Ketika permintaan aneh meluncur bebas dari bibir Jessica. Pupil mata Jason lantas terbelalak sempurna.
Sementara yang ditanya, enggan menjawab, melainkan memejamkan mata sambil memegang kepala. Suara rintihan pun kerap kali keluar dari bibir tipisnya. Lelaki berjas hitam itu masih terlihat kesakitan. "Jessica, apa kau sudah gila?!" kata Jason seraya melirik tajam Jessica. Jessica reflek memutar sedikit kepala ke samping, kemudian melipat tangan di depan dada. "Apa sih? Jessica tidak gila, Abang. Jessica mau Paman ini jadi Papa kita," ucap Jessica. Jason berdecak kesal sejenak lalu berkata,"Astaga Jessica! Paman ini orang asing dan kita baru saja bertemu beberapa menit yang lalu, jangan berpikiran pendek, kita tidak tahu niat terselubungnya." Mata Jessica sontak mengerling. Sekarang, sikap saudara kembarnya itu membuat dia muak. "Abang benar-benar jahat! Abang tidak tahu berterima kasih, tadi Paman ini sudah membantu kita, tapi Abang malah berpikir yang tidak-tidak," ujar Jessica dengan penuh penekanan. Mendengar penuturan Jessica. Jason terdiam selama beberapa detik kemudian membuang napas berat. Ya, dia sangat berterima kasih dengan kehadiran sosok di dekatnya ini tadi. Namun, tak dapat dipungkiri dia harus lebih berhati-hati terhadap orang asing. "Tapi Jess—" Jessica tiba-tiba menyela dengan mimik muka masam. "Sudahlah, kalau Abang tidak mau Paman ini jadi Papa kita, biarkan Paman ini hanya jadi Papa Jessica saja!" Kerutan di dahi Jason langsung tercipta. Dia makin heran dengan perkataan adiknya itu. Jason hendak mengeluarkan pendapat. Namun, respons Jessica sekarang, membuat Jason hanya bisa menahan kesal. Jessica menatap kembali pria tersebut, sejak tadi lelaki bermata hijau itu mengabaikan Jessica dan Jason. Sosok tersebut masih bergeming, dengan kepala tertunduk dalam tengah menahan rasa sakit yang perlahan mulai menghilang sekarang. "Paman kenapa? Nama Paman siapa?" Jessica maju beberapa langkah kala menyadari ada sesuatu yang salah pada pelindungnya itu. Sosok itu memegang kepalanya. Dia pun tidak tahu apa yang terjadi padanya dan mengapa pula bisa berada di sini saat ini. Saat hendak berusaha mengingat namanya. Bayangan aneh mulai menari-nari di benaknya sekarang. "Maafkan aku Tuan Michael, ini semua salahku!"seru seseorang dalam ingatannya. Dalam penglihatannya, dia berada di dalam kendaraan bersama seorang pria berambut blonde. Keadaan di luar tampak gelap gulita dan di sepanjang jalan hanya terlihat hutan belantara. Dia sesekali melontarkan timah panas ke belakang, di mana ada beberapa buah mobil menyerang ke arah mereka. Lelaki itu kembali meringis lalu memejamkan matanya kala rasa sakit di kepala semakin menyerangnya. Jessica tampak panik. Secepat kilat mendekat lalu mendongakkan kepala hendak berusaha melihat wajah sang pria. Bola mata mungil berwarna hijau lantas melebar saat melihat muka lelaki itu tampak sangat pucat. Kepanikannya bertambah berkali-kali lipat ketika baru sadar jika ada banyak bercak darah di jas hitam lelaki tersebut. "Apa yang terjadi sama Paman? Nama Paman siapa?" tanya Jessica, kemudian tanpa sengaja memegang punggung tangan kiri sosok tersebut. Jessica sangat penasaran dengan nama lelaki di hadapannya ini. Lelaki tersebut perlahan membuka mata dan menurunkan tangan kanannya dari kepala, kemudian mengalihkan pandangan kepada