Nyai Mirah diam tak menjawab. Dia sedikit menundukkan pandangannya, tak berani menatap Anika. Meski dia adalah jin kuat nan sakti, namun dia sudah terikat menjadi milik Anika. Sebagai jin khodam, mana dia berani melawan majikannya?
Anika masih terbawa emosi ketika menatap Nyai Mirah. Dia tak menyangka bahwa jin khodamnya bertindak di luar perintahnya. Sejak kapan dia menginginkan Nyai Mirah menindak Juna begitu?
“Nyai, kalau Nyai masih ingin menjadi pelindungku, maka mulai saat ini, Nyai tidak boleh lagi menyerang, memukul, melukai ataupun menyakiti Mas Janu!” Anika tegas mengatakannya ke Nyai Mirah. Saat ini mereka hanya berdua saja tanpa ada siapapun selain Juna yang masih tak sadarkan diri.
“Ndoro ….” Nyai Mirah ingin membela diri, tapi urung. Bagaimanapun, dia hanyalah jin khodam yang harus patuh pada apapun perintah majikannya.
Kali ini, Anika sungguh memberikan perintah tegas dan jelas padanya, dan ini merupakan pertam
Ketika perawat datang kembali di jam 5 subuh, Juna sudah berkemas-kemas bersama Anika. Padahal dia ingin memeriksa kondisi terbaru Juna.“Lho? Pak? Kok?” Perawat itu sampai bingung harus mengucapkan apa ketika melihat kondisi Juna ternyata sudah pulih sepenuhnya, tak ada tanda-tanda pernah sakit sebelumnya.“Suster, saya sudah sembuh, terima kasih atas perawatannya di sini.” Juna menyahut sebelum Anika bersuara.Perawat masih terpaku di tempatnya, tidak menyangka secepat itu Juna berhasil sembuh sempurna.“Yuk, Nik!” Juna menoleh ke Anika. Wanita di sebelahnya tersenyum sembari mengangguk dan kemudian mereka saling bergandengan tangan, tak lupa berpamitan pada perawat yang masih bingung.“Sudah kamu bayar semua biayanya?” tanya Juna sembari melangkah bersisian dengan Anika di lorong area VIP.“Sudah, Mas.” Anika mengangguk, tak keberatan tangannya digenggam erat oleh Juna, justru ha
Celaka!Juna mendadak gamang. Dilema bermunculan menyesaki kepalanya. Jika dia menepis Lenita, anak di perut istrinya bisa-bisa menjadi korban kebengisan ibunya. Kalau dia menanggapi aksi binal Lenita, bukankah dia akan merasa bersalah pada Anika?Kalau dia menyentuh Lenita, bukankah itu sama artinya dengan dia berkhianat dari Anika? Bagaimana nantinya perasaan Anika kalau mengetahui itu?Tapi … bukankah tak mungkin Anika tahu hal itu apabila dia tidak mengatakan apa-apa? Lagipula, ini menyangkut keselamatan seorang calon manusia di dalam perut.Meskipun dia tidak mencintai Lenita, tapi dia tak mungkin diam saja mengabaikan anaknya di perut si istri.Maka, menahan rasa enggan dan malas, Juna terpaksa meladeni Lenita. Dia tak mau anaknya, darah dagingnya, menjadi korban keegoisan kedua orang tuanya.Lenita gembira bukan kepalang. Dia bergerak binal dan mengundang gairah Juna dengan sentuhan dan kecupan demi kecupan.“Orrgh
Ini yang Juna tak suka. Ketika dia malah diancam balik. Tak hanya itu, yang dijadikan ancaman adalah darah dagingnya.‘Aku takkan pernah memaafkan kamu, Len!’ pekik Juna di batinnya.Dia mengirim pesan. Namun, baru saja mengetik, Lenita sudah meneleponnya.“Jun, kamu di mana?” Terdengar suara Lenita di telepon.“Aku sedang sibuk di luar, sedang mengurus gedungku.” Juna beralasan meski sebenarnya urusan dengan gedung sudah selesai hari ini.“Tsk! Gedung jelek yang bawa aura buruk itu, ya?” Lenita mencemooh. Ini semakin membuat Juna geram.‘Kau ini sudah tidak sopan padaku sebagai suami, kau juga tidak mendukung usaha suamimu! Istri macam apa kau?’ batin Juna emosional.Tapi Juna menarik napas dalam-dalam sembari memperluas samudera kesabarannya. “Aku sibuk sekali hari ini. Besok saja kalau makan siang denganku.”“Dih! Kenapa ingin makan siang dengan su
