Deg!
Betapa kagetnya Juna saat mendengar ucapan Wenti. Apakah … wanita itu mengetahui rahasia terbesarnya?
Juna lekas menoleh ke Wenti dan berkata, “Ma? Kok Mama bi—“
“Kapan-kapan kita obrolkan mengenai itu, yah! Rafa harus ganti popok, nih!” Wenti tersenyum lebar sampai matanya membentuk bulan sabit tipis. Senyum palsu.
Sebenarnya bisa saja Juna menahan Wenti lebih lama untuk membahas masalah itu, tapi Rafa mendadak menangis, mungkin karena merasa risih dengan ompol yang membasahi tubuh bawahnya.
Juna merenung lebih banyak lagi di ruang makan, hingga muncul Lenita yang baru bangun.
“Jun, sudah selesai lari paginya?” Lenita menghampiri Juna sambil merangkul dari belakang dan mengecup pipi suaminya dari samping.
“Hm? Oh, iya, sudah.” Juna mengangguk, menyamarkan kecanggungannya akibat ucapan Wenti tadi.
“Aku buatkan kopi, yah? Atau teh? Mumpung aku di sini?&rdquo
Juna tetap bersikap tenang, bahkan Rafa kecil di gendongannya pun tidak rewel. Dia menatap Wenti beberapa detik dan menyahut, “Ma, aku Arjuna.”“Jadi, kamu masih ingin menutupi dari Mama, nih? Yakin?” Wenti memberikan tatapan yang membuat perasaan Juna menjadi rumit.“Ma ….”“Arjuna yang sebenarnya tidak akan pernah mengkhianati Nita, apapun yang terjadi. Mama sudah paham dengan karakter dan kebiasaan Arjuna meskipun kami dulu jarang mengobrol karena Nita tidak suka itu.”Juna memejamkan matanya sejenak dan saat membukanya, dia berucap, “Aku memang bukan dari era ini, Ma.”Wenti membekap mulutnya sendiri dengan pandangan membeku meski sebenarnya dia sudah memiliki perkiraan. Tetap saja itu mengejutkannya.“Jun … jadi … jadi ….” Wenti bingung, kesulitan menemukan kalimat yang tepat. Ini terlalu melampaui imajinasinya meski sudah menduga.
Sebelum Lenita bisa mendekat ke restoran, temannya menahan lengannya. “Heh! Jangan!”Lenita mendelik ke temannya sambil bertanya, “Kenapa jangan? Mereka harus diberi pelajaran!”“Oi, Nit, jangan begitu!” Temannya makin menarik paksa tangan Lenita untuk dibawa ke mobil lagi.Lenita tidak puas karena tidak bisa melabrak mereka. “Kamu ini temanku atau bukan, sih? Bisa-bisanya tidak mendukung aku melabrak mereka!” Matanya melotot ganas.Karena temannya sudah terbiasa dengan kelakuan keras Lenita, dia berkata, “Jangan pakai cara barbar, jangan norak, Nit! Lakukan dengan elegan kalau ingin mengamuk ke mereka!”Lenita diam dan menatap penasaran ke temannya.Sementara itu, Juna masih tersenyum bahagia menatap Anika yang makan di sampingnya.“Mas, jangan dilihat terus, nanti makanku tidak selesai.” Anika tersipu. Wanita mana yang tidak bereaksi demikian ketika dirinya diam
Mata Juna tajam menatap Lenita. Dia terus memandangi istrinya yang berjalan cepat ke arahnya sambil mengacungkan gunting besar.Cukup dengan berkelit sedikit, nyaris tidak bergerak, maka gunting itu menancap di sudut atas dada kirinya. Juna tidak menghindari terlalu banyak dan membiarkan istrinya menusuk dia.‘Puas? Apakah kau puas?’ tanya Juna dalam hatinya tanpa memiliki niat diucapkan ke sang istri.Lenita kaget bukan kepalang, tidak menyangka Juna tidak lari atau menghindari, tidak pula menahan tangannya. Matanya membelalak kaget, apalagi gunting yang menancap itu dipegangi Juna erat-erat.Yang membuat Lenita gentar, tatapan lurus dan tegas Juna padanya tanpa mengatakan apa pun, juga tidak berteriak kesakitan. Juna benar-benar bungkam dan terlihat sangat perkasa bagaikan tonggak batu karang di depannya. Ini mengakibatkan dia mundur beberapa langkah dan linglung.“Ada apa?” Hartono muncul di ambang pintu karena mendengar
Juna tahu dia harus berhati-hati bicara untuk menenangkan Lenita. Dia bisa saja menaruh secuil jiwanya di sisi Anika, tapi bukan itu poinnya. Dia tak ingin Anika menghadapi bahaya apapun meski terlindungi olehnya ataupun Nyai Mirah.‘Kalau sampai Anika tahu dia menjadi target Lenita, Anika pasti akan meminta pisah.’ Ini yang Juna cemaskan. Maka dari itu, dia harus meredam emosi istri sahnya.“Len, jangan memikirkan hal konyol apapun, terlebih kamu sedang hamil. Oke, oke, aku tidak jadi pergi.” Juna terpaksa mendekati istrinya dan merangkul, berharap itu manjur mendinginkan bara mendidih Lenita.Tapi, Lenita malah makin kesal, dia berkata, “Tak mau tahu! Kalau memang kamu nekat meneruskan hubungan dengan si jalang bedebah itu, aku bersumpah, Jun! Aku bersumpah akan bunuh dia! Papa saksinya!” Setelahnya, dia memukul dada Juna.“Mph!” Juna mengelus tempat yang dipukul Lenita. Tidak terasa sakit, dia hanya berak
