"Tidak mungkin!” Alena berkata sembari menggelengkan kepalanya.
“Apa yang tidak mungkin?” tanya Brian yang sudah masuk ke dalam kamar dan mendengar Alena bicara dengan dirinya sendiri.
Alena tidak menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh Brian padanya. Dia menyimpan ponselnya di atas nakas. Lalu dia kembali merebahkan tubuhnya dan memejamkan matanya.
Alena mengejar Brian dan masuk ke dalam mobil. Dia kembali mengatakan pada Brian untuk tidak melukai keluarganya. Namun, Brian hanya diam dan tidak menimpalinya. “Aku harus ke perusahaan dulu. Bisakah kamu menunggu aku sebentar saja?” tanya Brian pada Alena. “Terserah padamu,” jawab Alena yang memang tidak ingin kembali ke rumah sendirian. Meski sebenarnya dia akan menghadapi keluarganya sendiri. Entah mengapa hari ini begitu malas untuk mendengar dan menyaksikan drama yang sudah dibuat oleh kakak, ibu dan ayahnya. Alena pun ikut ke perusahaan Brian. Dia duduk dengan tenang di atas sofa. Dia mengambil ponselnya lalu memeriksa pesan yang masuk. Sesekali dia melihat ke arah Brian yang sedang memeriksa beberapa dokumen. Serta di depannya ada Ethan. “Halo,” sapa Alena setelah mengangkat telepon dari Carla. Dia mendengarkan yang dikatakan oleh temannya itu. Sang teman meminta waktu beberapa hari untuk tidak masuk kerja di kafe. Dia memerlukan wanita untuk menenangkan dirinya setel
Alena terus memandangi ibunya dan ingin tahu juga apa yang akan diberikan oleh sang ibu pada Brian. Terlihat sekilas ada senyum yang muncul dari kedua ujung bibir Erica. Mungkin sang kakak berpikir jika penawaran sang ibu sangat bagus. Sehingga membuat Brian akan menerimanya. Akan tetapi, dia melihat ada yang berbeda dengan sang ayah yang tidak terlalu banyak bicara.
Alena membuka kedua matanya. Pandangannya masih kabur dan tidak tahu dengan yang sudah terjadi padanya. “Dia sudah siuman,” teriak seseorang yang terdengar samar oleh Alena. Tidak berselang lama tiba beberapa pria dan seorang pria memeriksa keadaannya. Beberapa menit kemudian Alena pun sudah bisa melihat dan mendengar dengan jelas. “Di mana aku?” tanya Alena dengan nada lemah pada semua orang yang ada di dekatnya. “Kamu tenang saja. Lebih baik kamu tidak perlu banyak berpikir agar tubuhmu cepat pulih,” jawab seorang pria yang merupakan seorang dokter. Alena tidak banyak bertanya lagi. Dia menuruti yang dikatakan dokter. Dia juga mendengar yang dibicarakan orang-orang yang ada di dekatnya. Hingga akhirnya dia pun menyadari jika saat ini berada di rumah seseorang yang sudah menyelamatkannya. Tanpa disadarinya satu minggu berlalu dan semua luka di tubuhnya sudah perlahan pulih. Seorang dokter pun secara berkala memeriksanya dan dia juga melakukan beberapa pemeriksaan yang menghar
"Bukan seperti itu, Alena! Aku mendapatkan kabar jika kamu mengalami kecelakaan. Namun, hingga saat ini aku melihatmu di depan mataku.” Alena tersenyum simpul lalu berkata, “Mungkin dengan kalian tahu jika aku mati itu sangat bagus untukku.” “Thoe, apakah kamu mengenalnya?” Eric bertanya pada orang yang baru saja datang menghampirinya. Alena melihat Theo mengangguk dan menjelaskan tentang dirinya pada Eric. Dia tertawa kecil saat mendengar Theo yang mengatakan jika dirinya adalah cinta sejati dan terakhir untuknya. Dia merasa lucu saja pria seperti Theo bisa mengatakan hal seperti itu. Dia juga merasa jijik saja Theo mengatakan itu karena hal itu hanya pantas diucapkan oleh pria yang setia. “Alena, ada apa?” tanya Desi dengan berbisik pada wanita yang ada di sampingnya. “Desi, apakah menurutmu pantas seorang pengkhianat mengatakan cinta sejati dan terakhir untuknya?” jawab Alena sembari menatap sinis Theo. “Alena, aku tahu kamu masih marah padaku. Namun, aku sungguh-sungguh
