Share

3. Siapa Kau?!

last update Last Updated: 2024-11-18 20:08:46

Ketika permintaan aneh meluncur bebas dari bibir Jessica. Pupil mata Jason lantas terbelalak sempurna.

Sementara yang ditanya, enggan menjawab, melainkan memejamkan mata sambil memegang kepala. Suara rintihan pun kerap kali keluar dari bibir tipisnya. Lelaki berjas hitam itu masih terlihat kesakitan.

"Jessica, apa kau sudah gila?!" kata Jason seraya melirik tajam Jessica.

Jessica reflek memutar sedikit kepala ke samping, kemudian melipat tangan di depan dada.

"Apa sih? Jessica tidak gila, Abang. Jessica mau Paman ini jadi Papa kita," ucap Jessica.

Jason berdecak kesal sejenak lalu berkata,"Astaga Jessica! Paman ini orang asing dan kita baru saja bertemu beberapa menit yang lalu, jangan berpikiran pendek, kita tidak tahu niat terselubungnya."

Mata Jessica sontak mengerling. Sekarang, sikap saudara kembarnya itu membuat dia muak.

"Abang benar-benar jahat! Abang tidak tahu berterima kasih, tadi Paman ini sudah membantu kita, tapi Abang malah berpikir yang tidak-tidak," ujar Jessica dengan penuh penekanan.

Mendengar penuturan Jessica. Jason terdiam selama beberapa detik kemudian membuang napas berat. Ya, dia sangat berterima kasih dengan kehadiran sosok di dekatnya ini tadi. Namun, tak dapat dipungkiri dia harus lebih berhati-hati terhadap orang asing.

"Tapi Jess—"

Jessica tiba-tiba menyela dengan mimik muka masam. "Sudahlah, kalau Abang tidak mau Paman ini jadi Papa kita, biarkan Paman ini hanya jadi Papa Jessica saja!"

Kerutan di dahi Jason langsung tercipta. Dia makin heran dengan perkataan adiknya itu. Jason hendak mengeluarkan pendapat. Namun, respons Jessica sekarang, membuat Jason hanya bisa menahan kesal.

Jessica menatap kembali pria tersebut, sejak tadi lelaki bermata hijau itu mengabaikan Jessica dan Jason. Sosok tersebut masih bergeming, dengan kepala tertunduk dalam tengah menahan rasa sakit yang perlahan mulai menghilang sekarang.

"Paman kenapa? Nama Paman siapa?" Jessica maju beberapa langkah kala menyadari ada sesuatu yang salah pada pelindungnya itu.

Sosok itu memegang kepalanya. Dia pun tidak tahu apa yang terjadi padanya dan mengapa pula bisa berada di sini saat ini. Saat hendak berusaha mengingat namanya. Bayangan aneh mulai menari-nari di benaknya sekarang.

"Maafkan aku Tuan Michael, ini semua salahku!"seru seseorang dalam ingatannya.

Dalam penglihatannya, dia berada di dalam kendaraan bersama seorang pria berambut blonde. Keadaan di luar tampak gelap gulita dan di sepanjang jalan hanya terlihat hutan belantara. Dia sesekali melontarkan timah panas ke belakang, di mana ada beberapa buah mobil menyerang ke arah mereka.

Lelaki itu kembali meringis lalu memejamkan matanya kala rasa sakit di kepala semakin menyerangnya.

Jessica tampak panik. Secepat kilat mendekat lalu mendongakkan kepala hendak berusaha melihat wajah sang pria. Bola mata mungil berwarna hijau lantas melebar saat melihat muka lelaki itu tampak sangat pucat. Kepanikannya bertambah berkali-kali lipat ketika baru sadar jika ada banyak bercak darah di jas hitam lelaki tersebut.

"Apa yang terjadi sama Paman? Nama Paman siapa?" tanya Jessica, kemudian tanpa sengaja memegang punggung tangan kiri sosok tersebut.

Jessica sangat penasaran dengan nama lelaki di hadapannya ini.

Lelaki tersebut perlahan membuka mata dan menurunkan tangan kanannya dari kepala, kemudian mengalihkan pandangan kepada Jessica. Kini, rasa sakit di kepalanya pun berangsur-angsur menghilang.

