Ingin sekali Juna melakban mulut Shevia yang terlalu ‘bocor’. Atau, jangan-jangan Shevia sengaja melakukan itu? Juna memiliki prasangka ini di hatinya.
Segera, Lenita menoleh ke Juna sambil bertanya, “Jun, siapa itu? Anika?” Dia kemudian menoleh ke arah yang ditunjuk Shevia.
“Oh, dia teman sekolahku dulu.” Juna belum siap dengan hal ini. Dia belum ingin mengungkapkan secara jujur mengenai Anika pada Lenita. Dia membutuhkan waktu dan kesempatan yang tepat!
Tapi, bukankah kebanyakan lelaki yang berselingkuh selalu memakai alasan tersebut?
“Ayo, aku kenalkan!” Juna akhirnya bangkit berdiri dan mengajak Lenita ke meja tempat Anika duduk dengan kerabat mendiang suaminya.
Juna bisa melihat Anika menjadi tegang didatangi dia dan Lenita. Tapi, mau bagaimana lagi? Sudah kepalang basah!
“Halo, Nik!” sapa Juna sewajar mungkin meski hatinya bergolak riuh.
“H—halo, Mas.”
Ketika Juna melihat Anika datang meski dengan dandanan sederhana rok terusan selutut warna putih, hatinya berdebar riuh.‘Akhirnya! Akhirnya aku menikahi Ndoro Putri!’ pekik antusias Juna di batinnya.Anika memang tidak didampingi siapapun dengan alasan kedua orang tuanya sudah meninggal dan tidak menemukan keberadaan pamannya. Hal itu tidak menghalangi terlaksananya pernikahan tersebut.Menggunakan wali dan saksi dari pihak pelaksana adat, maka pernikahan pun sah di mata adat dan Pencipta Semesta.Malam harinya, Juna sudah mempersiapkan diri sebaik mungkin. Dia bahkan datang lebih sore dari biasanya dan terpaksa menggunakan ajian penidur ke Lenita agar tidak mengganggu malam yang telah dinanti-nantikannya ini.Melihat suaminya datang, Anika tersenyum saat menyambut kehadiran Juna.Seperti biasa, Juna menyelinap masuk ke kamar Anika. “Nik.” Dia memanggil istri barunya dengan suara lembut.“Ya, Mas.”
Juna melirik ke ruang perpustakaan. Kemudian berkata santai, “Oh, aku sengaja membawa kuncinya denganku agar aku merasa aman saja meski aku sedang lari pagi.”Batin Juna meledek Lenita, ‘Kau kira aku tidak mempersiapkan segala sesuatu termasuk jawaban, hm? Jangan meremehkan panglima ini!’“Untuk apa membawa kunci segala ketika kamu sedang olah raga?” Lenita masih belum puas dan ingin mengetahui semua hal.Ketenangan sikap Juna dalam situasi interogasi semacam ini sudah sering dia alami di masa silam. Maka, dia menjawab, “Bukannya aku tidak mempercayai penghuni rumah ini, aku hanya berjaga-jaga saja agar tidak menyesal kemudian hari jika ada file penting di ruang itu hilang. Bagaimanapun, aku ini CEO dan pekerjaanku tidak ringan.”Juna memberikan alasan yang susah disanggah Lenita. CEO memang jabatan yang terlihat keren, tapi sebenarnya tetap saja CEO merupakan bawahan dari pemilik perusahaan. CEO hanyalah or
Deg!Betapa kagetnya Juna saat mendengar ucapan Wenti. Apakah … wanita itu mengetahui rahasia terbesarnya?Juna lekas menoleh ke Wenti dan berkata, “Ma? Kok Mama bi—““Kapan-kapan kita obrolkan mengenai itu, yah! Rafa harus ganti popok, nih!” Wenti tersenyum lebar sampai matanya membentuk bulan sabit tipis. Senyum palsu.Sebenarnya bisa saja Juna menahan Wenti lebih lama untuk membahas masalah itu, tapi Rafa mendadak menangis, mungkin karena merasa risih dengan ompol yang membasahi tubuh bawahnya.Juna merenung lebih banyak lagi di ruang makan, hingga muncul Lenita yang baru bangun.“Jun, sudah selesai lari paginya?” Lenita menghampiri Juna sambil merangkul dari belakang dan mengecup pipi suaminya dari samping.“Hm? Oh, iya, sudah.” Juna mengangguk, menyamarkan kecanggungannya akibat ucapan Wenti tadi.“Aku buatkan kopi, yah? Atau teh? Mumpung aku di sini?&rdquo
Juna tetap bersikap tenang, bahkan Rafa kecil di gendongannya pun tidak rewel. Dia menatap Wenti beberapa detik dan menyahut, “Ma, aku Arjuna.”“Jadi, kamu masih ingin menutupi dari Mama, nih? Yakin?” Wenti memberikan tatapan yang membuat perasaan Juna menjadi rumit.“Ma ….”“Arjuna yang sebenarnya tidak akan pernah mengkhianati Nita, apapun yang terjadi. Mama sudah paham dengan karakter dan kebiasaan Arjuna meskipun kami dulu jarang mengobrol karena Nita tidak suka itu.”Juna memejamkan matanya sejenak dan saat membukanya, dia berucap, “Aku memang bukan dari era ini, Ma.”Wenti membekap mulutnya sendiri dengan pandangan membeku meski sebenarnya dia sudah memiliki perkiraan. Tetap saja itu mengejutkannya.“Jun … jadi … jadi ….” Wenti bingung, kesulitan menemukan kalimat yang tepat. Ini terlalu melampaui imajinasinya meski sudah menduga.