"Maafkan aku karena aku tidak bisa mengatakannya,” jawab Desi dengan nada menyesal. Alena terus memandangi Desi. Dia masih penasaran dengan sikap wanita yang saat ini beranjak dan meninggalkannya. Alena masih duduk dan memperhatikan yang ada di depannya. Dia kembali mengambil segelas minuman yang diberikan oleh pelayan yang menghampirinya. Pandangannya masih tertuju pada sang kakak yang begitu nyaman berada di sisi Eric. “Sebenarnya apa yang kamu inginkan? Bukankah kamu menginginkan, Brian?” gumam Alena yang tidak paham dengan sikap kakaknya. Dia juga teringat dengan sang kakak yang berkhianat dengan Theo. Semakin dipikirkan maka semakin sulit bagi Alena untuk menilai tentang kakaknya. Tidak begitu lama dia pun melihat Erica yang mendekat ke arah Brian yang sedang berbicara dengan seorang pria dan wanita. Dia berpikir jika pria dan wanita itu adalah sepasang kekasih. Sekarang dia juga melihat Erica yang begitu luwes bersama dengan Brian dan yang ada di hadapan mereka. “Sudah
Alena melihat ke arah orang yang mengatakan jika yang dilakukan olehnya dan Brian menjijikkan. Namun, entah mengapa dia malah makin ingin memperlihatkan yang lebih jauh lagi. “Kita perlihatkan semenjijikkan apa kita berdua,” ucap Alena sembari tersenyum. “Aku akan mengikutimu,” sambung Brian. Alena memejamkan matanya saat Brian mencium bibirnya. Dia membalas ciuman Brian yang terasa lembut dan entah mengapa dia merasa kehangatan yang tidak pernah didapatkan olehnya. Mereka berdua tidak memedulikan sudah ada beberapa orang yang melihat keintiman mereka berdua. Hingga akhirnya Alena membuka matanya karena Brian berhenti menciumnya. “Bagaimana jika kita lanjutkan di rumah saja?” tanya Brian dengan nada lembut pada Alena. Alena mengangguk dan dia sedikit terkejut karena Brian langsung menggendongnya. Dia pun melihat Erica yang tampak sangat kesal begitu juga dengan Theo. Akan tetapi, dia melihat Daren yang tersenyum melihat yang sudah terjadi. “Kamu bisa menurunkan aku! Sudah ti
Alena membuka pintu kamarnya. Dia melihat Erica yang begitu geram dan seperti akan menerkamnya. Secara refleks dia mundur karena sang kakak mau menyerangnya.“Ada apa denganmu?” tanya Alena setelah berhasil menghindari serangan sang kakak. &ld
Alena menghela napasnya karena dia berpikir jika hidupnya memang tidak bisa tenang. Dia melihat ke arah orang yang berdiri di hadapannya dengan wajah tanpa dosa orang itu duduk di seberangnya. “Apa aku tidak bisa merasa tenang dalam hidupku ini?” gumam Alena sembari melihat orang yang ada di depannya yang tidak lain adalah Theo. “Apa yang kamu inginkan, Theo?” tanya Brian pada sang keponakan dengan nada datar. “Lepaskan, Alena! Setelah itu aku tidak akan mengganggumu lagi dan aku akan membawanya pergi sejauh mungkin darimu.” Alena tersenyum mendengar keinginan Theo yang penuh dengan rasa percaya diri yang begitu besar. Sesungguhnya dia merasa bosan dengan dan muak dengan Theo. Dia berharap jika pria itu menghilang saja dari dunia ini. Rasa kesalnya semakin bertambah tatkala pria itu mengatakan jika dirinya masih sangat mencintainya. Alena akhirnya berdiri dan dia duduk di atas pangkuan Brian. “Aku tidak peduli jika di hatimu ada wanita lain. Namun, yang pasti mulai saat ini da