"Namaku Michael." Sosok itu menyakini bahwa namanya Michael. "Aku ...." Namun, lidahnya mendadak kaku kala ingin menjawab pertanyaan dari Jessica. Sebab dia juga bingung apa yang telah terjadi padanya. Ketika berusaha mengingat-ingat kembali malah rasa sakit yang dirasakannya.

"Shft ...." Michael menyentuh lagi kepalanya sambil mengeluarkan erangan.

"Paman, ayo ikut Jessica ke rumah, di rumah ada obat!" seru Jessica sembari menarik tangan Michael.

Michael spontan beranjak masih dengan memegang kepalanya.

"Jessica, apa-apaan kau? Di rumah tidak ada obat untuk menyembuhkan lukanya. Lihatlah banyak bercak darah di tubuhnya!" Mendengar perkataan Jessica, Jason tentu saja langsung menolak. Sebagai seorang abang sekaligus pelindung. Dia tak mau membahayakan keselamatan Jessica dan mamanya.

"Ish, Abang! Kasihan Paman ini, anggap saja kita balas budi!" Jessica langsung protes.

"Tapi Jessica, ada banyak cara untuk membalas budi." Jason mencoba melunakan hati Jessica, memberi tanggapan dengan nada suara yang lembut. Dia tahu adiknya ini sangat keras kepala dan begitu sulit diberitahu. Namun, Jessica terlihat tetap bersikeras.

Jessica menggeleng kemudian menyeret Michael dan berjalan dengan cepat. Michael hanya diam saat tangannya ditarik oleh sosok yang ditolongnya tadi.

Sementara Jason, sorot matanya tajam dan urat-urat di wajahnya pun mulai muncul ke permukaan. Jason tengah menahan amarah yang membuncah di relung hatinya. Karena adiknya tidak mau mendengarkan perkataannya barusan.

Jason hanya mampu memandang tajam sejenak punggung Jessica dan Michael dari kejauhan. Setelah itu Jason pun mulai bergerak, menyusul adik keras kepalanya itu.

Tak lama kemudian, tibalah mereka di rumah Jessica dan Jason. Michael menghentikan langkah kaki tepat di halaman rumah, lalu mengamati sejenak rumah kecil beralaskan kayu tersebut.

Meskipun kecil, tapi halaman depan tampak bersih dan menyegarkan mata bagi siapa pun yang memandang. Terdapat pohon-pohon mungil dan tanaman bunga di sekitar.

"Ini rumah Jessica, ayo kita masuk ke kamar," sahut Jessica sambil menengadahkan wajah.

Michael tampak ragu-ragu. Namun, ketika teringat bahwa dia membutuhkan obat untuk meredakan rasa sakit. Michael memantapkan diri untuk mengiyakan ajakan.

"Apa ada gunting kecil untuk mengeluarkan peluru?" tanya Michael, setelah sadar ada peluru yang bersarang di beberapa bagian anggota tubuhnya tadi.

"Tentu saja ada! Ayo masuk, Paman!" Dengan cepat Jessica menarik tangan Michael saat melihat di belakang Jason sana, memandangnya dengan sangat tajam, seolah-olah Jason akan menelan hidup-hidup dirinya saat ini.

Sesampainya di dalam, Jessica menuntun Michael masuk ke kamar. Jessica membuang napas lega karena Moon, alias mamanya tidak ada di rumah saat ini.

"Ayo, Paman duduk dulu di sini." Jessica menarik Michael untuk duduk di tepi ranjang.

Michael menurut, lalu memperhatikan perempuan kecil yang pakaiannya tampak lusuh itu berlari kecil ke sudut ruangan.

"Paman jangan sungkan ya anggap saja rumah sendiri, ini Jessica ada obat untuk Paman."

Di kala Jessica sibuk membuka lemari. Michael justru mengamati kembali rumah Jessica. Meski di luar terlihat bersih tapi di dalam jauh dari kata bersih, ada jaring laba-laba di atas plafon serta rembesan air di dinding. Kemudian kasur berukuran sedang yang dia duduki terlihat usang dan lusuh.

"Paman, luka Paman nyeri tidak?" Jessica tiba-tiba berbalik sambil memegang kotak kecil berisi obat-obatan.

Michael dengan cepat menoleh ke arah Jessica. "Tidak, bawa lah ke sini kotaknya!" perintah Michael.

