Alena terus memandangi ibunya dan ingin tahu juga apa yang akan diberikan oleh sang ibu pada Brian. Terlihat sekilas ada senyum yang muncul dari kedua ujung bibir Erica. Mungkin sang kakak berpikir jika penawaran sang ibu sangat bagus. Sehingga membuat Brian akan menerimanya. Akan tetapi, dia melihat ada yang berbeda dengan sang ayah yang tidak terlalu banyak bicara.
Alena membuka kedua matanya. Pandangannya masih kabur dan tidak tahu dengan yang sudah terjadi padanya. “Dia sudah siuman,” teriak seseorang yang terdengar samar oleh Alena. Tidak berselang lama tiba beberapa pria dan seorang pria memeriksa keadaannya. Beberapa menit kemudian Alena pun sudah bisa melihat dan mendengar dengan jelas. “Di mana aku?” tanya Alena dengan nada lemah pada semua orang yang ada di dekatnya. “Kamu tenang saja. Lebih baik kamu tidak perlu banyak berpikir agar tubuhmu cepat pulih,” jawab seorang pria yang merupakan seorang dokter. Alena tidak banyak bertanya lagi. Dia menuruti yang dikatakan dokter. Dia juga mendengar yang dibicarakan orang-orang yang ada di dekatnya. Hingga akhirnya dia pun menyadari jika saat ini berada di rumah seseorang yang sudah menyelamatkannya. Tanpa disadarinya satu minggu berlalu dan semua luka di tubuhnya sudah perlahan pulih. Seorang dokter pun secara berkala memeriksanya dan dia juga melakukan beberapa pemeriksaan yang menghar
"Bukan seperti itu, Alena! Aku mendapatkan kabar jika kamu mengalami kecelakaan. Namun, hingga saat ini aku melihatmu di depan mataku.” Alena tersenyum simpul lalu berkata, “Mungkin dengan kalian tahu jika aku mati itu sangat bagus untukku.” “Thoe, apakah kamu mengenalnya?” Eric bertanya pada orang yang baru saja datang menghampirinya. Alena melihat Theo mengangguk dan menjelaskan tentang dirinya pada Eric. Dia tertawa kecil saat mendengar Theo yang mengatakan jika dirinya adalah cinta sejati dan terakhir untuknya. Dia merasa lucu saja pria seperti Theo bisa mengatakan hal seperti itu. Dia juga merasa jijik saja Theo mengatakan itu karena hal itu hanya pantas diucapkan oleh pria yang setia. “Alena, ada apa?” tanya Desi dengan berbisik pada wanita yang ada di sampingnya. “Desi, apakah menurutmu pantas seorang pengkhianat mengatakan cinta sejati dan terakhir untuknya?” jawab Alena sembari menatap sinis Theo. “Alena, aku tahu kamu masih marah padaku. Namun, aku sungguh-sungguh
"Maafkan aku karena aku tidak bisa mengatakannya,” jawab Desi dengan nada menyesal. Alena terus memandangi Desi. Dia masih penasaran dengan sikap wanita yang saat ini beranjak dan meninggalkannya. Alena masih duduk dan memperhatikan yang ada di depannya. Dia kembali mengambil segelas minuman yang diberikan oleh pelayan yang menghampirinya. Pandangannya masih tertuju pada sang kakak yang begitu nyaman berada di sisi Eric. “Sebenarnya apa yang kamu inginkan? Bukankah kamu menginginkan, Brian?” gumam Alena yang tidak paham dengan sikap kakaknya. Dia juga teringat dengan sang kakak yang berkhianat dengan Theo. Semakin dipikirkan maka semakin sulit bagi Alena untuk menilai tentang kakaknya. Tidak begitu lama dia pun melihat Erica yang mendekat ke arah Brian yang sedang berbicara dengan seorang pria dan wanita. Dia berpikir jika pria dan wanita itu adalah sepasang kekasih. Sekarang dia juga melihat Erica yang begitu luwes bersama dengan Brian dan yang ada di hadapan mereka. “Sudah
