Ini yang Juna tak suka. Ketika dia malah diancam balik. Tak hanya itu, yang dijadikan ancaman adalah darah dagingnya.
‘Aku takkan pernah memaafkan kamu, Len!’ pekik Juna di batinnya.
Dia mengirim pesan. Namun, baru saja mengetik, Lenita sudah meneleponnya.
“Jun, kamu di mana?” Terdengar suara Lenita di telepon.
“Aku sedang sibuk di luar, sedang mengurus gedungku.” Juna beralasan meski sebenarnya urusan dengan gedung sudah selesai hari ini.
“Tsk! Gedung jelek yang bawa aura buruk itu, ya?” Lenita mencemooh. Ini semakin membuat Juna geram.
‘Kau ini sudah tidak sopan padaku sebagai suami, kau juga tidak mendukung usaha suamimu! Istri macam apa kau?’ batin Juna emosional.
Tapi Juna menarik napas dalam-dalam sembari memperluas samudera kesabarannya. “Aku sibuk sekali hari ini. Besok saja kalau makan siang denganku.”
“Dih! Kenapa ingin makan siang dengan su
Juna memberikan sedikit energi murni dia ke dalam diri baby Rafarendra agar si jabang bayi mendapatkan perlindungan dari makhluk-makhluk astral yang ingin mengganggunya.Bagi Juna, itu biasa dilakukan para bapak yang memiliki ilmu kanuragan di era kuno sebelum adanya kepercayaan menyematkan secuil buah bengle ke pakaian bayi untuk tolak bala.Dengan begitu, anak Wenti tidak gampang rewel nantinya di malam hari dan bisa tumbuh menjadi anak yang sehat dan tangguh.Setelah itu, rombongan Wenti kembali ke rumah, tapi mendapatkan sambutan ketus dari Lenita.“Huh! Rival datang, nih!” sungut Lenita saat melihat Wenti yang menggendong Rafarendra bayi.“Nita, kok bicaranya begitu?” Hartono kecewa dengan ucapan putrinya, tapi dia tak berani menegur keras. Selain tak ingin Lenita tambah marah, putrinya juga sedang hamil.“Loh! Kan memang betul omonganku, Pa. Sebentar lagi pasti Papa akan berikan ini dan itu semuanya ke boc
“Hm, ya sudah.” Juna masih ingin berbaik hati meski enggan. Lenita senang bukan main ternyata suaminya tidak menolak permintaan tidur bersama.Segera, Juna meminta Lenita berbaring di tempat tidur. ‘Nanti aku bisa keluar setelah dia tidur.’ Demikian pikir Juna.Maka, Juna menahan diri saat Lenita meminta dipeluk dari belakang.‘Baiklah, baiklah, ini demi si jabang bayi.’ Juna terus mendengungkan itu di kepalanya. Dia tak akan bisa melihat wajah sumringah Lenita di depan sana.“Jun, nantinya aku atau kamu yang beri nama anak ini kalau sudah lahir?” Lenita ingin mengobrol, mumpung Juna bersedia tidur bersamanya dan bahkan memeluk.“Terserah kamu saja.” Juna malas berdebat dan menyerahkan semua pada Lenita saja.“Aku saja, yah!” Akhirnya Lenita yang menentukan. Juna di belakang hanya memutar bola matanya. Untuk apa tanya jika si istri sudah memutuskan sendiri?&ldquo
Baru saja Juna hendak meremas sesuatu yang empuk dan menyenangkan jika diremas, Anika sudah menjauhkan diri darinya dengan sikap terkejut, sehingga remasan itu pun urung tercapai.Sebagai lelaki, sangat normal jika menginginkan sentuhan lebih pada wanita yang disukai saat mereka mulai bermesraan. Apalagi, Juna sudah berpengalaman dengan wanita, dia tak sabar ingin menjadikan Anika miliknya sepenuhnya.“Nik?” Juna mempertanyakan penolakan Anika. Ada sorot kecewa di matanya ketika menatap sayu Anika. Dua tangannya meraih pipi Anika dan kini memberikan tatapan memohon.“Mas, jangan.” Anika menggelengkan kepala dengan sikap lemah gemulai.Juna menarik napas sepanjang mungkin agar bisa mengosongkan birahi dari dirinya. Tapi … rasanya sulit!Maka, Juna mencoba selembut mungkin menarik Anika agar meniadakan jarak antara mereka. “Nik, percaya denganku, yah … aku pasti akan menikahimu. Aku tak mungkin meninggalkan
Ingin sekali Juna melakban mulut Shevia yang terlalu ‘bocor’. Atau, jangan-jangan Shevia sengaja melakukan itu? Juna memiliki prasangka ini di hatinya.Segera, Lenita menoleh ke Juna sambil bertanya, “Jun, siapa itu? Anika?” Dia kemudian menoleh ke arah yang ditunjuk Shevia.“Oh, dia teman sekolahku dulu.” Juna belum siap dengan hal ini. Dia belum ingin mengungkapkan secara jujur mengenai Anika pada Lenita. Dia membutuhkan waktu dan kesempatan yang tepat!Tapi, bukankah kebanyakan lelaki yang berselingkuh selalu memakai alasan tersebut?“Ayo, aku kenalkan!” Juna akhirnya bangkit berdiri dan mengajak Lenita ke meja tempat Anika duduk dengan kerabat mendiang suaminya.Juna bisa melihat Anika menjadi tegang didatangi dia dan Lenita. Tapi, mau bagaimana lagi? Sudah kepalang basah!“Halo, Nik!” sapa Juna sewajar mungkin meski hatinya bergolak riuh.“H—halo, Mas.”
