Rasanya ingin sekali Anika tetap teguh dalam moralitas yang dia ketahui, agar jangan bermain api dengan suami orang. Tapi … hati dan tubuhnya mengkhianati dia.
Alih-alih mendorong Juna, lengannya justru meremas pakaian di punggung Juna sembari membalas kecil cumbuan demi cumbuan Juna sampai akhirnya dia yang melepaskan diri akibat ingin mengambil napas segar.
Wajah Anika merona merah tanpa bisa dicegah. Juna bisa melihatnya meski keadaan di sana gelap tanpa ada banyak cahaya kecuali dari lampu jalan remang di kejauhan dan pantulan sinar lampu kota di bawah sana.
“Nik, jadilah milikku. Aku janji, akan memberimu kebahagiaan, apapun caranya.” Juna mengucapkannya secara tulus meski sebenarnya dia merasa itu seperti ucapan gombal lelaki pada umumnya.
Anika menatap Juna dengan perasaan ragu. “Tapi, Mas … istrimu ….”
Juna paham ini pasti hal yang sangat merisaukan perasaan Anika, maka dari itu, dia menyahut, &l
“Nyai.” Juna menyapa jin khodam berusia sangat tua dan sakti di depannya.Nyai Mirah bersidekap tangan di depan dada sambil berdiri melayang tegak dan menatap lurus ke Juna dengan pandangan yang tegas sekaligus tak bersahabat.“Pergilah! Pulang sana ke tempatmu sendiri!” Nyai Mirah memberikan perintah. Meski dia menggunakan suara, namun Nyai MIrah hanya mengatur supaya Juna saja yang bisa mendengar. Itu hal mudah bagi jin tua.“Tidak, Nyai.” Juna menggeleng dan bersuara pelan mirip bisikan. “Saya sangat ingin bertemu dengan Ndoro Putri.”“Tidak perlu! Ndoro tidak memerlukan orang sepertimu di sini! Pergi! Jangan ganggu kehidupan dia yang telah tentram dan damai!” Nyai Mirah tetap dengan sikapnya, menolak Juna mendekati Anika.Sekali lagi, Juna menggelengkan kepala. “Nyai, tidak bisa begitu. Saya sudah sejak lama mencintai Ndoro Putri. Apakah Nyai tidak mengetahui itu?”&
Nyai Mirah diam tak menjawab. Dia sedikit menundukkan pandangannya, tak berani menatap Anika. Meski dia adalah jin kuat nan sakti, namun dia sudah terikat menjadi milik Anika. Sebagai jin khodam, mana dia berani melawan majikannya?Anika masih terbawa emosi ketika menatap Nyai Mirah. Dia tak menyangka bahwa jin khodamnya bertindak di luar perintahnya. Sejak kapan dia menginginkan Nyai Mirah menindak Juna begitu?“Nyai, kalau Nyai masih ingin menjadi pelindungku, maka mulai saat ini, Nyai tidak boleh lagi menyerang, memukul, melukai ataupun menyakiti Mas Janu!” Anika tegas mengatakannya ke Nyai Mirah. Saat ini mereka hanya berdua saja tanpa ada siapapun selain Juna yang masih tak sadarkan diri.“Ndoro ….” Nyai Mirah ingin membela diri, tapi urung. Bagaimanapun, dia hanyalah jin khodam yang harus patuh pada apapun perintah majikannya.Kali ini, Anika sungguh memberikan perintah tegas dan jelas padanya, dan ini merupakan pertam
Ketika perawat datang kembali di jam 5 subuh, Juna sudah berkemas-kemas bersama Anika. Padahal dia ingin memeriksa kondisi terbaru Juna.“Lho? Pak? Kok?” Perawat itu sampai bingung harus mengucapkan apa ketika melihat kondisi Juna ternyata sudah pulih sepenuhnya, tak ada tanda-tanda pernah sakit sebelumnya.“Suster, saya sudah sembuh, terima kasih atas perawatannya di sini.” Juna menyahut sebelum Anika bersuara.Perawat masih terpaku di tempatnya, tidak menyangka secepat itu Juna berhasil sembuh sempurna.“Yuk, Nik!” Juna menoleh ke Anika. Wanita di sebelahnya tersenyum sembari mengangguk dan kemudian mereka saling bergandengan tangan, tak lupa berpamitan pada perawat yang masih bingung.“Sudah kamu bayar semua biayanya?” tanya Juna sembari melangkah bersisian dengan Anika di lorong area VIP.“Sudah, Mas.” Anika mengangguk, tak keberatan tangannya digenggam erat oleh Juna, justru ha