Anika yang masih gugup dan lututnya gemetar, tapi dia memaksakan diri naik ke mobil karena Juna sudah menunggunya.Kemudian, Juna memacu mobil melewati jalanan kecil berkelok dan menanjak dan dia mengeluarkan secuil jiwanya untuk mengejar kedua pelaku.Maka, sudah bisa dipastikan, kedua pelaku bermotor itu sudah dihentikan di sisi jalan, mereka meringis kesakitan karena tulang tangan dan kakinya dipatahkan pecahan jiwa Juna yang bermuatan energi kanuragan.‘Tidak ada yang boleh lolos baik-baik saja setelah menargetkan Anika tercintaku!’ seru Juna dalam hati.Mobil pun berhenti, Juna turun untuk menghampiri dua pelaku yang sedang kesakitan.“Ampun! Kami cuma disuruh, Pak! Kami cuma orang suruhan istrimu!” Salah satu dari mereka bergegas meminta belas kasih Juna karena Juna mendatangi dengan mata melotot seperti ingin membunuh.Itu memang benar, dia memang memiliki hasrat membunuh kedua lelaki itu, tapi Juna tak mungkin
Juna termangu. Benar-benar membiarkan mulutnya melongo seperti orang tolol usai mendengar penuturan Anika. Setelah beberapa detik terlewatkan, barulah dia sadar, “Nik?”“Maaf, ya Mas, aku … ternyata aku tidak seberani itu menjadi istrimu. Aku begitu takut. Takut karma, takut dosa, juga takut mendapatkan kebencian.” Anika menundukkan kepalanya, menahan tangis karena mengucapkan perpisahan dengan Juna serasa bagai mengiris dagingnya sendiri.“Nik! Jangan merasa—“ Juna maju ke Anika untuk meraih tangan istri mudanya. Tapi, Anika sudah mundur beberapa langkah sembari menggelengkan kepala.“Jangan, Mas. Jangan pengaruhi keputusanku.” Suara Anika bergetar. Sungguh sulit mengatakan itu karena adanya pertentangan di hatinya. Masih teringat olehnya tadi sebelum Juna datang, dia seperti mendapatkan mimpi singkat bahwa Juna akan celaka apabila terus bersamanya.Saat itu, Anika merenungkan arti mimpi terseb
Nyai Mirah terus memberikan perlindungan untuk majikannya secara maksimal dan memang dapat menghindarkan Anika dari kemalangan, tapi Anika sangat sedih ketika orang di sekitarnya justru menjadi korban.“Nyai! Jangan biarkan mereka menyakiti pekerjaku! Tolong, Nyai!” pekik Anika di benak agar didengar Nyai Mirah.Maka, Nyai Mirah sebagai jin khodam yang patuh, dia melaksanakan keinginan Anika. Peluru para perampok mulai tak bisa keluar dari larasnya dan terkesan macet.Lalu, Nyai Mirah juga membuat para perampok kebingungan mencari jalan keluar dan mereka mulai linglung dan pusing. Anika bergegas menghubungi polisi mengenai kejadian kacau di rumahnya.Tak berapa lama, polisi berdatangan dan meringkus semua perampok yang masih linglung seperti idiot. Malah ada yang berteriak-teriak histeris ketakutan. Wajar saja, karena Nyai Mirah memunculkan wujud seram dia di hadapan perampok yang telah menembak pekerja Anika tersebut.Sedangkan, Anika
Sebagai panglima, Juna harus mengetahui kapan dia harus terus menyerang dan kapan harus mundur sejenak.Sebagai orang yang mencintai Anika, dia juga harus memahami apa saja yang bisa membuat nyaman orang tercintanya. Jika dia ingin bersikap egois, dia bisa saja mengabaikan ancaman Lenita dan tetap bersanding menjadi suami Anika.Tapi, kejiwaan dan mental Anika juga harus dia utamakan. Biarlah dia mengalah dulu agar Lenita lebih tenang dan bisa dicari celah lengahnya nanti.Maka dari itu, bisa diperkirakan bagaimana Lenita memanfaatkan kepatuhan Juna untuk apa pun yang dia ingin.“Jun, temani aku makan siang!”“Jun, aku ingin roti yang kemarin dibelikan papa. Ayo kita ke toko roti!”“Jun, aku ingin sekali milkshake cokelat. Buatkan, yah!”“Rasanya aku ingin makan nasi goreng pedas. Ayo kita ke warung tenda Pak Sobari, Jun!”“Malam ini aku ingin jalan-jalan, Jun!”Semuanya dijawab dengan anggukan kepala Juna. Lenita terlihat puas melihat Juna tidak memberi bantahan apapun dan bersedia p