“Bukan mereka tak ada, tapi tak berani menampakkan diri. Kekuatan spiritual kabut pekat ini sangat mengganggu. Keberadaannya seperti racun bagi makhluk hidup itu sendiri,” terang Rion.
“Tapi, kita baik-baik saja, kan?”
Rion menatap Karuna tajam. “Karena kita memiliki energi spiritual di atas rata-rata orang normal!”
Saat itu juga, Rion dan Karuna menoleh pada Anila.
“Apa? Kenapa kalian melihatku seperti itu?”
Rion mengalihkan pandangan dan menepuk pundak Karuna lalu berbisik, “Dia ketua klan Angin Utara. Ilmu pengobatannya tak bisa diremehkan. Kukira, dia juga seharusnya bisa mengendalikan angin, tapi entahlah.”
“Kau juga curiga padanya?” bisik Karuna.
“Kita patut curiga pada siapa saja di saat seperti ini!”
Karuna sedikit terkejut kat
“Kau pikir bisa lolos dari sini?” Seorang pria menyeringai dengan sepasang mata melotot penuh ancaman. “Kau hanyalah pemuda yang naif! Berani sekali kau melarikan diri dari Selter Agung?”Xavier yang terjerat oleh jaring sihir tubuhnya melemah seketika. Akan tetapi, dia merasa emosinya menggelegak karena pernyataan pria di hadapannya. Dia menuntut penjelasan dari pria itu.“Aku memang menjual dan mengirimmu pada mereka, Anak tak berguna!”Xavier berusaha melepaskan diri dari jaring, tapi sebuah dart ditembakkan ke arahnya dan mengenai dada.Pria itu mundur dan memberikan perintah pada sejumlah samurai yang ternyata sudah ada di sana mengelilingi mereka. “Bawa dia ke puri!”Xavier mencabut dart itu tepat saat seorang perempuan berpayung yang mengenakan qipao hitam mendekat dan menunduk ke arahnya. Perempuan bermata sipit dengan gincu
“Kami beruntung sekali, bukan? Sekali jaring, banyak ikan besar kami dapatkan.” Keiko melirik pada Xavier. “Siapa yang mengira jika festival lima tahunan kali ini juga menjaring para Jenderal Mahapanca dari utara. Eh, sebut saja Jenderal Gagak Hitam—pelarian yang kabur bersamamu, Panglima Angin, Panglima Karang, dan yang paling menarik tentu saja Penyihir Merah!” Keiko tergelak sangat puas.Silver tersentak. Rasa ingin tahunya tak lagi bisa dia sembunyikan. “Penyihir Merah?”Keiko berbalik. “Baiklah, setelah semuanya berhasil ditangkap, lalu kita akan berpesta besar di Selter Agung untuk merayakan reuni yang menarik ini!” Dia berjalan menjauh.“Jadi, kau memang Panglima Bondowoso yang banyak dicari itu?” Xavier tergelak. “Aku menawarkan padamu untuk bergabung bersama Jenderal Mahapanca di utara. Bergabunglah bersama kami!” pinta Xavier dengan p
Keiko berdiri di luar jeruji penjara. Di belakangnya ada Anila yang menodongkan sebilah belati ke pangkal leher perempuan Yanbian itu. Wajah Keiko memucat dan sangat ketakutan.“Buka!” sentak Anila pada Keiko.Perempuan Yanbian itu mendesis dan tak bergerak. Anila menekan ujung belatinya ke leher kanan Keiko hingga menggores kulit putihnya dan merembeskan sedikit darah pekat. Keiko mengernyit dan terpaksa berjalan mendekati jeruji. Dari dalam qipaonya, dia mengeluarkan anak kunci yang dibuat khusus dan berukuran sangat kecil.Pintu jeruji terbuka.Anila menendang Keiko hingga tersungkur di dalam sel. Dia terlutut di depan kaki Silver yang juga masih merasa kesakitan di kepalanya.“Lepaskan belenggunya!”Keiko dan Silver menoleh pada Anila. Mereka pikir, Anila datang untuk Xavier, nyatanya tidak. Keiko tak punya pilihan lain. Dia melepa
“Hentikan, Ayah! Jangan menimbulkan perang di sini. Warga suku Banyu sudah cukup miskin dan menderita, sedang kalian hidup berfoya-foya di puri ini,” teriak Xavier pada ketua suku Banyu. “Aku akan melupakan segala perbuatan burukmu dalam hidupku selama menderita di Selter Agung. Tapi, aku tak akan berdiam diri jika kau mengorbankan rakyat kota ini. Serahkan kepemimpinanmu padaku!”Para panglima di bawah kepemimpinan Bayu Sagara semakin marah. Tapi, Bayu Sagara sendiri terbahak-bahak.“Kau benar-benar anak yang bodoh. Aku mengirimmu ke Selter Agung agar kau bisa lebih kuat dan mampu memimpin suku bahkan negeri ini. Tapi, sekarang kau kembali sendirian dan melakukan pemberontakan?”cibir Bayu Sagara. “Pasukan, bunuh dia! Eksekusi di depan semua rakyat kota ini agar mereka belajar untuk tidak menjadi bodoh seperi anakku!”Xavier mengeluarkan cakar-cakarnya. “Hentikan, Aya