Alena melihat ke arah orang yang mengatakan jika yang dilakukan olehnya dan Brian menjijikkan. Namun, entah mengapa dia malah makin ingin memperlihatkan yang lebih jauh lagi. “Kita perlihatkan semenjijikkan apa kita berdua,” ucap Alena sembari tersenyum. “Aku akan mengikutimu,” sambung Brian. Alena memejamkan matanya saat Brian mencium bibirnya. Dia membalas ciuman Brian yang terasa lembut dan entah mengapa dia merasa kehangatan yang tidak pernah didapatkan olehnya. Mereka berdua tidak memedulikan sudah ada beberapa orang yang melihat keintiman mereka berdua. Hingga akhirnya Alena membuka matanya karena Brian berhenti menciumnya. “Bagaimana jika kita lanjutkan di rumah saja?” tanya Brian dengan nada lembut pada Alena. Alena mengangguk dan dia sedikit terkejut karena Brian langsung menggendongnya. Dia pun melihat Erica yang tampak sangat kesal begitu juga dengan Theo. Akan tetapi, dia melihat Daren yang tersenyum melihat yang sudah terjadi. “Kamu bisa menurunkan aku! Sudah ti
Alena membuka pintu kamarnya. Dia melihat Erica yang begitu geram dan seperti akan menerkamnya. Secara refleks dia mundur karena sang kakak mau menyerangnya.“Ada apa denganmu?” tanya Alena setelah berhasil menghindari serangan sang kakak. &ld
Alena menghela napasnya karena dia berpikir jika hidupnya memang tidak bisa tenang. Dia melihat ke arah orang yang berdiri di hadapannya dengan wajah tanpa dosa orang itu duduk di seberangnya. “Apa aku tidak bisa merasa tenang dalam hidupku ini?” gumam Alena sembari melihat orang yang ada di depannya yang tidak lain adalah Theo. “Apa yang kamu inginkan, Theo?” tanya Brian pada sang keponakan dengan nada datar. “Lepaskan, Alena! Setelah itu aku tidak akan mengganggumu lagi dan aku akan membawanya pergi sejauh mungkin darimu.” Alena tersenyum mendengar keinginan Theo yang penuh dengan rasa percaya diri yang begitu besar. Sesungguhnya dia merasa bosan dengan dan muak dengan Theo. Dia berharap jika pria itu menghilang saja dari dunia ini. Rasa kesalnya semakin bertambah tatkala pria itu mengatakan jika dirinya masih sangat mencintainya. Alena akhirnya berdiri dan dia duduk di atas pangkuan Brian. “Aku tidak peduli jika di hatimu ada wanita lain. Namun, yang pasti mulai saat ini da
Alena melihat ke arah wanita yang baru saja masuk ke dalam ruang kerjanya. Dia sama sekali belum pernah bertemu dengan wanita itu. Akan tetapi dia merasa familier dengan wajah wanita yang ada di depannya. “Mengapa kamu diam? Apakah kamu tidak rela meninggalkan para pria dari keluarga Oliver?” Wanita itu kembali bertanya pada Alena dengan nada sombong. “Kamu sama sekali tidak berhak menyuruhnya untuk melepaskan ....” “Diam kamu, Carla! Kamu tidak berhak ikut campur dengan urusanku!” Wanita itu memotong perkataan Carla sebelum menyelesaikan kalimatnya. Wanita itu terus saja bicara dengan nada tinggi. Seraya dirinya sedang memarahi wanita yang sudah mengganggu pria yang dicintainya. Alena hanya dia dan memperhatikan wanita itu. Alena berusaha untuk tenang meski sekarang dia melihat wanita itu memarahi Carla. Serta mengatakan jika Carla adalah wanita yang penuh dengan kesialan. “Cukup! Tidak ada istilah orang sial! Kematian dan kepedihan itu sudah takdir. Setiap manusia diberikan ke