Jessica pun bergegas menghampiri dan tak lupa membawa kotak tersebut.

"Ini Paman,"kata Jessica lalu menyodorkan kotak kepada Michael.

Dengan cepat Michael meraih kotak tersebut, membukanya lalu mengambil salah satu gunting kecil. Michael hendak mengeluarkan sendiri peluru dari tubuhnya.

"Paman, kenapa bisa berdarah?" Sambil memperhatikan apa yang dilakukan Michael, Jessica pun duduk di tepi ranjang, bersebelahan dengan Michael.

"Tidak usah banyak bertanya Jessica, bisa saja Paman itu seorang pembunuh, lihatlah banyak darah di tubuhnya." Seketika, di daun pintu kamar, Jason berdiri tegap masih dengan wajah terlihat merah padam.

Kedua netra Jessica lantas membola sejenak dengan kedatangan Jason. Sedangkan Michael terlihat biasa saja. Namun, sudut bibirnya melengkung sedikit ke atas. Merasa perkataan Jason ada benarnya juga.

"Ck, dasar penganggu! Pergi sana!" balas Jessica dengan sangat ketus lalu kembali menatap Michael. "Jadi, apa yang terjadi sama Paman?"

"Paman juga tidak tahu, Paman lupa, geserlah sedikit, Paman mau membuka pakaian."

Begitu titah dikeluarkan, Jessica menggeser sedikit bokongnya sambil melirik sekilas Jason, yang masih berdiri di ambang pintu dengan urat-urat di wajah masih menegang.

Jessica memutus kontak mata lalu menoleh ke samping. Melihat Michael tengah membuka jas serta kemeja putih. Pemandangan pertama yang Jessica lihat adalah otot-otot di perut Michael. Mata Jessica terbelalak kala melihat ada beberapa peluru hinggap di pundak Michael.

"Astaga, banyak sekali pelurunya," komentar Jessica tiba-tiba, tanpa mengalihkan perhatiannya dari Michael.

Michael tak membalas, memilih sibuk mengotak-atik tubuhnya sendiri. Darah mulai mengalir pelan di kulit Michael kala peluru satu-persatu telah berhasil dikeluarkan. Michael sesekali mengeluarkan erangan.

Mendadak benak Michael dipenuhi tanda tanya besar sekarang. Michael merasa sebagian memorinya menghilang. Sebab dia tidak bisa mengingat apa yang terjadi padanya.

"Abang, lihat kan luka di tubuh Paman!" Jessica menggerakkan bola mata ke arah Jason seketika.

"Tidak mungkin Paman seorang pembunuh, mungkin saja dia yang mau dibunuh orang!" sahut Jessica berapi-api.

Jason ingin membalas. Akan tetapi, perhatian bocah itu teralihkan dengan seseorang di luar kamar. Jason menoleh, melihat Moon ternyata telah sampai di rumah. Keringat lantas muncul di keningnya, ketakutan mulai menggerogoti tulang Jason sekarang.

"Jason, kalian dari mana saja tadi? Mama mencari kalian dari tadi," ujar Moon dengan kening berkerut samar.

Di dalam kamar, Jessica yang mendengar suara Moon langsung menegang.

Melihat ekspresi Jason, Moon pun mndekat sambil berkata lagi," Ada apa Jason?"

Saat tiba di depan pintu dan menengok ke dalam kamar. Wanita bermata hitam itu langsung membola dengan keberadaan sosok asing di dalam kamarnya.

"Siapa kau?!"

Related chapters

  • Paman, Jadi Papaku Ya!   4. Jangan Usir Paman!