Rion kembali ke lembah kematian dengan membawa inti rubah emas yang sudah menghitam. Hutan Sonyu di malam hari terlihat lebih terang dari sebelum-sebelumnya setelah Rion menyerap sebagian energi gelapnya. Akan tetapi, kabut hitam tipis masih menyelimuti. Saat dia memeriksa keadaan di sekitar lembah kematian dari udara bersama elang pancasona, kabut hitam mulai menebal lagi secara perlahan.“Kabut hitam ini tak akan berhenti dan terus bermunculan jika lubangnya tidak ditutup.”Kekhawatiran Rion hanya dijawab kaokan oleh elang besar yang ditungganginya. Elang itu terbang rendah dan menurunkan Rion di dekat lembah kematian. Di sisi lain lembah, ada seseorang yang berusaha memurnikan kabut-kabut itu.“Maitreya?” Rion menyapa ragu-ragu.Maitreya terbatuk dan jatuh bersimpuh. Dia memuntahkan darah pekat hingga menodai gaun putihnya. Rion berlari ingin membantu, tapi ahirnya dia hany
Prang!Setumpuk piring pecah dan makanan di atasnya berserakan ke lantai. Seluruh pengunjung kedai hanya melirik ke sumber keributan. Mereka tak berani menatap pria yang membuat kekacauan itu yang hanya berdiri mematung dengan wajah tegang dan beku.Tubuhnya kekar berotot dengan kulit sewarna zaitun. Rambutnya putih keperakan dan dipangkas pendek, terlihat kontras dengan kulitnya. Pakaiannya sedikit nyentrik, jaket kulit hitam dengan banyak hiasan belt di bagian lengan. Bagian dadanya terbuka sebagian berpadu dengan celana jin hitam ketat. Sepatu botnya setinggi betis. Pada tangan kanannya terdapat sarung tangan aneh serupa besi berwarna merah. Tangan kirinya hanya dibalut sarung tangan kulit yang menampakkan dua ruas buku-buku jemarinya.Pria menakutkan itu adalah pelayan kedai. Dia baru keluar dari dapur untuk menyajikan makanan bagi pelanggan. Di tangannya, dia membawa banyak piring bertumpuk-tumpuk. Saat berjalan men
“Siapa pun, tolong aku!” jerit Aoi dalam hati.Dia selalu lemah setiap kali berhadapan dengan wanita. Akalnya ingin menolak, tapi kesopanan menuntut berlaku sebaliknya. Dia menjadi kikuk. Perempuan berkimono merah itu membisikkan sesuatu di telinga Aoi dalam bahasa Jepang yang baik dan benar. Aoi sedikit terperanjat. Pada umumnya, para samurai generasi kedua dan ketiga yang tinggal di negeri Jawa Dwipa, mereka sudah tak menggunakan bahasa Jepang murni.Perempuan itu melepas satu persatu kimono di tubuhnya. Terakhir, dia menarik tusuk konde di rambutnya hingga rambut hitam panjang itu tergerai sempurna menutupi dada dan bagian belakang tubuhnya.Aoi memejamkan mata. Dia bahkan berusaha berpaling. Tapi, perempuan itu bergayut manja di tubuhnya dan membisikkan sesuatu. “Memalingkan wajah dari perempuan itu perbuatan yang tidak sopan, Tuan Ronin!”“Si-siapa kau?”
“Siapa mereka?” desak Aoi saat berdiri saling membelakangi dengan Haridra.“Entah apa aku harus menyebutnya? Para warok, pendekar, atau bandit?” jawab Haridra asal.“Apa maksudmu dengan semua itu?”Mereka berdua berdiskusi sambil menghadapi musuh masing-masing. Aoi dengan jurus hihona ittou-nya dengan mudah menjatuhkan sejumlah warok dalam pakaian hitam. Haridra dengan kekuatan tinju mautnya sekali pukul membuat lawannya tak bergerak lagi.Tangan kanan Haridra yang terbuat dari metal berwarna merah terdengar bergemeretak saat dia menggerak-gerakkan jarinya. Dia menyerang dengan gaya bertinju menggunakan tangan kosong.Aoi menyadari bahwa Haridra kebal senjata. Para warok yang Haridra sebutkan, berulang kali menyabetkan pedang, tapi dia tak terluka sama sekali. “Orang sakti yang lain lagi,” keluh Aoi sambil menghunuskan pedang pada l