Jenderal Yang Un menghunus pedangnya. Matanya berubah merah karena marah. Dia bertarung seperti babi hutan, menghancurkan siapa saja yang muncul di depannya. Kegarangannya seperti harimau yang siap menerkam mangsanya. Seorang diri dia telah mampu membunuh lebih dari tiga puluh orang.Di sisi lain, dua adik laki-lakinya, Yang Chyou dan Yang Cong tak kalah hebatnya. Sekali tebas mereka dapat melumpuhkan dua sampai tiga orang. Yang Chyou ahli dalam mempermainkan tombak, sedangkan Yang Cong mahir menggunakan golok besar.Jika kekuatan mereka digabung, mereka akan sangat mematikan, terutama jika mereka sudah mengeluarkan jurus Tiga Senjata Rangkai; pedang, golok dan tombak milik Keluarga Yang, siapapun lawannya, mesti berpikir dua kali untuk menghadapinya.“Hahahaha.....”Terdengar suara tawa sangat keras dari atas genteng. Lalu, laki-laki dan perempuan berbaju hitam itu meloncat turun. Dilihat dari angin yang berhembus hasil loncatan mereka, tentu mereka adalah jago-jago silat dengan kema
Mereka berdua berjalan menuju rumah utama kediaman Keluarga Yang. Beberapa saat kemudian, mereka sampai di depan pintu dan memohon ijin untuk diperkenankan masuk.“Ayah,” sapa Ong Fei Yin. “Bagaimana keadaanmu, Jenderal?” kemudian dia melanjutkan pertanyaannya pada Jenderal Yang Un.“Aku baik-baik saja,” ujarnya. Kemudian dia menghela nafas dalam-dalam dan berkata: “Aku sungguh malu pada nenek moyangku. Kenapa aku sangat bodoh dan tidak memiliki kemampuan seperti mereka?”“Jangan berkata begitu, Jenderal. Kau telah banyak membantu rakyat kecil,” ujar Ong Fei Yin.“Tapi, kenapa dengan mudahnya dia mengalahkanku, bahkan hanya dengan satu serangan? Apa yang selama ini aku pelajari?” Jenderal Yang Un meneteskan air mata.“Kakak pertama, jangan berkata seperti itu,” Yang Chyou juga menitikkan air mata.“Kau telah membesarkan kami dengan baik. Itu merupakan anugerah bagi kami,” giliran Yang Cong yang berbicara.“Sudahlah, Jenderal. Semua manusia mempunyai batasnya sendiri-sendiri. Setelah m
“Di mana aku?” tanya Chiu Kang setelah sadarkan diri. Keadaan tubuhnya masih lemah.Alam merengkuh langit biru dengan sayapnya. Wajah birunya pun berubah kuning. Bekas-bekas kejayaan matahari menyebar di antara ufuk senja. Burung alap-alap terbang bebas mencari tempat berteduh untuk malam hari. Tebing-tebing putih tersiram oleh kuningnya sisa cahaya matahari.“Kau berada di Puncak Fanjingshan, salah satu puncak tertinggi dari Gunung Wuling,” jawab seorang gadis kecil berusia sembilan tahun dengan tawa ceria.Dia sangat suka ketika diberitahu bahwa tempat tinggalnya adalah puncak tertinggi dari Gunung Wuling oleh kakeknya beberapa hari yang lalu. Gadis itu bermata sedikit lebar, hidung mancung, kulit kuning dan wajah cantik.“Kenapa aku bisa berada di tempat sejauh ini?” Chiu Kang berusaha bangkit, tapi dicegah oleh gadis kecil itu.“Kakak jangan berdiri. Kakek menyuruhku untuk melarang Kakak bangun jika sadar nanti,” ucap gadis kecil itu sedikit cemberut.Mendengar nama Puncak Fanjing
Kong Kuanyin tak menyangka anak kecil yang diselamatkannya berpikiran dewasa.“Kenapa kau tidak melihat-lihat di luar sana. Ini adalah tempat peristirahatan milik kami, kau tidak perlu sungkan,” katanya.“Bukankah aku sudah dapat melihat semuanya dari sini, Kakek?”“Kau memang bisa melihat tebing dan danau itu, tapi tidak semuanya. Kau harus keluar dan menikmati surupnya matahari di ujung danau itu. Semua murid-muridku berada di sana. Kenapa kau tak mencobanya?”“Baiklah, aku turuti nasehat Kakek.”Chiu Kang melangkah keluar dari gazebo. Dia menghirup udara yang mahasegar di sini.Ternyata benar kata Kong Kuanyin, karena banyak tertutupi pohon-pohon rindang, tidak semua dari tempat ini dapat dijangkau oleh matanya. Dia bahkan tidak bisa melihat rumah peristirahatan yang sangat besar milik keluarga Kong.“Kakak! Kakak! Kemari,” teriak gadis kecil itu. Tingkahnya membuat Chiu Kang tertawa.“Kenapa kau diam di sini. Pergilah ke sana. Aku yakin kau lama tidak merasakan kehangatan keluarga