    "Mama, ini semua salah Jessica! Jangan usir Paman ya, dia orang baik Ma. Tadi dia bantu Jessica sama Jason." Jessica beranjak cepat dari tepi tempat tidur kemudian merentang kedua tangannya. Gurat kepanikan tergambar sangat jelas di wajah bulatnya itu, keringat dingin pun mulai mengalir perlahan-lahan dari keningnya tatkala melihat Moon menatap tajam ke arah Michael saat ini. Berbeda dengan Michael, terlihat biasa saja. Kehadiran Moon seolah-olah tidak diharapkan Michael sama sekali. Lelaki itu tak menyahut, atau pun berniat beranjak dari tepi kasur. Pemilik mata hijau itu hanya melirik Moon sekilas lalu melanjutkan lagi kegiatannya, berusaha mengambil peluru dari kulitnya. "Mama, Jessica mohon jangan usir Paman!" Lagi bocah perempuan bersurai hitam itu berseru. Menahan takut bila Moon akan mengusir Michael atau pun memarahinya. Napas Moon kian memburu. Bagaimana bisa anak perempuannya tiba-tiba mendatangkan seorang pria yang tidak dikenal ke dalam gubuknya sekarang. Terlebih penam

    Last Updated : 2024-11-18
  • Paman, Jadi Papaku Ya!   5. Jadi Papa

    Melihat Jessica masuk dalam keadaan menangis. Anehnya, dada Michael terasa amat sesak sekarang. Terlebih panggilan tadi, membuat ia merasa sedikit senang. Ada getaran aneh juga merayap ke dalam relung hatinya sekarang. Sebuah getaran yang tak dapat Michael jelaskan melalui kata-kata. Dengan cepat Michael melepaskan tangan Moon. Sementara Moon langsung menoleh dengan kening berkerut kuat. Sorot matanya yang semula menyala-nyala langsung redup bak disiram air sejuk. Mendengar Jessica memanggil pria aneh bin gila itu dengan sebutan 'papa' barusan. Hati Moon mendadak perih seolah-olah ada benda tak kasat mata menikam organ dalamnya tersebut. Sekarang, mata Moon mulai tampak berkaca-kaca. Moon perlahan mendekati Jessica, yang masih menangis tersedu-sedan. "Jessica dia bukanlah Papamu, sadarlah Nak, laki-laki gila ini orang asing ...." Lidah Moon mendadak kelu. Tangisan Jessica begitu menyayat-yayat hatinya sedari tadi. Memang lah benar, sedari kecil Jessica menginginkan seora

    Last Updated : 2024-11-18
  • Paman, Jadi Papaku Ya!   6. Hilang Ingatan

    "Sudah Tuan, perintahmu sudah kulaksanakan, jadi bagaimana adikku? Apa dia bisa dibebaskan se—" Perkataan pria berambut blonde itu tiba-tiba terpotong dengan suara wanita dari luar ruangan. Dia lantas tersentak, jantungnya berdetak lebih cepat sebelumnya kala mendengar pemilik suara tersebut. Tentu saja dia tahu siapa yang mendatangi mansion saat ini. Sementara sang pemilik rumah spontan menoleh ke ambang pintu lalu mengalihkan pandangan ke arah pria berambut blonde itu lagi. "Jangan keluar, tunggulah di sini. Aku harus menemui kakak iparku dulu," katanya. "Baik Tuan." Setelah itu, lelaki bermata hijau itu pun keluar dari ruangan. Baru saja menginjakkan kakinya di luar. Wanita berpenampilan anggun dan memiliki rambut sebahu langsung mendekatinya dengan raut wajah cemas. "Tolong bantu aku, perasaanku tidak enak, dari tadi malam adikmu tidak bisa dihubungi, dia tidak ada kabar sama sekali, aku mohon cepat cari dia sekarang, Julian pun tidak bisa dihubungi," terangnya, dengan k

    Last Updated : 2025-01-04
  • Paman, Jadi Papaku Ya!   7. Menetap di Rumah

    Michael justru menyeringai tipis. "Kau yakin ingin mengusirku? Apa jawabanmu jika Jessica bertanya ke mana Papanya?" balas Michael sambil mengangkat dagunya sedikit angkuh. Membuat Moon kembali mengepalkan kedua tangannya erat-erat. Menahan amarah yang membuncah di relung hatinya saat ini. Selain mengesalkan, pria di hadapannya ini ternyata tidak punya rasa malu juga."Aku sangat yakin, kau adalah pria yang sangat berbahaya, keberadaanmu di sini memberikan dampak buruk pada putriku! Tidak usah kau pikirkan jawaban apa yang akan aku berikan pada putriku nanti! Cepat, angkat kakimu dari rumahku sekarang!" lontar Moon. Untuk kesekian kalinya, reaksi Michael membuat Moon semakin meradang. Kini, lelaki bermata hijau itu malah mengeluarkan tawa rendah. Sebuah tawa yang terdengar seperti sebuah penghinaan di telinga Moon. "Apa kau tuli?! Pergi sekarang!" Saat tak ada pergerakkan, Moon akhirnya terpaksa mendekat, hendak menyeret Michael."Pergi kau dari sini!" Dengan susah payah Moon mena