Ketika Juna melihat Anika datang meski dengan dandanan sederhana rok terusan selutut warna putih, hatinya berdebar riuh.‘Akhirnya! Akhirnya aku menikahi Ndoro Putri!’ pekik antusias Juna di batinnya.Anika memang tidak didampingi siapapun dengan alasan kedua orang tuanya sudah meninggal dan tidak menemukan keberadaan pamannya. Hal itu tidak menghalangi terlaksananya pernikahan tersebut.Menggunakan wali dan saksi dari pihak pelaksana adat, maka pernikahan pun sah di mata adat dan Pencipta Semesta.Malam harinya, Juna sudah mempersiapkan diri sebaik mungkin. Dia bahkan datang lebih sore dari biasanya dan terpaksa menggunakan ajian penidur ke Lenita agar tidak mengganggu malam yang telah dinanti-nantikannya ini.Melihat suaminya datang, Anika tersenyum saat menyambut kehadiran Juna.Seperti biasa, Juna menyelinap masuk ke kamar Anika. “Nik.” Dia memanggil istri barunya dengan suara lembut.“Ya, Mas.”
Juna melirik ke ruang perpustakaan. Kemudian berkata santai, “Oh, aku sengaja membawa kuncinya denganku agar aku merasa aman saja meski aku sedang lari pagi.”Batin Juna meledek Lenita, ‘Kau kira aku tidak mempersiapkan segala sesuatu termasuk jawaban, hm? Jangan meremehkan panglima ini!’“Untuk apa membawa kunci segala ketika kamu sedang olah raga?” Lenita masih belum puas dan ingin mengetahui semua hal.Ketenangan sikap Juna dalam situasi interogasi semacam ini sudah sering dia alami di masa silam. Maka, dia menjawab, “Bukannya aku tidak mempercayai penghuni rumah ini, aku hanya berjaga-jaga saja agar tidak menyesal kemudian hari jika ada file penting di ruang itu hilang. Bagaimanapun, aku ini CEO dan pekerjaanku tidak ringan.”Juna memberikan alasan yang susah disanggah Lenita. CEO memang jabatan yang terlihat keren, tapi sebenarnya tetap saja CEO merupakan bawahan dari pemilik perusahaan. CEO hanyalah or
Deg!Betapa kagetnya Juna saat mendengar ucapan Wenti. Apakah … wanita itu mengetahui rahasia terbesarnya?Juna lekas menoleh ke Wenti dan berkata, “Ma? Kok Mama bi—““Kapan-kapan kita obrolkan mengenai itu, yah! Rafa harus ganti popok, nih!” Wenti tersenyum lebar sampai matanya membentuk bulan sabit tipis. Senyum palsu.Sebenarnya bisa saja Juna menahan Wenti lebih lama untuk membahas masalah itu, tapi Rafa mendadak menangis, mungkin karena merasa risih dengan ompol yang membasahi tubuh bawahnya.Juna merenung lebih banyak lagi di ruang makan, hingga muncul Lenita yang baru bangun.“Jun, sudah selesai lari paginya?” Lenita menghampiri Juna sambil merangkul dari belakang dan mengecup pipi suaminya dari samping.“Hm? Oh, iya, sudah.” Juna mengangguk, menyamarkan kecanggungannya akibat ucapan Wenti tadi.“Aku buatkan kopi, yah? Atau teh? Mumpung aku di sini?&rdquo
Juna tetap bersikap tenang, bahkan Rafa kecil di gendongannya pun tidak rewel. Dia menatap Wenti beberapa detik dan menyahut, “Ma, aku Arjuna.”“Jadi, kamu masih ingin menutupi dari Mama, nih? Yakin?” Wenti memberikan tatapan yang membuat perasaan Juna menjadi rumit.“Ma ….”“Arjuna yang sebenarnya tidak akan pernah mengkhianati Nita, apapun yang terjadi. Mama sudah paham dengan karakter dan kebiasaan Arjuna meskipun kami dulu jarang mengobrol karena Nita tidak suka itu.”Juna memejamkan matanya sejenak dan saat membukanya, dia berucap, “Aku memang bukan dari era ini, Ma.”Wenti membekap mulutnya sendiri dengan pandangan membeku meski sebenarnya dia sudah memiliki perkiraan. Tetap saja itu mengejutkannya.“Jun … jadi … jadi ….” Wenti bingung, kesulitan menemukan kalimat yang tepat. Ini terlalu melampaui imajinasinya meski sudah menduga.