Jessica. Kini, rasa sakit di kepalanya pun berangsur-angsur menghilang. "Namaku Michael." Sosok itu menyakini bahwa namanya Michael. "Aku ...." Namun, lidahnya mendadak kaku kala ingin menjawab pertanyaan dari Jessica. Sebab dia juga bingung apa yang telah terjadi padanya. Ketika berusaha mengingat-ingat kembali malah rasa sakit yang dirasakannya. "Shft ...." Michael menyentuh lagi kepalanya sambil mengeluarkan erangan. "Paman, ayo ikut Jessica ke rumah, di rumah ada obat!" seru Jessica sembari menarik tangan Michael. Michael spontan beranjak masih dengan memegang kepalanya. "Jessica, apa-apaan kau? Di rumah tidak ada obat untuk menyembuhkan lukanya. Lihatlah banyak bercak darah di tubuhnya!" Mendengar perkataan Jessica, Jason tentu saja langsung menolak. Sebagai seorang abang sekaligus pelindung. Dia tak mau membahayakan keselamatan Jessica dan mamanya. "Ish, Abang! Kasihan Paman ini, anggap saja kita balas budi!" Jessica langsung protes. "Tapi Jessica, ada banyak cara untuk membalas budi." Jason mencoba melunakan hati Jessica, memberi tanggapan dengan nada suara yang lembut. Dia tahu adiknya ini sangat keras kepala dan begitu sulit diberitahu. Namun, Jessica terlihat tetap bersikeras. Jessica menggeleng kemudian menyeret Michael dan berjalan dengan cepat. Michael hanya diam saat tangannya ditarik oleh sosok yang ditolongnya tadi. Sementara Jason, sorot matanya tajam dan urat-urat di wajahnya pun mulai muncul ke permukaan. Jason tengah menahan amarah yang membuncah di relung hatinya. Karena adiknya tidak mau mendengarkan perkataannya barusan. Jason hanya mampu memandang tajam sejenak punggung Jessica dan Michael dari kejauhan. Setelah itu Jason pun mulai bergerak, menyusul adik keras kepalanya itu. Tak lama kemudian, tibalah mereka di rumah Jessica dan Jason. Michael menghentikan langkah kaki tepat di halaman rumah, lalu mengamati sejenak rumah kecil beralaskan kayu tersebut. Meskipun kecil, tapi halaman depan tampak bersih dan menyegarkan mata bagi siapa pun yang memandang. Terdapat pohon-pohon mungil dan tanaman bunga di sekitar. "Ini rumah Jessica, ayo kita masuk ke kamar," sahut Jessica sambil menengadahkan wajah. Michael tampak ragu-ragu. Namun, ketika teringat bahwa dia membutuhkan obat untuk meredakan rasa sakit. Michael memantapkan diri untuk mengiyakan ajakan. "Apa ada gunting kecil untuk mengeluarkan peluru?" tanya Michael, setelah sadar ada peluru yang bersarang di beberapa bagian anggota tubuhnya tadi. "Tentu saja ada! Ayo masuk, Paman!" Dengan cepat Jessica menarik tangan Michael saat melihat di belakang Jason sana, memandangnya dengan sangat tajam, seolah-olah Jason akan menelan hidup-hidup dirinya saat ini. Sesampainya di dalam, Jessica menuntun Michael masuk ke kamar. Jessica membuang napas lega karena Moon, alias mamanya tidak ada di rumah saat ini. "Ayo, Paman duduk dulu di sini." Jessica menarik Michael untuk duduk di tepi ranjang. Michael menurut, lalu memperhatikan perempuan kecil yang pakaiannya tampak lusuh itu berlari kecil ke sudut ruangan. "Paman jangan sungkan ya anggap saja rumah sendiri, ini Jessica ada obat untuk Paman." Di kala Jessica sibuk membuka lemari. Michael justru mengamati kembali rumah Jessica. Meski di luar terlihat bersih tapi di dalam jauh dari kata bersih, ada jaring laba-laba di atas plafon serta rembesan air di dinding. Kemudian