Setelah mandi, Berlian keluar dari kamar mandi dengan tubuh yang masih terasa sedikit lemas. Luke sudah menyiapkan pakaian untuknya, tapi saat Berlian mencoba mengenakannya, ia merasa kesulitan karena tangan kanannya masih diperban."Kenapa Nyonya tidak bilang dari tadi kalau bajunya susah dipakai? Saya bisa bantu," kata Fiona yang tiba-tiba masuk ke kamar. Ia membawa handuk dan pakaian tambahan."Aku bisa sendiri," jawab Berlian dengan nada datar, meskipun jelas terlihat ia sedang kesulitan."Ah ... Nyonya memang keras kepala seperti biasa," Fiona menghela napas. "Kalau terus seperti ini, Nyonya hanya akan membuat diri Nyonya semakin susah."Berlian menatap Fiona dengan dingin. "Aku tidak suka dikasihani.""Siapa yang mengasihani?" balas Fiona dengan nada setengah tertawa. "Saya hanya menawarkan bantuan. Kalau Nyonya tetap bersikeras seperti ini, makan malam Nyonya bisa jadi lebih lama dari yang seharusnya."Berlian akhirnya menyerah. "Baiklah, bantu aku. Tapi jangan terlalu cerewet
"Kamu tahu, kan. Perkumpulan organisasi tahun ini dibatalkan. Itu karena Berlian belum siap. Juju, akan terus mencari celah untuk menghancurkan Berlian," kata Ethan. Di dalam ruangan pertemuan dihadiri para keluarga. Termasuk Vania, Maximilian, Julius, David, dan Luke. Mereka sedang membahas bagaimana cara mereka untuk menjebak Juju sebelum Juju kembali bertindak. Sejak Berlian masuk rumah sakit, aktivitas hanya difokuskan pada keamanan Berlian. Luke menghela napas panjang, menganggukkan kepalanya pelan. "Aku tahu, Kek. Tapi kita tidak bisa terus berada dalam posisi bertahan. Juju sudah terlalu jauh, dan jika kita tidak segera bergerak, dia akan mengambil keuntungan dari kelemahan kita. Aku harus membuat perhitungan dengan si rubah licik itu!"Vania, yang duduk di sebelah Luke, menatapnya dengan tajam. "Apa rencanamu, Luke? Kita tidak bisa membuat kesalahan kali ini. Berlian sudah cukup menderita. Dan jika Berlian terus menerus kehilangan ingatannya, hal ini akan dimanfaatkan oleh
"Hmm ... Jika tempat ini tidak lagi nyaman untukmu, aku akan membawamu ke vila. Di sana, kamu bisa lebih tenang." Setelah bergelut dengan pikirannya. Akhirnya Luke memutuskan. Tetapi itu bukan jawaban yang Berlian inginkan. Berlian ingin ke paviliun. Di sana ada kemungkinan semua rahasia Luke tersimpan. "Apakah di vila itu ada kuda?" Berlian berupaya agar kebohongannya tidak terbongkar. Berlian harus mencari cara agar Luke dapat membawanya ke paviliun.Sejak Juju memberikan informasi mengenai masa lalu Luke, Berlian tidak dapat mengontrol rasa penasarannya. Aneh saja, gelagat Luke malam ini berbeda. Luke yaang biasanya gampang mengambil keputusan, ini malah ragu-ragu."Kuda?" Luke mengernyitkan alisnya. "Apa kamu ingin berkuda?" Berlian mengangguk, matannya memberikan sorot mata yang polos dan lugu. "Iya aku ingin berkuda. Dan ... Umm ... Aku sepertinya mengingat sesuatu," ujar Berlian. Pupil mata Luke membola, di paras pria bermanik coklat itu berbinar. Kedua tangannya mencengk
