Singapura, 28 Oktober 2031
Di salah satu sudut tersembunyi di Singapura, kawasan yang terkenal dengan perkampungan kumuh di tengah daerah industri megah dan gedung pencakar langit. Di tempat itu terlaksana pertemuan rahasia antar pemimpin organisasi dunia gelap se-Asia Tenggara.
Aku datang bersama dengan ajudanku, Reno Zagreb dan beberapa pengawal yang sengaja kubawa karena tingkat kerawanan daerah tersebut. Kupijakan kaki di tanah kotor, berlumpur dan tergenang tersebut dengan pasrah.
“Seharusnya mereka sudah berada di sini, kan?” tanyaku.
Reno yang berada di sampingku hanya bisa mengangguk tanpa mengucap sepatah kata pun. Kulihat waktu mulai bergulir dengan cepat dan belum ada satu kepala yang datang untuk menyambutku. Sungguh penghinaan yang besar!
Aku melanjutkan langkahku menyusuri setiap gang sempit dan gelap di daerah tersebut. Sesekali pandanganku tidak bisa lepas dari bayang-bayang kehidupan suram warga yang menetap di lingkungan seperti ini.
“Bagaimana bisa mereka hidup di keadaan seperti ini?”
“Entahlah, Tuan Revan, tapi setelah aku menelusuri daerah ini sebelumnya, mereka adalah pekerja buangan yang tidak mendapatkan kewarganegaraan,” ungkap Reno.
“Mereka imigran gelap?” tanyaku dengan penasaran.
“Sepertinya begitu, mereka datang dari berbagai negara dan bercampur di daerah ini.”
Pantas saja, aku menduga hal itulah yang terjadi. Mereka harus bertahan hidup di sini mau tidak mau, karena mereka tidak mempunyai tempat lain untuk pulang.
Tiba-tiba seorang pria berambut gondrong dan hanya mengenakan celana pendek memberikan surat kepadaku. Kuambil dan langsung kubuka dengan segera karena terpampang jelas cap dari salah satu organisasi mafia dari Malaysia.
Tiga puluh langkah ke depan dan belok kanan di pertigaan kedua, kau akan melihat sebuah gedung dengan nama La Vidre, batinku.
“Ada apa?” tanya Reno.
“Kita sudah dekat, mereka memberitahuku melalui surat ini,” ungkapku.
Reno hendak mengambil surat yang kupegang tetapi langsung kutangkis dan kusimpan rapat di dalam saku jas hitam. Mereka berjalan tepat di belakang tubuhku dengan penuh kewaspadaan, tampaknya mereka khawatir dengan pesan ancaman yang ada di surat tersebut.
Seperti dulu ketika aku bermain bajak laut untuk mencari harta karun. Kini aku disuruh untuk masuk untuk menghadiri pertemuan dengan perintah yang konyol. Namun, ini lebih baik daripada harus berputar-putar dan terus mengotori sepatuku.
Persis seperti apa yang dikatakan dalam pesan, sebuah gedung layaknya gedung pertemuan menjulang di depanku. Furniture-nya cukup kusam dan kuno, beberapa bagian rumah yang terbuat dari kayu mulai terkoyak dimakan rayap.
“Apa ini tempatnya?” tanya Reno.
“Sepertinya begitu.”
Kulirik beberapa orang di belakang punggungku, mereka semua tampak ketakutan ketika menghadapi sesuatu seperti ini. Suasana, keadaan, ketegangan, hampir semuanya mempengaruhi pikiran anak buahku.
“Apa mereka baik-baik saja? Para bocah-bocah itu?” tanyaku kepada Reno.
“Itu resikomu sendiri. Kalau dari awal kita ambil para anggota senior, mungkin keadaannya tidak akan seperti ini.”
“Oh tampaknya kau mulai meragukanku, Reno. Apa aku benar?!” ancamku kepada Reno yang begitu tegang.
Sejak kecil, karena perundungan yang selalu kudapatkan sehingga membuatku mudah tersulut emosi ketika sedikit saja ada yang menyinggung atau tidak sependapat denganku. Mereka yang dulu berjuang bersama tentu paham betul sikap seorang Revan itu seperti apa.