kasur berukuran sedang yang dia duduki terlihat usang dan lusuh. "Paman, luka Paman nyeri tidak?" Jessica tiba-tiba berbalik sambil memegang kotak kecil berisi obat-obatan. Michael dengan cepat menoleh ke arah Jessica. "Tidak, bawa lah ke sini kotaknya!" perintah Michael. Jessica pun bergegas menghampiri dan tak lupa membawa kotak tersebut. "Ini Paman,"kata Jessica lalu menyodorkan kotak kepada Michael. Dengan cepat Michael meraih kotak tersebut, membukanya lalu mengambil salah satu gunting kecil. Michael hendak mengeluarkan sendiri peluru dari tubuhnya. "Paman, kenapa bisa berdarah?" Sambil memperhatikan apa yang dilakukan Michael, Jessica pun duduk di tepi ranjang, bersebelahan dengan Michael. "Tidak usah banyak bertanya Jessica, bisa saja Paman itu seorang pembunuh, lihatlah banyak darah di tubuhnya." Seketika, di daun pintu kamar, Jason berdiri tegap masih dengan wajah terlihat merah padam. Kedua netra Jessica lantas membola sejenak dengan kedatangan Jason. Sedangkan Michael terlihat biasa saja. Namun, sudut bibirnya melengkung sedikit ke atas. Merasa perkataan Jason ada benarnya juga. "Ck, dasar penganggu! Pergi sana!" balas Jessica dengan sangat ketus lalu kembali menatap Michael. "Jadi, apa yang terjadi sama Paman?" "Paman juga tidak tahu, Paman lupa, geserlah sedikit, Paman mau membuka pakaian." Begitu titah dikeluarkan, Jessica menggeser sedikit bokongnya sambil melirik sekilas Jason, yang masih berdiri di ambang pintu dengan urat-urat di wajah masih menegang. Jessica memutus kontak mata lalu menoleh ke samping. Melihat Michael tengah membuka jas serta kemeja putih. Pemandangan pertama yang Jessica lihat adalah otot-otot di perut Michael. Mata Jessica terbelalak kala melihat ada beberapa peluru hinggap di pundak Michael. "Astaga, banyak sekali pelurunya," komentar Jessica tiba-tiba, tanpa mengalihkan perhatiannya dari Michael. Michael tak membalas, memilih sibuk mengotak-atik tubuhnya sendiri. Darah mulai mengalir pelan di kulit Michael kala peluru satu-persatu telah berhasil dikeluarkan. Michael sesekali mengeluarkan erangan. Mendadak benak Michael dipenuhi tanda tanya besar sekarang. Michael merasa sebagian memorinya menghilang. Sebab dia tidak bisa mengingat apa yang terjadi padanya. "Abang, lihat kan luka di tubuh Paman!" Jessica menggerakkan bola mata ke arah Jason seketika. "Tidak mungkin Paman seorang pembunuh, mungkin saja dia yang mau dibunuh orang!" sahut Jessica berapi-api. Jason ingin membalas. Akan tetapi, perhatian bocah itu teralihkan dengan seseorang di luar kamar. Jason menoleh, melihat Moon ternyata telah sampai di rumah. Keringat lantas muncul di keningnya, ketakutan mulai menggerogoti tulang Jason sekarang. "Jason, kalian dari mana saja tadi? Mama mencari kalian dari tadi," ujar Moon dengan kening berkerut samar. Di dalam kamar, Jessica yang mendengar suara Moon langsung menegang. Melihat ekspresi Jason, Moon pun mndekat sambil berkata lagi," Ada apa Jason?" Saat tiba di depan pintu dan menengok ke dalam kamar. Wanita bermata hitam itu langsung membola dengan keberadaan sosok asing di dalam kamarnya. "Siapa kau?!""Mama, ini semua salah Jessica! Jangan usir Paman ya, dia orang baik Ma. Tadi dia bantu Jessica sama Jason." Jessica beranjak cepat dari tepi tempat tidur kemudian merentang kedua tangannya. Gurat kepanikan tergambar sangat jelas