Juna memberikan sedikit energi murni dia ke dalam diri baby Rafarendra agar si jabang bayi mendapatkan perlindungan dari makhluk-makhluk astral yang ingin mengganggunya.Bagi Juna, itu biasa dilakukan para bapak yang memiliki ilmu kanuragan di era kuno sebelum adanya kepercayaan menyematkan secuil buah bengle ke pakaian bayi untuk tolak bala.Dengan begitu, anak Wenti tidak gampang rewel nantinya di malam hari dan bisa tumbuh menjadi anak yang sehat dan tangguh.Setelah itu, rombongan Wenti kembali ke rumah, tapi mendapatkan sambutan ketus dari Lenita.“Huh! Rival datang, nih!” sungut Lenita saat melihat Wenti yang menggendong Rafarendra bayi.“Nita, kok bicaranya begitu?” Hartono kecewa dengan ucapan putrinya, tapi dia tak berani menegur keras. Selain tak ingin Lenita tambah marah, putrinya juga sedang hamil.“Loh! Kan memang betul omonganku, Pa. Sebentar lagi pasti Papa akan berikan ini dan itu semuanya ke boc
“Hm, ya sudah.” Juna masih ingin berbaik hati meski enggan. Lenita senang bukan main ternyata suaminya tidak menolak permintaan tidur bersama.Segera, Juna meminta Lenita berbaring di tempat tidur. ‘Nanti aku bisa keluar setelah dia tidur.’ Demikian pikir Juna.Maka, Juna menahan diri saat Lenita meminta dipeluk dari belakang.‘Baiklah, baiklah, ini demi si jabang bayi.’ Juna terus mendengungkan itu di kepalanya. Dia tak akan bisa melihat wajah sumringah Lenita di depan sana.“Jun, nantinya aku atau kamu yang beri nama anak ini kalau sudah lahir?” Lenita ingin mengobrol, mumpung Juna bersedia tidur bersamanya dan bahkan memeluk.“Terserah kamu saja.” Juna malas berdebat dan menyerahkan semua pada Lenita saja.“Aku saja, yah!” Akhirnya Lenita yang menentukan. Juna di belakang hanya memutar bola matanya. Untuk apa tanya jika si istri sudah memutuskan sendiri?&ldquo
Baru saja Juna hendak meremas sesuatu yang empuk dan menyenangkan jika diremas, Anika sudah menjauhkan diri darinya dengan sikap terkejut, sehingga remasan itu pun urung tercapai.Sebagai lelaki, sangat normal jika menginginkan sentuhan lebih pada wanita yang disukai saat mereka mulai bermesraan. Apalagi, Juna sudah berpengalaman dengan wanita, dia tak sabar ingin menjadikan Anika miliknya sepenuhnya.“Nik?” Juna mempertanyakan penolakan Anika. Ada sorot kecewa di matanya ketika menatap sayu Anika. Dua tangannya meraih pipi Anika dan kini memberikan tatapan memohon.“Mas, jangan.” Anika menggelengkan kepala dengan sikap lemah gemulai.Juna menarik napas sepanjang mungkin agar bisa mengosongkan birahi dari dirinya. Tapi … rasanya sulit!Maka, Juna mencoba selembut mungkin menarik Anika agar meniadakan jarak antara mereka. “Nik, percaya denganku, yah … aku pasti akan menikahimu. Aku tak mungkin meninggalkan
Ingin sekali Juna melakban mulut Shevia yang terlalu ‘bocor’. Atau, jangan-jangan Shevia sengaja melakukan itu? Juna memiliki prasangka ini di hatinya.Segera, Lenita menoleh ke Juna sambil bertanya, “Jun, siapa itu? Anika?” Dia kemudian menoleh ke arah yang ditunjuk Shevia.“Oh, dia teman sekolahku dulu.” Juna belum siap dengan hal ini. Dia belum ingin mengungkapkan secara jujur mengenai Anika pada Lenita. Dia membutuhkan waktu dan kesempatan yang tepat!Tapi, bukankah kebanyakan lelaki yang berselingkuh selalu memakai alasan tersebut?“Ayo, aku kenalkan!” Juna akhirnya bangkit berdiri dan mengajak Lenita ke meja tempat Anika duduk dengan kerabat mendiang suaminya.Juna bisa melihat Anika menjadi tegang didatangi dia dan Lenita. Tapi, mau bagaimana lagi? Sudah kepalang basah!“Halo, Nik!” sapa Juna sewajar mungkin meski hatinya bergolak riuh.“H—halo, Mas.”
Ketika Juna melihat Anika datang meski dengan dandanan sederhana rok terusan selutut warna putih, hatinya berdebar riuh.‘Akhirnya! Akhirnya aku menikahi Ndoro Putri!’ pekik antusias Juna di batinnya.Anika memang tidak didampingi siapapun dengan alasan kedua orang tuanya sudah meninggal dan tidak menemukan keberadaan pamannya. Hal itu tidak menghalangi terlaksananya pernikahan tersebut.Menggunakan wali dan saksi dari pihak pelaksana adat, maka pernikahan pun sah di mata adat dan Pencipta Semesta.Malam harinya, Juna sudah mempersiapkan diri sebaik mungkin. Dia bahkan datang lebih sore dari biasanya dan terpaksa menggunakan ajian penidur ke Lenita agar tidak mengganggu malam yang telah dinanti-nantikannya ini.Melihat suaminya datang, Anika tersenyum saat menyambut kehadiran Juna.Seperti biasa, Juna menyelinap masuk ke kamar Anika. “Nik.” Dia memanggil istri barunya dengan suara lembut.“Ya, Mas.”