di tanganku, waktu sudah menunjukan pukul lima sore. Sudah waktunya aku pulang ke kontrakan kumuh nan kecil di pinggiran kota, begitu juga dengan Reno dan Violet yang pasti mempunyai kehidupannya sendiri.“Kita lanjutkan besok hari, sebaiknya kalian berdua beristirahat,” ucapku.Mereka mengangguk, apa pun yang keluar dari mulutku selalu mereka patuhi, meski pun perintah itu buruk bagi mereka. Kesetiaan kedua orang itu tak perlu diragukan lagi, mereka masih berutang budi
***Violet, ia datang melihatku bangun tanpa sehelai benang apa pun yang menempel. Wanita maniak pria atletis itu pasti sangat berhasrat ketika melihat tubuhku yang ia dambakan sejak lama.“Aku … biasa tidur dengan bertelanjang,” ucapku.“Oh apa itu kebiasaan atau memang suhu di ruangan ini cukup panas?” tanya Violet.Aku bangkit dari atas kasur dan memakai celana dalam dan celana pendek untuk menutupi daerah privasiku. Violet masih menunggu di ruang tengah dengan kedua lirikan mata yang masih memandang ke arah tonjolan di antara selangkanganku.“Apa kamu mau aku membantumu?” tanya Violet, dengan wajah malu-malu menunjuk kearah selangkanganku.“Tidak perlu. Apa ada urusan penting sampai kamu datang kemari?” tanyaku.“Oh iya, Aku datang ingin membawakanmu dokumen terkait identitas dari Budi. Ada beberapa hal yang mungkin bisa kamu lihat di dalamnya,” ucap Violet sambil
***“Apa hubunganmu dengan mereka?” tanya pria tersebut, dengan wajah yang cukup memar karena beberapa kali kupukul dengan keras.“Kurasa kau tidak perlu tahu urusanku dengan mereka. Kau hanya perlu menjawab apa kau berada di balik pendanaan ilegal ini?”Aku tidak perlu bertanya lebih jauh lagi, ototku lebih banyak bereaksi dibandingkan otakku. Jika ia masih enggan menjawab, aku bisa saja menghantam wajah pria busuk itu dengan kepalan tanganku.“Aku tidak perlu memberitahumu tentang itu, lagi pula kalian tidak akan bisa pulang ketika menginjakan kaki di rumah ini.” Pria itu mengancam dengan wajah yang menegang, kedua matanya melotot tajam kearahku mencoba mengintimidasi hati nuraniku untuk mengampuninya.“Tuan Revan, ini percuma.”Violet datang setelah mendengar keriuhan di balik pintu ruang kerja Budi. Wanita itu menduga kalau orang di tempat ini mulai curiga karena Budi yang tak lekas datang
Kamis, 21 Oktober 2021 Setelah menghabiskan kurang lebih lima bulan menulis –terkendala tugas perkuliahan dan sebagainya. Serial PARTNER IN CRIME resmi tamat kemarin malam, rasanya begitu lega dan menyenangkan bisa memberikan hasil akhir yang sesuai dengan keinginanku. Namun, cerita ini masih menyimpan beberapa kekurangan dan plothole di berbagai sisi. Oleh karena itu, penulis meminta maaf sebesar-besarnya jika ada cerita atau scene yang tidak dijelaskan secara detail. Tentu hal ini berkaitan dengan alur cerita agar tidak melenceng dan tetap di jalur utama kisah Revan dan Tiara. Dasar dari ide saya membuat cerita perselisihan ditambah dengan romansa antara Mafia dan Polisi tak lain adalah nuansa yang baru, menciptakan kisah baru yang segar dan anti mainstream di kalangan pembaca yang banyak didominasi oleh cerita-cerita CEO, silat, dan sebagainya. Saya memang tipikal orang yang menyukai perbedaan dalam suatu perkumpulan, platform membaca online adalah perkum