di wajah bulatnya itu, keringat dingin pun mulai mengalir perlahan-lahan dari keningnya tatkala melihat Moon menatap tajam ke arah Michael saat ini. Berbeda dengan Michael, terlihat biasa saja. Kehadiran Moon seolah-olah tidak diharapkan Michael sama sekali. Lelaki itu tak menyahut, atau pun berniat beranjak dari tepi kasur. Pemilik mata hijau itu hanya melirik Moon sekilas lalu melanjutkan lagi kegiatannya, berusaha mengambil peluru dari kulitnya. "Mama, Jessica mohon jangan usir Paman!" Lagi bocah perempuan bersurai hitam itu berseru. Menahan takut bila Moon akan mengusir Michael atau pun memarahinya. Napas Moon kian memburu. Bagaimana bisa anak perempuannya tiba-tiba mendatangkan seorang pria yang tidak dikenal ke dalam gubuknya sekarang. Terlebih penam
Melihat Jessica masuk dalam keadaan menangis. Anehnya, dada Michael terasa amat sesak sekarang. Terlebih panggilan tadi, membuat ia merasa sedikit senang. Ada getaran aneh juga merayap ke dalam relung hatinya sekarang. Sebuah getaran yang tak dapat Michael jelaskan melalui kata-kata. Dengan cepat Michael melepaskan tangan Moon. Sementara Moon langsung menoleh dengan kening berkerut kuat. Sorot matanya yang semula menyala-nyala langsung redup bak disiram air sejuk. Mendengar Jessica memanggil pria aneh bin gila itu dengan sebutan 'papa' barusan. Hati Moon mendadak perih seolah-olah ada benda tak kasat mata menikam organ dalamnya tersebut. Sekarang, mata Moon mulai tampak berkaca-kaca. Moon perlahan mendekati Jessica, yang masih menangis tersedu-sedan. "Jessica dia bukanlah Papamu, sadarlah Nak, laki-laki gila ini orang asing ...." Lidah Moon mendadak kelu. Tangisan Jessica begitu menyayat-yayat hatinya sedari tadi. Memang lah benar, sedari kecil Jessica menginginkan seora
"Sudah Tuan, perintahmu sudah kulaksanakan, jadi bagaimana adikku? Apa dia bisa dibebaskan se—" Perkataan pria berambut blonde itu tiba-tiba terpotong dengan suara wanita dari luar ruangan. Dia lantas tersentak, jantungnya berdetak lebih cepat sebelumnya kala mendengar pemilik suara tersebut. Tentu saja dia tahu siapa yang mendatangi mansion saat ini. Sementara sang pemilik rumah spontan menoleh ke ambang pintu lalu mengalihkan pandangan ke arah pria berambut blonde itu lagi. "Jangan keluar, tunggulah di sini. Aku harus menemui kakak iparku dulu," katanya. "Baik Tuan." Setelah itu, lelaki bermata hijau itu pun keluar dari ruangan. Baru saja menginjakkan kakinya di luar. Wanita berpenampilan anggun dan memiliki rambut sebahu langsung mendekatinya dengan raut wajah cemas. "Tolong bantu aku, perasaanku tidak enak, dari tadi malam adikmu tidak bisa dihubungi, dia tidak ada kabar sama sekali, aku mohon cepat cari dia sekarang, Julian pun tidak bisa dihubungi," terangnya, dengan k
Michael justru menyeringai tipis. "Kau yakin ingin mengusirku? Apa jawabanmu jika Jessica bertanya ke mana Papanya?" balas Michael sambil mengangkat dagunya sedikit angkuh. Membuat Moon kembali mengepalkan kedua tangannya erat-erat. Menahan amarah yang membuncah di relung hatinya saat ini. Selain mengesalkan, pria di hadapannya ini ternyata tidak punya rasa malu juga."Aku sangat yakin, kau adalah pria yang sangat berbahaya, keberadaanmu di sini memberikan dampak buruk pada putriku! Tidak usah kau pikirkan jawaban apa yang akan aku berikan pada putriku nanti! Cepat, angkat kakimu dari rumahku sekarang!" lontar Moon. Untuk kesekian kalinya, reaksi Michael membuat Moon semakin meradang. Kini, lelaki bermata hijau itu malah mengeluarkan tawa rendah. Sebuah tawa yang terdengar seperti sebuah penghinaan di telinga Moon. "Apa kau tuli?! Pergi sekarang!" Saat tak ada pergerakkan, Moon akhirnya terpaksa mendekat, hendak menyeret Michael."Pergi kau dari sini!" Dengan susah payah Moon mena