"Kak Luke, kamu akhirnya datang. Bagaimana keadaan Berlian? Apakah Berlian sudah lebih baik?" Eliona yang tengah menonton televisi itu langsung berdiri melihat kedatangan Luke, ia menyambut. Wajah datar itu berhenti tepat di depan Eliona yang tengah menonton televisi. "Eli, apakah kamu sudah mendapatkan pekerjaan? Aku ingin kamu segera keluar dari kediaman ini."Eliona terperangah, pupil matanya sedikit melebar. Dia bukannya ingin berlama-lama menumpang tinggal di paviliun milik Luke. Masalahnya, dia sudah mengirim beberapa lamaran tapi ia belum juga mendapatkan balasan Email. "Kak, apa Berlian marah jika aku tinggal di sini? Tolong, Kak, aku belum mendapatkan pekerjaan. Aku sudah mengirim beberapa lamaran, tapi belum ada balasan," ucap Eliona, suaranya bergetar menahan kesedihan.Luke menatap Eliona dengan tatapan dingin, "Dia tidak tahu kamu tinggal di sini. Dia ingin tempat yang nyaman semasa pemulihannya. Jadi, dia ingin tinggal di sini. Aku tidak ingin pemulihan Berlian tergan
"Haah ... Rasanya nyaman sekali!" Seru Berlian saat tiba di paviliun, ia menjatuhkan dirinya di atas dipan yang ada di rotunda menghadap ke danau buatan dengan hati-hati. Luke yang berdiri di belakang tubuh Berlian merasa puas melihat ekspresi Berlian. Meskipun hubungan mereka belum sepenuhnya membaik, setidaknya, melihat Berlian yang kalem dan ceria seperti ini. "Lian," panggil Luke, pria itu melangkah, duduk di samping Berlian, merangkul pundak istrinya itu. "Ya...," jawab Berlian. "Besok, kalau ada waktu, kita temui Tante Lucy, ya."Dua alis Berlian menyatu. "Tante Lucy?" tanyanya pura-pura. Ya, meskipun obat pengendali emosi masih Berlian konsumsi diam-diam setelah tiba di kediaman orangnya. Masih ada cadangan obat untuk mengontrol kambuhnya Bipolar. Tetap saja, Berlian harus pandai-pandai untuk menyembunyikan kebohongannya. "Umm ... Kamu lupa, ya? Tante Lucy yang memeriksa kondisi psikolomu. Kamu tidak merasa sedih atau merasakan hal aneh lagi, kan?" Berlian terdiam. Dia
"Tuan, saya perlu bicara sesuatu yang penting," bisik Julius pelan saat mereka bertemu di taman, tatapannya sesaat melirik Berlian yang duduk tak jauh dari mereka.Luke mengerutkan dahi, pandangan Luke mengikuti arah pandang Julius yang tertuju pada Berlian. Ia menatap kembali Julius dengan sorot mata penuh tuntutan. "Tidak di sini, Julius," desis Luke, agar Berlian tidak mendengar.Berlian, yang masih dalam kondisi pemulihan dengan leher terbalut penyangga dan perban di kepala, memandang mereka berdua dengan sedikit curiga. "Ada apa? Kenapa kalian berdua lirik-lirikan?" tanya Berlian, berusaha menahan diri agar tidak terlalu khawatir.Luke segera mendekat dan menyentuh bahu Berlian, memberikan senyum yang menenangkan. "Tidak ada apa-apa, sayang. Kamu sebaiknya kembali ke kamar dan beristirahat. Aku akan menyusulmu sebentar lagi."Berlian mengerutkan kening, masih merasa ada yang tidak beres. "Kamu yakin, Paman? Kamu tidak sedang menyembunyikan sesuatu dariku, kan?"Luke menggeleng de
"Tidak, tidak ada apa-apa," jawab Eli dengan cepat mendengar suara dari belakang tubuhnya. "Jangan terlalu diambil pusing sama Nyonya Berlian. Dia orangnya memang begitu. Aslinya baik, kok!" ujar Fiona. Eliona hanya mengangguk, sambil memperhatikan punggung Berlian yang semakin menjauh. 'Cukup cantik istri dari kak Luke. Sepertinya, istrinya kak Luke sangat waspada. Sudahlah, setelah mendapatkan pekerjaan tetap, aku langsung pergi dari sini,' Eliona membatin masih memandangi punggung Berlian. Fiona memandang Eli yang gelisah, ia menepuk pundak wanita di depannya itu. "Masih mau berdiri? Bukannya kamu punya pekerjaan yang harus di selesaikan?" Eliona tersentak. "Iya. Aku permisi, ada beberapa hal yang harus aku lakukan," jawab Eliona cepat, dia pun segera bergegas dan berlalu. ___Di dalam kamar, Berlian sudah duduk di depan cermin rias. Satu tangannya yang masih di perban membuat ia kesulitan melepaskan perban yang membalut tangannya. Berlian ingin memberikan obat pa tangannya ta