Celaka!Juna mendadak gamang. Dilema bermunculan menyesaki kepalanya. Jika dia menepis Lenita, anak di perut istrinya bisa-bisa menjadi korban kebengisan ibunya. Kalau dia menanggapi aksi binal Lenita, bukankah dia akan merasa bersalah pada Anika?Kalau dia menyentuh Lenita, bukankah itu sama artinya dengan dia berkhianat dari Anika? Bagaimana nantinya perasaan Anika kalau mengetahui itu?Tapi … bukankah tak mungkin Anika tahu hal itu apabila dia tidak mengatakan apa-apa? Lagipula, ini menyangkut keselamatan seorang calon manusia di dalam perut.Meskipun dia tidak mencintai Lenita, tapi dia tak mungkin diam saja mengabaikan anaknya di perut si istri.Maka, menahan rasa enggan dan malas, Juna terpaksa meladeni Lenita. Dia tak mau anaknya, darah dagingnya, menjadi korban keegoisan kedua orang tuanya.Lenita gembira bukan kepalang. Dia bergerak binal dan mengundang gairah Juna dengan sentuhan dan kecupan demi kecupan.“Orrgh
Ini yang Juna tak suka. Ketika dia malah diancam balik. Tak hanya itu, yang dijadikan ancaman adalah darah dagingnya.‘Aku takkan pernah memaafkan kamu, Len!’ pekik Juna di batinnya.Dia mengirim pesan. Namun, baru saja mengetik, Lenita sudah meneleponnya.“Jun, kamu di mana?” Terdengar suara Lenita di telepon.“Aku sedang sibuk di luar, sedang mengurus gedungku.” Juna beralasan meski sebenarnya urusan dengan gedung sudah selesai hari ini.“Tsk! Gedung jelek yang bawa aura buruk itu, ya?” Lenita mencemooh. Ini semakin membuat Juna geram.‘Kau ini sudah tidak sopan padaku sebagai suami, kau juga tidak mendukung usaha suamimu! Istri macam apa kau?’ batin Juna emosional.Tapi Juna menarik napas dalam-dalam sembari memperluas samudera kesabarannya. “Aku sibuk sekali hari ini. Besok saja kalau makan siang denganku.”“Dih! Kenapa ingin makan siang dengan su
Juna memberikan sedikit energi murni dia ke dalam diri baby Rafarendra agar si jabang bayi mendapatkan perlindungan dari makhluk-makhluk astral yang ingin mengganggunya.Bagi Juna, itu biasa dilakukan para bapak yang memiliki ilmu kanuragan di era kuno sebelum adanya kepercayaan menyematkan secuil buah bengle ke pakaian bayi untuk tolak bala.Dengan begitu, anak Wenti tidak gampang rewel nantinya di malam hari dan bisa tumbuh menjadi anak yang sehat dan tangguh.Setelah itu, rombongan Wenti kembali ke rumah, tapi mendapatkan sambutan ketus dari Lenita.“Huh! Rival datang, nih!” sungut Lenita saat melihat Wenti yang menggendong Rafarendra bayi.“Nita, kok bicaranya begitu?” Hartono kecewa dengan ucapan putrinya, tapi dia tak berani menegur keras. Selain tak ingin Lenita tambah marah, putrinya juga sedang hamil.“Loh! Kan memang betul omonganku, Pa. Sebentar lagi pasti Papa akan berikan ini dan itu semuanya ke boc
“Hm, ya sudah.” Juna masih ingin berbaik hati meski enggan. Lenita senang bukan main ternyata suaminya tidak menolak permintaan tidur bersama.Segera, Juna meminta Lenita berbaring di tempat tidur. ‘Nanti aku bisa keluar setelah dia tidur.’ Demikian pikir Juna.Maka, Juna menahan diri saat Lenita meminta dipeluk dari belakang.‘Baiklah, baiklah, ini demi si jabang bayi.’ Juna terus mendengungkan itu di kepalanya. Dia tak akan bisa melihat wajah sumringah Lenita di depan sana.“Jun, nantinya aku atau kamu yang beri nama anak ini kalau sudah lahir?” Lenita ingin mengobrol, mumpung Juna bersedia tidur bersamanya dan bahkan memeluk.“Terserah kamu saja.” Juna malas berdebat dan menyerahkan semua pada Lenita saja.“Aku saja, yah!” Akhirnya Lenita yang menentukan. Juna di belakang hanya memutar bola matanya. Untuk apa tanya jika si istri sudah memutuskan sendiri?&ldquo
Baru saja Juna hendak meremas sesuatu yang empuk dan menyenangkan jika diremas, Anika sudah menjauhkan diri darinya dengan sikap terkejut, sehingga remasan itu pun urung tercapai.Sebagai lelaki, sangat normal jika menginginkan sentuhan lebih pada wanita yang disukai saat mereka mulai bermesraan. Apalagi, Juna sudah berpengalaman dengan wanita, dia tak sabar ingin menjadikan Anika miliknya sepenuhnya.“Nik?” Juna mempertanyakan penolakan Anika. Ada sorot kecewa di matanya ketika menatap sayu Anika. Dua tangannya meraih pipi Anika dan kini memberikan tatapan memohon.“Mas, jangan.” Anika menggelengkan kepala dengan sikap lemah gemulai.Juna menarik napas sepanjang mungkin agar bisa mengosongkan birahi dari dirinya. Tapi … rasanya sulit!Maka, Juna mencoba selembut mungkin menarik Anika agar meniadakan jarak antara mereka. “Nik, percaya denganku, yah … aku pasti akan menikahimu. Aku tak mungkin meninggalkan