“Tentu saja tidak, Tuan Revan. Maafkan aku,” pinta Reno, pria bertubuh besar dengan kepala plontos itu segera menundukan kepalanya di hadapanku.
“Kalau begitu lakukan sesuatu pada mereka, atau kau yang akan menanggung akibatnya sendiri!”
“Haha, jangan terlalu kasar pada mereka. Bisa-bisa anggotamu jadi berkurang.”
Terdengar suara pria yang begitu berat dari dalam rumah tersebut, lampu yang redup dan suasana yang cukup remang membuatku tak bisa memerhatikan dengan jelas wajah orang yang berjalan kearahku.
Aku akhirnya bisa melihat dengan jelas wajah pria itu. Pria berubuh besar dan gendut dengan cerutu yang menempel di mulutnya.
Sesekali pria itu menghembuskan asap cerutu tinggi-tinggi ke udara dengan senyum menyeringai yang tampak seperti mengejekku.
“Tak kusangka. Bapak besar obat-obatan hadir di sini, aku kira kamu akan menetap di dalam dan bermain dengan banyak wanitamu,” ujarku mengejeknya.
Orang-orang di sampingnya tampak tak terima dengan hinaanku, mereka langsung mengeluarkan senapan dari sarungnya dan mengarahkan benda itu ke kepalaku dengan cepat, ada sekitar 4 orang yang mengacungkan senapan.
“Sudahlah, aku juga tidak merasa tersinggung dengan apa yang ia katakan.”
Pria itu menyuruh anak buahnya untuk menurunkan senapan tersebut, pria yang kukenal dengan nama Hlong Liem itu dengan hangat menyambutku dan mengajak masuk ke dalam.
“Maafkan aku, mereka anak baru,” ucap Hlong seraya berjalan berdampingan denganku.
“Aku mengerti. Pertemuan ini tidak harus saling menumpahkan darah, kan? Lagi pula kita ini rekan bisnis, tidak elok saling bertikai,” ucapku.
Ia tersenyum seraya tertawa keras mendengar ucapan bijak dariku. Tentu saja ia akan bersikap baik mengingat bisnisnya tergantung dari bahan baku yang kujual padanya.
Hlong membuka pintu besar berukuran tiga meter di depanku, pintu yang begitu besar nan megah, dihiasi permata dan emas di setiap ornament-nya.
“Mereka sudah menunggu di dalam,” ucap Hlong.
Sungguh mempesona tampilan dari ruang besar yang berada di balik pintu megah tersebut, ruangan yang berlantaikan marmer dan pilar-pilar kokoh nan besar.
Aku bisa melihat beberapa orang yang sudah duduk kini terfokus kepadaku yang baru saja datang. Di antara mereka, aku bisa mengenali beberapa orang termasuk Nyonya Missa, dulu aku pernah bermitra dengan wanita itu untuk pengadaan senapan ilegal.
“Wah, tampaknya kekasihku baru sampai di sini. Yaampun, karena sudah lama tak bertemu, wajahmu selalu saja memesona diriku,” puji Missa
Wanita itu memang terkenal genit kepada lelaki tampan sepertiku, bahkan aku pernah mendengar kalau dia akan menyetujui kesepakatan apa pun jika dia berhasil memuaskannya selama 12 jam nonstop. Sunggu wanita gila!
“Aku punya banyak varian senapan baru untukmu, aku bisa mengirimkannya padamu percuma jika aku bisa mencicipi sejengkal milikmu yang kuinginkan itu,” goda Missa, membuat seluruh orang yang mendengar ucapan tersebut tersipu malu dan bukan tidak mungkin terangsang.
“Aku tidak tertarik. Aku lebih senang membayarnya dengan uang daripada tubuhku. Apa kamu pikir aku gigolo?!” bentakku dengan keras.
Bukannya merenung karena salah, Missa justru tertawa kencang seolah-olah mengejekku. Beberapa anggota yang pergi bersamanya juga tampak tengah menahan tawa, apa mereka sama genitnya dengan Missa?
“Yaampun … aku sudah lama tidak mendengar gigolo dari seorang anak muda,” ucap Missa.