    Last Updated : 2025-01-04
  • Paman, Jadi Papaku Ya!   8. Keributan

    Moon meringis sejenak lalu mendongakkan kepalanya dengan cepat. Melihat Erna berdiri di hadapannya sambil berkacak pinggang sekarang. Muka wanita bertubuh gemuk itu terlihat merah padam. Moon mengerutkan dahi sedikit, tampak keheranan karena Erna datang dalam keadaan marah besar sekarang. Entah apa penyebab wanita itu meradang. "Apa maksud Madam?" Secara perlahan Moon bangkit berdiri sambil menahan perih karena kulitnya tergores oleh batu-batu kecil yang tergeletak di pekarangan rumahnya barusan. Erna mendengus kasar. Pupil matanya pun semakin melebar. "Kau masih bertanya?! Gara-gara anakmu itu tadi lemonku tidak laku terjual, aku yakin sekali kau memberi perintah pada anak-anakmu untuk melempar sesuatu ke daganganku dan membuat daganganku jadi bau!" murka Erna hingga para tetangga yang kebetulan lewat di depan rumah, mulai penasaran, alhasil mereka pun menyambangi rumah Moon dengan cepat. Sesampainya di pekarangan, mereka tampak berbisik-bisik satu sama lain sambil menata

    Last Updated : 2025-01-05
  • Paman, Jadi Papaku Ya!   9. Ketakutan

    "Cukup! Aku bukan wanita jalang, Madam!" seru Moon, kini napasnya terdengar memburu sebab sikap Erna sungguh keterlaluan. "Atas dasar apa Madam mengatai aku jalang?" sambung Moon kembali. Mengabaikan rasa sakit yang menjalar pada kaki dan tangannya sekarang. Moon begitu heran, apa alasan Erna membencinya hingga selama bertahun-tahun wanita tersebut selalu membuat ulah dengannya. Padahal selama ini Moon tidak pernah membuat masalah dengan Erna. "Kenyataannya kau memang wanita jalang! Semua orang tahu kau wanita jalang! Lihatlah pria di sampingmu itu, dia pasti salah satu pria yang sudah mencicipi tubuh kurusmu itu!" Erna melirik ke arah Michael sekilas sambil melototkan mata. Mendengar omelan Erna, Michael hanya diam saja. Meskipun begitu, dalam ketenangannya membuat Erna sedikit terganggu. Karena pandangan Michael tertuju pada wanita bertubuh gemuk tersebut sejak tadi. Sorot mata Michael tampak datar. Namun, terasa sangat tajam di penglihatan Erna."Aha aku baru saja ingat pria in

    Last Updated : 2025-01-05
  • Paman, Jadi Papaku Ya!   10. Malaikat dan Iblis

    "Michael, jangan macam-macam kau!" Sekali lagi Moon berteriak. Bagaimana tidak, Michael membaringkannya di ranjang sambil menoleh ke bagian dadanya sekilas sekarang. Tak hanya itu, pria tersebut melempar senyum penuh arti, yang membuat bagi siapa pun yang melihat akan salah paham. Sebuah senyuman yang tak bisa dijabarkan Moon sama sekali saat ini. Michael tak menjawab, malah memajukan wajahnya ke wajah Moon. Moon makin panik, jantungnya berdetak sangat kencang tatkala hembusan napas Michael mengenai wajah tirusnya sekarang. Tangan kurusnya lantas bergetar pelan tengah berusaha mendorong dada Michael. "Kau m—au apa?" tanya Moon gugup, buru-buru menutup mata kemudian dengan cepat menggerakkan kepalanya ke samping. Moon dilanda panik dan ketakutan. Siapa pria ini? Datang ke dalam kehidupannya bak malaikat dan iblis secara bersamaan.Tak dapat dipungkiri, pria dewasa di atasnya sekarang, memiliki pesona yang tak bisa diabaikan. Wajah tampan Michael sangat berkharisma dan menawan. T