Sebelum Lenita bisa mendekat ke restoran, temannya menahan lengannya. “Heh! Jangan!”Lenita mendelik ke temannya sambil bertanya, “Kenapa jangan? Mereka harus diberi pelajaran!”“Oi, Nit, jangan begitu!” Temannya makin menarik paksa tangan Lenita untuk dibawa ke mobil lagi.Lenita tidak puas karena tidak bisa melabrak mereka. “Kamu ini temanku atau bukan, sih? Bisa-bisanya tidak mendukung aku melabrak mereka!” Matanya melotot ganas.Karena temannya sudah terbiasa dengan kelakuan keras Lenita, dia berkata, “Jangan pakai cara barbar, jangan norak, Nit! Lakukan dengan elegan kalau ingin mengamuk ke mereka!”Lenita diam dan menatap penasaran ke temannya.Sementara itu, Juna masih tersenyum bahagia menatap Anika yang makan di sampingnya.“Mas, jangan dilihat terus, nanti makanku tidak selesai.” Anika tersipu. Wanita mana yang tidak bereaksi demikian ketika dirinya diam
Mata Juna tajam menatap Lenita. Dia terus memandangi istrinya yang berjalan cepat ke arahnya sambil mengacungkan gunting besar.Cukup dengan berkelit sedikit, nyaris tidak bergerak, maka gunting itu menancap di sudut atas dada kirinya. Juna tidak menghindari terlalu banyak dan membiarkan istrinya menusuk dia.‘Puas? Apakah kau puas?’ tanya Juna dalam hatinya tanpa memiliki niat diucapkan ke sang istri.Lenita kaget bukan kepalang, tidak menyangka Juna tidak lari atau menghindari, tidak pula menahan tangannya. Matanya membelalak kaget, apalagi gunting yang menancap itu dipegangi Juna erat-erat.Yang membuat Lenita gentar, tatapan lurus dan tegas Juna padanya tanpa mengatakan apa pun, juga tidak berteriak kesakitan. Juna benar-benar bungkam dan terlihat sangat perkasa bagaikan tonggak batu karang di depannya. Ini mengakibatkan dia mundur beberapa langkah dan linglung.“Ada apa?” Hartono muncul di ambang pintu karena mendengar
Juna tahu dia harus berhati-hati bicara untuk menenangkan Lenita. Dia bisa saja menaruh secuil jiwanya di sisi Anika, tapi bukan itu poinnya. Dia tak ingin Anika menghadapi bahaya apapun meski terlindungi olehnya ataupun Nyai Mirah.‘Kalau sampai Anika tahu dia menjadi target Lenita, Anika pasti akan meminta pisah.’ Ini yang Juna cemaskan. Maka dari itu, dia harus meredam emosi istri sahnya.“Len, jangan memikirkan hal konyol apapun, terlebih kamu sedang hamil. Oke, oke, aku tidak jadi pergi.” Juna terpaksa mendekati istrinya dan merangkul, berharap itu manjur mendinginkan bara mendidih Lenita.Tapi, Lenita malah makin kesal, dia berkata, “Tak mau tahu! Kalau memang kamu nekat meneruskan hubungan dengan si jalang bedebah itu, aku bersumpah, Jun! Aku bersumpah akan bunuh dia! Papa saksinya!” Setelahnya, dia memukul dada Juna.“Mph!” Juna mengelus tempat yang dipukul Lenita. Tidak terasa sakit, dia hanya berak
Anika yang masih gugup dan lututnya gemetar, tapi dia memaksakan diri naik ke mobil karena Juna sudah menunggunya.Kemudian, Juna memacu mobil melewati jalanan kecil berkelok dan menanjak dan dia mengeluarkan secuil jiwanya untuk mengejar kedua pelaku.Maka, sudah bisa dipastikan, kedua pelaku bermotor itu sudah dihentikan di sisi jalan, mereka meringis kesakitan karena tulang tangan dan kakinya dipatahkan pecahan jiwa Juna yang bermuatan energi kanuragan.‘Tidak ada yang boleh lolos baik-baik saja setelah menargetkan Anika tercintaku!’ seru Juna dalam hati.Mobil pun berhenti, Juna turun untuk menghampiri dua pelaku yang sedang kesakitan.“Ampun! Kami cuma disuruh, Pak! Kami cuma orang suruhan istrimu!” Salah satu dari mereka bergegas meminta belas kasih Juna karena Juna mendatangi dengan mata melotot seperti ingin membunuh.Itu memang benar, dia memang memiliki hasrat membunuh kedua lelaki itu, tapi Juna tak mungkin