Tak lama, datang seorang pria berpakaian serba hitam dengan topi fedora yang sama hitamnya. Selendang berwarna putih terpasang di kedua bahunya menandakan kalau dia adalah orang penting di dunia mafia.
Ketika pria itu turun tangga, seluruh ketua mafia se-Asia Tenggara segera bangkit dari tempat duduknya dan berdiri tegap seolah-olah menghormati pria tersebut.
“Siapa dia itu?” tanya Reno seraya berbisik kepadaku.
“Dia Ketua dari Perhimpunan Mafia Asia, Dong Yon Ji.”
Pria itu duduk di kursi yang disediakan sebelumnya. Seluruh pemimpin organisasi mafia juga ikut duduk bersamaan dengan Dong di kursi mereka masing-masing. Pandangan pria itu langsung tertuju kepadaku yang beberapa bulan lalu pernah bertegur sapa beberapa kali ketika perjalanan ke Hong Kong.
“You … I remember you when we met in Hong Kong last month, Glad to see you here,” puji Dong Yon Ji kepadaku.
Seluruh pemimpin organisasi Mafia sontak memandangku dengan tatapan penuh ketidakpercayaan, beberapa ada yang menatapku dengan wajah iri dan juga bangga, aku tidak bisa menjelaskan raut wajah mereka satu persatu.
“Thank you, I appreciate that.” Aku menundukan kepalaku, sunggu suatu kehormatan bagi seorang pemimpin organisasi bisa dikenal oleh Pemimpin Perhimpunan Mafia se-Asia, Dong Yon Ji.
“Alright, let's start the meeting!”
***Pertemuan para pemimpin mafia se-Asia Tenggara itu berakhir ketika Pemimpin Perhimpunan Mafia Asia, Dong Yon Ji, pergi meninggalkan ruangan tersebut.Kuarahkan pandangan mata ini ke jam dinding besar yang berdetak dengan suara nyaring, waktu menunjukan pukul 7 malam waktu Singapura.Kaki ini langsung menopang tubuhku yang berdiri berbarengan dengan para pemimpin lain. Nyonya Missa sedari tadi terus saja melirikku dengan tatapan vulgarnya, kurasa ia terus melakukannya ketika Dong sedang berbicara selama pertemuan.“Apa kita akan pergi malam ini atau besok saja, Tuan Revan?” tanya Reno.Ia berjalan dan berdiri tepat di sampingku. Aku masih memerhatikan gerak dari Nyonya Missa yang sungguh menggoda batin. Harus kuakui dia memang wanita menarik, tapi kepribadiannya membuatku muak melihatnya.“Apa aku mengganggumu, Tuan Revan?” tanya Reno, wajahnya menyadariku yang sedari tadi terus menatap Nyonya Missa.“
Landing di Bandara Soekarno-Hatta. Beberapa orang berpakaian bebas mendatangiku yang baru saja keluar dari garbarata. Mereka semua menundukan kepalanya ketika aku memandang satu persatu wajah dari mereka. Seorang wanita datang memberikan laporan terbaru selama aku tidak berada di Indonesia. Aku bisa melihat hasil dari laporan tersebut, saham yang dimiliki oleh beberapa petinggi Cincin Hitam jatuh dengan drastis. Kuduga ini pasti akan terjadi, karena kejadian pembunuhan yang menimpa Anggota Dewan Lukman sangat mempengaruhi harga saham. Kubanting dokumen tersebut dengan kesal, kuperhatikan wajah seluruh orang di depanku, mereka tidak bisa berkata apa-apa selain diam dan mematung. Kupijat pelipis kanan seraya memejamkan mata, “Sudahlah, biar aku yang memikirkannya nanti. Kalian boleh pergi.” Mereka dengan sigap langsung membalikan badan, berjalan meninggalkanku dan dua orang di sampingku. “Siapa sebenarnya yang bermain-main denga