    Last Updated : 2025-01-06
  • Paman, Jadi Papaku Ya!   11. Ketakutan

    Mata Jason tampak berkaca-kaca. Air mata pun perlahan mulai mengalir dari pelupuknya seketika. Dorongan tersebut membuat kedua kaki mungilnya tergores dan mengeluarkan darah sedikit. Tidak hanya itu, pipinya pun terlihat merah akibat tamparan sosok tersebut. Secepat kilat Jason menegadahkan kepala, melihat seseorang yang dicari ternyata berada di luar, Rita, sang pemilik kedai. "Madam Rita, apa salahku?" tanya Jason, suaranya terdengar bergetar. Luka di kakinya terasa amat perih hingga membuat air mata mengalir dengan sangat deras sekarang. Meskipun, mempunyai sikap yang terlihat kuat di luar, Jason tak dapat menahan rasa sakit yang menjalar kedua kakinya sekarang. Terlebih, dia baru pertama kali mendapat perlakukan kasar dari Rita. Selama ini, Jason hanya dapat melihat dari kejauhan perlakuan Rita terhadap mamanya. Rita kerap kali membentak Moon, termasuk karyawan lainnya. Bukan hanya itu, wanita berambut panjang ikal itu suka sekali berbuat sesuka hatinya. Jika ditanya apa kesa

    Last Updated : 2025-01-06

Latest chapter

  • Paman, Jadi Papaku Ya!   43. Kabar Buruk

    "Tidak mungkin ...." Mata Clara langsung terbelalak, dadanya terasa diremas oleh benda tak kasat mata sekarang. Dengan mata mulai berkaca-kaca Clara lantas bangkit berdiri. "Kau berbohong kan?!' teriak Clara. Pria yang sangat dia cintai tidak mungkin pergi begitu cepat. Clara tak mau hal itu sampai terjadi dan berharap apa yang dikatakan Maximus barusan hanyalah lelucon belaka. Maximus menggeleng cepat. Sorot matanya tampak sangat sendu, seolah-olah menangisi kepergian Michael. Namun, di dalam hatinya lelaki itu merasa senang atas kematian Michael. "Tidak Clara, untuk apa aku berbohong, kau tahu sendiri aku tidak suka bercanda." "Tidak mungkin! Michael!" Detik itu pula Clara seketika ambruk di tempat. "Clara!" Emi yang baru saja tiba di ruangan, langsung menjerit histeris saat melihat menantunya jatuh pingsan. Secepat kilat Emi menghampiri Clara seraya melirik Maximus. "Apa yang kau lakukan pada Clara?!" tanya Emi setengah berteriak. Sorot matanya memancarkan kemarahan.

  • Paman, Jadi Papaku Ya!   42. Tidak Harmonis

    Dalam hitungan detik, Maximus tiba-tiba melesatkan timah panas ke arah Julian. Namun, beruntung sekali Julian berhasil menghindar dan hanya mengenai kakinya saja.Julian menahan perih, kemudian dengan cepat melirik Maximus. Rahangnya masih mengetat, menahan amarah kala Maximus tidak menepati janjinya dan telah membunuh Sienna. "Cih, jangan salahkan aku, adik dan keponakanmu meninggal semua itu karena kau sendiri yang telah lalai menjalankan tugas!" Di ujung sana, Maximus menyeringai tajam sambil memasukkan kembali senjata pendek ke saku celana. Julian mendengus kesal hendak melayangkan pukulan di wajah Maximus sekarang juga, tapi kakinya terasa amat sakit. Julian tak mampu berdiri. Darah pun mulai mengalir dari kulit Julian dan membuat lantai marmer putih tersebut berwarna merah. Julian hanya bisa merintih kesakitan dengan posisi badan memangku Sienna. "Seharusnya kau berterima kasih padaku karena aku tidak membunuhmu," kata Maximus kembali. Nada suaranya terdengar sangat angkuh.