Moon meringis sejenak lalu mendongakkan kepalanya dengan cepat. Melihat Erna berdiri di hadapannya sambil berkacak pinggang sekarang. Muka wanita bertubuh gemuk itu terlihat merah padam. Moon mengerutkan dahi sedikit, tampak keheranan karena Erna datang dalam keadaan marah besar sekarang. Entah apa penyebab wanita itu meradang. "Apa maksud Madam?" Secara perlahan Moon bangkit berdiri sambil menahan perih karena kulitnya tergores oleh batu-batu kecil yang tergeletak di pekarangan rumahnya barusan. Erna mendengus kasar. Pupil matanya pun semakin melebar. "Kau masih bertanya?! Gara-gara anakmu itu tadi lemonku tidak laku terjual, aku yakin sekali kau memberi perintah pada anak-anakmu untuk melempar sesuatu ke daganganku dan membuat daganganku jadi bau!" murka Erna hingga para tetangga yang kebetulan lewat di depan rumah, mulai penasaran, alhasil mereka pun menyambangi rumah Moon dengan cepat. Sesampainya di pekarangan, mereka tampak berbisik-bisik satu sama lain sambil menata
"Cukup! Aku bukan wanita jalang, Madam!" seru Moon, kini napasnya terdengar memburu sebab sikap Erna sungguh keterlaluan. "Atas dasar apa Madam mengatai aku jalang?" sambung Moon kembali. Mengabaikan rasa sakit yang menjalar pada kaki dan tangannya sekarang. Moon begitu heran, apa alasan Erna membencinya hingga selama bertahun-tahun wanita tersebut selalu membuat ulah dengannya. Padahal selama ini Moon tidak pernah membuat masalah dengan Erna. "Kenyataannya kau memang wanita jalang! Semua orang tahu kau wanita jalang! Lihatlah pria di sampingmu itu, dia pasti salah satu pria yang sudah mencicipi tubuh kurusmu itu!" Erna melirik ke arah Michael sekilas sambil melototkan mata. Mendengar omelan Erna, Michael hanya diam saja. Meskipun begitu, dalam ketenangannya membuat Erna sedikit terganggu. Karena pandangan Michael tertuju pada wanita bertubuh gemuk tersebut sejak tadi. Sorot mata Michael tampak datar. Namun, terasa sangat tajam di penglihatan Erna."Aha aku baru saja ingat pria in
"Michael, jangan macam-macam kau!" Sekali lagi Moon berteriak. Bagaimana tidak, Michael membaringkannya di ranjang sambil menoleh ke bagian dadanya sekilas sekarang. Tak hanya itu, pria tersebut melempar senyum penuh arti, yang membuat bagi siapa pun yang melihat akan salah paham. Sebuah senyuman yang tak bisa dijabarkan Moon sama sekali saat ini. Michael tak menjawab, malah memajukan wajahnya ke wajah Moon. Moon makin panik, jantungnya berdetak sangat kencang tatkala hembusan napas Michael mengenai wajah tirusnya sekarang. Tangan kurusnya lantas bergetar pelan tengah berusaha mendorong dada Michael. "Kau m—au apa?" tanya Moon gugup, buru-buru menutup mata kemudian dengan cepat menggerakkan kepalanya ke samping. Moon dilanda panik dan ketakutan. Siapa pria ini? Datang ke dalam kehidupannya bak malaikat dan iblis secara bersamaan.Tak dapat dipungkiri, pria dewasa di atasnya sekarang, memiliki pesona yang tak bisa diabaikan. Wajah tampan Michael sangat berkharisma dan menawan. T