"Cari tahu korban jiwa. Apakah semua orang selamat atau tidak!" perintah Maximilian. Di pelabuhan tempat meledaknya kapal pengangkut heroin menjadi sorotan para penduduk pesisir pantai. Dermaga itu terpencil dan tersembunyi di antara tebing-tebing karang yang menjulang tinggi, sehingga sulit dijangkau oleh pihak berwenang tanpa informasi yang akurat. Asap tebal masih mengepul dari puing-puing kapal yang hancur, sementara api yang tersisa terus membara, menjilat-jilat udara sore itu.Beberapa anak buah Maximilian sudah berada di lokasi, mengamati dengan seksama situasi sekitar. Wajah mereka tegang, berusaha memahami dampak dari ledakan tersebut."Tuan Max, kita menemukan beberapa mayat. Tapi, sebagian besar kru sepertinya berhasil melompat ke laut sebelum kapal meledak," lapor salah satu anak buahnya, suaranya serak akibat asap yang terhirup.Maximilian menghela napas panjang, menatap reruntuhan kapal dengan pandangan tajam. "Apa ada tanda-tanda polisi atau penjaga pantai?" tanyanya
Setelah kelahiran anak mereka yang sehat dan cantik, Luke dan Berlian menatap masa depan dengan penuh harapan dan kebahagiaan. Mereka menyadari bahwa perjalanan yang telah mereka lalui bukanlah hal yang mudah, tetapi setiap tantangan yang dihadapi telah membentuk mereka menjadi pasangan yang lebih kuat dan penuh cinta.Suatu sore, mereka duduk di teras rumah mereka yang menghadap ke taman, sambil menggendong bayi mereka yang diberi nama "Jingga". Matahari terbenam memancarkan sinar keemasan, menciptakan suasana hangat dan damai.Berlian menatap wajah kecil bayi mereka, lalu beralih memandang Luke. "Paman, pernahkah kamu berpikir sejauh ini kita telah berjalan?" tanyanya dengan suara lembut.Luke tersenyum, matanya juga tertuju pada bayi mereka. "Sering sekali, Lian. Dari pertama kali kita bertemu, hingga sekarang, rasanya seperti perjalanan panjang yang penuh dengan pelajaran berharga."Berlian mengangguk pelan. "Kita telah melewati banyak hal. Kesulitan, kebahagiaan, tantangan, dan
Malam itu terasa begitu tenang, tidak ada yang mengira bahwa hari ini akan menjadi awal dari sebuah kehidupan baru. Luke tengah bekerja di ruang kerjanya ketika tiba-tiba terdengar suara panik dari lantai atas.“Paman! Paman! Aku rasa... aku rasa aku kontraksi!” suara Berlian terdengar tergesa dari kamar tidur mereka.Luke langsung melompat dari kursinya, tanpa berpikir dua kali ia berlari ke kamar. Ia melihat Berlian duduk di tepi tempat tidur, memegang perutnya dengan ekspresi kesakitan.“Lian! Apakah ini sudah waktunya?!” Luke berusaha tetap tenang, meskipun jelas raut wajahnya tidak bisa menyembunyikan kepanikan yang mulai merayap.Berlian mengangguk lemah, menggenggam erat tangan Luke. "Ya, Paman... aku rasa ini sudah waktunya. Rasa sakitnya... semakin parah!"Dalam hitungan detik, Luke sudah mengambil ponselnya dan menelepon rumah sakit. “Ya, istri saya mulai kontraksi. Tolong siapkan ruang persalinan, kami akan segera ke sana.”Sementara itu, Vania dan Ethan yang berada di ruan