  • Paman, Jadi Papaku Ya!   41. Lepaskan

    Maximus tak menjawab atau pun menatap Julian, melainkan beranjak dari kursi tanpa mengalihkan pandangan dari kantong yang diyakini berisi kepala Michael. Sangat cepat langkah kakinya hingga Julian dapat mendengar bunyi sepatu menggema di ruangan besar tersebut. "Tuan, sudah berjanji untuk melepaskan adikku kan, jika aku sudah berhasil membawa kepala Tuan Michael? Di mana mereka sekarang? Aku ingin bertemu dengan mereka," kata Julian lagi, sangat tak sabaran. Sebab sedari malam, perasaan tak nyaman menghantuinya. Bagaimana tidak, beberapa hari yang lalu, dia bermimpi bertemu dengan Sienna dan Ciara. Dalam mimpinya, adik dan keponakannya menangis tersedu sedan dengan pakaian bersimbah darah. Mereka tak mengajaknya berbicara, atau pun menatapnya, tertunduk dalam sambil mengeluarkan tangisan. Hal itu tentu saja menganggu pikiran Julian. Maximus tak kunjung juga bersuara. Lelaki bermata hijau itu justru berjongkok di depan kantong kemudian membuka cepat kantong tersebut. Begitu benda te

  • Paman, Jadi Papaku Ya!   40. Ikut Denganku!

    Moon tak segera menjawab, bibirnya terkatup rapat dengan kening berkerut samar. Michael ingin mengajaknya ke suatu tempat, sangat amat jauh dan tak terpikirkan Moon sebelumnya. Apakah Michael berasal dari Rusia? Pikir Moon sesaat. "Moon, kau dengar aku, 'kan?" tanya Michael kembali, tatkala Moon tak bersuara sedari tadi. "Untuk apa kau membawaku ke sana? Apa ingatanmu sudah pulih?" Tentu saja Moon akan bertanya, apa alasan Michael membawanya, terlebih pagi-pagi sekali pria bermata hijau sudah menemuinya. Tarikan napas berat, lantas keluar dari indera penciuman Michael. "Ikut saja Moon, di sini kalian tidak aman. Ingatanku belum pulih sepenuhnya, tapi aku sudah mulai mengingat meski samar-samar, ternyata benar aku mempunyai istri dan seorang anak."Begitu mendengar jawaban Michael, dada Moon bak ditikam sebilah pedang. Moon sudah tahu bila lelaki di hadapannya ini sudah memberitahuinya jika sudah berkeluarga. Namun, jauh di lubuk hatinya Michael belum menikah dan hanya menebak-neba

  • Paman, Jadi Papaku Ya!   39. Remuk Redam

    Mendengar hal itu, Michael mematung di tempat dengan pupil mata melebar. Bayangan dia dibunuh Julian dalam perjalanan bisnis langsung berputar-putar di benaknya seketika. Kendati demikian, memori-memorinya bersama Clara dan Kenny belum sepenuhnya kembali, hanya sepenggal saja. Michael belum bisa mengingat semua anggota keluarganya. Selain Julian, Clara dan Kenny. Hening menerpa, kesunyian malam membuat Michael dan Julian berdiri berhadapan dengan ekspresi yang berbeda. Julian tampak ketakutan dan sedari tadi meneguk ludahnya berkali-kali. Sementara Michael tampak syok. "Lalu kenapa kau ke sini?!" Wajah Michael mendadak merah padam. Dia dekati Julian dengan cepat sambil melototkan mata, menahan amarah karena Julian menembaknya tiba-tiba pada malam kejadian. Julian langsung membeku. Lidahnya mendadak kelu. Dia sulit berkata-kata lagi sekarang, aura Michael kini telah kembali. Aura mematikan yang dimiliki Michael selama ini. "Cepat jawab?!" Michael telah habis kesabaran. Dia ta

  • Paman, Jadi Papaku Ya!   38. Meminta Maaf

    Julian tak kunjung menggerakkan pisau. Dia baru saja berhalusinasi membunuh Michael. Saat ini, tangan Julian menggantung di udara. Dia tilik seksama wajah Michael yang tengah tertidur pulas. Julian nampak sangat bimbang. Kemarin, ada kesenangan yang tertanam di dadanya kala mengetahui Michael belum meninggal. Selama ini Michael adalah orang yang paling berjasa di hidupnya. Saat menuruti permintaan Maximus, Julian merasa sangat bersalah. "Maafkan aku Tuan," gumam Julian pelan. Julian tak sanggup membunuh Michael. Detik itu pula cairan bening membasahi pipinya hingga air matanya mengenai pipi Michael. Julian memandangi Michael, yang saat ini tengah mengerutkan dahi kala merasa ada air yang menetes di pipinya. Michael melengguh sejenak lalu perlahan-lahan membuka mata. Matanya langsung melebar saat melihat Julian memegang pisau saat ini. "Lian!" Michael spontan duduk sambil menyambar pisau dari tangan Julian lalu melempar benda tajam tersebut ke sudut ruangan. "Apa yang kau lak