Mata Jason tampak berkaca-kaca. Air mata pun perlahan mulai mengalir dari pelupuknya seketika. Dorongan tersebut membuat kedua kaki mungilnya tergores dan mengeluarkan darah sedikit. Tidak hanya itu, pipinya pun terlihat merah akibat tamparan sosok tersebut. Secepat kilat Jason menegadahkan kepala, melihat seseorang yang dicari ternyata berada di luar, Rita, sang pemilik kedai. "Madam Rita, apa salahku?" tanya Jason, suaranya terdengar bergetar. Luka di kakinya terasa amat perih hingga membuat air mata mengalir dengan sangat deras sekarang. Meskipun, mempunyai sikap yang terlihat kuat di luar, Jason tak dapat menahan rasa sakit yang menjalar kedua kakinya sekarang. Terlebih, dia baru pertama kali mendapat perlakukan kasar dari Rita. Selama ini, Jason hanya dapat melihat dari kejauhan perlakuan Rita terhadap mamanya. Rita kerap kali membentak Moon, termasuk karyawan lainnya. Bukan hanya itu, wanita berambut panjang ikal itu suka sekali berbuat sesuka hatinya. Jika ditanya apa kesa
Kemunculan Kenny menciptakan garis kerutan di kening Maximus. Kabar terbaru dari orang kepercayaannya, anak kembarnya bersekolah di sini, Maximus pun berusaha mencari keberadaan buah hatinya. Berbekal nama yang diberikan Liana dan Lionrl kemarin, Maximus mau tak mau akhirnya turun tangan sendiri. Dia sangat tak sabar ingin berjumpa Jessica dan Jason, yang sekarang keberadaannya tak diketahui. "Kau sekolah di sini Ken?" Sontak, pertanyaan yang ajukan Maximus, menjadi tanda bahwa lelaki itu datang ke sekolah bukan untuk menjemputnya. Kenny menelan kekecewaan. Tarikan napas lantas berhembus pelan dari hidung mungilnya. "Iya, kalau begitu Kenny permisi dulu," ujar Kenny hendak menunggu jemputan di bawah pohon. Akan tetapi, Maximus tiba-tiba menghadangnya."Eh tunggu, biar Paman antar pulang," papar Maximus cepat. Demi bisa melihat Maximus. Kenny spontan mendongak, belum sempat lidahnya bergerak. Clara tiba-tiba datang dari samping dengan raut wajah sangat panik. Kedatangan Clara sont
Mendengar hal itu, Liana dan Lionel serempak terbelalak. "Moon ada di sini?" tanya Lionel seraya lempar pandang pada Liana. "Iya, kemarin aku tidak sengaja melihatnya tapi aku kalah cepat, anakmu itu ternyata gesit dan pintar. Maka dari itu, lebih baik kalian cari dia sekarang, anak buahku akan membantu kalian untuk mencari Moon juga, tenanglah aku akan memberikan uang yang sangat banyak pada kalian," perintah Maximus. Membuat Liana dan Lionel tersenyum lebar karena akan mendapatkan uang dalam nominal yang besar. "Baiklah, kalau begitu kami permisi dulu Mister, kau tenang saja, kami akan menemukan Moon secepatnya dan membawanya ke hadapanmu," kata Liana, dengan senyum evil tak memudar dari wajah sejak tadi. Maximus menyeringai tipis sejenak kemudian membalas,"Hm, pergilah, aku tunggu kabar dari kalian." Liana mengangguk kecil. Kemudian tanpa berlama-lama pasangan suami istri gila uang itu bergegas pamit undur diri hendak mencari keberadaan Moon. Kurang lebih sepeka