*** Satu minggu kemudian Pergantian kepemimpinan di Cincin Hitam terjadi. Tanpa hadirnya aku, dewan komite yang sudah kubentuk mengesahkan Violet sebagai penerus organisasi Cincin Hitam yang terselubung sebagai organisasi masyarakat pembela rakyat kecil. Mereka katanya menyambut dengan baik pergantian kepemimpinan tersebut, bersuka cita dan membuat pesta meriah untuk merayakannya. Itulah yang kudengar dari Nathan yang belakangan sering mengunjungiku, lebih sering ketimbang Violet. “Baguslah. Keadaan pemerintah juga semakin membaik, meski Yudha tidak naik menjadi Plt Presiden, tetapi ia tetap memegang kendali parlemen menggantikan Stefano,” balasku. Perkembangan tubuhku semakin membaik dari hari ke hari, Dokter sudah memperbolehkanku makan-makanan keras dengan syarat harus dikunyah secara halus. Bahkan dengan kondisiku yang seperti ini, dalam beberapa hari ke depan aku mungkin diperbolehkan untuk pulang. Pagi itu, udara hangat m
***Sudah dua hari aku terbaring di kasur rumah sakit. Dokter yang memeriksaku sudah melakukan CT-scan dan mendapatkan hasil yang sesuai dengan perkiraan dokter pribadi yang kupanggil tempo hari.Tukak lambung, penyakit yang terjadi karena adanya infeksi di dinding lambung akibat bakteri. Ia menjelaskan penyebab terjadinya penyakit tersebut, salah satunya adalah konsumsi minuman beralkohol.Aku sadar. Belakangan ini, aku banyak minum-minuman beralkohol, aku kira aku baik-baik saja hingga kejadian ini terjadi.Untuk menjaga kesehatanku agar semakin membaik, Violet terus menemaniku di ruang perawatan ini, terkadang Nathan yang berjaga menggantikannya.“Parlemen sedang sibuk-sibuknya saat ini,” ucapku tatkala melihat pemberitaan di tv yang banyak mengulas seputar penunjukan Presiden pengganti David.Hingga saat ini, mereka masih belum menemukan keberadaan pria tua itu. Jika pun mereka berhasil, mereka hanya akan menemukan jasadnya y
“Mengorbankan hidup kalian untuk orang lain? Apa semudah itu kalian menyerahkan nyawa pemberian dari tuhan?!” bentakku.Aku benar-benar marah saat ini, tak hanya keluarga David tetapi Tiara juga ikut memohon ampun untuk nyawa pria tua penjahat tersebut.Aku berpikir, apa bagusnya dia dibandingkan dengan nyawanya? Dia juga tidak akan mengingat Tiara yang sudah menyelamatkan nyawanya.Sungguh sia-sia.Tiba-tiba kepalaku begitu pusing, telingaku berdengung dan pandanganku mulai berat. Tanganku bertumpu pada sudut meja untuk menahan agar badanku tidak ikut terjatuh.Sontak aku melepaskan senapan dari genggamanku dan langsung diraih oleh Tiara, wanita yang tadi memohon ampun kepadaku, kini berbalik mengacungkan senapannya padaku, mengancamku atas kejahatan yang jauh lebih banyak dibandingkan David.“Semua kejahatan di negeri ini berawal darimu. Aku tidak akan keberatan membunuhmu saat ini juga,” ancam Tiara.Wanita
“Kenapa aku harus pergi dari sini?” tanya David, bingung.“Aku tidak ingin orang-orang mengira kamu masih hidup. Aku akan memalsukan kematianmu dan kamu bebas hidup dengan identitas yang baru,” balasku. David terdiam mendengar penjelasanku, hanya itu satu-satunya pilihan yang kuberikan padanya jika dia ingin tetap hidup.Aku ajak dirinya keluar dari ruang tersebut dan berjalan menuju meja makan yang berada di lantai dasar. Namun, ketika hendak menuruni tangga, ia menolak ajakanku dan meminta waktu untuk memikirkan itu sendiri.Itu yang ia pinta dan aku menghargai keputusannya, lagi pula aku juga banyak berterima kasih atas pengakuannya di siaran tadi, tidak banyak orang berani yang mampu melakukan dan mengakui kesalahannya sendiri.Ia berjalan ditemani seorang pengawal yang sudah kutugaskan untuk tetap bersama David. Ketika aku tengah fokus memandang pria tua itu dari bawah, Nathan tiba-tiba mengejutkanku dengan ditemani beberapa o