  • Paman, Jadi Papaku Ya!   37. Gelisah

    Mendengar hal itu pupil mata Lionel semakin melebar. "Apa kau sudah gila?! Membalas pesan atau mengangkat panggilan kita saja dia tidak mau! Apa lagi kalau kita pergi ke sana, mungkin saja kita akan di usirnya!" bentak Lionel seketika. Sudah berbulan-bulan pria yang membeli Moon sulit sekali untuk dihubungi. Bahkan nomor yang dituju tidak aktif dan pesannya pun tidak terkirim. Lionel makin frustrasi sebab para rentenir dan pegawai bank acap kali datang ke rumahnya akhir-akhir ini. "Lalu bagaimana kau membayar hutang-hutang kau itu hah?!" teriak Liana dengan mata melotot keluar. Dia tak terima dibentak suaminya barusan. "Hutang-hutangku katamu?! Hei, apa kau amnesia hutang itu berasal dari kau yang boros! Kau suka membeli tas-tas dan pakaian-pakaian aneh! Jangan hanya salahkan aku saja! Semua itu hutang kita! Seharusnya kau bisa lebih berhemat sekarang!" balas Lionel, napasnya terdengar mulai memburu. Menahan amarah yang sudah sampai ke ubun-ubun sekarang. Lelaki itu tak terima den

  • Paman, Jadi Papaku Ya!   36. Penasaran

    Julian spontan membuka mata tatkala mendengar Michael memanggil namanya tiba-tiba. Namun, baru saja membuka mata sebuah pukulan mendarat di mukanya. Mata Julian langsung melebar, melihat ada seorang pria memakai topeng dan setelan jas berwarna hitam, di hadapannya sekarang. Sementara pria lainnya tengah mencekik Michael dan Michael melawan balik. Julian tak diam, ikut menyerang pria yang wajahnya tak terlihat itu. Suara pukulan terdengar di ruangan tersebut. Keempat pria dewasa itu saling menyerang satu sama lain. Perkelahian nampak seimbang. Kedua pra yang memakai topeng tenaganya sama kuat dengan Michael dan Julian.Julian mulai bertanya-tanya, siapa kedua pria ini? Apakah suruhan Maximus? Bagaimana Maximus bisa tahu keberadaan Michael. Sementara dia tidak memberitahu Maximus. Entahlah, rasanya aneh bila suruhan Maximus? Tapi, mengingat ada Nathan kemarin di Juana Diaz. Julian tampak panik. Dia menebak bila Maximus kesabarannya sudah habis lalu menyuruh orang membunuh Michael dan

  • Paman, Jadi Papaku Ya!   35. Meluruskan

    Moon terperangah ketika baru saja disiram air comberan oleh seseorang. Perlahan, aroma tak sedap menjalar di seluruh tubuh Moon.Dengan cepat Moon mengangkat kepala. Melihat para tetangga berkumpul di pekarangan rumahnya sambil melayangkan tatapan penuh hina padanya sekarang. Entah siapa yang menyiramnya barusan, tapi dapat dipastikan sang pelaku berada di barisan paling depan. "Apa kalian sudah gila? Apa yang kalian lakukan?!" tanya Moon dengan napas mulai memburu. Sebab para tetangga mulai membuat masalah lagi dengannya. Padahal akhir-akhir ini mereka tak pernah membulinya dan anak-anaknya. Moon menebak, semua itu berkat Michael. Namun, mengapa hari ini para tetangganya mulai berani dan menunjukkan taringnya kembali. "Kau masih bertanya?! Tentu saja kami membuat jejak di tubuhmu kalau kau itu perempuan kotor! Dan memang pantas disiram dengan air comberan itu!" Di antara kumpulan para tetangga, Erna tiba-tiba melangkah maju sambil mengangkat dagu dengan sangat angkuh. Secepat kil

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status