"Langsung masuk saja Julian," kata Moon, mempersilakan Julian masuk ke rumah.Julian mengangguk pelan lalu bergegas menjalankan perintah Michael. Jessica dan Jason tengah tidur siang dan tidak menyadari kedatangan Julian. Sekitar tiga puluh menit lamanya, Julian telah berhasil memasang CCTV di setiap sudut rumah. CCTV yang dapat dipantau Michael dari rumah persembunyian. "Aku pulang dulu ya Moon, kalau terjadi apa-apa telepon saja aku atau Tuan Michael." Julian lansung pamit undur. Lelaki berambut blonde itu tak mau berlama-lama di rumah Moon. "Iya, berhati-hatilah Julian," kata Moon seraya melempar senyum tipis. Julian mengangguk kemudian melenggang pergi dari rumah Moon. Dengan cepat Moon menutup pintu kembali. Namun, setelah membalikkan badan dan melangkah sebanyak sepuluh kali terdengar suara bell rumah kembali. Moon mengerutkan dahi dengan sangat kuat. "Apa Julian tertinggal sesuatu?" gumamnya pelan. Tanpa menaruh curiga sedikit pun. Moon langsung membuka pintu. Keningnya m
Moon dan Michael membeku, dengan pupil mata sama-sama melebar. Moon cepat tersadar kemudian keluar lagi dari mobil dan berjalan gesit ke sisi pintu mobil lain, sambil sesekali melirik ke arah Liana dan Lionel tengah berbicara satu sama lain saat ini."Maaf, aku benar-benar minta maaf Michael, sepertinya aku kekurangan minum air putih jadinya kurang fokus." Setelah masuk dan menghempas bokong, Moon langsung meminta maaf tanpa menoleh ke samping. Moon memilih memandang keluar jendela sambil meraba-raba dadanya, karena jantungnya masih berdetak sangat cepat dengan ciuman tak terduga itu barusan. Michal tak menyahut, hanya berdeham rendah dan memandang ke samping sekilas. Lelaki itu juga merasakan debaran aneh menjalar di dadanya sekarang. 'Aneh sekali, ada apa dengan jantungku ini.' batin Michael sejenak. Kemarin-kemarin Michael merasa kedekatannya dengan Moon hanya sebatas wanita dan pria yang tinggal satu rumah. Bagi pria dewasa seperti Michael, hal itu sudah biasa, terlebih Moon se
"Astaga Moon kau membuat aku hampir saja jantungan," kata Michael seraya menaruh lagi pistol yang baru saja dia ambil dari belakang celana barusan. Moon melempar senyum kaku pada Michael, Olax dan Julian."Maaf Michael, aku mau memanggil kau, tapi takut nanti akan membuat kau terkejut jadi ya aku diam-diam masuk ke dalam, apa lagi di luar aku melihat ada motor," balas Moon."Iya tidak apa-apa." Michael menarik napas lega sesaat. Sementara Olax melirik ke arah Julian saat ini, merasa sangat asing dengan wanita yang masih berdiri di ambang pintu. "Tuan, kami keluar sebentar ya, mau memeriksa sesuatu." Julian memberi bahasa isyarat pada Olax untuk berbicara di luar saja. Begitu mendengar perkataan Julian, Michael mengangguk samar. Selepas kepergian Julian dan Olax, Michael membuka suara lagi. "Ada apa Moon? Kenapa kau datang kemari? Apa ada masalah, sampai-sampai kau harus ke sini? Mengapa kau tidak meneleponku saja? Lalu di mana Jessica dan Jason?" tanya Michael, hendak menginteroga
Sebelum Kenny menghampirinya sekarang, secepat kilat Michael bersembunyi di lorong lain. Beruntung sekali ada pria yang melewatinya barusan, jadi Kenny terkecoh dan saat ini celingak-celinguk ke segala arah. "Papa!" panggil Kenny kembali. Berjarak beberapa meter, Clara yang hendak mengambil troli lantas mengalihkan perhatian. Melihat Kenny berjalan ke sana kemari sekarang sambil memanggil papanya. Dengan gesit Clara pun mendekati Kenny. "Kenny, ada apa Nak?" Clara berjongkok dan langsung menyentuh pundak Kenny. "Ma, tadi Kenny lihat Papa ada di sini!" seru Kenny, matanya masih berkeliling di sekitar. Mendengar hal itu, Clara membuang napas pelan, riak mukanya mendadak sedih. Kenny masih belum menerima kepergian Michael. Clara memakluminya karena hubungan Michael dan Kenny begitu dekat. "Nak, itu bukan Papa, sekarang kita belanja ya, hari ini Kenny boleh ambil makanan sepuasnya" Clara berusaha menghibur Kenny dengan membelikan makanan sesuai kemauan Kenny. Sebelum-belumnya, Clara