Pagi yang tenang di rumah mewah Luke dan Berlian tiba-tiba diwarnai oleh suara keluhan kecil dari kamar utama. Berlian, yang perutnya sudah semakin membesar, duduk di tepi ranjang sambil memegang perutnya yang buncit. Luke, yang sedang bersiap-siap di kamar mandi, mendengar keluhan manja dari istrinya itu."Paman...," panggil Berlian dengan nada manja.Luke keluar dari kamar mandi, mengusap wajahnya dengan handuk. "Ya, Sayang? Ada apa?" tanyanya, sambil berjalan ke arah tempat tidur.Berlian memutar tubuhnya, menghadap Luke dengan wajah cemberut. "Perutku sakit, kakiku pegal, dan aku nggak bisa menemukan posisi yang nyaman. Hhh... Paman, ini bayi atau bola basket sih?" keluhnya sambil mengusap perutnya.Luke tertawa kecil, lalu duduk di samping Berlian. "Hei, bola basket yang satu ini bakal jadi anak kita, Lian. Sabar ya, beberapa bulan lagi dia keluar," goda Luke sambil memeluk Berlian dengan lembut.Berlian mendengus, tapi tak bisa menahan senyum kecilnya. "Tapi Paman, aku bener-ben
Malam telah tiba setelah peluncuran besar morfin. Luke dan Berlian kembali ke rumah mereka, kelelahan namun dipenuhi rasa bangga. Berlian duduk di sofa dengan tangan mengelus perutnya yang semakin membesar, sementara Luke berjalan ke dapur untuk mengambil dua cangkir teh hangat."Bagaimana rasanya sekarang setelah peluncuran, Paman?" Berlian membuka percakapan dengan senyum tipis, meskipun kelelahan tampak jelas di wajahnya.Luke menghampiri Berlian, memberikan cangkir teh hangat kepadanya sebelum duduk di sampingnya. "Rasanya... luar biasa, Lian. Aku bangga pada kita. Tapi lebih dari itu, aku bangga padamu. Kamu yang menggerakkan semua ini. Aku hanya mendukung dari belakang."Berlian tertawa kecil sambil menyeruput tehnya. "Ah, Paman selalu rendah hati. Kalau nggak ada kamu, proyek ini mungkin sudah kacau berantakan. Kamu tahu betapa gugupnya aku selama ini.""Tapi kamu berhasil melewati semuanya. Kamu kuat," jawab Luke sambil menatapnya dengan penuh kebanggaan. Ia mengusap lembut ta
Empat bulan telah berlalu sejak kehamilan Berlian diumumkan, dan setiap harinya Luke semakin terbiasa dengan peran barunya sebagai suami sekaligus calon ayah. Ngidam aneh yang dialami Berlian perlahan-lahan mulai berkurang, meskipun sesekali ia masih meminta kombinasi makanan yang tak terduga. Namun, hari-hari mereka kini diisi dengan persiapan peluncuran produk baru dari penelitian morfin yang dilakukan Berlian bersama timnya. Di tengah sibuknya pekerjaan, Luke tidak pernah absen menemani istrinya.Pagi itu, Luke sedang duduk di ruang kerja, meneliti beberapa dokumen terkait peluncuran morfin. Berlian, yang perutnya sudah mulai membesar, berjalan perlahan masuk ke ruang kerja sambil mengusap perutnya yang semakin membuncit."Paman," panggil Berlian manja sambil berdiri di ambang pintu. "Paman sedang sibuk?"Luke mendongak dari tumpukan dokumen, senyumnya langsung mengembang melihat wajah manis Berlian. "Tidak pernah terlalu sibuk untukmu, Lian. Ada apa? Mau minta camilan lagi?" goda
Sudah beberapa minggu berlalu sejak Berlian dinyatakan hamil, dan kehidupan mereka berdua kini dipenuhi dengan suka cita dan kejutan-kejutan kecil, salah satunya adalah ngidam Berlian yang tak terduga. Seperti pagi itu, ketika Luke sedang menikmati secangkir kopi di ruang makan, Berlian muncul dari kamar dengan wajah cemberut."Paman," panggil Berlian dengan nada manja, berjalan mendekati Luke dengan tangan memegang perutnya yang masih belum terlalu terlihat membuncit.Luke menurunkan cangkirnya dan menatap Berlian dengan senyum lembut. "Ada apa, Lian? Kenapa wajahmu cemberut begitu pagi ini?"Berlian duduk di samping Luke, menyandarkan kepala di bahu suaminya. "Aku lapar. Tapi... aku nggak mau makanan biasa."Luke tertawa kecil, membelai rambut Berlian. "Kalau begitu, apa yang kamu mau? Aku bisa minta koki buatkan sesuatu yang spesial."Berlian mengerutkan hidungnya, lalu menatap Luke dengan mata berbinar. "Aku mau pisang goreng... tapi ditaburi keju... dan dimakan dengan saus cokela