Setelah berjalan beberapa langkah, dia mengetuk pintu kamar Wang Zhu Ren.“Saudara Wang, aku ingin pamit sekarang,” ujar Li Guzhou lirih.Tak berselang lama pintu kamar terbuka. Wang Zhu Ren dan Fan Yi menemuinya dengan mata lebam dan bibir dipaksa tersenyum.“Kenapa terburu-buru, Kakak Li. Kau bahkan belum mengunjungi rumah Ayahku di Gui Selatan?” tanya Fan Yi.“Mungkin tidak kali ini, Adik ipar. Aku harus cepat kembali ke Taiyuan, kemudian pergi ke ibukota. Aku harus mencegah Pangeran Zhao You untuk terus meningkatkan kekuatannya. Jika itu terlambat, negeri Song berada dalam bahaya.”Wang Zhu Ren menunduk. “Kakak Li benar. Meski Yang Mulia Pangeran Zhao Kong telah tiada, kita harus mencegah Pangeran Zhao You berkuasa. Ini satu-satunya cara menyelamatkan negeri Song.”“Aku senang kau mengerti. Sebelum aku pergi, aku ingin minta maaf karena menyebabkan adikmu meninggal. Maafkan aku, Adik Wang,” Li Guzhou menjura.“Kakak Li! Kakak Li!” Wang Zhu Ren dan Fan Yi mencegahnya. “Aku tak meny
Telah hampir satu bulan Chiu Kang berada di Gunung Fanjingshan. Keindahan gunung itu memberi pesona tersendiri bagi semua hal yang pernah terjadi dalam hidupnya.Di sini, Chiu Kang mendengar cicit burung saling berirama bersama udara yang mengalun. Lambai daun-daun melagu. Alam yang berdawai. Suara binatang-binatang kecil yang bernada. Semuanya tampak memukau baginya. Seumpama dia tidak terikat janji dengan kakeknya untuk pergi ke Guang. Dia suka untuk menghabiskan hari-harinya di tempat ini.Karena itu, hatinya sering dibimbang terbawa rasa. Padahal, seringkali dia memutuskan untuk pergi kemarin, besok, lusa, pagi, siang, malam dan sore, tapi pada akhirnya semuanya tertunda. Bukan karena siapa-siapa, tapi karena dirinya sendiri.Selama di Gunung Fanjingshan, Chiu Kang menemukan kembali kehangatan keluarga. Semua orang menganggapnya seperti keluarga mereka sendiri. Kakek Kong Kaunyin yang murah hati, Bibi Qi Peizhi yang penyayang, Paman Lao Sying yang tampak tak peduli tapi sebenarnya
Di pagi hari angin berdayung melintasi ilalang yang tenang. Hembusnya membuat mereka bergelombang. Langit telah biru kembali. Kupu-kupu beraneka warna berterbangan tak tentu arah. Demikian pula murid-murid Perguruan Wuling yang tengah bersiap-siap.Satu-satunya cara membedakan mereka dengan perguruan lain adalah pedang dan rambutnya. Murid Wuling tidak boleh memakai pedang yang tidak berasal dari Wuling. Mereka juga diwajibkan memajangkan rambutnya dengan ikat kepala di atasnya, seperti para pendeta Tao. Hanya saja rambut mereka terurai panjang.Chiu Kang telah selesai menyiapkan barang-barangnya. Dia berdiri di depan danau melihat air yang terhampar luas. Dia melihat ikan-ikan kecil berlari-lari saling berkejaran. Sesaat dia lupa akan perpisahan ini, tapi lalu teringat lagi.Kong Kuanyin menyuruh Lao Sying mengantar Chiu Kang ke Guang. Dia telah menyiapkan satu kereta kuda untuk perjalanan mereka.Hubungan antara Chiu Kang dan Lao Sying terbilang aneh. Lao Sying selalu menyalahkan ap
“Tuan Muda, larilah. Kau tak perlu repot denganku!” teriak biksu tua itu.Dua belas biksu muda itu maju bersama menyerang Lao Sying. Gerakan mereka sangat ringan dan lincah. Apalagi saat toya di tangan mereka mengayun cepat.Lao Sying terus menghindar tanpa memiliki kesempatan menyerang. Biksu-biksu itu rupanya memiliki ilmu silat tinggi. Bahkan, satu dari mereka pun masih susah untuk dikalahkan Lao Sying, apalagi dua belas orang.Biksu dengan rahang paling tebal itu mengarahkan toyanya ke kaki Lao Sying. Sebisa mungkin Lao Sying menghindar, tapi ternyata serangan itu memiliki dua sasaran sekaligus. Biksu itu memutar toyanya dan mengarahkan ujungnya yang lain tepat ke arah dada Lao Sying.Karena mendapat serangan tiba-tiba, Lao Sying tak bisa lagi menghindar maupun menangkis. Dia terdorong ke belakang beberapa langkah, lalu dari berbagai penjuru semua toya mengarah kepadanya.Meski bisa menghindari beberapa toya dengan gerakan lincahnya, beberapa yang lain mengenai punggung, dada dan