Mata Moon langsung terbelalak. Secepat kilat dia menarik tangan Jessica dan Jason lalu membekap mulut mereka. Jessica dan Jason tampak terkejut hendak memberontak. Namun, Moon memberi kode agar jangan bersuara. Kedua anak kecil itu akhirnya diam dan hanya bisa memandang satu sama lain dengan kening berkerut kuat. Moon mengintip sejenak keluar, melihat Liana ternyata bersama papanya sekarang. Moon mulai heran, mengapa dari banyak tempat. Kota ini yang di datangi Liana dan Lionel. Padahal Moskow dan Los Angeles sangatlah jauh. Entah apa yang dilakukan mereka di sini? Moon jadi penasaran. Sementara itu, berjarak beberapa meter. Liana menoleh ke segala arah sejak tadi, merasa mendengar suara anak kecil barusan. Tapi, anehnya tidak ada anak kecil yang terlihat di sekitar, hanya kumpulan orang dewasa saja berdiri di lorong supermarket, tengah memilih-milih makanan dan minuman. "Apa lagi yang kau cari, Liana? Lihatlah trolimu sudah mulai penuh?" tanya Lionel dengan raut wajah menahan kesa
"Papa apanya, itu kan Mama." Jason lantas menimpali. Sebab yang keluar dari mobil ternyata Moon. Jessica langsung cemberut. Dengan pelan menurunkan tangan kemudian melirik Kenny ke samping sekilas. "Hehe, bukan Papaku, tapi Mamaku," sahutnya sambil tersenyum kaku. Kenny tak membalas, justru memandang ke arah Moon yang saat ini mulai menghampiri mereka. "Apa sudah lama menunggu? Bagaimana hari pertama kalian di sekolah? Apa mengasyikan?" Begitu sampai Moon segera membuka suara sambil melempar senyum ke arah Jessica dan Jason secara bergantian. Moon tampak senang ketika kedua buahnya telah bersekolah sekarang."Tidak lama kok Ma. Lumayan mengasyikan Ma," balas Jason cepat sambil mengulum senyum. Berbeda dengan Jessica, gadis mungil itu nampak lesu. "Ma, Papa di mana? Katanya mau jemput Jessica." Moon menghela napas pelan sejenak. Sudah tahu anaknya ini akan bertanya. "Papa sedang sibuk Sayang, tadi Papa menitip pesan untuk minta maaf." Beberapa jam sebelumnya, Moon dapat pesan dari
"Kau yang buta! Tentu saja Jessica punya mata, ini lihat ini!" Jessica tentu saja tidak hanya diam. Bocah perempuan itu tiba-tiba beranjak kemudian melayangkan tatapan tajam. Mendengar balasan tersebut. Wajah bocah berambut hitam itu tampak merah padam. "Kau berani melawanku ya! Apa kau tidak tahu siapa aku?!" serunya, menatap nyalang Jessica. Sebab ada seseorang yang berani melawannya. Sekolah yang terletak di tengah-tengah pusat kota ini memang sangat terkenal dan hanya bisa dimasuki oleh orang-orang tertentu. Dan tentu saja latar belakang orang tua murid-murid di sini begitu berkuasa dan kaya raya. Jessica malah tersenyum sinis sebentar. Tak ada rasa takut pun yang terlihat di wajah bulatnya. Meskipun bocah di hadapannya ini lebih tinggi darinya. "Untuk apa aku tahu? Sudahlah, jangan diperpanjang, Jessica minta maaf karena tadi tidak sengaja, sekarang Jessica mau masuk ke kelas." Belum sempat Jessica menggerakkan kaki. Rambutnya tiba-tiba ditarik oleh bocah laki-laki tersebut.