***Pagi itu, terpaksa aku harus membawa Tiara ikut bersamaku. Ia tidak bisa memberikanku jaminan pasti kalau dia tidak akan memberikan pernyataan tersebut. Alhasil, semua rencana yang sudah kususun sejak awal tak berjalan lancar.“Kamu membawa lagi orang kemari?” tanya Nathan, pria itu datang menghampiri tatkala melihatku berjalan seraya menggendong seorang wanita, Tiara di dekapanku.“Kamu pasti mengenalnya,” ujarku.Pria itu tak bisa menyembunyikan keterkejutannya, wajahnya menegang dan kedua bola matanya membulat tajam. Ia melihat kehadiran Tiara yang tak sadarkan diri di hadapan wajahnya, ia mengingat betul kalau aku tidak ingin bertemu dengan Tiara secara langsung.“Apa dia mengetahui identitasmu?” tanya Nathan, kesal menatapku tajam.“Ya begitulah, aku perlu melakukannya untuk membungkan mulut Tiara,” jawabku, lirih.“Apa kamu gila?! Dia bisa saja membocorkan keberadaan Pres
***Kedua mata Tiara membelalak tajam, mulutnya tak henti menutup tatkala mendapati aku muncul hidup-hidup di depan matanya. Kucoba raih lengan Violet dan membantu wanita itu untuk kembali bangkit dan berdiri.“R-Revan … apakah itu kamu?” tanya Tiara, ia menjatuhkan selang air yang sedari tadi ia genggam dan menumpahkan aliran air itu terbuang sia-sia.“Aku senang bisa melihatmu lagi, Tiara,” ungkapku.Kudekati pagar rumah Tiara, wanita itu tersentak kaget dan segera mengambil sebuah sapu untuk membela diri. Melihat responnya yang demikian, membuat diriku kebingungan, apakah dia benar-benar merindukanku atau tidak?“Jangan sekali-kali mencoba membodohiku! Aku tidak akan tertipu dengan wajah palsunya,” erang Violet, ia bersikap aneh menganggap aku adalah orang lain yang memakai wajah palsu di mukanya.Tidak pernah terpikirkan aku akan melakukan hal seperti itu, bahkan aku sendiri tidak memiliki alat
“Bawa mereka menjauh dari sini.” Aku langsung memerintahkan beberapa anggotaku untuk membawa mereka berpisah, wajah David sudah dipenuhi oleh lebam, begitu juga sama dengan Jayakarta.Mereka, kedua orang yang sudah bekerja sama selama beberapa tahun, hancur seketika oleh sebuah kepercayaan yang terkhianati. Mereka bertengkar, bergaduh layaknya anak kecil yang memperebutkan layangan.Keluarga Jayakarta, istri dan anak-anaknya begitu ketakutan dan sedih melihat suami dan ayah bagi anak-anaknya babak belur dihajar secara brutal oleh David, yang notabene mereka kenal sebagai rekan kerja Jayakarta.“Apa yang akan kamu lakukan pada suami saya?” tanya istri Jayakarta, menangis tersedu-sedu dalam dekapanku.Kulepaskan wanita paruh baya tersebut dan menyuruhnya untuk tidak ikut campur. Nasib mereka bergantung pada sikap dan ucapan Jayakarta, jika Jayakarta mati, maka mereka juga demikian.“Jika begitu, kalian juga harus menangk
***David terus terdiam, terus menatap lurus ke arah jalanan dengan pandangan yang kosong. Sikapnya berubah tepat ketika aku sudah menjelaskan tentang ambisi tersembunyi dari Jayakarta, David mungkin masih syok mendengarnya.“Apa dia baik-baik saja?” tanya Nathan, ia kini memegang kendali kemudi dan aku duduk tepat di sebelahnya.“Sebelum dia mati, aku pikir dia baik-baik saja.”“Pasti mengejutkan baginya, orang yang bersama-sama sejak dulu malah mengkhianatinya,” jelas Nathan, aku hanya berdeham seraya terus memerhatikan jalanan di depanku.Setengah perjalanan menuju Ibukota sudah terlewati. Mobil kami melaju dengan kecepatan stabil di ruas jalan tol yang cukup lengang malam itu, kuperhatikan melalui kaca spion depan, Larissa dan anggota lain yang duduk di belakang sudah tertidur dengan pulas.Begitu juga dengan David, ia tak lagi termenung dalam pikirannya yang kalut. Matanya terpejam dan kepalanya bersa