***Pertemuan dengan eksekutif selesai. Aku mencatat banyak perubahan yang terjadi dan menyepakatinya, salah satu perubahan tersebut adalah penggabungan beberapa saham agar nilainya tetap stabil.Kurapikan kembali berkas yang tadi digunakan dan memberikan semuanya kepada Violet. Wanita itu dengan senang hati menerima berkas tersebut dan membawanya ke ruang kerja dirinya.Terbesit dalam pikiranku tentang wanita yang kuhukum siang tadi. Ia kusuruh untuk menunggu di ruanganku, semoga saja dia terus merenungi kesalahan-kesalahan yang ia perbuat.“Bagaimana kabar anak dari Tuan Lee? Apa dia mengeluh sesuatu?” tanyaku kepad Reno.“Tidak, Tuan. Terakhir kuperiksa, dia tengah terdiam sambil terus menundukan kepalanya. Sepertinya dia begitu bersalah atas apa yang ia lakukan," ucap Reno yang masih berada di sampingku.“Iya, ini belum seberapa jika aku berniat menghukum wanita itu lebih jauh. Baiklah, aku akan pergi menemuinya,&
Pelayan hotel datang sesuai dengan permintaanku. Ia membawa pakaian staf dan resepsionis dengan harapan pakaian ini bisa mengelabui para polisi yang mengejar.Kedua orang di belakangku masih terduduk dengan bingung di atas kasur, mereka menutup tubuh toples mereka dengan selimut tebal kasur tersebut.“Terima kasih, berkat kalian kita tertolong,” ucapku, mereka memiringkan kepala dan memandangku dengan tatapan aneh.Segera kuajak wanita di sampingku, Gisele, keluar dari ruang tersebut. Kulihat di persimpangan depanku, beberapa polisi dengan pelindung tubuh dan senjata laras panjang menatapku dengan ramah.Untungnya mereka tidak tahu identitasku yang sebenarnya siapa. Mereka bisa bersikap baik karena mereka melihat aku hanya staf dan Gisele hanya seorang resepsionis.Ia berhenti di depan kami dan menatapku dengan tajam, “Apa kamu melihat seseorang yang turun dari lantai atas itu?”Ia menunjukan jari telunjuk kearah lang
*** Setelah situasi dirasa cukup kondusif. Aku berpamitan dan tak lupa berterima kasih pada keramahan pemilik rumah yang telah menerimaku. Mereka hanya terdiam dengan wajah yang kaget, itu terjadi setelah aku menjelaskan apa yang terjadi belakangan ini pada organisasi Cincin Hitam. Tanpa sepatah kata pun, mereka membiarkanku pergi dan segera menutup pintu rumah mereka rapat-rapat. Aku menyadari sikap mereka, sudah cukup buruk tinggal dan hidup di tempat kumuh seperti ini, mereka enggan berurusan dengan polisi terkait diriku. Aku berjalan sempoyongan, seragam staf hotelku lusuh. Ini diakibatkan pertempuran dengan polisi yang banyak membuatku kerepotan. Malam hari semakin gelap dan dinginnya malam semakin terasa menyeruak masuk ke setiap rongga tubuhku. “Akh … aku sangat lelah,” keluhku. Kususuri setiap jalan di daerah tersebut, hanya ada satu tempat yang bisa aku tuju, persembunyianku di rumah kecil. Di sana biasanya Tiara sudah
*** Setelah mendengarkan penjelasan dari mereka, aku mulai memfokuskan agenda hari ini untuk mengunjungi beberapa orang, salah satunya Lucas, anak dari Anggota Dewan Luqman. Kuraih pakaian sederhana di dalam lemari kayu, sebuah setelan sweater berwarna abu dengan celana jeans hitam, ditambah topi dan kaca mata membuatku seolah-olah bertransformasi menjadi orang yang berbeda. Aku dengan Lucas sudah beberapa kali bertemu di berbagai kesempatan, umurnya yang tidak terpaut terlalu jauh denganku membuat perbincangan kami terasa mengalir layaknya anak muda. Kini, fasilitas seperti mobil, penjagaan, dan senjata tidak kumiliki. Semuanya aku tinggalkan agar identitasku tidak diketahui dengan mudah oleh kepolisian, hal yang sama juga kuperintahkan kepada seluruh jajaranku di Cincin Hitam. Setelah dirasa semua rapi, kulangkahkan kaki ini menjauhi kamar dan membuka pintu rumah