Sudah dua bulan sejak Berlian memulai proyek ambisiusnya: mengembangkan opium menjadi morfin yang lebih stabil dan efektif untuk tujuan medis. Berlian bekerja bersama tim peneliti terbaik di laboratorium yang didesain khusus untuk riset ini. Proses yang mereka jalani bukanlah sesuatu yang sederhana; ini melibatkan langkah-langkah kompleks dari ekstraksi hingga isolasi dan pemurnian, dengan tujuan menghasilkan morfin yang berkualitas tinggi.Pagi itu di laboratorium, Berlian berdiri di depan alat ekstraksi besar yang mengeluarkan suara dengung rendah. Dia memperhatikan layar monitor yang menampilkan grafik suhu dan tekanan. Di sebelahnya, Lina, salah satu peneliti senior, sedang mengatur parameter reaksi untuk meningkatkan efisiensi proses ekstraksi."Berlian, kita sudah pada tahap ekstraksi alkaloid utama. Opium yang kita gunakan memiliki kadar alkaloid yang sangat tinggi, jadi kita harus memastikan suhu dan tekanan tetap stabil di bawah 50°C untuk mendapatkan morfin yang optimal,"
Dua bulan berlalu sejak liburan romantis Luke dan Berlian di Maldives. Kini, hari yang sangat dinantikan tiba—hari wisuda Berlian. Di rumah, suasana sibuk menguasai seluruh ruangan. Luke, Vania, dan Ethan tampak sibuk sendiri, memastikan semua persiapan wisuda Berlian sempurna. “Luke, sudah pastikan gaunnya sudah disetrika, kan?” tanya Vania, sambil merapikan lipatan mantel wisuda Berlian. Luke menoleh, tampak bingung sesaat. “Ya, aku sudah cek semuanya tadi pagi. Kamu sudah cek sepatunya, Nek?”Ethan yang sedang memeriksa tas tangan Berlian menghela napas. “Apa tidak bisa kalian tenang sebentar? Ini hanya wisuda, bukan persiapan peluncuran roket.”Vania melotot ke arah suaminya. “Hanya wisuda? Ini momen yang sangat penting, Ethan. Cucu kita akan menjadi lulusan terbaik, dan kau mengatakan ini hanya wisuda?”Luke tertawa kecil, mendekati Berlian yang sedang berdiri di depan cermin, mencoba menenangkan dirinya. “Sayang, kamu terlihat sangat cantik dan anggun. Siap untuk hari besar in
Luke dan Berlian berdiri di buritan yacht mewah, menyaksikan ombak memecah dengan tenang di kejauan. Angin laut meniup lembut, membawa aroma asin yang segar. Berlian, mengenakan bikini dengan blazer tipis, berdiri dengan satu tangan memegang gelas anggur, sementara matahari terbenam menyinari wajahnya dengan cahaya emas. Rambutnya yang panjang terurai indah, tertiup angin sepoi-sepoi, seakan menari mengikuti irama ombak.Luke, hanya mengenakan boxer, merangkul Berlian dari belakang, menghela nafas dalam-dalam, menikmati kebersamaan tanpa kata. Ia mengecup lembut ceruk leher Berlian, membuat telapak tangan Berlian terulur mengusap pipi Luke dengan penuh kasih."Indah sekali, bukan?" bisik Berlian, suaranya hampir tenggelam oleh suara ombak."Selalu indah, selama aku bersamamu," balas Luke, matanya terpejam, menikmati kehangatan tubuh Berlian.Berlian mendongak, menatap langit yang mulai dihiasi bintang. "Paman, bagaimana kabar Eliona dan Juju? Semua sudah beres?"Luke mengangguk, suara