sederhana tersebut. Cuaca di siang hari itu begitu terik, bahkan panas
Tak kuduga kalau Tiara akan berpapasan denganku di rumah Luqman. Ia tengah berjongkok di depan noda darah seraya memegang sebuah plastik dengan tangan yang terbalut sarung tangan plastik berwarna putih.Ia seketika menghentikan aktivitas pemeriksaan itu dan berjalan dengan lenggang melewati garis polisi menghampiriku. Aku sama sekali tidak menemukan raut kecurigaan dari Tiara, ia bersikap ramah layaknya seorang kekasih menyapa pasangannya.“Kukira kamu pergi bekerja, Revan. Apa kamu sedang mengunjungi Lucas?” tanya Tiara, ia tersenyum membuat hatiku cukup lega.“Iya, aku sedang istirahat makan siang, karena lokasi yang berdekatan, aku sekalian mampir ke rumahnya,” ucapku.Baik Lucas atau Tiara tidak ada yang mengetahui identitasku yang sebenarnya. Mereka hanya mengetahui kalau aku adalah pekerja kantoran yang mendapatkan gaji standar UMR.Tiara juga tidak berniat mengulik kehidupanku lebih jauh, karena kita berpegang teguh p
Pria misterius itu masih berdiri di depanku, memegangi revolver yang tampak begitu nyata dan menatapku tajam. Reno dan Violet berada di belakang mengawasi dengan seksama.“Ikutlah denganku, kita bicara di pojok ruangan sebelah sana,” pinta pria tersebut.Aku mengangguk, kulangkahkan kaki ini bersamaan dengan pria itu yang mulai pergi. Tak hanya dia, hampir setengah dari pengunjung kedai kecil itu tampak misterius, mereka menatapku dan tak sedikit yang berdiskusi.“Apa kalian lakukan di sini sebenarnya?” tanyaku.Pria itu berhenti, ia segera mengeluarkan revolver dari dalam saku celana dan menodongkan benda itu tepat di depan dahiku.“SIALAN KAU!”“Jika kau maju, kepala bosmu akan berlubang saat ini juga,” ujar pria tersebut.Aku menyadari, mereka tidak bisa bertindak gegabah saat ini, semua yang mereka lakukan bisa menyebabkan nyawaku hilang di tangan para sialan ini.Namun, dari
Kamis, 21 Oktober 2021 Setelah menghabiskan kurang lebih lima bulan menulis –terkendala tugas perkuliahan dan sebagainya. Serial PARTNER IN CRIME resmi tamat kemarin malam, rasanya begitu lega dan menyenangkan bisa memberikan hasil akhir yang sesuai dengan keinginanku. Namun, cerita ini masih menyimpan beberapa kekurangan dan plothole di berbagai sisi. Oleh karena itu, penulis meminta maaf sebesar-besarnya jika ada cerita atau scene yang tidak dijelaskan secara detail. Tentu hal ini berkaitan dengan alur cerita agar tidak melenceng dan tetap di jalur utama kisah Revan dan Tiara. Dasar dari ide saya membuat cerita perselisihan ditambah dengan romansa antara Mafia dan Polisi tak lain adalah nuansa yang baru, menciptakan kisah baru yang segar dan anti mainstream di kalangan pembaca yang banyak didominasi oleh cerita-cerita CEO, silat, dan sebagainya. Saya memang tipikal orang yang menyukai perbedaan dalam suatu perkumpulan, platform membaca online adalah perkum
*** Satu minggu kemudian Pergantian kepemimpinan di Cincin Hitam terjadi. Tanpa hadirnya aku, dewan komite yang sudah kubentuk mengesahkan Violet sebagai penerus organisasi Cincin Hitam yang terselubung sebagai organisasi masyarakat pembela rakyat kecil. Mereka katanya menyambut dengan baik pergantian kepemimpinan tersebut, bersuka cita dan membuat pesta meriah untuk merayakannya. Itulah yang kudengar dari Nathan yang belakangan sering mengunjungiku, lebih sering ketimbang Violet. “Baguslah. Keadaan pemerintah juga semakin membaik, meski Yudha tidak naik menjadi Plt Presiden, tetapi ia tetap memegang kendali parlemen menggantikan Stefano,” balasku. Perkembangan tubuhku semakin membaik dari hari ke hari, Dokter sudah memperbolehkanku makan-makanan keras dengan syarat harus dikunyah secara halus. Bahkan dengan kondisiku yang seperti ini, dalam beberapa hari ke depan aku mungkin diperbolehkan untuk pulang. Pagi itu, udara hangat m
***Sudah dua hari aku terbaring di kasur rumah sakit. Dokter yang memeriksaku sudah melakukan CT-scan dan mendapatkan hasil yang sesuai dengan perkiraan dokter pribadi yang kupanggil tempo hari.Tukak lambung, penyakit yang terjadi karena adanya infeksi di dinding lambung akibat bakteri. Ia menjelaskan penyebab terjadinya penyakit tersebut, salah satunya adalah konsumsi minuman beralkohol.Aku sadar. Belakangan ini, aku banyak minum-minuman beralkohol, aku kira aku baik-baik saja hingga kejadian ini terjadi.Untuk menjaga kesehatanku agar semakin membaik, Violet terus menemaniku di ruang perawatan ini, terkadang Nathan yang berjaga menggantikannya.“Parlemen sedang sibuk-sibuknya saat ini,” ucapku tatkala melihat pemberitaan di tv yang banyak mengulas seputar penunjukan Presiden pengganti David.Hingga saat ini, mereka masih belum menemukan keberadaan pria tua itu. Jika pun mereka berhasil, mereka hanya akan menemukan jasadnya y
“Mengorbankan hidup kalian untuk orang lain? Apa semudah itu kalian menyerahkan nyawa pemberian dari tuhan?!” bentakku.Aku benar-benar marah saat ini, tak hanya keluarga David tetapi Tiara juga ikut memohon ampun untuk nyawa pria tua penjahat tersebut.Aku berpikir, apa bagusnya dia dibandingkan dengan nyawanya? Dia juga tidak akan mengingat Tiara yang sudah menyelamatkan nyawanya.Sungguh sia-sia.Tiba-tiba kepalaku begitu pusing, telingaku berdengung dan pandanganku mulai berat. Tanganku bertumpu pada sudut meja untuk menahan agar badanku tidak ikut terjatuh.Sontak aku melepaskan senapan dari genggamanku dan langsung diraih oleh Tiara, wanita yang tadi memohon ampun kepadaku, kini berbalik mengacungkan senapannya padaku, mengancamku atas kejahatan yang jauh lebih banyak dibandingkan David.“Semua kejahatan di negeri ini berawal darimu. Aku tidak akan keberatan membunuhmu saat ini juga,” ancam Tiara.Wanita
“Kenapa aku harus pergi dari sini?” tanya David, bingung.“Aku tidak ingin orang-orang mengira kamu masih hidup. Aku akan memalsukan kematianmu dan kamu bebas hidup dengan identitas yang baru,” balasku. David terdiam mendengar penjelasanku, hanya itu satu-satunya pilihan yang kuberikan padanya jika dia ingin tetap hidup.Aku ajak dirinya keluar dari ruang tersebut dan berjalan menuju meja makan yang berada di lantai dasar. Namun, ketika hendak menuruni tangga, ia menolak ajakanku dan meminta waktu untuk memikirkan itu sendiri.Itu yang ia pinta dan aku menghargai keputusannya, lagi pula aku juga banyak berterima kasih atas pengakuannya di siaran tadi, tidak banyak orang berani yang mampu melakukan dan mengakui kesalahannya sendiri.Ia berjalan ditemani seorang pengawal yang sudah kutugaskan untuk tetap bersama David. Ketika aku tengah fokus memandang pria tua itu dari bawah, Nathan tiba-tiba mengejutkanku dengan ditemani beberapa o
***Pagi itu, terpaksa aku harus membawa Tiara ikut bersamaku. Ia tidak bisa memberikanku jaminan pasti kalau dia tidak akan memberikan pernyataan tersebut. Alhasil, semua rencana yang sudah kususun sejak awal tak berjalan lancar.“Kamu membawa lagi orang kemari?” tanya Nathan, pria itu datang menghampiri tatkala melihatku berjalan seraya menggendong seorang wanita, Tiara di dekapanku.“Kamu pasti mengenalnya,” ujarku.Pria itu tak bisa menyembunyikan keterkejutannya, wajahnya menegang dan kedua bola matanya membulat tajam. Ia melihat kehadiran Tiara yang tak sadarkan diri di hadapan wajahnya, ia mengingat betul kalau aku tidak ingin bertemu dengan Tiara secara langsung.“Apa dia mengetahui identitasmu?” tanya Nathan, kesal menatapku tajam.“Ya begitulah, aku perlu melakukannya untuk membungkan mulut Tiara,” jawabku, lirih.“Apa kamu gila?! Dia bisa saja membocorkan keberadaan Pres
***Kedua mata Tiara membelalak tajam, mulutnya tak henti menutup tatkala mendapati aku muncul hidup-hidup di depan matanya. Kucoba raih lengan Violet dan membantu wanita itu untuk kembali bangkit dan berdiri.“R-Revan … apakah itu kamu?” tanya Tiara, ia menjatuhkan selang air yang sedari tadi ia genggam dan menumpahkan aliran air itu terbuang sia-sia.“Aku senang bisa melihatmu lagi, Tiara,” ungkapku.Kudekati pagar rumah Tiara, wanita itu tersentak kaget dan segera mengambil sebuah sapu untuk membela diri. Melihat responnya yang demikian, membuat diriku kebingungan, apakah dia benar-benar merindukanku atau tidak?“Jangan sekali-kali mencoba membodohiku! Aku tidak akan tertipu dengan wajah palsunya,” erang Violet, ia bersikap aneh menganggap aku adalah orang lain yang memakai wajah palsu di mukanya.Tidak pernah terpikirkan aku akan melakukan hal seperti itu, bahkan aku sendiri tidak memiliki alat
“Bawa mereka menjauh dari sini.” Aku langsung memerintahkan beberapa anggotaku untuk membawa mereka berpisah, wajah David sudah dipenuhi oleh lebam, begitu juga sama dengan Jayakarta.Mereka, kedua orang yang sudah bekerja sama selama beberapa tahun, hancur seketika oleh sebuah kepercayaan yang terkhianati. Mereka bertengkar, bergaduh layaknya anak kecil yang memperebutkan layangan.Keluarga Jayakarta, istri dan anak-anaknya begitu ketakutan dan sedih melihat suami dan ayah bagi anak-anaknya babak belur dihajar secara brutal oleh David, yang notabene mereka kenal sebagai rekan kerja Jayakarta.“Apa yang akan kamu lakukan pada suami saya?” tanya istri Jayakarta, menangis tersedu-sedu dalam dekapanku.Kulepaskan wanita paruh baya tersebut dan menyuruhnya untuk tidak ikut campur. Nasib mereka bergantung pada sikap dan ucapan Jayakarta, jika Jayakarta mati, maka mereka juga demikian.“Jika begitu, kalian juga harus menangk
***David terus terdiam, terus menatap lurus ke arah jalanan dengan pandangan yang kosong. Sikapnya berubah tepat ketika aku sudah menjelaskan tentang ambisi tersembunyi dari Jayakarta, David mungkin masih syok mendengarnya.“Apa dia baik-baik saja?” tanya Nathan, ia kini memegang kendali kemudi dan aku duduk tepat di sebelahnya.“Sebelum dia mati, aku pikir dia baik-baik saja.”“Pasti mengejutkan baginya, orang yang bersama-sama sejak dulu malah mengkhianatinya,” jelas Nathan, aku hanya berdeham seraya terus memerhatikan jalanan di depanku.Setengah perjalanan menuju Ibukota sudah terlewati. Mobil kami melaju dengan kecepatan stabil di ruas jalan tol yang cukup lengang malam itu, kuperhatikan melalui kaca spion depan, Larissa dan anggota lain yang duduk di belakang sudah tertidur dengan pulas.Begitu juga dengan David, ia tak lagi termenung dalam pikirannya yang kalut. Matanya terpejam dan kepalanya bersa